“….Musa berkata: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu. Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, Karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan Sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu)." (QS. Al-Baqarah [2]: 71-72)
Saat Nabi Musa mendapat perintah dari Allah, bahwasannya kaum Bani Israil “diperintah” menyembelih seekor anak lembu (sapi). Menanggapi perintah Nabinya yang hakikatnya dari Allah, Bani Israil menyanggah dengan berbagai pertanyaan seakan-akan mereka mengkritisi. Akhirnya, karena bertubi-tubinya pertanyaan yang dilontarkan, Bani Israil malah mendapat kesulitan untuk mendapatkan anak lembu yang dimaksud. Padahal, apabila mereka langsung melaksanakan apa yang diperintahkan Allah, tentu mereka akan mendapat kemudahan.
Kisah di atas, sepintas seperti sikap kritis Bani Israil terhadap kebijakan Allah. Namun, apabila di teliti dengan seksama, sikap itu bukanlah kritis, melainkan kebawelan (banyak tanya). Keingin tahuan tentang hakikat yang sebenarnya tentang syari’at Allah, adalah hal yang sangat baik. Tapi tidak bagi Bani Israil. Sikap banyak bertanya tentang apa yang diperintahkan-Nya, ini memberi kesan bahwa mereka sepertinya menolak. Karena, diakhir ayat yang menerangkan tentang perintah Bani Israil menyembelih anak sapi dikatakan, hampir mereka tidak melakukannya”.
Kritis bukan semata-mata bertanya, menyanggah, mendebat, membantah, atau hal lainnya. Memang kritis berasal dari kata Yunani yaitu crehtos yang artinya membantah, menyanggah dan mendebat. Namun, untuk istilah kritis hanya dipaku sebatas pengertian itu sangatlah tidak tepat. Kenapa? Karena dengan sikap itu hanya akan mendekonstruksi pemikiran atau kebijakan bahkan peraturan sekalipun baik agama atau pemerintah tanpa memberi solusi perbaikan dalam kata lain menyajikan pemikiran yang lain yang lebih baik dan bagus. Jadi, disamping mengkritisi itu menyanggah atau mendebat, kita juga harus menyodorkan solusi lain, agar jadi pertimbangan tentang solusi yang kita sodorkan itu.
Thulul’amal
jika kritis di lakukan dengan cara bertanya tanpa memberi solusi, hanya akan menimbulkan “Thulul-amal” atau sedikit melaksanakan dari apa yang diketahuinya. Memudalkan kran pertanyaan yang berputar pada masalah itu-itu saja, akan menyulitkan permasalahan yang tadinya mudah karena harus banyak lagi penafsiran atau pemahaman.
Memang, manusia kebanayakan sulit melaksanakan hal yang masih bersifat umum. Mungkin karena akan meragukan kebenerannya. Namun, jika kita berusaha mentakhsis hal yang general dengan bergbagai pertanyaan yang tidak berdasar (non literasi), itu akan lebih melahirkan sikap malas dari kebingungan atau ketidak puasan dengan pernyataan yang dijelaskan (manusia tidak pernah puas). Akhirnya dari ketidak puasan itu—mungkin penasaran—mereka akan terus berusaha bertanya dan bertanya, lantas kapan melaksanakannya?
Bertanya itu baik bahkan sangat penting, tapi jika banyak tanya bahkan terlalu, jelas itu kurang baik. Disamping kita jadi bingung karena pertanyaan itu akan menyulitkan pemahaman yang harus dibelit-belit kesana kemari. Juga akan melahirkan ketidak puasan terhadap peraturan atau pemikiran apapun, yang kemudian membekukan tubuhnya dari melaksanakan apa yang seharusnya “mudah”.
Kritik konstruktif
Jika memang kita hendak bersikaf kritis. Maka, kritik itu harus membangun bukan sebaliknya. Kita kritis tidak semestinya menyudutkan pertanyaan seolah menspisifikan, yang pada kenyatannya hanya menghancurkan pemahaman yang ada. Kritiklah semua hal yang memang masih meragukan, dengan menyodorkan solusi-solusi baru yang tepat dan tentunya membangun. Tidak sedikit orang yang karitis hanya sebatas dimulutnya seakan kebenaran ada ditangannya. Sedangkan ia hanya merasa bangga bisa mengkritisi saja, tanpa melakukan apa yang telah ia perdebatkan.
Manusia membutuhkan kritik, itu sudah pasti. Kalaupun tidak, ia harus memaksa bersiap menerima kritikan. Nah, agar kritik yang kita lontarkan tidak menyinggung seseorang sehingga ia merasa termotivasi untuk memperbaiki keadaan, kita tentu harus menyampaikan kritik dengan kondisional bukan dengan emosional apalagi dengan ego semata. Jangan sampai dengan kritik menimbulkan perpecahan, orang yang kita kritisi jangan sampai merasa tidak perlu melakukan yang kita utarakan karena merasa sangat tersinggung. Itu pun tidak baik bukan? Bukankah kita mengkritisi agar kebenaran itu muncul untuk dilaksanakan.
Jadi, kritik yang kita lontarkan harus betul-betul bisa memotivasi orang tersebut agar bisa memperbaiki persoalannya, bukan menghancurkan pemahamannya saja tanpa peduli pada orangnya. Manusia mempunyai beragam pemikiran dengan cara dan daya pikirnya. Nah, anugerah itu sudah semestinya di jadikan media untuk membangun perubahan, selanjutanya membanguan peradaban, bukan saling menghancurkan. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar