"Terimakasih Atas Kunjungannya, Semoga Anda Banyak Rezeki, Banyak Anak, Dan Masuk Surga. SALAM CINTA"

Kritis atau Banyak Tanya?

Oleh DASAM SYAMSUDIN

“Mereka berkata: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, Karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan Sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk (untuk memperoleh sapi itu) Musa berkata: Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya." mereka berkata: "Sekarang barulah kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya". Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 71-72)

Saat Nabi Musa mendapat perintah dari Allah, bahwasannya kaum Bani Israil “diperintah” menyembelih seekor anak lembu (sapi). Menanggapi perintah Nabinya yang hakikatnya dari Allah, Bani Israil menyanggah dengan berbagai pertanyaan seakan-akan mereka mengkritisi. Akhirnya, karena bertubi-tubinya pertanyaan yang dilontarkan, Bani Israil malah mendapat kesulitan untuk mendapatkan anak lembu yang dimaksud. Padahal, apabila mereka langsung melaksanakan apa yang diperintahkan Allah, tentu mereka akan mendapat kemudahan.

Kisah di atas, sepintas seperti sikap kritis Bani Israil terhadap kebijakan Allah. Namun, apabila diteliti dengan seksama, sikap itu bukanlah kritis, melainkan kebawelan (banyak tanya) yang meruwetkan yang akhirnya memusingkian diri sendiri. Keingin tahuan tentang hakikat yang sebenarnya tentang syari’at Allah, adalah hal yang sangat baik—bahkan dianjurkan. Tapi tidak bagi Bani Israil. Sikap banyak bertanya tentang apa yang diperintahkan-Nya, ini memberi kesan bahwa mereka sepertinya menolak. Karena, diakhir ayat yang menerangkan tentang perintah Bani Israil menyembelih anak sapi dikatakan, hampir mereka tidak melakukannya”.

Kritis bukan semata-mata bertanya, menyanggah, mendebat, membantah, atau hal lainnya. Memang kritis berasal dari kata Yunani yaitu crehtos yang artinya membantah, menyanggah dan mendebat. Namun, untuk istilah kritis hanya dipaku sebatas pengertian itu sangatlah tidak tepat. Kenapa? Karena dengan sikap itu hanya akan menghancurkan pemikiran atau kebijakan bahkan peraturan sekalipun baik agama atau pemerintah tanpa memberi solusi perbaikan, dalam kata lain menyajikan pemikiran lain yang lebih baik dan terarah. Jadi, sekalipun kita mengkritik, baik dengan cara menyanggah, mendebat, atau bahkan mendemonstrasi, kita juga harus menyodorkan solusi lain, agar jadi pertimbangan tentang solusi yang kita sodorkan itu demi arah kemajuan.

Qolil-‘amal

Jika kritik dilakukan dengan cara bertanya tanpa memberi solusi, hanya akan menimbulkan “qolil-‘amal” atau sedikit melaksanakan dari apa yang diketahuinya. Memudalkan kran pertanyaan, sanggahan atau perdebatan yang berputar pada masalah itu-itu saja, hanya akan menyulitkan permasalahan yang tadinya mudah menjadi problem yang ruwet, karena harus banyak lagi penafsiran atau pemahaman.

Memang, manusia kebanayakan sulit melaksanakan hal yang masih bersifat umum. Mungkin karena masih meragukan kebenerannya itu sehingga mereka enggan melakukaannya. Namun, jika kita berusaha mentakhsis hal yang general dengan berbagai pertanyaan yang tidak berdasar (non literasi) atau yang bereferensi tapi kurang berarti untuk kemajuan, itu akan lebih melahirkan sikap malas, karena kebingungan atau ketidak puasan dengan pernyataan yang dijelaskan (manusia tidak pernah puas). Akhirnya dari ketidak puasan itu—mungkin penasaran—mereka akan terus berusaha bertanya dan bertanya, lantas kapan melaksanakannya?

Bertanya itu baik bahkan sangat penting, tapi jika banyak tanya bahkan terlalu, jelas itu kurang baik. Disamping kita jadi bingung karena pertanyaan itu akan menyulitkan pemahaman yang harus dibelit-belit kesana kemari. Juga akan melahirkan ketidak puasan terhadap peraturan atau pemikiran apapun, yang kemudian membekukan tubuhnya dari melaksanakan apa yang seharusnya “mudah”.

Kritik konstruktif

Jika memang kita hendak bersikaf kritis. Maka, kritik itu harus membangun bukan sebaliknya. Kita kritis tidak semestinya menyudutkan pertanyaan seolah menspesifikasikan sebuah permasalahan, yang pada kenyatannya hanya menghancurkan pemahaman yang ada. Kritiklah semua hal yang memang masih meragukan dan bertentangan dengan kebenaran yang berlaku dan cenderung disepakati umum dengan menyodorkan solusi-solusi baru yang tepat dan tentunya membangun. Tidak sedikit orang yang kritis hanya sebatas dimulutnya saja, seakan kebenaran ada ditangannya. Sedangkan ia hanya merasa bangga bisa mengkritisi saja, tanpa melakukan apa yang telah ia kritisi.

Manusia membutuhkan kritik, itu sudah pasti. Kalaupun tidak, ia harus memaksa bersiap menerima kritikan. Nah, agar kritik yang kita lontarkan tidak menyinggung seseorang sehingga ia merasa termotivasi untuk memperbaiki keadaan, kita tentu harus menyampaikan kritik dengan kondisional bukan dengan emosional apalagi dengan ego semata. Jangan sampai dengan kritik menimbulkan perpecahan, orang yang kita kritisi jangan sampai merasa tidak perlu melakukan yang kita utarakan karena merasa sangat tersinggung. Itu pun tidak baik bukan? Bukankah kita mengkritisi agar kebenaran itu muncul untuk dilaksanakan.

Jadi, kritik yang kita lontarkan harus betul-betul bisa memotivasi orang tersebut agar bisa memperbaiki persoalannya, bukan menghancurkan pemahamannya saja tanpa peduli pada orangnya. Manusia mempunyai beragam pemikiran dengan cara dan daya pikirnya. Nah, anugerah itu sudah semestinya dijadikan media untuk membangun perubahan, selanjutanya membanguan peradaban, bukan saling menghancurkan. Wallahu A’lam.

Masa Lalu, Hari Ini dan Esok Hari

Oleh DASAM SYAMSUDIN

"Miara" Tanah Sunda

Oleh DASAM SYAMSUDIN

Kisah atau cerita Ki Sunda tentang tanah sunda, tidak terlepas dari hubungannya dengan alam sekitar. Kedekatannya dengan alam yang telah dilestarikannya, tiada lain karena menjaga hubungannya dengan Tuhan, yang selanjutnya melahirkan kearifan-kearifan terhadap alam yang diciptakan-Nya. Salah satu caranya dengan menjaga tanah sunda dari hal-hal yang akan meruksaknya, baik terhadap tanah, tumbuhan, air (sungai, danau bahkan laut) atau yang lainnya.

HUBUNGAN antara masyarakat sunda dan tanahnya harus dijaga, yaitu dengan cara melestarikannya. Dilihat dari sisi teologis, tanah adalah pemberian Tuhan Yang Maha Pencipta untuk di manfaatkan oleh manusia dengan tidak merusaknya (baca: mengarifi). Dengan demikian, hubungan urang sunda dan tanah tempat pijakan kehidupannya itu mempunyai nilai transendental—sebut saja pesan kelangitan—yaitu sesuatu yang harus dilestarikan semata-mata menjaga dan mensyukuri nikmat karunia Tuhan yang sangat agung ini. Sebagaimana tujuan Tuhan menciptakan manusia untuk menjadi "pemimpin di muka bumi" tiada lain agar merawat dan melestarikan bumi. Al-Quran, Surat al-Baqoroh ayat 30.


Hubungan dengan Tuhan


Dengan demikian, menjaga kelestarian tanah sunda yang telah dianugrahkan Tuhan merupakan "kewajiban moral" yang diperintahkan-Nya kepada manusia. Bagaimana tidak? Perintah Tuhan ini sangat rasional, menjaga tanah sunda, berarti kita juga mempertahankan kelangsungan hidup. Karena, kecenderungan manusia terhadap alam tidak bisa dinafikan. Manusia dengan alam tidak bisa dipisahkan, saya menganalogikan hal ini—jika diterima—memisahkan manusia dengan alam sama saja memisahkan jasad dengan ruh.


Analogi ini saya utarakan karena saking tidak bisa terlepasnya manusia dengan alam. Oleh karena itu, jika urang sunda mampu melestarikan dan menjaga tanahnya, berarti mereka telah melestarikan dan menjaga kehidupan dan hidupnya. Keakraban hubungan dengan alam ini pun mengindikasikan bahwa masyarakat sunda itu merupakan masyarakat yang beragama. Karena, tatakrama terhadap alam sekitar masih dijaganya sebagai salah satu perwujudan kearifannya.


Namun, apabila mereka tidak melestarikan bahkan merusaknya, itu sama saja dengan mengikis hidup dan keutuhan kehidupan urang sunda. Sehingga, masyarakat sunda akan terkesan sebagai masyarakat yang jauh dari nilai-nilai Ketuhanan yang selanjutnya menghilangkan nilai-budaya lokal.


Nah, maka dari itu, melestarikan tanah sunda berarti kita juga menjaga hubungan kita dengan Tuhan Yang Maha Esa. Tentu Tuhan akan senang apabila bumi atau alam raya ciptaan-Nya di rawat dan dilestarikan oleh manusia. Kendati tanah sunda hanya penggalan dari sub alam yang besar, tanah sunda juga merupakan anugrah yang tidak akan bisa dibeli dengan apapun dan oleh siapa pun. Maka, jika tanah ini telah rusak tidak akan ada lagi gantinya. Untuk itu, dari sekarang dan secara bersinergi, masyarakat sunda harus selalu berusaha merawat tanah kelahirannya ini.


Menjaga tetap hijau


Untuk menjaga tanahnya agar tetap subur, sekaligus sebagai realsiasi dari perintah Tuhan. Masyarakat yang mendiami tanah sunda, harus bisa mempertahankan agar tanah tercintanya itu, tetap hijau (baca: subur), tidak gersang. Untuk menjaga tanah agar tetap hijau, hal itu bisa dilakukan dengan cara bercocok tanam yakni mempertahankan lahan pesawahan, ladang atau tanah pertanian lainnya yang masih luas dan menghampar.


Masyarakat sunda yang mata pencahariannya sebagai petani masih banyak. Mereka bekerja hanya mengelola tanah dengan bercocok tanam, banyak ragam tanaman yang mereka tanam, salah satunya tanaman yang menjadi panganan pokok. Nah, jika lahan pertanian semakin menyempit, maka upaya mencari makanan pokok dari tanah sunda sendiri akan sulit. Padahal, salah satu ciri matapencaharian urang sunda adalah bertani atau mengelola tanah.


Banyak keuntungan bagi kehidupan dalam pengelolaan tanah, disamping untuk kelangsungan hidup pribadi, juga untuk kelangsungan masyarakat dan kelestarian alam sunda. Dengan bercocok tanam, alam akan kelihatan hijau dan terjaga dari kepunahannya. Untuk bercocok tanam, itu tidak dibatasi harus kalangan petani saja. Semua orang bisa. Bahkan harus bercocok tanam. Walaupun itu hanya menanam kembang atau membuat taman kecil dirumah. Hal ini baik untuk kelestarian alam sunda.


Di samping itu, agar tanah urang Sunda tidak terkesan semakin menyempit disamping kehijauannya. Mereka juga harus bisa menjaga dan jangan terlalu banyak mendirikan bangunan sembarangan, tanpa adanya tata kota yang teratur.


Memasuki era modern, hasrat manusia untuk bermegah dan menghiasi kehidupan dengan bangunan besar dan mewah, memang tidak bisa dihentikan, termasuk untuk urang Sunda. Namun, tetap saja harus diingat dan diperhatikan, bahwa manusia itu sangat membutuhkan alam yang hijau dengan kesuburannya. Apalah arti bangunan-bangunan megah, jika alam sebagai central pondasi paku buminya tidak bersahabat. Artinya, tanah bisa menjadi rapuh jika tidak ada tumbuhan yang "hidup di atasnya".


Selain itu, banyaknya bangunan besar dengan tumbuhan yang langka, akan menimbulkan ketidak nyamanan populasi atau ekologis. Contoh konkretnya yaitu, suasana tidak nyaman atau terasa gerah. Bukannya tidak boleh mendirikan bangunan, akan tetapi keteraturan pendirian bangunan harus dijaga. Dan yang terpenting jangan sampai mengikis tanah sunda yang hijau nan subur ini.


Dengan demikian, menjaga atau melestarikan tanah sunda, disamping sebagai kewajiban urang Sunda atas hubungannya dengan Tuhan. Juga yang pasti, melestarikan tanahnya berarti menjaga kehidupannya dari kepunahan atau setidaknya dari ketidak nyamanan hidup. Bukankah tanah sunda itu nyaman untuk dihuni oleh manusia?

Gogorolongan Permainan Kreatif "Barudak Sunda"

Oleh DASAM SYAMSUDIN

Waktu saya kecil, di kampung sedang musim mainan berupa gogorolongan. Menyaksikan teman-teman bermain gogorolongan sepertinya mengasikan. Saya merengek kepada bapak, agar dibuatkan mainan tersebut. Namun, bapak malah ngasih golok dan sebatang kayu, kemudian menyuruh membuat sendiri mainan tersebut. Dengan terpaksa saya mencobanya, dan memang membuat mainan itu tidak sulit. Walaupun jelek saya berhasil membuatnya.

Gogorolongan termasuk alat permainan tradisonal yang biasa dimainkan oleh anak laki-laki. Dikatakan gogorolongan, karena mainan ini ngagorolong (bisa maju dengan menggunakan roda karena di dorong). Gambaran sederhananya, gogorolongan bentuknya seperti roda yang didorong. Karena menggunakan dua roda, kiri dan kanan. Maka, di daerah tertentu ada yang mengatakannya rorodaan. Kemudian, ditengah-tengah roda bisa dibuat semacam segi empat kalau tidak bisa, cukup dengan ngas (dudukan batang penyambung antara dua roda agar bisa berputar dan tidak lepas. Nah, yang terakhir mainan ini menggunakan sebatang kayu kira-kira sebesar jempol yang panjangnya kira-kira satu meteran atau disesuaikan ukuran pengguna. Fungsi kayu ini sebagai pengendali yang dipegang anak untuk mendorong roda tersebut agar ngagorolong. (maju).
Menumbuhkan kreativitas

Mainan ini bisa terbuat dari kayu, bambu, atau sandal bekas, khususnya sendal capit. Caranya tidak begitu sulit dan mudah dilakukan oleh anak-anak dan tentunya dengan modal yang murah, cukup kemauan dan keterampilan saja. Karena membuatnya mudah, maka, mainan ini dulu sangat di gemari anak-anak. Sebab, Anak-anak akan merasa puas apabila mereka bisa menciptakan permainan sendiri. Apalagi jika permainan itu bisa di pareasikan dengan berbagai bentuk sesuai kreasinya,

Gogorolongan bisa dimodivikasi sedemikian rupa. Sehingga kreatifitas anak membuat permainan ini terus meningkat. Semua anak ingin mainanya lebih bagus. Untuk mendapatkan itu, ia terus membuat dan memperbaiki mainannya dengan dimodivikasi dan memeunculkan hal-hal baru pada mainannya. Misalnya, gogorolongan biasa (umum—disebut juga rorodaan) sudah disebutkan di atas. Ada juga gogorolongan yang memakai kaleng susu bekas, di sebut totoroktokan (karena berbunyi tok..tok dari suara kaleng yang dipukul). Yang paling sulit di buat adalah gogolorongan kopter (bentuknya seperti helikopter). Gogorolongan ini menggunakan
baling-baling yang harus berputar secara horizontal dengan dipicu oleh kedua rodanya bukan oleh angin.

Oleh karena itu, gogorolongan kopter adalah yang paling bagus, apalagi jika si anak mampu memadukan antara baling-baling dengan kaleng susu. Maka, mainan ini akan sangat menarik, disamping baling-balingnya berputar, juga menimbulkan bunyi tok.tok.
Nah, hal seperti ini dengan tidak disadari telah menumbuhkan kreativitas anak membuat dan menciptakan sesuatu, kendati itu hanya sebuah mainan. Namun, lama-kelamaan dari kebiasaanya membuat sebuah mainan, akan menumbuhkan kreativitasnya membuat sesuatu yang baru untuk menyenangkan hatinya. Perihal demikian sangat mungkin, jika anak telah terbiasa denga kreativitas membuat sesuatu. Tidak niscaya suatu saat ia akan membuat sesuatu yang sangt menarik dan bermanfaat bagi orang banyak. Dengan demikian, membudayakan kembali membuat gogorolongan sangat baik sekali untuk memicu kreativitas anak. Oleh karena itu, tidak ada salahnya, bahkan bagus jika gogorolongan kembali di budayakan di jawa Barat, khususnya masyarakat sunda.
Menumbuhkan kolektifisme

Bermain gogorolongan, sepintas sepertinya menjenuhkan. Apalagi jika di mainkan sendiri. Namun, jika dimainkan secara kolektif baik itu balapan, atau berkumpul memodivikasi permaianan tersebut. Atau juga keliling kampung rame-rame dengan berbagai bentuk gogorolongan buatan masing-masing. Semua itu sangat mengasikan dan membahagiakan. Bagaimana tidak? Permaianan yang diciptakan sendiri, tentu jauh lebih bangga dari pada membeli karya orang lain. Perilaku bermain seperti ini juga mempunyai sisi positif, yaitu si
anak akan terbiasa hidup bersama. Dengan demikian, kebiasaan hidup bersama atau berkumpul akan membuka kran interaksi sosial dengan mudah. Kebersamaan ini akan menumbuhkan jiwa solidaritas, saling tolong menolong, saling berbagi pengetahuan (pengalaman membuat
permainan), saling membagi ide cara membuat permainan baru dan bagus, dan lain sebagainya.

Dari hal yang dianggap kecil ini, lama kelamaan akan menumbuhkan pembelajaran bagi diri si anak betapa pentingnya hidup bersosial dengan masyarakat. Karena, hubungan sosial antar anak mulai terdidik dan terbangun, walaupun hanya dari sebuah permainan yang dimainkan
secara kolektif. Jika demikian, seyogianya orang tua atau masyarakat harus mengembangkan kembali budaya yang hampir ditinggalkan anak-anak ini. Kita terbiasa memanjanya dengan membeli mainan di toko. Sehingga anak suka meminta sesuatu tanpa berusaha mencari atau membuatnya terlebih dahulu (kurang kreatif). Gogorolongan memang salah satu mainan tradisonal, akan tetapi mempunyai keunggulan dan efek positif pada anak, yaitu menumbuhkan kreatifitas dan menanamkan kolektifisme. Maka, membudayakannya kembali, berarti melestarikan budaya tradisonal masyarakat.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...