Cerpen DASAM SYAMSUDIN
“Kak” seseorang memanggilku.
“Oh, Hamzah. Ada apa Zah?”
“Ku perhatikan dari tadi kakak tersenyum terus. Ada apa, kak?”
“Menurutmu kalau orang senyum terus, itu artinya apa?”
“Gila, kak. Itu artinya orang gila”
“Maksudmu aku gila?! Gila, kau pikir aku sudah gila. Aku tersenyum karena aku sedang bahagia”
“Kenapa bahagia?”
“Tadi aku mendapat senyum dari Devi. Aku selalu senang kalau dia tersenyum padaku. Apalagi di pagi hari.” Aku menghentikan kata-kata dan menatap wajah Hamzah lalu memberinya senyum.
“Hamzah” lanjutku.
“Iya, kak”
“Aku mau sendiri. Jadi maaf, bisakah kau tinggalkan aku.”
“Tentu saja, kak.” Hamzah lalu berlari meninggalkanku. Tapi pada langkahnya yang ketujuh dia berhenti dan membalikan tubuhnya kearahku. “kak”.
“Iya, apa lagi?”
“Jangan tersenyum sendiri lagi, ya. Hehehe... visss” sekarang Hamzah benar-benar pergi.
Angin pagi selalu menjadi angin yang dingin. Tapi, dinginnya pagi tidak aku rasakan jika setiap pagi aku mendapat senyum dari Devi. Beberapa bulan ini aku dekat dengan Devi, dia gadis yang usianya lebih muda sepuluh tahun dariku. Kedekatakan kami hanya sebatas teman, aku menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih dari itu. Cuma, beberapa hari ini aku dan Devi digosipkan menzalin hubungan dekat, tidak seperti teman. Pada awalnya aku tidak peduli pada gosip itu, sebab aku tidak merasa ada yang lebih pada hubungan kami selain hanya teman saja. Namun, beberapa hari ini aku merasakan sesuatu yang aneh jika dekat dengan Devi, aku selalu merasa nyaman bahkan, jika satu hari saja tidak melihatnya, aku sangat merindukannya. Apalagi pada senyumnya, aku sungguh sangat menyukai senyumnya. Dan yang lebih aku tidak mengerti, saat Devi sedang bersama pacarnya, aku merasakan suasana hatiku tidak enak. Sepertinya aku cemburu.
***
Orang gila, pikir Wandi, saat ia menyaksikan teman-temannya termasuk aku, joget-joget gak karuan di zalanan umum di depan warung Ceu Paridah. Wandi memang tidak ikut joget, tapi dia tetap menggoyang-goyangkan tubuhnya kiri-kanan, kadang-kadang pinggangnya bergerak maju-mundur mengikuti irama lagu India. Saat itu aku dan teman-teman sedang menikmati suasana di tengah-tengah kesibukan kami membabat rumput-rumput yang tumbuh liar di belakang rumah Pak Yanto. Kendati rasa cape dan keringat pun belum kering dari tubuh kami, di hari itu rasa cape, kami ubah menjadi keceriaan, meski terkadang harus berbuat yang aneh-aneh. Seperti joget-joget itu. Sungguh gila.
Apalagi jika mengingat usiaku yang paling tua diantara mereka rasanya sangat memalukan sekali. Aku adalah kakak bagi teman-temanku, tidak seharusnya aku ikut-ikutan. Nyatanya aku tak peduli, asalkan semua temanku (adik kelas) bahagia, apa pun akan kulakukan selama aku mampu. Termasuk joget di tengah zalan bersama mereka.
Joget kami sangat beragam; ada yang loncat-loncat, ada yang bergoyang-goyang, ada yang geleng-geleng kepala, ada yang jogetnya hanya menggerak-gerakan jari telunjuknya, ada juga yang jogetnya hanya menggerak-gerakan mulutnya maju mundur semacam bibir yang mau kasih sun. Sedangkan aku sendiri tidak mengerakan apapun, maksudku, tidak menggerakan tubuh bagian luar, ada sih anggota tubuhku yang bergerak-gerak, geraknya naik turun dan terkadang berguncang-guncang, tapi aku tidak akan mengatakannya. Gak penting dikasih tahu juga.
Saat sedang asyik-asyiknya joget dan berteriak-teriak tiba-tiba semua temanku terdiam, tidak ada gerak dan tidak ada suara. Semua temanku melihat pada arah yang sama dan pada objek yang sama. Karena penasaran aku melihat apa yang mereka lihat. Sekarang aku tahu kenapa mereka terdiam. Ternyata tepat satu meter dihadapan kami, ada sebuah motor yang tengah melaju mendekati arah kami. Motornya gak penting dan gak bikin kaget. Tapi dua orang yang ada di atas motor itu yang membuat aku kaget, dan jujur, bikin BT banget. Seorang gadis yang aku cintai sedang mengendarai motor dengan pacarnya. Dan itu membuatku cemburu. “Aneh, kenapa aku cemburu. Padahal gadis itu bukan siapa-siapa aku.” Gumamku saat itu.
Pandangan mata kami mengikuti gerak laju motor itu. Menyaksikan semua itu aku bagaikan kena setrum jutaan mega Watt. Semua temanku masih terdiam, dan kini pandangan mereka beralih menatapku. Aku heran kenapa mereka menatapku.
“Goyang lagi anak-anak. Ada yang cemburu ni” Teriak Irfan memecahkan keheningan.
Semua temanku jogetnya jadi semakin brutal saja setelah menyaksikan motor itu dan tahu suasana hatiku. Semua sahabatku jadi gila. Mereka joget sambil berteriak-teriak. Teriakan yang mengejek. Anak-anak Brengsek!
Sungguh, sangat aneh sekali suasana hatiku. Keadaan menjadi terbalik, keceriaanku menjadi kesedihan dan dadaku ku pun rasanya mau meladak. Jantungku berdegup kencang tak karuan. Bahkan saat itu aku merasa dunia hancur, gunung Haruman meledak, petir di langit menyambar-nyambar pohon jati Pak Yunus, bangunan-bangunan yang ada di Desa Cibiuk berguncang-guncang dan hancur berdentuman, warung Ceu Paridah pun ikut meledak, bumi serasa gempa, angin serasa menggulung menjadi angin tornado, awan-awan pun tiba-tiba menyiramkan hujan yang sangat deras sampai terjadi banjir bandang, bahkan pesantren pun sepertinya terbang melesat ke luar angkasa. Hancur, hatiku saat itu rasanya hancur.
Karena tidak tahan menahan hati yang kacau ini aku lari secepat-cepatnya. Saat aku berlari hujan pun turun membasahi bumi dengan tiupan angin yang sangat dingin. Aku terus berlari dengan berteriak sekaras-kerasnya “TIDAAAAAAKKKK... TIDAAAAAKKKK”.
***
“Fan, menurutmu, saat kamu cemburu melihat seorang perempuan bersama pria lain itu artinya apa, ya?” Aku bertanya pada Irfan yang tengah duduk di atas balkon bangunan Rumah Mak Ai.
“Cinta. Itu artinya ada cinta.” Jawab Irfan.
“Cinta?! Tidak mungkin. Tidak mungkin aku jatuh cinta pada gadis itu. Dia masih muda, lagi pula dia sudah punya pacar. Oh, tidak... tidak mungkin aku mencintainya.”
“Ayolah, Kak, kau jangan membohongi dirimu. Walau pun tidak mengatakannya, aku tahu, kakak cinta pada Devi “
“Bagaimana kamu tahu aku mencintainya” aku penasaran.
“Bagaimana aku tahu? Cara kakak menatapnya, berbicara padanya, perhatian padanya, peduli padanya, bahkan kakak sering membicarakan dan membanggakannya. Diantara gadis yang ada di Pesantren ini hanya dia yang kakak pedulikan.” Kata Irfan menjelaskan.
“Tapi, aku tidak percaya aku mencintainya. Kalau sayang, aku memang sayang. Tapi kalau cinta?... duh, gak tahu ah. Aku jadi bingung.”
“Udah jangan bingung. Kakak itu jelas-jelas jatuh cinta pada Devi.”
“Kalau sudah begini apa yang harus kulakukan?”
“Lupakan!” jawab Irfan datar.
“Lupakan!” Aku memegang kedua pundak Irfan dan mengguncang-guncangnya. “Lupakan kamu bilang. Kau pikir melupakan seseorang yang kita sayangi seperti membalikan telapak tangan. Tidak mungkin aku melupakannya begitu saja. Butuh waktu. Dan selama melupakannya aku akan tersiksa. Aku tidak mau tersiksa, Fan.”
“Kalau begitu jangan pedulikan dia, atau jauhi saja”
“Ini juga tidak mungkin. Dia akan sedih. Aku sangat dekat dengan Devi. Kalau tiba-tiba aku menjauhinya, dia pasti sedih atau sakit hati. Aku tidak mau membuatnya sedih apalagi menyakiti hatinya.”
“Bagaimana ya?” Irfan berusaha berfikir. “ Emmm. Kalau begitu...” Irfan masih berusaha mencari kata. “Gimana kalau kakak... Duh, kok aku jadi ikut pusing, sih. Au ah. Aku juga jadi bingung”
“Aku juga bingung. Sangat bingung. Soalnya ada permasalahan kecil dan besar. Permasalahan kecil, dia masih kecil. Permasalahan besar dia sudah punya pacar. Dan yang jadi permasalahannya sehingga timbul masalah kecil dan besar adalah... apa ya?... menurutmu apa yang jadi permasalahannya, Fan?”
“Permasalahannya kamu jatuh cinta padanya.” Jawab Irfan.
“Benar. Itu yang jadi permasalahannya. Aku jatuh cinta.”
Aku dan Irfan bingung. Kami tidak meneruskan pembahasan cinta lagi. Cinta terkadang bikin pusing. Sangat memusingkan. Kami lebih memilih menatap langit yang berwarna biru dengan hiasan awan gemawan yang bergulung-gulung dan berbenjol-benjol.
“Fan, menurutmu...”
“Aku tidak tahu. Jangan bahas masalah jatuh cinta lagi, kak. Itu BT.”
“Siapa yang mau membahas cinta. Aku hanya mau bertanya. Menurutmu Devi cantik enggak?...”
“Ayolah kak Dasam jangan membicarakan Devi terus. Ku mohon. Aku sangat memohon. Biarkan aku tenang. Aku mau membayangkan Rimi.”
“Ok! Aku tidak akan membahas Devi. Itu artinya kamu tidak bisa ikut ke Warung Ceu Paridah.”
“Kak...” Irfan memanggilku.
“Apa?”
“Devi itu cantik loh.”
***
Senja, saat mentari menampakkan cahaya keemasannya yang merumbai-rumbai di langit Barat, aku duduk termenung di tepi kolam Pak Yanto. Ikan-ikan di kolam itu berenang-renang dengan ceria, sepertinya ikan tidak pernah mempunyai masalah, kecuali lapar. Tidak seperti diriku yang saat ini tengah memikirkan sesuatu yang begitu menyesakkan dada, aku mencintai seorang gadis yang tidak seharusnnya aku cintai. Sore itu, aku berusaha memikirkan solusi yang terbaik untuk permasalahan ini, aku tidak sanggup menahan perasaan ini berlarut-larut. Sebab, menyaksikan seseorang yang aku cintai bersama orang lain, itu sangat menyiksa. Aku harus mengakhiri semua ini, harus! “Tapi, bagaimana caranya?...” Gumamku dalam hati.
Saat aku tengah memikirkan solusi untuk permasalahanku, tidak sengaja aku melihat ikan-ikan yang meloncat-loncat di Kolam Pak Yanto. Aku tidak peduli pada ikan-ikan itu, tapi aku lebih peduli pada suasana saat itu. Karena itu aku melirik ke arah kiri-kanan. Setelah yakin suasana cukup aman baru aku melakukan tindakan pada ikan-ikan itu. Dua ikan Mas Pak Yanto berbobot seukuran bata merah, raib. Seseorang mengambilnya. Dan itu, diriku.
Sekarang aku tidak lagi sendiri untuk mencari solusi tentang cintaku pada Devi, aku ditemani seseorang, dia Rizal. Aku dan Rizal duduk santai di depan hawu Mak Ai sembari membakar Ikan Mas seukuran bata merah itu, aroma ikan bakar itu begitu terasa.
“Kak.” Seru Rizal.
“Yup. Ada apa, Zal?.” Jawabku, sambil membalikkan ikan bakar.
“Katanya Kakak mencintai Devi, ya.” Sambung Rizal sambil meniup-niup api di dalam hawu.
Mendengar ucapan Rizal, aku kaget. Sejenak aku menatap wajah Rizal, dan aku juga menatap debu yang ada di dalam hawu, lalu aku meniup debu itu tepat ke wajah Rizal. “Fuhh...”.
“Dari mana kamu tahu?.” Tanyaku.
“Dari Irfan.” Jawab Rizal, sambil membersihkan debu di mukanya.
“Brengsek!!! Si Irfan tak bisa jaga rahasia.” Gumamku dalam hati. “Iya, aku mencintainya. Memangnya kenapa, Zal?” Tanyaku.
“Enggak, Cuma mau tahu saja. Tapi....” Rizal menghentikan kata-katanya. Dia meniup api di dalam hawu lagi. “...Devi kan pacarnya Jefry.” Sambung Rizal.
“Aku tahu” jawabku.
“Apakah Devi tahu kalau kakak cinta padanya?”
“Aku tidak tahu”
“Apakah Jefry juga tahu kalau kakak mencintai Devi?”
“Aku tidak tahu. Kurasa Jefry sudah curiga.”
“Apakah kakak akan mengungkapkan kalau kakak mencintainya?”
“Aku belum tahu, Zal. Menurutmu baiknya bagaimana?”
“Entahlah. Tapi, ada baiknya kalau kakak jujur saja. Cuma, jangan ngajak dia jadian sama kakak.”
“Kenapa?”
“Bukankah kata si Raj dalam film India Rab Ne Bana Di Jodi. Cinta itu tidak butuh balasan” Rizal membetulkan posisi duduknya, kali ini dia tidak meniup-niup api lagi. Dia serius. “Kau tahu , kak, saat Taani Partner mengatakan sesuatu pada Raj, ‘bagaimana kau bisa begitu gembira? Bagaimana kau bisa mencintaiku tanpa mengharap balasan? Kamu tidak merasakan sakit dalam cinta?’ kau tahu, Kak, apa jawaban Raj?...” Rizal memandangku dengan serius. Aku pun mendengarkannya dengan serius. “Kata Raj. ‘Cinta? Cinta itu karunia Tuhan. Jadi, bagaimana ada rasa sakit dalam cinta. Dan tentang mengharap balasan cinta. Cinta tak perlu terbalas. Begini, saya jatuh cinta padamu, karena saya melihat Tuhan dalam dirimu. Sesederhana itu.’ Itu jawaban si Raj, Kak. ” Rizal menghentikan kata-katanya dan memandangku dengan tajam. Kedua tangannya memegang pundakku. Dan dia kembali berkata. “Katakanlah, Kak. Katakanlah bahwa kamu mencintai dan sangat menyayanginya. Kamu akan selalu melindungi dan menjaganya. Katakanlah. Pergilah. Pergilah sekarang juga. Tentang ikan bakar ini. Jangan pedulikan. Biar aku yang mengurus.”
Kata-kata Rizal bagaikan sebuah tenaga nuklir yang memberi energi dorong bagiku. Tekadku sudah mantap, aku akan mengutarakan bahwa aku sangat menyayangi Devi. Aku tidak akan datang menemuinya untuk mengungkapkan cinta ini. Aku hanya akan membuat sebuah cerita. Cerita yang menceritakan bahwa aku sangat mencintai dan menyayanginya. Dan aku juga berjanji akan selalu menjaganya. Seperti kata Bondan Prakoso, “Ku kan selalu ada untukmu.”
Garut, 19 oktober 2010
Ditulis, malam selasa di beranda masjid,
Dan diselesaikan di dalam kamar Qoma Zaedun, siang hari.
bersama Hazmin dan Rizal Fauzie
Pesantren Al-Furqon Cibiuk-Garut.
Oh iya, dibantu menulis oleh Rizal Fauzie.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar