Carpon KI DASAM SYAMSUDIN
"Terimakasih Atas Kunjungannya, Semoga Anda Banyak Rezeki, Banyak Anak, Dan Masuk Surga. SALAM CINTA"
Mom, I Can Do It!
“Mom, I can do it” kamu tahu siapa yang mengatakan itu? Tidak! Baik aku kasih tahu. Pelakukanya adalah anak kecil. Anak yang belum bisa baca. Anak yang belum berakal. Anak yang sekarang aku sanjung. “good for you baby”. Yah, itu pujian terhebat untukmu. Tapi, kalau udah besar jangan mau dipuji yah sayang! Karena puji itu milik? Milik siapa? Allah! Pinter. Jangan ge er aku tidak bicara denganmu. Aku bicara dengan anak kecil yang akan aku ceritakan. You ready? Go!!!!!!!
Jaman dahulu kala. Jaman sekaranmg kala. Yang akan datang jangan pernah ada kala. Ada seorang. Dua orang. Bukan, tiga orang. Mereka Umm, Abb, dan sobiy-nya. Konkretnya, ayah, ibu dan balitanya. Astaghfirullah, hiji deui Kakeknya. Kakek dari anaknya. Bapak dari mereka berdua.
Sekarang aku akan jelaskan “bio-sedih” kakkkkeeeek.... bapak mereka aja ach. Bapak mereka sudah tua juga sudah yatim piatu. Menurutku aja bapaknya. Kalau menurut mereka mungkin tingkatan pembantu. Bahkan, bisa lebih down dari itu. Mau bukti? Dikatakan pembantu. Karena letak kamarnya gak sepantasnya ditempati oleh seorang yang kaya raya. Jangan salah faham. Bapaknya yang kaya bukan anaknya. Tapi, karena itu si bapak sudah tua. Jadi, me-re-ka me-nem-pat-kan-nya di ka-mar pem-ban-tu-nya titik lebih sadis bin kejam. Mereka juga memperlakukannya seakan-olah seperti budak alias hamba sahaya. Kenapa? Why?limadza?paraghraf dua aja yach jawabannya. Kan ada oven ending! He... he.... santai aja broh.TAPI SERIUS!!! Tegas. Ingat ini kalimat tegas. Yang gede itu.
Mereka menganggap sudah tidak butuh lagi bapaknya. Kenapanya udah diatas langsung jawabannya aja. Karena bapaknya sudah tidak produktif. Tidak manfa’at. Tidak memberikan sesuatu yang memuaskan mereka. Itu menurut mereka.So,waktu makan aja. Mereka menempatkannya di tempat lain. Tempat yang serba kotor. Mejanya jelek. Orangnya udah pasti. Eith!!! Jangan su’udzon aku mau katain jelek. Orangnya emang tua dan udah bau tanah. Tapi kalau bapaknya? Kenapa mereka memberi makan yang serba kurang bergizi. Sadisnya lagi. Saat bapaknya gak disiplin. Memecahkan seekor piring. Maksudnya sebunder. Tapi piring juga manusia. Manusia yang gak menggunakan akalnya it is piring. Dia langsung marah. Di bentak, di caci, di bego-bego-in. Pokoknya murka abis. “Bapak, tua banget sih! Udah tahu piring di pecahin. Mahal itu pak!”. Ia mahal. Mahal bagi orang yang makan uang bapaknya sendiri. Udah keringatnya dimakan. “disedoooooooooot....” pula darahnya. Bajingan kau nak! Ma’af aku gak bisa membiarkan orang tua di aniaya.
“Mas, jangan kasar ih. Itukan bapak mu. Emang dia bego. Betul dia pikun. Juga” juga apa nyonya fuck you? Nyonya it (kembalinya ke fuck You) lanjutin ucapannya yang halus“...juga udah mau mati, biarin aja makan. Pake itu tuh. Pake kayu. Kan enggak pecah. Pantas lagi buat dia” oh... juga gitu yach. Sama bejadnya dong sama si bapak.
Sibapaknya makan pake kayu. Kuperjelas tindakannya dengan tulisan yang gede. Istri dan suami tak beragama itu makan dengan enak pakai piring beling. Dengan makanan yang enak-enak. Sedangkan kakek anaknya. Dihina bak pengemis. Ada yang tahu gak dimana anaknya? Si balita itu? Ada! Dia makan bersama orang tuanya, jelas dia menyaksikan kebiadaban yang dilakukan orang tuanya pada kakeknya. “Mas anak kita dimana? Kata istrinya” menjawablah suaminya “gak tahu mam”. Tuh kan, orang tua teledor anak aja gak tahu. Ssssssuuutttt! Jangan bilang anaknya dimana. Biarin biar nyariin. Anaknya ada. Ada diimajinasiku. He... he....
Anaknya lagi bikin piring dari kayu buat bapaknya dan mamanya. Inilah yang dikatakan the nature of law.
“Sayang lagi ngapain kamu” kata mamanya. Ketemu juga anaknya
“Lagi bikin piring kayu” kata anaknya itu.
“Buat apa sayang. Itukan kotor!” maksudnya melarang. Jangan- jangan pura – pura gak tahu tanda seru dech.
“Buat mama dan papa. Nanti kalau mama dan papa udah tua. Makannya pake ini” mantepnya anak ini. This is senjata makan tuan. “Lebok piring ma... paa” ma’ap aku ikut campur. Ini adalah kewajibanku sebagai.... gak penting.
Kaget bukan kepalang orang tuanya. Udah ach cape ngetik. Singkatnya mereka taubat dan sadar. Bagus nak, jadilah anak yang berguna bagi agama. Semua akan kau dapatkan dengan agama.
Ma’af banget. Neneknya gak di ceritakan. Samakan saja kondisinya dengan kakeknya si anak itu. Biasa zaman sekarang. Orang tua ada diabstrakin sama anaknya.
“Mom, I can do it” kata anaknya. Maksudnya cari aja di kamus. Pokoknya yang serba Inggris cari yach maksudnya. Zaman sekarang gak ngerti Inggris. Bahasanya maksudnya. Nambah repot biaya sekolah aja. Jadi, so, for you all. Do the best for your parents. Dont forget!!!!!Promise in the name of our god the benificvent and the marcifule.
Jaman dahulu kala. Jaman sekaranmg kala. Yang akan datang jangan pernah ada kala. Ada seorang. Dua orang. Bukan, tiga orang. Mereka Umm, Abb, dan sobiy-nya. Konkretnya, ayah, ibu dan balitanya. Astaghfirullah, hiji deui Kakeknya. Kakek dari anaknya. Bapak dari mereka berdua.
Sekarang aku akan jelaskan “bio-sedih” kakkkkeeeek.... bapak mereka aja ach. Bapak mereka sudah tua juga sudah yatim piatu. Menurutku aja bapaknya. Kalau menurut mereka mungkin tingkatan pembantu. Bahkan, bisa lebih down dari itu. Mau bukti? Dikatakan pembantu. Karena letak kamarnya gak sepantasnya ditempati oleh seorang yang kaya raya. Jangan salah faham. Bapaknya yang kaya bukan anaknya. Tapi, karena itu si bapak sudah tua. Jadi, me-re-ka me-nem-pat-kan-nya di ka-mar pem-ban-tu-nya titik lebih sadis bin kejam. Mereka juga memperlakukannya seakan-olah seperti budak alias hamba sahaya. Kenapa? Why?limadza?paraghraf dua aja yach jawabannya. Kan ada oven ending! He... he.... santai aja broh.TAPI SERIUS!!! Tegas. Ingat ini kalimat tegas. Yang gede itu.
Mereka menganggap sudah tidak butuh lagi bapaknya. Kenapanya udah diatas langsung jawabannya aja. Karena bapaknya sudah tidak produktif. Tidak manfa’at. Tidak memberikan sesuatu yang memuaskan mereka. Itu menurut mereka.So,waktu makan aja. Mereka menempatkannya di tempat lain. Tempat yang serba kotor. Mejanya jelek. Orangnya udah pasti. Eith!!! Jangan su’udzon aku mau katain jelek. Orangnya emang tua dan udah bau tanah. Tapi kalau bapaknya? Kenapa mereka memberi makan yang serba kurang bergizi. Sadisnya lagi. Saat bapaknya gak disiplin. Memecahkan seekor piring. Maksudnya sebunder. Tapi piring juga manusia. Manusia yang gak menggunakan akalnya it is piring. Dia langsung marah. Di bentak, di caci, di bego-bego-in. Pokoknya murka abis. “Bapak, tua banget sih! Udah tahu piring di pecahin. Mahal itu pak!”. Ia mahal. Mahal bagi orang yang makan uang bapaknya sendiri. Udah keringatnya dimakan. “disedoooooooooot....” pula darahnya. Bajingan kau nak! Ma’af aku gak bisa membiarkan orang tua di aniaya.
“Mas, jangan kasar ih. Itukan bapak mu. Emang dia bego. Betul dia pikun. Juga” juga apa nyonya fuck you? Nyonya it (kembalinya ke fuck You) lanjutin ucapannya yang halus“...juga udah mau mati, biarin aja makan. Pake itu tuh. Pake kayu. Kan enggak pecah. Pantas lagi buat dia” oh... juga gitu yach. Sama bejadnya dong sama si bapak.
Sibapaknya makan pake kayu. Kuperjelas tindakannya dengan tulisan yang gede. Istri dan suami tak beragama itu makan dengan enak pakai piring beling. Dengan makanan yang enak-enak. Sedangkan kakek anaknya. Dihina bak pengemis. Ada yang tahu gak dimana anaknya? Si balita itu? Ada! Dia makan bersama orang tuanya, jelas dia menyaksikan kebiadaban yang dilakukan orang tuanya pada kakeknya. “Mas anak kita dimana? Kata istrinya” menjawablah suaminya “gak tahu mam”. Tuh kan, orang tua teledor anak aja gak tahu. Ssssssuuutttt! Jangan bilang anaknya dimana. Biarin biar nyariin. Anaknya ada. Ada diimajinasiku. He... he....
Anaknya lagi bikin piring dari kayu buat bapaknya dan mamanya. Inilah yang dikatakan the nature of law.
“Sayang lagi ngapain kamu” kata mamanya. Ketemu juga anaknya
“Lagi bikin piring kayu” kata anaknya itu.
“Buat apa sayang. Itukan kotor!” maksudnya melarang. Jangan- jangan pura – pura gak tahu tanda seru dech.
“Buat mama dan papa. Nanti kalau mama dan papa udah tua. Makannya pake ini” mantepnya anak ini. This is senjata makan tuan. “Lebok piring ma... paa” ma’ap aku ikut campur. Ini adalah kewajibanku sebagai.... gak penting.
Kaget bukan kepalang orang tuanya. Udah ach cape ngetik. Singkatnya mereka taubat dan sadar. Bagus nak, jadilah anak yang berguna bagi agama. Semua akan kau dapatkan dengan agama.
Ma’af banget. Neneknya gak di ceritakan. Samakan saja kondisinya dengan kakeknya si anak itu. Biasa zaman sekarang. Orang tua ada diabstrakin sama anaknya.
“Mom, I can do it” kata anaknya. Maksudnya cari aja di kamus. Pokoknya yang serba Inggris cari yach maksudnya. Zaman sekarang gak ngerti Inggris. Bahasanya maksudnya. Nambah repot biaya sekolah aja. Jadi, so, for you all. Do the best for your parents. Dont forget!!!!!Promise in the name of our god the benificvent and the marcifule.
Rekonstruksi Pemikiran KH Ahmad Dahlan
Muhammadiyah merupakan gerakan umat Islam yang lahir di Yogyakarta 18 Nopember 1912. Yang perkembangannya, terutama sejak paruh kedua tahun 1920-an menunjukkan grafik meningkat. Disaat gerakan umat Islam seangkatannya justru dilanda perpecahan dan perlahan menunjukkan grafik penurunan, yaitu Sarekat Islam (SI). Yang saat itu SI pecah karena infiltrasi komunis, sehingga muncul SI “Merah” yang jadi onderbow PKI (1920).
Dengan melihat perkembangan Muhammadiyah ini ada sebagian yang menyebutkan sejarah Indonesia 1925-1945 adalah sejarah Muhammadiyah. Mungkin ini tidak berlebihan. Pernyataan ini menyiratkan betapa besar peranan gerakan Muhammadiyah atau kader-kader Muhammadiyah dalam dinamika sejarah umat dan bangsa ini. Sejarah mencatat, KH Mansur penggerak MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) dan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) zaman Jepang adalah pimpinan pusat Muhammadiyah. Ki Bagus Hadikusumo, adalah pimpinan pusat Muhammadiyah yang turut merumuskan Piagam Jakarta dan berperan dalam sidang-sidang persiapan kemerdekaan. Mr.Kasman Singodimejo pun politisi yang berasal dari Muhammadiyah. Bung Karno, Ir.Juanda, Sudirman, dll tokoh bangsa ini tidak sedikit merupakan kader lulusan pendidikan Muhammadiyah.
Dalam aspek sosial gerakan Muhammadiyah pun banyak memberikan kontribusi pengembangan umat dan bangsa. Misalnya Muhammadiyah memelopori pendirian Panti Asuhan dan Rumah Sakit. Bahkan Lembaga Haji (Badan Penolong Haji) pun dirintis murid KH Ahmad Dahlan, Haji Sujak yang mengusahakan usaha perkapalan untuk jemaah haji pada tahun 1921. Bidang pendidikan itu lebih jelas lagi. Karena strategi gerakan Muhammadiyah diawali dengan perintisan dan pengembangan kader lewat jalur pendidikan formal dan non formal.
Dilihat aspek pengembangan pemikiran keagamaan, Muhammadiyah pun berada di garda depan. Di zaman Belanda Muhammadiyah berhasil upaya de-mistifikasi (penghancuran berpikir mistik) dengan gerakan rasionalisasinya, tetap tetap berpijak pada konsep Al-Qur’an dan As-Sunnah. Muhammadiyah pun mendobrak ketaklidan yang membabi buta, berpikir feodal seperti pengkultusan individu yang bisa mematikan ijtihad dan keterbukaan pikir. Muhammadiyah turut pula mendobrak kefeodalan dengan mengubah kebiasaan kurang baik, dalam proses pembelajaran al-Qur’an. Misalnya turut memelopori usaha penerjemahan Al-Qur’an, yang di zaman Belanda itu diharamkan. Muhammadiyah pun yang memelopori ibadah hari raya di lapangan pada tahun 1930-an, yang menggemparkan. Bahkan Belanda khawatir akan bergeser pada aksi massa.
Dengan pola pikir yang rasional tetapi tetap mengedepankan jiwa kemanusiaan (kecerdasan emosional), Muhammadiyah berhasil membawa umat sedikit demi sedikit untuk mempergunakan nalar rasional dengan inspirasi ajaran Qur’an dan Sunah. Dari pola pemikiran rasional tsb gerakan Muhammadiyah telah “membangunkan” kesadaran umat Islam yang sebelumnya lebih terkesan tertinggal dan menjauhi kemajuan modern dalam pengembangan sains dan teknologi. Sehingga perlahan Muhammadiyah bisa membawa umat dan bangsa untuk mensejajarkan umat dan bangsa ini dengan umat dan bangsa lainnya.
Bahkan peranan Muhammadiyah sampai kini tetap menjadi harapan umat dan bangsa, selain ormas Islam lainnya seperti NU, Persis, SI dan lain-lain. Terlebih dalam menyikapi isu-isu nasionaol dan internasional selalu tampil di depan sebagai pelopornya. Baik secara kelembagaan ataupun yang diperankan individu kader-kadernya. Pengamat politik asing seperti Samuel P Huntington dalam bukunya Benturan Peradaban menyebutkan Muhammadiyah sebagai “motor kebangkitan Islam” di Indonesia.
Analisis Huntington tersebut wajar. Sebab dalam rentang usianya mendekati satu abad, Muhammadiyah telah, sedang dan akan terus mengahasilkan kader-kader intelektual bagi umat dan bangsa. Bahkan perkembangan berikutnya tampak Muhammadiyah sedang melebarkan sayapnya menjadi gerakan internasional dengan sudah membuka cabang-cabangnya di luar negeri. Seperti di Berlin, Cairo, Teheran, Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, Australia, Amerika dst.
Dari latar belakang tersebut di atas, bila meminjam teori Hero (Tokoh) nya Thomas Carlyle bahwa pemimpin besar (The Great Man) sebagai penggerak idea akan terjadi perubahan sejarah. Bahwa idea dapat membangkitkan gerak sejarah suatu bangsa, jika ada penggeraknya yaitu pemimpin besar. Seperti halnya ajaran Islam, tidak akan berkembang tanpa kehadiran dan peranan pemimpin besarnya, nabi Muhammad saw. Dengan memakai pendekatan teori sejarah ini, maka gerakan Muhammadiyah tidak akan berkembang dan berpengaruh besar sampai kini jika tanpa kehadiran ideolog dan penggerak awalnya KH Ahmad Dahlan.
Karena itu mencermati dan melakukan studi atas pemikiran KH Ahmad Dahlan menjadi penting dilakukan. Ini akan berguna untuk memahami dinamika perkembangan Muhammadiyah khususnya, dan dinamika umat Islam dan bangsa Indonesia.
Latar belakang Keluarga KH Ahmad Dahlan
KH Ahmad Dahlan terlahir 1868 dengan nama kecil Muhammad Darwis. Ayahnya Barulah sepulang menunaikan ibadah haji namanya berganti menjadi Ahmad Dahlan. Kauman, kampung kelahirannya unik karena nilai historisnya. Sebagaimana area kauman di kota-kota di Jawa Tengah, kampung Kauman di Yogyakarta juga terletak di sekitar Masjid Besar Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Tepatnya di sisi Barat Alun-alun Utara. KH Ahmad Dahlan dilahirkan dari ibu bernama Siti Aminah dan ayahya KH Abu Bakar. Ayahnya adalah pejabat agama Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yaitu sebagai Imam dan Khatib Masjid Besar Kraton.
Dari Garis ibu, KH Ahmad Dahlan adalah cucu Penghulu Kraton yaitu KH Ibrahim. Sementara dari garis ayahnya, KH Ahmad Dahlan masih memiliki hubungan darah dengan Syekh Maulana Malik Ibrahim (penyebar Islam di Gresik pada abad ke 15) sebagai turunan ke-11.
KH Ahmad Dahlan naik haji pertama kali tahun 1890, dalam usia 22 tahun. Tiga belas tahun kemudian (1903) naik haji kedua kalinya bersama putra laki-lakinya, Siraj Dahlan yang kadang dipanggil Djumhan. Sepulang ibadah haji tahun 1904-1905, beliau mendirikan pondok untuk menampung para pelajar dari luar daerah yang belajar di Yogyakarta.
Setelah berumur 24 tahun, Kiai Dahlan menikahi Siti Walidah, sepupunya sendiri yang kemudian dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan. Dari pernikahannya dikaruniai 6 anak, yaitu: Siti Johannah (lahir 1890), Siraj Dahlan (lahir 1898), Siti Bsyro (lahir 1903), Siti Aisyah (lahir 1905), Irfan Dahlan dan Siti Aisyah (lahir kembar), dan Siti Zuharoh (lahir 1908).
KH Ahmad Dahlan tidak pernah menjalani pendidikan formal dengan memasuki sekolah tertentu. Namun ia menguasai beragam ilmu yang diperoleh secara otodidak baik berguru kepada ulama atau seorang ahli, atau dengan memebaca buku atau kitab-kitab. Ilmu-ilmu yang dikuasainya atau pernah dipelajarinya yaitu: Nahwu (tata bahasa Arab), Ilmu Fiqih, Ilmu Falaq, Ilmu Hadits, Qiroatul Qur’an, Ilmu Pengobatan dan Racun, serta Tasawuf.
Guru-guru Kiai Ahmad Dahlan sebagaian dari dalam negeri dan lainnya dari luar negeri khususnya Saudi Arabia. Guru-gurunya antara lain: ayahnya sendiri (KH Abu Bakar), KH Mohammad Shaleh (Kakak iparnya), untuk ilmu Fiqih, KH Muchsin dan KH Abdul Hamid untuk ilmu Nahwu, KH Raden Dahlan (Pesantren Termas), untuk ilmu falaq, Kiai Machfud (Pesantren Termas) untuk ilmu Fiqih dan Hadits, Syekh Khayyat untuk ilmu Hadits, Syekh Amin dan Sayyid Bakri Satock untuk Qiroatul Qur’an, Syekh Hasan untuk ilmu Pengobatan da Racun, Sayyid Ba-bussijjil untuk ilmu Hadits, Mufti Syafi’i untuk ilmu Hadits, Kiai Asy’ari Baceyan dan Sykeh Misri Makkah untuk Qiroatul Qur’an dan ilmu Falaq.
Kiai Ahmad Dahlan pernah bertemu dan berdialog dengan ulama-ulama luar negeri, terutama ketika bermukim di Makkah. Antara lain: Syekh Muhammad Khatib Minangkabau, Kiai Nawawi Al-Bantani, Kiai Mas Abdullah Surabaya, Kiai Faqih (Pondok Mas Kumambang) Gresik. Buku-buku dan kitab karya ulama besar yang dipelajarinya secara mandiri antara lain karya-karya: Imam Syafi’i, Imam Al-Ghazali, IbnuTaimiyah, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha.
Jalan Hidup Kiai Ahmad Dahlan
Sebelum Muhammadiyah berdiri, Kiai Ahmad Dahlan telah melakukan berbagai kegiatan keagamaan dan dakwah. Tahun 1906, Kiai diangkat sebagai khatib Masjid Besar Yogyakarta dengan gelar Ketib Amin. Satu tahun kemudian (1907) Kiai memelopori Musyawarah Alim Ulama. Dalam rapat pertama beliau menyampaikan arah kiblat Masjid Besar kurang tepat.
Tahun 1922 Kiai membentuk Badan Musyawarah Ulama. Tujuan badan itu ialah mempersatukan ulama di seluruh Hindia Belanda dan merumuskan berbagai kaidah hukum Islam sebagai pedoman pengamalan Islam khususnya bagi warga Muhammadiyah. Badan Musyawarah ini diketuai RH Moehammad Kamaludiningrat, penghulu Kraton. Meskipun pernah berbeda pendapat, Moehammad Kamaludiningrat ini yang mendorong para pimpinan Muhammadiyah kemudian membentuk Majelis Tarjih (1927). Majelis ini diketuai Kiai Mas Mansur. Dengan tujuan dakwah agar manusia berfikir dan tertarik pada kebagusan Islam melalui pembuktian jalan kepandaian dan ilmu.
Tahun 1909, Kiai Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo. Tujuannya selain sebagai wadah semangat kebangsaan, juga untuk memperlancar aktivitas dakwah dan pendidikan Islam yang dilakukannya. Ketika Muhammadiyah terbentuk, bahkan 7 orang pengurusnya menyusul bergabung dengan Boedi Oetomo. Hubungan Muhammadiyah dengan Boedi Oetomo sangat erat, sehingga Kongres Boedi Oetomo tahun 1917 diselenggarakan di rumah Kiai Ahmad Dahlan.
Di sisi lain Dr.Soetomo—pendiri Boedi Oetomo—juga banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan Muhammadiyah dan menjadi Penasehat (Adviseur Besar) Muhammadiyah. Dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 (Surabaya), Dr.Soetomo memberikan ceramah (khutbah) dengan tema Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Khutbah ini yang mendorong lahirnya PKO dengan rumah sakit dan panti asuhannya kemudian. Dr.Soetomo pun membantu memperlancar pengesahan berdirinya Muhammadiyah, tiga tahun setelah berdirinya.
Keanggotaannya di Boedi Oetomo memberikan kesempatan luas berdakwah kepada para anggota Muhammadiyah dengan mengajar agama Islam kepada siswa-siswa yang belajar di sekolah Belanda. Antara lain Kweeck School di Jetis. OSVIA (Opleiding School Voor Indlandsch Amtenaren), Sekolah Pamong Praja (Magelang). Selain dakwah yang diadakan di rumahnya di Kauman.
Tahun 1908-1909, Kiai Dahlan mendirikan sekolah yang pertama yaitu Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah (setingkat SD). Kegiatan belajar mengajarnya diadakan di ruang tamu rumahnya yang berukuran 2,5 x 6 meter. Meskipun demikian sudah dikelola secara modern dengan menggunakan metode dan kurikulum. Dengan menggunakan papan tulis, meja, dan kursi. Sistem pengajarannya secara klasikal. Waktu merupakan sesuatu yang sangat asing bagi sekolah pribumi. Untuk pertama kali muridnya hanya 6 orang. Dan setengah tahun kemudian meningkat menjadi 20 orang.
Ketika besluit pengakuan sah Muhammadiyah keluar dari pemerintah Belanda tahun 1914, Kiai Ahmad Dahlan pun mendirikan perkumpulan kaum ibu yaitu Sapatresna. Yang tahun 1920, kemudian diubah namanya jadi Aisiyah. Tugas pokoknya mengadakan pengajian khusus bagi kaum wanita. Dengan ciri khusus peserta pengajian Sapatresna diwajibkan memakai kerudung dari kain sorban berwarna putih. Perkumpulan ini pertama kali dipimpin Nyai Ahmad Dahlan.
Tahun 1920 didirikan Panti Asuhan Yatim Piatu Muhammadiyah. Dan tahun 1922 didirikan Nasyiatul Asiyiyah (NA), yang semula bagian dari Aisiyyah kalangan muda. Sedangkan tahun 1918 didirikan kepanduan Hizwul Wathan (HW) bagi kalangan angkatan muda. Diketuai Haji Muhtar. Diantara alumni HW (yang juga berkembang di Banyumas) adalah Jenderal Sudirman. Tahun 1917 Kiai Ahmad Dahlan mendirikan pengajian Malam Jum’at sebagai forum dialog dan tukar pikiran warga Muhammadiyah dan masyarakat simpatisan. Dari forum ini kemudian lahir Korps Mubaligh keliling, yang bertugas menyantuni dan memperbaiki kehidupan yatim piatu, fakir miskin, dan yang sedang dilanda musibah.
Tahun 1918 didirikan sekolah Al Qism Al Arqa, yang dua tahun kemudian menjadi Pondok Muhammadiyah di Kauman. Tahun 1921 berdiri badan yang membantu kemudahan pelaksanaan ibadah haji bagi orang Indonesia, yakni Penolong Haji. Selain itu mendirikan pula mushala kaum wanita, sebagai yang pertama di Indonesia.
Untuk mendukung aktivitasnya, Kiai Dahlan menyerahkan harta benda dan kekayaannya sebagai modal bagi perjuangan dan gerak langkah Muhammadiyah. Kiai seringkali melelang perabot rumah tangganya untuk mencukupi keperluan dana bagi gerakan Muhammadiyah.
Tahun 1922 Muhammadiyah sudah memiliki 9 sekolah dengan 73 orang guru dan 1019 siswa. Yaitu Opleiding School di Magelang, Kweeck School (Magelang), Kweeck School (Purworejo), Normal School (Blitar), NBS (Bandung), Algemeene Midelbare School (Surabaya), Hoogers Kweeck School (Purworejo).
Pada tahun 1921 Muhammadiyah sudah memiliki 5 cabang yaitu: Srandakan (Yogyakarta), Imogiri (Yogyakarta), Blora (Jawa Tengah), Surakarta (Jawa Tengah), Kepanjen, Malang (Jawa Timur). Tahun 1922 menyusul berdiri cabang Muhammadiyah di: Solo, Purwokerta, Pekalongan, Pekajangan, Jakarta, Garut (Jawa Barat), dan Sungai Liat (Bangka).
Selain itu Muhammadiyah sudah menerbitkan majalah yaitu Suara Muhammadiyah (SM) sejak tahun 1914. dan Kiai Ahmad Dahlan duduk sebagai Staf Redaksi. Kemudian Muhammadiyah pun mendirikan Perpustakaan pada tahun 1922, untuk para anggota dan Umat Islam pada umumnya.
Hubungan pergaulan Kiai Ahmad Dahlan sangat luas. Selain di Muhammadiyah dan Boedi Oetomo, Kiai Dahlan merupakan komisariat Central Sarekat Islam (SI) dan Adviseur (Penasehat Pusat) SI. Sekaligus ahli propaganda dari aspek dakwah bagi SI. Bahkan kiai ini termasuk rombongan yang mewakili pengurusan pengeshan Badan Hukum Sarekat Islam, bersama Cokroaminoto. Aktivitasnya di SI sejak tahun 1913. Selain di SI, Muhammadiyah, dan Boedi Oetomo, jauh sebelum mendirikan Muhammadiyah Kiai Ahmad Dahlan pun menjadi anggota perkumpulan Jami’atul Khair (1905) dari kalangan pribumi, bersama Husein Jayadiningtrat. Luasnya hubungan Kiai Ahmad Dahlan bisa dilihat dari donatur Muhammadiyah yang terdiri dari bermacam kalangan. Antara lain para pemimpin SI, organisasi Islam di pulau Jawa dan luar Jawa. Juga para politisi dan Birokrat seperti Pegawai Jawata Kereta Api dan Irigasi.
Itulah amal perjuangan KH Ahmad Dahlan. Yang banyak melakukan rintisan amal sosial. Sehingga dakwah Islam yang digerakan Muhammadiyah bukan berputar-putar sekedar pada wacana, tapi aksi sosial. Tapi setiap wacana harus dijalankan dalam konteks sosial. Melihat perilaku gerakan KH Ahmad Dahlan tampak jelas KH Ahmad Dahlan merupakan sosok manusia amal (man of action). Namun demikian bukan berarti beliau tidak mampu berpropaganda atau menulis, tapi Kiai Ahmad Dahlan membuktikan dirinya sebagai manusia yang memiliki integritas sebagai muslim. Yaitu adanya kesatuan antara pemikiran, ucapan, dan perbuatan. Meskipun bagi generasi selanjutnya lebih tampak Kiai ini dari sisi aksi sosialnya. Atau kesulitan menangkap pemikiran atau ide-idenya, baik terucapkan atau tertulis. Karena memang Kiai yang satu ini tidak banyak menulis, meskipun bisa menulis. Ide-ide dan pemikirannya itu terwujudkan dalam hasil karya gerakan sosial. Maka untuk menangkap sejauh mana pemikiran atau ide kiai Dahlan kita harus berusaha menangkap esensi dari amal sosial keagamaan Muhammadiyah seperti disebutkan di atas. Yang kemudian dikembangkan murid-murid dan pengikutnya.
Pemikiran dan Cita-cita KH Ahmad Dahlan
Pemikiran beliau yang bisa ditemukan secara tertulis sangat minim. Satu diantaranya tulisannya tentang pengajaran agama dalam Suara Muhammadiyah no.2 tahun 1915. Dan pidatonya dalam acara Kongres Al-Islam ke-1 di Cirebon (31 Oktober-3 Nopember 1922). Dan pidato KH Dahlan ini merupakan pemikiran seorang ulama yang bervisi jauh ke depan dalam menatap nasib generasi. Pidatonya ini berjudul “Tali Pengikat Hidup Manusia” yang isinya al: orang itu mesti beragama, dan agama itu pada mulanya bercahaya tapi makin lama makin suram. Padahal yang suram itu bukan agamanya, akan tetapi manusianya. Dalam tulisan berjudul Al-Islam dan Al-Qur’an—yang merupakan satu-satunya tulisan Dahlan yang dipublikasikan—dinyatakan adanya kekalutan dikalangan umat. Mereka pecah belah dan tidak pernah bersatu. Menurutnya, yang menyebabkan perpecahan itu adalah para pemimpin umat itu dangkal ilmunya, sehingga kalau bermusyawarah mereka selalu bersandar pada hawa nafsu dan tidak dengan ilmu. Dan para pemimpin yang berilmu tidak mengamalkan ilmunya hanya untuk bersombong dan untuk kepentingan sendiri. Bila menangkap isi ceramahnya yang dikumpulkan muridnya, HR Hadjid, tampak Kiai Dahlan itu ingin membangun masyarakat yang berjiwa sosial, yang senang berkorban untuk umat manusia. Dalam tafsir 17 Kelompok Ayat Dahlan tampak, bahwa KH Ahmad Dahlan sangat kukuh berpegang pada prinsip tauhid sebagai pijakan amal gerakannya. Namun kesalehan manusia (umat Islam) ini menurut KH Dahlan tidak berhenti pada kesalehan ibadah ritual, seperti menjalankan ibadah mahdah. Tapi harus utuh menjadi amal sosial. Itulah yang dimaksud amal saleh. Dengan merujuk antara lain, surat Al-Ma’un, KH Ahmad Dahlan berpandangan bahwa orang yang sekedar salat—secara ritual—tapi mengabaikan kepedulian sosial (antara lain ditunjukan terhadap anak yatim dan faqir miskin) itulah hakekat orang yang “lalai” (sahun) dalam salatnya. Sehingga masih terancam dengan neraka wail. Itulah pendusta agama—pembohong terhadap Allah—pura-pura saleh.
Dari tulisan KH Ahmad Dahlan dan pengungkapan HR Hadjid tentang KH Ahmad Dahlan, kita dapat menarik kesimpulan bahwa yang dalam menggerakan masyarakat untuk beramal dan berorganisasi KH Ahmad Dahlan berpegang pada beberapa prinsip yaitu: senantiasa mempertanggungjawabkan tindakan kepada Allah, perlu adanya ikatan persaudaraan berdasarkan kebenaran sejati, perlunya setiap pemimpin menambah terus ilmu sehingga bijaksana dalam mengambil keputusan, ilmu harus diamalkan, perlunya dilakukan perubahan untuk menuju keadaan lebih baik, dan mencontohkan jiwa berkorban. Jadi yang dikembangkan KH Ahmad Dahlan bukanlah sistem, tapi etos.
Dengan demikian cita-cita KH Ahmad Dahlan adalah ingin menumbuhkan masyarakat Islam. Maksud masyarakat Islam ini, masyarakat yang berkarakter Islam dengan pola sunah Muhammad saw. Yang menjadi ciri khas gerakan sunah Muhammad saw ini adalah membangun dan memberdayakan masyarakat. Mendidik masyarakat supaya terjadi perubahan perilaku menjadi berkarakter Islam dengan kesadaran dan ilmu, bukan dengan paksaan atau kekerasan. Sebagaimana yang dijalankan Muhammad saw (Sunnah). Sehingga ajaran Islam itu bisa dirasakan terasa simpatik, menyenangkan, dan menggembirakan, bukan menimbulkan anti pati, menyusahkan dan menakutkan masyarakat yang belum faham. Karena itulah usaha yang dijalankan KH Ahmad Dahlan bukanlah diartikan organisasi, tapi sebagai Gerakan bernama Persyarekatan Muhammadiyah. Muhammadiyah itu sebagai Gerakan Islam artinya yang mendukung pikiran dan ide Muhammadiyah itu sekedar orang-orang yang jadi anggota Muhammadiyah—lazimnya organisasi. Tapi yang mendukung gerakan Muhammadiyah adalah selain anggota, juga yang bukan anggota organisasi Muhammadiyah. Inilah rahasianya kenapa Muhammadiyah itu ide dan amalannya lebih besar dari organisasi Muhammadiyah atau jumlah anggotanya itu sendiri—yang menurut catatan resmi tahun 2000, tercatat sekitar 700 ribu orang.
Gagasan KH Ahmad Dahlan yang terpenting adalah terbentuknya jama’ah Islam, untuk bersama-sama berikhtiar mengamalkan ayat-ayat Al-Qur’an. Menurut pendapatnya fungsi Al-Qur’an sebagai kitab suci tidak hanya untuk dipelajari, apalagi sekedar untuk membaca dan dihafalkan. Oleh karena itu Ahmad Dahlan menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi yang diefektifkan untuk mengkaji al-Qur’an, sekaligus menjadi tempat bermusyawarah guna menyepakati pengamalannya. Oleh karenannya gerak Muhammadiyah tidak pernah lepas dari tiga amalan tersebut, ialah: pengkajian Al-Qur’an, Musyawarah, dan amal.
AKU BUKAN OFORTUNIS
“Sayang, kamu dari mana? Katanya mau jenguk aku pasca dzuhur” itu pacarku yang bicara. Dia sakit. Sakit gak parah, Cuma kangker payudara. Sumpah! Bukan aku pelakunya. Itu sudah taqdir Allah. Kamu yakin akan taqdir Tuhan. Yah, itu contohnya. Enaknya dia, sekarang nginap di Rumah Sakit Al-Islam Bandung.
“Aku baru pulang kuliah. Tadi sedikit membahas tugas di perpus sama teman” nah, ini baru aku yang bicara. Kamu tahu kan, aku salah satu mahasiswa tauladan di UIN SGD Bandung. Pacarku sama kuliah di sana.
“Oh, kirain main dulu”pacarku curiga.
“Enggak, masa main. Kan pacarku sakit mana sempet aku berbuat hal yang melalaikan menurut Allah” Jangan kau anggap aku menasehati kalian. Tapi, aku memang mahasiswa ber-religi. Ma’af maksudnya beragama.
“Sayang, duduk dongk! Kayaknya gak mau nemanin pacar yang sedang sakit” dasar wanita gombal. Bisanya merayu keimanan lelaki. Sial aku punya pacar. Udah manja, penyakitan lagi. Emang cantik, tapi, kalo penyakitan? Gak tahu ah!
“Sayang, kok diam aja” Astaghfirullah pacarku marah.
“Eh, iya. Lupa, he… he…” sedikit ketawa biar menghibur.
“Ma’af ayang, aku agak ngantuk” paling be te nich, kalau sudah datang si ngantuk. Ngerubetin juga cewek ini. Orang ngantuk diganggu.
“Sayang, kalau aku sembuh kamu mau ngasih apa?” Pacarku coba ngarayu aku dengan kata – kata yang tidak sepantasnya diucapkan oleh wanita. Seharusnya gini, “Sayang kalau aku sembuh, aku mau kasih kamu kejutan” Nah, kalau gitu aku akan doakan dia biar sembuh. Penasaran dengan kejutannya. Kalau dia ngomong gitu. Mana mau aku doain dia biar cepat sembuh. Aku aja lagi kanker (kantong kering). Ini jawabanku.
“Kalau, Ayang sembuh. Aku mau ngasih kejutan”
“Apa kejutannya?” Pacarku penasaran. Maklum wanita suka yang mengejutkan. Ma’af bukan maklum. “Dasar wanita! Maunya gitu melulu.
“Gak mau bilang ah. Namanya juga kejutan” Yah, sayang kalau kau sembuh aku akan beri kejutan. Kejutan yang dahsyat. Yakni bin yaitu, aku akan putuskan kau. Mana mau aku punya pacar penyakitan. Ihhh.... enggak deh.
“Ah, Ayang. Ada-ada aja?” Ih! “Ada-ada aja” dia bilang. Ada sayang,aku punya kejutan yang akan buat kamu lama di Rumah Sakit yang kamu impikan ini. Kami, bukan orang kaya. Makanya pacarku dulu pernah bilang, kalau sakit mau di bawa kerumah sakit. Katanya enak, ada kasur empuk dan gedungnya tinggi. Aneh emang pacar aku itu?
Aku bosan dialog dengannya. Udah aku rayu aja dia biar mau tidur.
“Santai aja Sayang. Aku pasti akan memberi kamu sesuatu yang sangat berharga. Yah, sangat... udah sekarang jangan mikir apa-apa lagi. Sekarang Ayang tidur aja. Istirahat yang tenang.”
“Iya, aku juga dah ngantuk. Tapi, cium dulu yach” Dahsyat bener rayuannya. Pake mau dicium segala. Tak adakah di dalam diri wanita rasa takut pada api neraka. Gak pernah baca apa, kalau neraka doyan wanita. Tapi, tumben Cuma minta dicium biasanya lebih menyesatkan.
“Just For you, aku tidak mau, Haram hukumnya” aku pasti menyinggungnya. Habis, bagaimana lagi, aku gak mau masuk neraka gara-gara wanita, kurang keren, mendingan nahan aja. Kali aja dapat surga, shaum.
“’Gak apa, gak mau juga. Makasih Sayang sudah perhatiin aku, I lvoe you” Itulah kata-kata terakhirnya. Sekarang dia tenang di alam lain. Bukan alam akhirat. Alam mimpi.
“I love you to honey” ini juga kata – kata terakhirku padanya. Mungkin dia akan sembuh. Dan saat itu aku akan meninggalkannya. Aku sangat mencintainya. Dan aku tak ingin menyakiti diriku. Dia cantik juga perhatian. Dan selamanya aku akan mengenangnya. Satu hal, yang tidak bisa aku berikan kepadanya. Kesetiaanku. Sayang aku bukan oportunis. Walau sekarang aku memilih diriku, daripada dirimu. Terlalu aku menginginkanmu. Lebih dari itu, aku ingin tubuhmu. Namun aku gak mau oportunis. Kata nenekku, pacaran itu kurang baik kalau jauh dari pernikahan.
“Aku baru pulang kuliah. Tadi sedikit membahas tugas di perpus sama teman” nah, ini baru aku yang bicara. Kamu tahu kan, aku salah satu mahasiswa tauladan di UIN SGD Bandung. Pacarku sama kuliah di sana.
“Oh, kirain main dulu”pacarku curiga.
“Enggak, masa main. Kan pacarku sakit mana sempet aku berbuat hal yang melalaikan menurut Allah” Jangan kau anggap aku menasehati kalian. Tapi, aku memang mahasiswa ber-religi. Ma’af maksudnya beragama.
“Sayang, duduk dongk! Kayaknya gak mau nemanin pacar yang sedang sakit” dasar wanita gombal. Bisanya merayu keimanan lelaki. Sial aku punya pacar. Udah manja, penyakitan lagi. Emang cantik, tapi, kalo penyakitan? Gak tahu ah!
“Sayang, kok diam aja” Astaghfirullah pacarku marah.
“Eh, iya. Lupa, he… he…” sedikit ketawa biar menghibur.
“Ma’af ayang, aku agak ngantuk” paling be te nich, kalau sudah datang si ngantuk. Ngerubetin juga cewek ini. Orang ngantuk diganggu.
“Sayang, kalau aku sembuh kamu mau ngasih apa?” Pacarku coba ngarayu aku dengan kata – kata yang tidak sepantasnya diucapkan oleh wanita. Seharusnya gini, “Sayang kalau aku sembuh, aku mau kasih kamu kejutan” Nah, kalau gitu aku akan doakan dia biar sembuh. Penasaran dengan kejutannya. Kalau dia ngomong gitu. Mana mau aku doain dia biar cepat sembuh. Aku aja lagi kanker (kantong kering). Ini jawabanku.
“Kalau, Ayang sembuh. Aku mau ngasih kejutan”
“Apa kejutannya?” Pacarku penasaran. Maklum wanita suka yang mengejutkan. Ma’af bukan maklum. “Dasar wanita! Maunya gitu melulu.
“Gak mau bilang ah. Namanya juga kejutan” Yah, sayang kalau kau sembuh aku akan beri kejutan. Kejutan yang dahsyat. Yakni bin yaitu, aku akan putuskan kau. Mana mau aku punya pacar penyakitan. Ihhh.... enggak deh.
“Ah, Ayang. Ada-ada aja?” Ih! “Ada-ada aja” dia bilang. Ada sayang,aku punya kejutan yang akan buat kamu lama di Rumah Sakit yang kamu impikan ini. Kami, bukan orang kaya. Makanya pacarku dulu pernah bilang, kalau sakit mau di bawa kerumah sakit. Katanya enak, ada kasur empuk dan gedungnya tinggi. Aneh emang pacar aku itu?
Aku bosan dialog dengannya. Udah aku rayu aja dia biar mau tidur.
“Santai aja Sayang. Aku pasti akan memberi kamu sesuatu yang sangat berharga. Yah, sangat... udah sekarang jangan mikir apa-apa lagi. Sekarang Ayang tidur aja. Istirahat yang tenang.”
“Iya, aku juga dah ngantuk. Tapi, cium dulu yach” Dahsyat bener rayuannya. Pake mau dicium segala. Tak adakah di dalam diri wanita rasa takut pada api neraka. Gak pernah baca apa, kalau neraka doyan wanita. Tapi, tumben Cuma minta dicium biasanya lebih menyesatkan.
“Just For you, aku tidak mau, Haram hukumnya” aku pasti menyinggungnya. Habis, bagaimana lagi, aku gak mau masuk neraka gara-gara wanita, kurang keren, mendingan nahan aja. Kali aja dapat surga, shaum.
“’Gak apa, gak mau juga. Makasih Sayang sudah perhatiin aku, I lvoe you” Itulah kata-kata terakhirnya. Sekarang dia tenang di alam lain. Bukan alam akhirat. Alam mimpi.
“I love you to honey” ini juga kata – kata terakhirku padanya. Mungkin dia akan sembuh. Dan saat itu aku akan meninggalkannya. Aku sangat mencintainya. Dan aku tak ingin menyakiti diriku. Dia cantik juga perhatian. Dan selamanya aku akan mengenangnya. Satu hal, yang tidak bisa aku berikan kepadanya. Kesetiaanku. Sayang aku bukan oportunis. Walau sekarang aku memilih diriku, daripada dirimu. Terlalu aku menginginkanmu. Lebih dari itu, aku ingin tubuhmu. Namun aku gak mau oportunis. Kata nenekku, pacaran itu kurang baik kalau jauh dari pernikahan.
Don’t Cry
Aku pernah jalan - jalan di dunia imajinasi. Di sana ku temui seorang bocah laki – laki. Anak itu mukanya pucat. Air matanya mengalir. Menambah jelek raut wajahnya. Dia hitam, kucel dan bajunya compang camping. Tak bercelana, hanya Koran perisai bagian tubuhnya.. Sebagai orang baik aku sapa dia.
“Nak, kamu menangis jelek sekali”Mendengar itu, dia kaget. Spontan nangisnya berhenti. Mungkin ucapanku menghiburnya.
“Huk… huk… huk..” Tidak! Aku salah faham. Anak itu sekarang menangis dengan sedu sedan. Pokoknya dahsyat abis. Ma’af, next wajahnya lebih buruk dari manusia buruk rupa akibat tangisannya. Aku tahu ini salahku. Ucapanku telah menyinggungnya. Baik, sekarang kurubah pertanyaanku agar lebih manusiawi.
“Wahai seorang anak yang kesepian. Apa gerangan yang membuat engkau menangis tersedu sedan?” Sekarang dia pasti akan menjawab. Betapa manisnya pertanyaanku.
“Kamu! Kamu yang buat aku tambah sedih” What! Apa! Masya Allaht. Kok dia nyalahin aku. Jujur, aku tersinggung. Kudebat aja tuduhannya.
“Aku! Kurang ajar… Kok kamu nyalahin aku” Sekarang aku kesal pada anak itu. Dasar anak manusia. Gak sopan pada wong tua. Apa dia tidak berpendidikan.
“Iya, kamu. Udah tahu lagi sedih. Malah di bilang jelek.” Bicara sambil nangis dia. Menambah jelek wajahnya.
“Eh… kamu ini gimana sih. Masa aku harus bohong. Kamu itu memang jelek. Huk… huk….” Anak gak beragama. Masa mau menjadikan dirinya fitnah. Kalau udah jelek, ya jelek aja. Kejujuran malah di fitnah. Dasar zaman edan.
“Kamu! Orang tua tidak berperasaan. Huak… huak…huak…”Eh, nangisnya malah nambah kencang aja. Ya Tuhanku. Aku harus bagaimana? Haruskan aku bohong padanya. Bahwa ia wajahnya genteng. Terima kasih Tuhan. Sekarang aku tahu solusinya.
“Wahai anak yang cakep. Putih dan baik. Kalau kamu nangis terus. Kamu akan tambah jelek. Bisa muntah aku dibuatynya. Coba kamu berhenti nangis. Kemudian senyum, pasti akan lebih ganteng.”Tuhan ma’afkan aku. Jelas, aku telah memfitnahnya.
“Masa! Aku ganteng? He… he…”Dia tersenyum gembira. “Duh! Betapa sial nasib anak ini. Tak ada perubahan padanya. Dia memang jelek.” Tuhan ma’afkan aku telah mengungkapkannya.
“Nah, kalau senyum kan. Ehm…. Kamu jadi ehm… jel…”
“Jel… apa Om?” anak itu penasaran.
“Jel… jelas gantengnya” Dia kira siapa dirinya. Mau dikatakan ganteng.
“Eh, kenapa sih kamu nangis?”Aku interogasi dia. Penasaran.
“Ini Om. Aku belum makan. Ngamen gak ada yang ngasih” Dia curhat padaku. Sok kenal banget anak ini.
“Emang orang Tuamu kemana?” Aku nanya dia. Aku kan orang baik.
“Gak tahu. Udah mati kali. Biasa Om. Yatim. Nyumbang dong Om.” Anak itu coba ngerayu aku. Jangan harap kau bisa menggodaku nak.
“Beruntung kau gak punya orang Tua. Lumayan tuh, ada tempat khusus di Surga. Sebelas-dua belas dengan Nabi.” Ingin rasanya aku seperti dia. Disurganya, bukan yatimnya.
“Om, Surga makanan apa ya? Atau apa Om?”Anak malang. Surga gak kenal.
“Surga itu gehu! Surga itu, tempat yang indah di akhirat nanti. Kalau kau jadi anak baik dan soleh. Kau akan masuk sana. Juga wajahmu gak jelek lagi.” seperti ulama juga aku. Bisa ceramah.
“Betul gitu Om. Nyumbang donk Om biar Om masuk surga.” Sekarang aku kena rayuan anak ini.
“Yah, baru sekarang aku termakan omongan sendiri. Ok. Nih gocap” Jujur, aku ikhlas ngasih anak ini. Karena aku buka orang pendusta agama.
“Makasih Om. Dadah Om.” Dasar anak jelek. Udah dapat nipu orang, lari.
Itulah perjalanan imajinasiku. Menyedihkan.
Dasam Syamsudin
Aktivis IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah)
“Nak, kamu menangis jelek sekali”Mendengar itu, dia kaget. Spontan nangisnya berhenti. Mungkin ucapanku menghiburnya.
“Huk… huk… huk..” Tidak! Aku salah faham. Anak itu sekarang menangis dengan sedu sedan. Pokoknya dahsyat abis. Ma’af, next wajahnya lebih buruk dari manusia buruk rupa akibat tangisannya. Aku tahu ini salahku. Ucapanku telah menyinggungnya. Baik, sekarang kurubah pertanyaanku agar lebih manusiawi.
“Wahai seorang anak yang kesepian. Apa gerangan yang membuat engkau menangis tersedu sedan?” Sekarang dia pasti akan menjawab. Betapa manisnya pertanyaanku.
“Kamu! Kamu yang buat aku tambah sedih” What! Apa! Masya Allaht. Kok dia nyalahin aku. Jujur, aku tersinggung. Kudebat aja tuduhannya.
“Aku! Kurang ajar… Kok kamu nyalahin aku” Sekarang aku kesal pada anak itu. Dasar anak manusia. Gak sopan pada wong tua. Apa dia tidak berpendidikan.
“Iya, kamu. Udah tahu lagi sedih. Malah di bilang jelek.” Bicara sambil nangis dia. Menambah jelek wajahnya.
“Eh… kamu ini gimana sih. Masa aku harus bohong. Kamu itu memang jelek. Huk… huk….” Anak gak beragama. Masa mau menjadikan dirinya fitnah. Kalau udah jelek, ya jelek aja. Kejujuran malah di fitnah. Dasar zaman edan.
“Kamu! Orang tua tidak berperasaan. Huak… huak…huak…”Eh, nangisnya malah nambah kencang aja. Ya Tuhanku. Aku harus bagaimana? Haruskan aku bohong padanya. Bahwa ia wajahnya genteng. Terima kasih Tuhan. Sekarang aku tahu solusinya.
“Wahai anak yang cakep. Putih dan baik. Kalau kamu nangis terus. Kamu akan tambah jelek. Bisa muntah aku dibuatynya. Coba kamu berhenti nangis. Kemudian senyum, pasti akan lebih ganteng.”Tuhan ma’afkan aku. Jelas, aku telah memfitnahnya.
“Masa! Aku ganteng? He… he…”Dia tersenyum gembira. “Duh! Betapa sial nasib anak ini. Tak ada perubahan padanya. Dia memang jelek.” Tuhan ma’afkan aku telah mengungkapkannya.
“Nah, kalau senyum kan. Ehm…. Kamu jadi ehm… jel…”
“Jel… apa Om?” anak itu penasaran.
“Jel… jelas gantengnya” Dia kira siapa dirinya. Mau dikatakan ganteng.
“Eh, kenapa sih kamu nangis?”Aku interogasi dia. Penasaran.
“Ini Om. Aku belum makan. Ngamen gak ada yang ngasih” Dia curhat padaku. Sok kenal banget anak ini.
“Emang orang Tuamu kemana?” Aku nanya dia. Aku kan orang baik.
“Gak tahu. Udah mati kali. Biasa Om. Yatim. Nyumbang dong Om.” Anak itu coba ngerayu aku. Jangan harap kau bisa menggodaku nak.
“Beruntung kau gak punya orang Tua. Lumayan tuh, ada tempat khusus di Surga. Sebelas-dua belas dengan Nabi.” Ingin rasanya aku seperti dia. Disurganya, bukan yatimnya.
“Om, Surga makanan apa ya? Atau apa Om?”Anak malang. Surga gak kenal.
“Surga itu gehu! Surga itu, tempat yang indah di akhirat nanti. Kalau kau jadi anak baik dan soleh. Kau akan masuk sana. Juga wajahmu gak jelek lagi.” seperti ulama juga aku. Bisa ceramah.
“Betul gitu Om. Nyumbang donk Om biar Om masuk surga.” Sekarang aku kena rayuan anak ini.
“Yah, baru sekarang aku termakan omongan sendiri. Ok. Nih gocap” Jujur, aku ikhlas ngasih anak ini. Karena aku buka orang pendusta agama.
“Makasih Om. Dadah Om.” Dasar anak jelek. Udah dapat nipu orang, lari.
Itulah perjalanan imajinasiku. Menyedihkan.
Dasam Syamsudin
Aktivis IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah)
Al-Kalapa
Malam ini aku dan dua temanku yaitu Sidik dan Ayub kebagian jadwal meronda. Setelah kami menghafal. Bukan kami tapi Sidik dan Ayub bosan menghafal, mereka menemuiku yang sedang mengamati keindahan alam.
“Kak lagi lihat apa?” kata ayub ikut campur urusan orang.
“Alam Allah. Lihat! Pohon kelapa itu buahnya lebat dan hijau” dari tadi aku memang memandang buah kelapa. Aku bertafakur tentang ciptaan Allah yang satu ini. Kayaknya seger kalau ku minum airnya.
“Yub, Dik, nanti malam kita beraksi ya” aku bertanya pada mereka dan mata masih melihat kelapa.
“Siap! Eh… beraksi apa Kak?” Sidik balik nanya
“Ada aja” kataku sambil tersenyum dan memandang kelapa
Sidik dan Ayub heran melihat aku yang dari tadi memandang kelapa. Mereka pun saling beradu pandang mungkin heran. Setelah itu mereka juga memandang kelapa. Jadi, kami bertiga memandang kelapa. Tak selang beberapa detik mereka ikut tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepala dan memandang kelapa. Aku, Sidik dan Ayub tersenyum memandang kelapa. Dan bukannya sombong, senyum aku lebih bagus dari mereka. Aku tahu mereka tersenyum karena mengerti niatku. Aku bangga pada mereka. Mereka ngerti apa yang aku mau tanpa harus berkata.
Jam sepuluh masjid sudah tak ada siapa-siapa. Yang tadinya ramai menjadi sepi karena para santri sudah kekamar dan pada mau tidur.
“Siapa yang meronda Sem?” kata keamana yang lewat memandang aku.
“Kelapa. Eh… saya, Sidik dan Ayub” mendengar jawabanku keamanan kaget.
Keamanan heran kenapa kami bertiga bengong seakan lagi bertafakur. Keheranan keamanan terpecahkan setelah memandang arah yang sedag kami lihat. Keamanan melihat kelapa yang kami pandang. Dan tiba-tiba ia juga tersenyum dan menganggukan kepalanya sambil memandang kelapa. Karena senyum keamanan kami bubar. Entah kenapa keamanan terus mendang kelapa dan tersenyum terus sambil mengangguk-anggukan kepala dan terkadang menggelengkannya.
“Yub, Dik. Kita kewarung ma Engkai yu! Belanja buat malam” aku mengajak temanku dan meninggalkan keamanan yang memandang kelapa.
“Ayo” kata Sidik dan Ayub kompak.
Setelah kami kembali dengan membawa mie, ikan asin dan bahan sambal. Kami duduk di depan masjid sambil ngobrol.
“Baru jam sebelas, masak tiga jam lagi” gerutu Sidik sambil cemberut.
“Iya, aku juga lapar. Apalagi kerongkonganku belum disiram air” kata Ayub bersedih
Mendengar gerutu temanku yang kurang suka dengan kondisi ini. Aku memandang kelapa dan tersenyum.
“Dik, Yub!” aku memanggil mereka dan mengangkat daguku menunjukan kelapa yang hijau. Dengan isyarat ini mereka paham dibalik kehausan kami ada solusinya.
“Yub kamu aja” kata Sidik sambil meletakan bungkus ikan asin.
“Emang gak apa –apa kak ngam…” Ayub penasaran dan langsung ku potong ucapannya.
“Engak… gak apa-apa. Itukan miliki pesantren kita semua” aku meyakinkan Ayub.
“Ok! Kalau begitu malam ini kita party kelapa” kata Ayub semangat sambil membuka sarungnya dan baju ngajinya.
Kami bertiga pergi kearah pohon kelapa yang ada di kebun Kiai. Kulihat ayub sangat bersemangat dan menggerakan tubuhnya kekiri dan kekanan sebagai pemanasan.
“Yub, hati-hati” aku berkata padanya dengan suara pelan
“Tenang Kak. Aku kan juara panjat pinang 3 kali berturut-turut”
“Kak! Kayaknya ada orang menuju kearah sini?” kata Sidik sambil berbisik ditelingaku, dan menunjukan arah orang yang sedang berjalan terendap-endap.
“Iya… kayak Keamanan Pesantren” itu aku yang bicara sambil melihat arah datangnya orang asing itu.
“Iya Kak, ayo kita sembunyi” Sidik mengajaku sembunyi dan menarik kedua tanganku masuk kedalam semak-semak.
Sementara aku dan Sidik bersembunyi. Kulihat Ayub sudah sampai kepuncak pohon kelapa dan menepuk buah kelapa. Ayub terus memilih buah kelapa yang tepat tanpa menyadari ada keamana yang sedang patroli atau mungkin…… mau mencuri kelapa? Jelas. Akurat! Keamanan itu melihat kekiri dan kanan memperhatikan lingkungan sekitar. Kemudian dia membuka sarungnya dan mulai memanjat untuk meraih cita-citanya meminum air kelapa.
Keadaan sangat genting. Ayub sungguh dideru masalah yang sangat besar. Hanya ada dua pilihan baginya hidup atau mati. Seandianya aku bisa memberitahukannya aku akan menyarankan padanya agar lompat dari pohon kelapa yang tingginya 14 m. Karena, menurutku lebih baik melompat dari pada ketahuan keamanan dan menanggung aib seumur hidup. Tapi pilihan Ayub salah ia tetap diam dan sembunyi diantara daun kelapa yang rimbun.
Keamanan sudah mencapai dahan kelapa. dan mulai duduk di dahan yang berbeda dengan Ayub. Keamanan mencari kelapa segar dan berputar dipohon kelapa. Ayub pun sama berputar menyembunyikan dirinya dengan arah yang berlawanan. Dan akhirnya,
“AAAAWWWWW….. Allahuakbar…. “ Keduanya menjerit karena saling memandang kaget. Jeritannya sangat keras dan memecahkan keheningan malam. Sampai banyak yang bangun termasuk Kiai dan para Ustadz. Mereka berlari kencang, tegang dan penasaran ada apa yang terjadi. Sesampainya di TKP (tempat kejadian perkara). Ustadz Toni menyorotkan lampu dan jelas sekali mereka ketangkap basah.
Melihat kejadian itu semua santri tertawa senang dan ada yang senyum pelit hanya mengangkat sedikit bibirnya. Semua santri sepertinya gembira melihat dua santri itu susah. Bahkan, ada yang lebih senang dan tertawa lebar sekali melihat kejadian itu, yaitu aku.
Esoknya, Ayub dan keamanan tidak dihukum apa-apa. Hanya saja mereka ditertawakan santri. Mungkin lucu melihat Ayub dan keamanan diberi hadiah oleh Kiai yaitu kalung. Mereka sepertinya sedih memakai kalung yang disusun dari sepuluh buah kelapa. Al-hamdulillah aku dan Sidik selamat. Sekarang aku yakin bahwa Allah sayang padaku. Itulah aku. Aku yang merencanakan Ayub yang sial. Ha…. Ha…. Senangnya.
“Kak lagi lihat apa?” kata ayub ikut campur urusan orang.
“Alam Allah. Lihat! Pohon kelapa itu buahnya lebat dan hijau” dari tadi aku memang memandang buah kelapa. Aku bertafakur tentang ciptaan Allah yang satu ini. Kayaknya seger kalau ku minum airnya.
“Yub, Dik, nanti malam kita beraksi ya” aku bertanya pada mereka dan mata masih melihat kelapa.
“Siap! Eh… beraksi apa Kak?” Sidik balik nanya
“Ada aja” kataku sambil tersenyum dan memandang kelapa
Sidik dan Ayub heran melihat aku yang dari tadi memandang kelapa. Mereka pun saling beradu pandang mungkin heran. Setelah itu mereka juga memandang kelapa. Jadi, kami bertiga memandang kelapa. Tak selang beberapa detik mereka ikut tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepala dan memandang kelapa. Aku, Sidik dan Ayub tersenyum memandang kelapa. Dan bukannya sombong, senyum aku lebih bagus dari mereka. Aku tahu mereka tersenyum karena mengerti niatku. Aku bangga pada mereka. Mereka ngerti apa yang aku mau tanpa harus berkata.
Jam sepuluh masjid sudah tak ada siapa-siapa. Yang tadinya ramai menjadi sepi karena para santri sudah kekamar dan pada mau tidur.
“Siapa yang meronda Sem?” kata keamana yang lewat memandang aku.
“Kelapa. Eh… saya, Sidik dan Ayub” mendengar jawabanku keamanan kaget.
Keamanan heran kenapa kami bertiga bengong seakan lagi bertafakur. Keheranan keamanan terpecahkan setelah memandang arah yang sedag kami lihat. Keamanan melihat kelapa yang kami pandang. Dan tiba-tiba ia juga tersenyum dan menganggukan kepalanya sambil memandang kelapa. Karena senyum keamanan kami bubar. Entah kenapa keamanan terus mendang kelapa dan tersenyum terus sambil mengangguk-anggukan kepala dan terkadang menggelengkannya.
“Yub, Dik. Kita kewarung ma Engkai yu! Belanja buat malam” aku mengajak temanku dan meninggalkan keamanan yang memandang kelapa.
“Ayo” kata Sidik dan Ayub kompak.
Setelah kami kembali dengan membawa mie, ikan asin dan bahan sambal. Kami duduk di depan masjid sambil ngobrol.
“Baru jam sebelas, masak tiga jam lagi” gerutu Sidik sambil cemberut.
“Iya, aku juga lapar. Apalagi kerongkonganku belum disiram air” kata Ayub bersedih
Mendengar gerutu temanku yang kurang suka dengan kondisi ini. Aku memandang kelapa dan tersenyum.
“Dik, Yub!” aku memanggil mereka dan mengangkat daguku menunjukan kelapa yang hijau. Dengan isyarat ini mereka paham dibalik kehausan kami ada solusinya.
“Yub kamu aja” kata Sidik sambil meletakan bungkus ikan asin.
“Emang gak apa –apa kak ngam…” Ayub penasaran dan langsung ku potong ucapannya.
“Engak… gak apa-apa. Itukan miliki pesantren kita semua” aku meyakinkan Ayub.
“Ok! Kalau begitu malam ini kita party kelapa” kata Ayub semangat sambil membuka sarungnya dan baju ngajinya.
Kami bertiga pergi kearah pohon kelapa yang ada di kebun Kiai. Kulihat ayub sangat bersemangat dan menggerakan tubuhnya kekiri dan kekanan sebagai pemanasan.
“Yub, hati-hati” aku berkata padanya dengan suara pelan
“Tenang Kak. Aku kan juara panjat pinang 3 kali berturut-turut”
“Kak! Kayaknya ada orang menuju kearah sini?” kata Sidik sambil berbisik ditelingaku, dan menunjukan arah orang yang sedang berjalan terendap-endap.
“Iya… kayak Keamanan Pesantren” itu aku yang bicara sambil melihat arah datangnya orang asing itu.
“Iya Kak, ayo kita sembunyi” Sidik mengajaku sembunyi dan menarik kedua tanganku masuk kedalam semak-semak.
Sementara aku dan Sidik bersembunyi. Kulihat Ayub sudah sampai kepuncak pohon kelapa dan menepuk buah kelapa. Ayub terus memilih buah kelapa yang tepat tanpa menyadari ada keamana yang sedang patroli atau mungkin…… mau mencuri kelapa? Jelas. Akurat! Keamanan itu melihat kekiri dan kanan memperhatikan lingkungan sekitar. Kemudian dia membuka sarungnya dan mulai memanjat untuk meraih cita-citanya meminum air kelapa.
Keadaan sangat genting. Ayub sungguh dideru masalah yang sangat besar. Hanya ada dua pilihan baginya hidup atau mati. Seandianya aku bisa memberitahukannya aku akan menyarankan padanya agar lompat dari pohon kelapa yang tingginya 14 m. Karena, menurutku lebih baik melompat dari pada ketahuan keamanan dan menanggung aib seumur hidup. Tapi pilihan Ayub salah ia tetap diam dan sembunyi diantara daun kelapa yang rimbun.
Keamanan sudah mencapai dahan kelapa. dan mulai duduk di dahan yang berbeda dengan Ayub. Keamanan mencari kelapa segar dan berputar dipohon kelapa. Ayub pun sama berputar menyembunyikan dirinya dengan arah yang berlawanan. Dan akhirnya,
“AAAAWWWWW….. Allahuakbar…. “ Keduanya menjerit karena saling memandang kaget. Jeritannya sangat keras dan memecahkan keheningan malam. Sampai banyak yang bangun termasuk Kiai dan para Ustadz. Mereka berlari kencang, tegang dan penasaran ada apa yang terjadi. Sesampainya di TKP (tempat kejadian perkara). Ustadz Toni menyorotkan lampu dan jelas sekali mereka ketangkap basah.
Melihat kejadian itu semua santri tertawa senang dan ada yang senyum pelit hanya mengangkat sedikit bibirnya. Semua santri sepertinya gembira melihat dua santri itu susah. Bahkan, ada yang lebih senang dan tertawa lebar sekali melihat kejadian itu, yaitu aku.
Esoknya, Ayub dan keamanan tidak dihukum apa-apa. Hanya saja mereka ditertawakan santri. Mungkin lucu melihat Ayub dan keamanan diberi hadiah oleh Kiai yaitu kalung. Mereka sepertinya sedih memakai kalung yang disusun dari sepuluh buah kelapa. Al-hamdulillah aku dan Sidik selamat. Sekarang aku yakin bahwa Allah sayang padaku. Itulah aku. Aku yang merencanakan Ayub yang sial. Ha…. Ha…. Senangnya.
Ustadz Berkata Kami Ha… Ha… Ha…
“Ha… ha… ha…” kami tertawa mendengar cerita ustadz. “Terus gimana lagi ceritanya Ustadz?” Cecep berteriak pada ustadz penasaran ingin mendengar cerita ustadz. Dan ustadz pun melanjutkan ceritanya.
“Terus, karena anak itu tidak mendengar dengan konsen pelajaran fiqh. Padahal sudah dikatakan sebelumnya bahwa istinja boleh dengan embun asal jangan di gesek-gesek. mungkin karena dia lupa. Ketika anak perempuan itu buang hajat. Di pesantren sedang krisis air dan kebetulan pagi itu banyak embun di galengan sawah. Karena keadaan madharat maka anak itu menggesekan parjinya ke galengan sawah. Maju mundur, maju mundur sampai beberapa kali sehingga….”
“Ha… ha… ha…” kami ketawa lagi. Padahal ustadz belum sempat menyelesaikan ceritanya. Tapi, kami mengerti apa yang akan ia katakana. Dasar ustadz contohnya ada-ada aja. “Sssssttttt…. Diam pak Ustadz mau melanjutkan” aku menengankan keadaan.
“Ada seorang Kiai berceramah pada pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak. Kebetulan yang banyak hadir pada saat itu kalangan manula. Saat ustad bercerita tentang fiqh yaitu masalah wudhu. Bahwa, kalau mengusap kepala harus dengan air yang secuil. Karena diantara hadirin ada seorang kakek dan nenek yang ketiduran dan kurang jelas mendengar ucapan Kiai. Mengusap kepala dengan air secuil dikiranya mengusap kepala kecil. Nah, ketika kakek itu wudhu ia mengusap kepala yang kecil dan ia senang. Tapi neneknya berkata,
“Ki gimana ngusap kepalanya? Aku kan gak punya kepala yang kecil” gitu kata nenek. Kemudian sang kakek berkata.
“Usap aja kepala kakek yang kecil tiga kali” kakeknya menjelaskan. dan nenek pun mengusapnya. Dan kakek pun berkata, “Ni, ngusapnya biasa aja geli”.
“Ha... ha… ha…” kami tertawa lagi.
“Udah, ah. Cerita melulu entar lupa sama penjelasannya Ustadz berkata sambil menyalakan rokok Djarum Cokelat.
“Bagaimana kami faham kan ustadz belum menjelaskan,baru cerita” Kata Saepul dan kami. “Ha… ha… ha…” Menyambung ketawa tadi.
“Iya, ustadz ada-ada aja. Ha… ha… ha…”itu aku yang ngomong. Dan yang lain tidak ada yang ha… ha…ha… mungkin gak lucu kali.
“Ha… ha… ha…” Ustadz tertawa lebar. Melihat ustadz tertawa kami pun,
“Ha… ha… ha…”semua jadi tertawa.
“Diam! Jangan tertawa terus” Ustadz marah dan berusaha mendisplinkan kami. Mendengar bentakan ustadz spontan kami diam. Tapi diam kami hanya pura-pura karena ekspresi marah ustadz lucu sekali.
“Sem lihat! Wajah ustadz lucu sekali. Dia marah padahal bibirnya tetap tersenyum” Kata Fadli menggoda aku.
Hampir satu menit kami terdiam tanpa ketawa. Tiba-tiba ustadz keluar kelas. Dan jelas sekali ia tertawa terbahak-bahak tapi mulutnya ditutupi tangnnya. Melihat itu kami jadi ingin tertawa lagi dan, “Ha… ha… ha….” Kami tertawa juga.
“Terus, karena anak itu tidak mendengar dengan konsen pelajaran fiqh. Padahal sudah dikatakan sebelumnya bahwa istinja boleh dengan embun asal jangan di gesek-gesek. mungkin karena dia lupa. Ketika anak perempuan itu buang hajat. Di pesantren sedang krisis air dan kebetulan pagi itu banyak embun di galengan sawah. Karena keadaan madharat maka anak itu menggesekan parjinya ke galengan sawah. Maju mundur, maju mundur sampai beberapa kali sehingga….”
“Ha… ha… ha…” kami ketawa lagi. Padahal ustadz belum sempat menyelesaikan ceritanya. Tapi, kami mengerti apa yang akan ia katakana. Dasar ustadz contohnya ada-ada aja. “Sssssttttt…. Diam pak Ustadz mau melanjutkan” aku menengankan keadaan.
“Ada seorang Kiai berceramah pada pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak. Kebetulan yang banyak hadir pada saat itu kalangan manula. Saat ustad bercerita tentang fiqh yaitu masalah wudhu. Bahwa, kalau mengusap kepala harus dengan air yang secuil. Karena diantara hadirin ada seorang kakek dan nenek yang ketiduran dan kurang jelas mendengar ucapan Kiai. Mengusap kepala dengan air secuil dikiranya mengusap kepala kecil. Nah, ketika kakek itu wudhu ia mengusap kepala yang kecil dan ia senang. Tapi neneknya berkata,
“Ki gimana ngusap kepalanya? Aku kan gak punya kepala yang kecil” gitu kata nenek. Kemudian sang kakek berkata.
“Usap aja kepala kakek yang kecil tiga kali” kakeknya menjelaskan. dan nenek pun mengusapnya. Dan kakek pun berkata, “Ni, ngusapnya biasa aja geli”.
“Ha... ha… ha…” kami tertawa lagi.
“Udah, ah. Cerita melulu entar lupa sama penjelasannya Ustadz berkata sambil menyalakan rokok Djarum Cokelat.
“Bagaimana kami faham kan ustadz belum menjelaskan,baru cerita” Kata Saepul dan kami. “Ha… ha… ha…” Menyambung ketawa tadi.
“Iya, ustadz ada-ada aja. Ha… ha… ha…”itu aku yang ngomong. Dan yang lain tidak ada yang ha… ha…ha… mungkin gak lucu kali.
“Ha… ha… ha…” Ustadz tertawa lebar. Melihat ustadz tertawa kami pun,
“Ha… ha… ha…”semua jadi tertawa.
“Diam! Jangan tertawa terus” Ustadz marah dan berusaha mendisplinkan kami. Mendengar bentakan ustadz spontan kami diam. Tapi diam kami hanya pura-pura karena ekspresi marah ustadz lucu sekali.
“Sem lihat! Wajah ustadz lucu sekali. Dia marah padahal bibirnya tetap tersenyum” Kata Fadli menggoda aku.
Hampir satu menit kami terdiam tanpa ketawa. Tiba-tiba ustadz keluar kelas. Dan jelas sekali ia tertawa terbahak-bahak tapi mulutnya ditutupi tangnnya. Melihat itu kami jadi ingin tertawa lagi dan, “Ha… ha… ha….” Kami tertawa juga.
TV dan Media Pendidikan
KENDATI televisi bukan media massa yang pertama kali ada, namun perkembangannya dari masa kemasa sangat cepat. Usia televisi di Indonesia, baru berumur 45 tahun. Akan tetapi, dengan kurun yang relative singkat itu, televisi terus mengalami perkembangan. Dari fitur layer hitam putih, sampai televisi corak warna. Tadinya hanya ada satu chanel, kini terdapat banyak chanel. Mungkin di Indoensia sendiri terdapat puluhan chanel. Dari perusahan penyiaran televisi raksasa sampai yang local. Sebenarnya, keberadaan televisi di Indonesia, karena pemerintah pada tahun 1961 mendapat proyek Asean Games. Acara ini ingin disiarkannya kedaerah yang terjangkau oleh satelit televisi yang waktu itu masih sangat bersifat lokal. Maka diputuskanlah menghadirkan media massa yang sarat dengan manfaat dan kemewahan ini. Kemudian di bangun Panitia Persiapan Pengembangan Televisi Indonesia pada tahun 1961. barulah pada tanggal 20 Oktober 1963 didirikan yayasan TVRI—Televisi Republik Indonesia—berdasarkan keputusan Menteri No. 215/ 1963. sejak itu, televisi sudah bisa dimanfaatkan (ditonton), kendati masih sangat sederhana.
Dari awal keberadaanya sampai sekarang, televisi adalah media massa yang sangat digemari masyarakat. Maka tidak heran jika televisi menjadi icon utama media massa dibanding dengan surat kabar, majalah, bahkan internet sekalipun. Dengan kemewahan ini, maka tujuan pemerintah menghadirkannya tiada lain untuk edutaitment—mendidik sekaligus menghibur. Bahkan, keberadaan yayasan TVRI (1963) pertama kali ada karena untuk mempersatukan bangsa dengan pesan-pesan pendidikan yang ditayangkannya.
Menurut Drs. Darwanto, S.S, “salah satu alas an kenapa televisi bisa dijadikan sebagai media pendidikan, karena televisi mempunyai karakteristik tersendiri. Audio visual yang lebih dirasakan perannya dalam mempengaruhi masyarakat. sehingga dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dalam menyukseskan pembangunan Negara dalam bidang pendidikan, melalui televisi sebagai sarana pendukungnya.”
Televisi era modern
Sejalan dengan arus modernitas, perkembangan, televisi bukan hanya dari hardware saja. Bahkan sekarang menjadi kebutuhan primer bukan sekunder atau tersier apalagi kebutuhan mewah. Tayangan-tayangannya pun berkembang. Memang ini sangat wajar, karena televisi selalu menayangkan perkembangan manusia dari masa kemasa. Namun, jika pertama kali kemunculannya syarat akan nilai pendidikan, sekarang dengan perkembangannya televisi cenderung menyajikan tayangan hiburan tanpa memperhatikan nilai pendidikan. Tayangan berita, dialog, potret kehidupan budaya, olahraga, drama pendidikan misalnya, cenderung lebih longgar jam tayangnya dibanding dengan sajian yang hanya mengutamakan sisi hiburan yang kurang mendidik. Memang masih ada chanel yang kental dengan tayangan pendidikanya, tapi, chanel yang menayangkan sisi hiburan lebih banyak.
Realita tayangan televisi era modern, menyudutkannya pada media pendidikan yang tidak lebih baik dari Koran, majalah pendidikan dan buletin pendidikan. Dalam kata lain nilai pendidikanya menurun. Karakteristik audio-visual televisi memang salah satu kemewahanya dan sangat kuat mempengari khalayak. Akan tetapi, jika dibidik sebagai media pendidikan zaman sekarang yang paling baik, sepertinya perlu ditinjau kembali? Antara tayangan yang mendidik dan hanya hiduran semata—yang terkadang tidak memuat nilai pendidikan sama sekali—dengan tidak mengatakan semua tayangannya amoral.
Tayangan menghibur juga mendidik
Tayangan televisi tidak terlepas dari tayangan-tayangan yang menarik dan cenderung menghibur, itu memang seharusnya untuk sebuah media massa. Tetapi, disamping menarik juga harus edukatif sebagai tontonan masyarakat umum. Jika ada satu sajian televisi yang syarat dengan nilai negatife, misalnya sinetron yang menayangkan tentang pacaran anak sekolah yang terlalu bebas. Hal ini akan mudah dicerna oleh anak-anak sekolah karena pengaruh televisi sangat kuat. Untuk itu, sejatinya orang yang berperan dibelakang layer atau perusahaan penyiaran televisi untuk tidak menayangkan hal tersebut.
Dimasyarakat yang kaya akan nilai kearifan budaya dan agama, tayangan tersebut sangat tidak baik. Bisa-bisa mengikis etis-moral masyarakat yang arif. Televisi (produksi tayangan) harus bisa memberi kontribusi pada masarakat dengan mengetengahkan nilai-nilai pendidikan. Memberi hiburan pada masyarakat, benar itu sebuah kontribusi. Namun, kalau mempengaruhi masyarakat jadi tidak beretika—sesuai dengan kearifan budaya dan agama—itu kontribusi atau racun sosial?
Tugas masyarakat sebagai konsumen televisi, harus bisa memilah dan memilih tayangan yang selayaknya ia konsumsi. Jangan sampai menyalahkan media televisi—asumsi sebagian masyarakat sekarang—sedangkan dia sendiri terpengaruhi. Ariflah dalam memilih tayangan, jadikan tontonan sebuah tuntunan, bukan hiburan semata. Belajarlah dari televisi dengan mencari tayangan yang mendidik.
Dari awal keberadaanya sampai sekarang, televisi adalah media massa yang sangat digemari masyarakat. Maka tidak heran jika televisi menjadi icon utama media massa dibanding dengan surat kabar, majalah, bahkan internet sekalipun. Dengan kemewahan ini, maka tujuan pemerintah menghadirkannya tiada lain untuk edutaitment—mendidik sekaligus menghibur. Bahkan, keberadaan yayasan TVRI (1963) pertama kali ada karena untuk mempersatukan bangsa dengan pesan-pesan pendidikan yang ditayangkannya.
Menurut Drs. Darwanto, S.S, “salah satu alas an kenapa televisi bisa dijadikan sebagai media pendidikan, karena televisi mempunyai karakteristik tersendiri. Audio visual yang lebih dirasakan perannya dalam mempengaruhi masyarakat. sehingga dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dalam menyukseskan pembangunan Negara dalam bidang pendidikan, melalui televisi sebagai sarana pendukungnya.”
Televisi era modern
Sejalan dengan arus modernitas, perkembangan, televisi bukan hanya dari hardware saja. Bahkan sekarang menjadi kebutuhan primer bukan sekunder atau tersier apalagi kebutuhan mewah. Tayangan-tayangannya pun berkembang. Memang ini sangat wajar, karena televisi selalu menayangkan perkembangan manusia dari masa kemasa. Namun, jika pertama kali kemunculannya syarat akan nilai pendidikan, sekarang dengan perkembangannya televisi cenderung menyajikan tayangan hiburan tanpa memperhatikan nilai pendidikan. Tayangan berita, dialog, potret kehidupan budaya, olahraga, drama pendidikan misalnya, cenderung lebih longgar jam tayangnya dibanding dengan sajian yang hanya mengutamakan sisi hiburan yang kurang mendidik. Memang masih ada chanel yang kental dengan tayangan pendidikanya, tapi, chanel yang menayangkan sisi hiburan lebih banyak.
Realita tayangan televisi era modern, menyudutkannya pada media pendidikan yang tidak lebih baik dari Koran, majalah pendidikan dan buletin pendidikan. Dalam kata lain nilai pendidikanya menurun. Karakteristik audio-visual televisi memang salah satu kemewahanya dan sangat kuat mempengari khalayak. Akan tetapi, jika dibidik sebagai media pendidikan zaman sekarang yang paling baik, sepertinya perlu ditinjau kembali? Antara tayangan yang mendidik dan hanya hiduran semata—yang terkadang tidak memuat nilai pendidikan sama sekali—dengan tidak mengatakan semua tayangannya amoral.
Tayangan menghibur juga mendidik
Tayangan televisi tidak terlepas dari tayangan-tayangan yang menarik dan cenderung menghibur, itu memang seharusnya untuk sebuah media massa. Tetapi, disamping menarik juga harus edukatif sebagai tontonan masyarakat umum. Jika ada satu sajian televisi yang syarat dengan nilai negatife, misalnya sinetron yang menayangkan tentang pacaran anak sekolah yang terlalu bebas. Hal ini akan mudah dicerna oleh anak-anak sekolah karena pengaruh televisi sangat kuat. Untuk itu, sejatinya orang yang berperan dibelakang layer atau perusahaan penyiaran televisi untuk tidak menayangkan hal tersebut.
Dimasyarakat yang kaya akan nilai kearifan budaya dan agama, tayangan tersebut sangat tidak baik. Bisa-bisa mengikis etis-moral masyarakat yang arif. Televisi (produksi tayangan) harus bisa memberi kontribusi pada masarakat dengan mengetengahkan nilai-nilai pendidikan. Memberi hiburan pada masyarakat, benar itu sebuah kontribusi. Namun, kalau mempengaruhi masyarakat jadi tidak beretika—sesuai dengan kearifan budaya dan agama—itu kontribusi atau racun sosial?
Tugas masyarakat sebagai konsumen televisi, harus bisa memilah dan memilih tayangan yang selayaknya ia konsumsi. Jangan sampai menyalahkan media televisi—asumsi sebagian masyarakat sekarang—sedangkan dia sendiri terpengaruhi. Ariflah dalam memilih tayangan, jadikan tontonan sebuah tuntunan, bukan hiburan semata. Belajarlah dari televisi dengan mencari tayangan yang mendidik.
The Power of Syukur
Pendapatku tentang
The Power of Syukur
“Lain syakartum laazidanakum. Walainkafartum inna ‘adzabil sayadid”
“Apabila kalian bersyukur, maka aku akan menambahkan kenikmatan padamu. Dan apabila kalian ingkar (kufur nikmat), sesungguhnya” adzabku sangat pedih”
Tentunya pengertian syukur secara harfiyah Anda mengetahui, yaitu “Berterimakasih”—menerima atas apa yang diberi. Namun, Islam tidak mendefinisikan syukur hanya pada ucapan “Al-hamdulillah” sebagai rasa terimakasih. Islam sangat tegas mendefinisikan syukur, sehingga menjadi acuan pada umatnya agar termotivasi bahwa makna syukuar adalah, mendayagunakan apa yang diberikan Allah kepada kita, berarti memanfaatkannya. Misalnya, petani menggarap sawahnya, tanah Allah. Itukan mendaya gunakan.
Bukankah diatas sudah dikatakan bahwa syukur adalah menerima apa yang dikasih? Anda pasti tersinggung, apabila memberi sesuatu tapi tidak dimanfaatkan oleh penerima? Betulkan? Anda kesal, karena computer yang anda berikan kepada anak, atau orang lain tidak dimanfaatkannya? Atau anda memberi pakaian pada orang lain tidak dipakainya, saya kira Anda sekarang faham inti pengertian syukur?
Islam selalu memandang syukur sebagai sebuah kekuatan, karena dengan syukur kenikmatan akan bertambah. Menjadi kayakkah orang miskin karena syukur? Saya kira, kalau hanya difahami syukur akan menambah nikmat materi, itu terlalu sempit. Karena tidak semua kenikmatan materi (harta) membawa kebahagiaan. Lantas apa?
Wallahu A’lam. Menurut hemat saya, jika orang bersyukur dengan ikhlas setulus hati dan memang sangat berterimakasih. Akan melahirkan kekuatan yang selalu positif tentang besar kecilnya pemberian yang diberi. Saya tidak menafikan akan ditambah kenikmatan materi kalau bersyukur. Namun, ada kenikmatan diluar materi, yaitu ketenangan jiwa. Saya yakin Anda mengerti tentang kenikmatan ketengan jiwa dan kenikmatan banyak materi.
Memang, terkadang orang tenang karena banyak harta, namun orang pun akan bingung, gelisah dan takut karena banyak harta. Takut miskin, takut bangkrut, atau takut dicuri, apalah anda menyebutnya. Menurut Anda, itu nikmat atau beban? Beban? Anda yang mengatakan! Kita bandingkan dengan orang miskin yang dengan syukur selalu hidup tenang, merasa puas dengan apa yang diberikan Allah dan senantiasa mendayagunakannya kendati hanya modal tenaga, dan selalu opimis. Sekarang siapa yang terkesan bahagia, dan meraskan nikmat?
Jadi, apa kenikmatan yang diberikan Allah di dunia? Kalau diakhirat lain ceritannya. Kita bahas kenikmatan dunia dulu. Apa kenikmatan itu?
Saya kira anda sependapat. Bahwa kenikmatan Allah akan bertambah jika bersyukur. Apabila kita merasa tenang dengan menerima dan senang dengan apa yang diberikannya. Jika hati dan pikkiran kita tenang dan senang bukankah itu kenikmatan yang luar biasa? Dan bukankah orang mau banyak harta karena ingin tenang? Jadi, orang yang tidak sungguh-sungguh bersyukur tidak akan tenang, walaupun banyak harta. Sejatinya orang yang bahagia dan mendapat kenikmatan dari syukurnya adalah orang yang mempunyai ketenangan jiwa dan pikiran. Kaya atau miskin bukan ukuran kenikmatan hidup. Harta bukan kunci kebahagiaan. Tapi, ketenangan lahir batin.
Melupakan apa yang Allah berikan, mengingkari hidup yang telah dirancang Allah agar manusia hidup dengan tentram, adalah kufur nikmat. Raja, memberikan kehidupan pada rakyatnya, misalnya rumah, pakaian, makanan, modal usaha kenyamanan dan kemewahan lain. Kemudian rakyatnya melupkannya dan tidak berterima kasih bahkan menginngkarinya pemberiannya. Apa yang terkesan dalam diri Anda pada raja dan rakyatnya? Apa yang akan raja lakukan pada orang itu menurut anda? dan anda sendiri mau orang itu bagaimana?
Bagaimana seandainya Allah memberikan kehidupan pada orang yang cacat Kemudian ia ingkar?, ingat memberi kehidupan! Dan bagaimana jika Allah memberi harta pada orang kaya, kemudian dia lupa? Sependapatkah Anda dengat firman Allah “Dan apabila kalian kufur (mengingkari nikat Allah) maka akan mendapat Adzab Allah? Wajar tidak jika Allah berbuat demikian? Karena telah memberinya kehidupan dunia.
Saya kira anda faham “bahwa orang yang kufur nikmat—mengingkari nikmat Allah—akan mendapat adzab yang sangat pedih.
Punya komentar? Punya pendapat lain? Silahkan, saya tunggu.
The Power of Syukur
“Lain syakartum laazidanakum. Walainkafartum inna ‘adzabil sayadid”
“Apabila kalian bersyukur, maka aku akan menambahkan kenikmatan padamu. Dan apabila kalian ingkar (kufur nikmat), sesungguhnya” adzabku sangat pedih”
Tentunya pengertian syukur secara harfiyah Anda mengetahui, yaitu “Berterimakasih”—menerima atas apa yang diberi. Namun, Islam tidak mendefinisikan syukur hanya pada ucapan “Al-hamdulillah” sebagai rasa terimakasih. Islam sangat tegas mendefinisikan syukur, sehingga menjadi acuan pada umatnya agar termotivasi bahwa makna syukuar adalah, mendayagunakan apa yang diberikan Allah kepada kita, berarti memanfaatkannya. Misalnya, petani menggarap sawahnya, tanah Allah. Itukan mendaya gunakan.
Bukankah diatas sudah dikatakan bahwa syukur adalah menerima apa yang dikasih? Anda pasti tersinggung, apabila memberi sesuatu tapi tidak dimanfaatkan oleh penerima? Betulkan? Anda kesal, karena computer yang anda berikan kepada anak, atau orang lain tidak dimanfaatkannya? Atau anda memberi pakaian pada orang lain tidak dipakainya, saya kira Anda sekarang faham inti pengertian syukur?
Islam selalu memandang syukur sebagai sebuah kekuatan, karena dengan syukur kenikmatan akan bertambah. Menjadi kayakkah orang miskin karena syukur? Saya kira, kalau hanya difahami syukur akan menambah nikmat materi, itu terlalu sempit. Karena tidak semua kenikmatan materi (harta) membawa kebahagiaan. Lantas apa?
Wallahu A’lam. Menurut hemat saya, jika orang bersyukur dengan ikhlas setulus hati dan memang sangat berterimakasih. Akan melahirkan kekuatan yang selalu positif tentang besar kecilnya pemberian yang diberi. Saya tidak menafikan akan ditambah kenikmatan materi kalau bersyukur. Namun, ada kenikmatan diluar materi, yaitu ketenangan jiwa. Saya yakin Anda mengerti tentang kenikmatan ketengan jiwa dan kenikmatan banyak materi.
Memang, terkadang orang tenang karena banyak harta, namun orang pun akan bingung, gelisah dan takut karena banyak harta. Takut miskin, takut bangkrut, atau takut dicuri, apalah anda menyebutnya. Menurut Anda, itu nikmat atau beban? Beban? Anda yang mengatakan! Kita bandingkan dengan orang miskin yang dengan syukur selalu hidup tenang, merasa puas dengan apa yang diberikan Allah dan senantiasa mendayagunakannya kendati hanya modal tenaga, dan selalu opimis. Sekarang siapa yang terkesan bahagia, dan meraskan nikmat?
Jadi, apa kenikmatan yang diberikan Allah di dunia? Kalau diakhirat lain ceritannya. Kita bahas kenikmatan dunia dulu. Apa kenikmatan itu?
Saya kira anda sependapat. Bahwa kenikmatan Allah akan bertambah jika bersyukur. Apabila kita merasa tenang dengan menerima dan senang dengan apa yang diberikannya. Jika hati dan pikkiran kita tenang dan senang bukankah itu kenikmatan yang luar biasa? Dan bukankah orang mau banyak harta karena ingin tenang? Jadi, orang yang tidak sungguh-sungguh bersyukur tidak akan tenang, walaupun banyak harta. Sejatinya orang yang bahagia dan mendapat kenikmatan dari syukurnya adalah orang yang mempunyai ketenangan jiwa dan pikiran. Kaya atau miskin bukan ukuran kenikmatan hidup. Harta bukan kunci kebahagiaan. Tapi, ketenangan lahir batin.
Melupakan apa yang Allah berikan, mengingkari hidup yang telah dirancang Allah agar manusia hidup dengan tentram, adalah kufur nikmat. Raja, memberikan kehidupan pada rakyatnya, misalnya rumah, pakaian, makanan, modal usaha kenyamanan dan kemewahan lain. Kemudian rakyatnya melupkannya dan tidak berterima kasih bahkan menginngkarinya pemberiannya. Apa yang terkesan dalam diri Anda pada raja dan rakyatnya? Apa yang akan raja lakukan pada orang itu menurut anda? dan anda sendiri mau orang itu bagaimana?
Bagaimana seandainya Allah memberikan kehidupan pada orang yang cacat Kemudian ia ingkar?, ingat memberi kehidupan! Dan bagaimana jika Allah memberi harta pada orang kaya, kemudian dia lupa? Sependapatkah Anda dengat firman Allah “Dan apabila kalian kufur (mengingkari nikat Allah) maka akan mendapat Adzab Allah? Wajar tidak jika Allah berbuat demikian? Karena telah memberinya kehidupan dunia.
Saya kira anda faham “bahwa orang yang kufur nikmat—mengingkari nikmat Allah—akan mendapat adzab yang sangat pedih.
Punya komentar? Punya pendapat lain? Silahkan, saya tunggu.
Pesantren Dan Tantangan Era Modern
Oleh SUKRON ABDILAH
M Dawam Rahardjo (1995: 3) mengungkapkan bahwa pesantren adalah lembaga yang mewujudkan proses wajah perkembangan sistem pendidikan Nasional. Secara historis pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman an sich, melainkan menampakkan keaslian (indegeneous) daerah Indonesia; sebab lembaga yang serupa sudah terdapat pada masa kekuasaan Hindu-Budha, sedangkan Islam meneruskan dan mengislamkannya.
Pondok pesantren Islam sebetulnya banyak berperan mendidik sebagian bangsa Indonesia sebelum lahirnya lembaga-lembaga pendidikan lain yang cenderung mengikuti pola “Barat” yang modern. Oleh karena itu, lembaga pendidikan pesantren acapkali dijuluki sebagai basis pendidikan tradisional yang khas Indonesia. Pondok pesantren berkembang pesat dan lebih dikenal kegiatannya kira-kira sejak tahun 1853 dengan jumlah santri sekitar 16.556 dan tersebar pada 13 kabupaten di pulau Jawa (Z. Dhofier; 1994).
Dari tahun ke tahun jumlahnya mengalami peningkatan yang signifikan, hingga pada tahun 1981 terdaftar hampir sekitar 5.661 pondok pesantren dengan jumlah santri 938.597 yang diasuh dan dididik pesantren (A. Syamsuddin, 1989). Dan, sudah dapat dipastikan jika pada tahun 2000-an jumlahnya telah mencapai ratusan ribu pesantren di seluruh Indonesia dengan puluhan juta santri yang telah dan sedang dididik oleh pesantren.
Lantas, pertanyaan yang patut diajukan dalam tulisan ini adalah: bagaimana peta tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga pendidikan warisan dari perpaduan budaya asli Indonesia dan khazanah keislaman dalam menjawab tantangan modernitas? Apakah mesti menyesuaikan (ngigeulan) zaman ataukah sampai pada mengelola tantangan era modern yang cenderung menggusur manusia pada pemahaman positivistik?
Sebab, sebagai satu-satunya lembaga pendidikan swasta, pesantren memiliki kekuatan yang teramat dahsyat hasil dari motivasi dari para pendirinya (founding fathers) untuk mencerdaskan bangsa tanpa mengurusi “tetek bengek” keuntungan ekonomis. Melainkan menjalankan amanat pendidikan pofetik yang digariskan oleh ajaran Islam sebagai penghantar terwujudnya manusia yang memiliki harkat, derajat dan martabat yang sangat urgen untuk dimiliki oleh setiap manusia di era modern ini. Seperti yang terdapat dalam sebuah pepatah Rasulullah yang memerintahkan setiap muslim untuk mencari dan mengajarkan ilmu dari mulai lahir sampai desah nafas tidak lagi terdengar (baca: wafat).
Pesantren dan Santri
Menurut catatan sejarah, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang diwariskan oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim sekitar abad 16-17 M, seorang guru “walisongo” yang menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa. Sedangkan secara kebahahasaan, pesantren berasal dari kata “santri” yang berarti guru mengaji (bahasa tamil) dengan awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal (mondok moe) para santri. Dengan demikian, pesantren merupakan mesin copy-an yang bertugas mem-print out manusia yang pintar agama (tafaquh fi al-din) dan mampu menyampaikan keluhungan ajaran Islam serta populer disebut dengan “santri”.
Sebagai ladang penghasil santri, tentunya pesantren harus menghasilkan santri (output) yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Output tersebut selain berimplikasi secara personal, juga berdampak positif secara sosial. Adapun hasil implikasi tersebut dapat dilihat dari intensitas keuntungan yang besar yang diproduksi pesantren terhadap lingkungan sekitar, di antaranya berupa keuntungan pragmatis bagi aspek yang berdimensi budaya, edukatif dan sosial.
Dalam dimensi kultural, kehidupan seorang santri di pesantren ternyata seringkali dihiasi dengan prinsip hidup yang mencerminkan kesederhanaan dan kebersamaan melalui aktivitas “mukim”. Kalau saja “abdi negara” ataupun masyarakat modern mampu melakukan hal seperti mereka, akan muncul solidaritas sosial terhadap sesama manusia. Lalu, dari aspek edukatif pesantren juga mampu menghasilkan calon pemimpin agama (religious leader) yang piawai menaungi kebutuhan praktik keagamaan masyarakat sekitar, hingga aktivitas kehidupannya mendapat berkah dari Tuhan. Sedangkan dalam aspek sosial, keberadaan pesantren seakan telah menjadi semacam “community learning centre” (pusat kegiatan belajar masyarakat) yang berfungsi menuntun masyarakat hingga memiliki life style agar hidup dalam kesejahteraan.
Namun, kendati secara output tidak selalu sesuai dengan kebutuhan, setidak-tidaknya secara ideal pendidikan di Pesantren mampu mencetak calon-calon ahli agama yang siap diterjunkan ke masyarakat. Tidaklah heran jika pesantren sebagai “laboratorium sosial” banyak membidani kelahiran tokoh-tokoh yang dihormati serta ikut andil dalam pembangunan bangsa lewat sumbangsih pemikiran yang brilian.
Misalnya saja, K.H.A.Dahlan (pendiri Muhammadiyah), K.H.A.Hasan (tokoh Persatuan Islam), Hasyim Asy’ari (pendiri NU), H.O.S Tjokroaminoto (pencetus SI), Muhammad Natsir (bekas Perdana menteri), Dien Syamsuddin, Abdurrahman Wahid, Nurchalis Madjid dan yang lainnya merupakan aktor intelektual yang dididik oleh lembaga pendidikan Islam seperti Pesantren.
Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa: “ Hendaklah ada di antara kamu sekalian segolongan ummat yang menyeru kepada kebaikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung” (Q.S. Ali-Imran, 3 : 104). Artinya, dengan kreasi kultural berupa pendirian pesantren dalam khazanah Islam Indonesia merupakan misi profetik untuk mengaplikasikan kebaikan-kebaikan hingga dapat bermanfaat bagi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan di tubuh dan jiwa umat, bangsa dan warga masyarakat.
Tantangan Modernisasi
Jika mencari lembaga pendidikan yang asli Indonesia dan berakar kuat dalam masyarakat, tentu akan menempatkan pesantren di tangga teratas. Namun, ironisnya lembaga yang dianggap merakyat ini ternyata masih menyisakan keberbagaian masalah dan diragukan kemampuannya dalam menjawab tantangan zaman, terutama ketika berhadapan dengan arus modernisasi. Untuk mengubah image yang agak miring ini tentunya memerlukan proses yang panjang dan usaha tidak begitu mudah.
Proses modernisasi telah menguatkan subjektivitas individu atas alam semesta, tradisi, dan agama. Manusia dalam subjektivitas dengan kesadarannya dan dalam keunikannya telah menjadi titik acuan pengertian terhadap realitas. Manusia memandang alam, sesama manusia, dan Tuhan mengacu pada dirinya sendiri. Manusia juga menjadi bebas dalam merealisasikan kehidupannya tanpa campur tangan kekuatan lain di luar dirinya sendiri. Modernitas sebagai periode sejarah yang khas dan superior telah membuat orang percaya bahwa zaman modern lebih baik, lebih maju, dan memiliki referensi kebenaran lebih banyak dari zaman sebelumnya. Selain itu, modernitas menciptakan sikap optimisme dan berbagai kualitas positif tentang masa depan serta kemajuan menjadi tema utama peradaban sejarah umat manusia (Fahrizal A. Halim, 2002: 19-20).
Dalam tradisi pesantren terdapat kaidah hukum yang menarik untuk diresapi dan diaplikasikan oleh pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mesti merespon tantangan dan “kebaharuan” zaman. Kaidah itu berbunyi, “Al-Muhafadzatu ‘ala al-qadim al-ashalih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah”, artinya: melestarikan nilai-nilai Islam lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. Hal ini berarti pesantren patut memelihara nilai-nilai tradisi yang baik sembari mencari nilai-nilai baru yang sesuai dengan konteks zaman agar tercapai akurasi motodologis dalam mencerahkan peradaban bangsa.
Ulil Abshar Abdalla (2000) mengatakan bahwa jika tradisi besar Islam yang direproduksi dan diolah kembali, umat Islam akan memeroleh keuntungan yang besar sekali, di antaranya adalah memiliki “tradisi baru” yang lebih baik. Pesantren ketika tampil dengan wajah baru akan menimbulkan apa yang disebut oleh Cak Nur dengan psychological striking force (daya gugah baru).
Untuk itu, tidak layak kiranya jika para pengelola pesantren mengabaikan arus modernitas sebagai penghasil nilai-nilai baru yang baik – meskipun ada sebagian yang buruk – kalau pesantren ingin maju untuk mengimbangi perubahan zaman. Namun, jika tidak mau maju sedikit pun di era yang serba maju ini, silahkan menutup diri dari nilai-nilai baru dan peliharalah nilai-nilai lama yang telah ketinggalam zaman (out of date).
Persoalan ini tentu saja berkorelasi positif dengan konteks pengajaran di pesantren. Di mana, secara tidak langsung mengharuskan adanya pembaharuan (modernisasi)-kalau boleh dikatakan demikian-dalam pelbagai aspek pendidikan di dunia pesantren. Misalnya, mengenai kurikulum, sarana-prasarana, tenaga administrasi, guru, manajemen (pengelolaan), sistem evaluasi dan aspek-aspek lainnya dalam penyelenggaraan pendidikan di pesantren.
Jika aspek-aspek pendidikan seperti di atas tidak mendapatkan perhatian yang proporsional untuk segera dimodernisasi, atau minimal disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat (social needs and demand), tentu akan mengancam survival pesantren di masa depan. Masyarakat (baca: kaum muslimin Indonesia) akan semakin tidak tertarik dan lambat laun akan meninggalkan pendidikan pesantren, kemudian lebih memilih institusi pendidikan yang lebih menjamin kualitas output-nya.
Pada taraf ini, pesantren berhadap-hadapan dengan dilema antara tradisi dan modernitas. Ketika pesantren tidak mau beranjak ke modernitas, dan hanya berkutat dan mempertahankan otentisitas tradisi pengajarannya yang khas tradisional, dengan pengajaran yang melulu bermuatan al-Qur’an dan al-Hadis serta kitab-kitab klasiknya, tanpa adanya pembaharuan metodologis, maka selama itu pula pesantren harus siap ditinggalkan oleh masyarakat.
Pengajaran Islam tradisional dengan muatan-muatan yang telah disebutkan di muka, tentu saja harus lebih dikembangkan agar penguasaan materi keagamaan anak didik (baca: santri) dapat lebih maksimal, di samping juga perlu memasukkan materi-materi pengetahuan non-agama dalam proses pengajaran di pesantren.
Dengan tidak meninggalkan ciri khas lokal, pesntren juga mesti merespon perkembangan zaman dengan cara-cara yang kreatif, inovatif, dan transformatif. Alhasil, persoalan tantangan zaman modern yang secara realitas seakan menciptakan segala produk yang menyibakkan tirai-tirai batas ruang dan waktu seperti dalam gejala global media infromasi dapat dijawab secara akurat, tuntas dan tepat. Wallahua’lam
Kepustakaan
1. M. Dawam Rahardjo; Pesantren dan Pembaharuan, PT Pustaka LP3ES, Jakarta: 1995.
2. Fahrizal A. Halim; Beragama dalam Belenggu Kapitalisme, Penerbit Indonesia Tera, Magelang, 2002.
3. Karel A Steenbirk; Pesantren Madrasah Sekolah, LP3ES, Jakarta, 1994.
4. Sukron Abdilah; Pesantren, Santri dan Modernitas, Surat Kabar Mingguan Medikom, edisi 182 Tahun III 3-9 Juli 2006.
5. H.M. Yacub; Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat, Penerbit Angkasa, Bandung, 1985.
6. Zamakhsyari Dhofier; Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta, 1994.
M Dawam Rahardjo (1995: 3) mengungkapkan bahwa pesantren adalah lembaga yang mewujudkan proses wajah perkembangan sistem pendidikan Nasional. Secara historis pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman an sich, melainkan menampakkan keaslian (indegeneous) daerah Indonesia; sebab lembaga yang serupa sudah terdapat pada masa kekuasaan Hindu-Budha, sedangkan Islam meneruskan dan mengislamkannya.
Pondok pesantren Islam sebetulnya banyak berperan mendidik sebagian bangsa Indonesia sebelum lahirnya lembaga-lembaga pendidikan lain yang cenderung mengikuti pola “Barat” yang modern. Oleh karena itu, lembaga pendidikan pesantren acapkali dijuluki sebagai basis pendidikan tradisional yang khas Indonesia. Pondok pesantren berkembang pesat dan lebih dikenal kegiatannya kira-kira sejak tahun 1853 dengan jumlah santri sekitar 16.556 dan tersebar pada 13 kabupaten di pulau Jawa (Z. Dhofier; 1994).
Dari tahun ke tahun jumlahnya mengalami peningkatan yang signifikan, hingga pada tahun 1981 terdaftar hampir sekitar 5.661 pondok pesantren dengan jumlah santri 938.597 yang diasuh dan dididik pesantren (A. Syamsuddin, 1989). Dan, sudah dapat dipastikan jika pada tahun 2000-an jumlahnya telah mencapai ratusan ribu pesantren di seluruh Indonesia dengan puluhan juta santri yang telah dan sedang dididik oleh pesantren.
Lantas, pertanyaan yang patut diajukan dalam tulisan ini adalah: bagaimana peta tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga pendidikan warisan dari perpaduan budaya asli Indonesia dan khazanah keislaman dalam menjawab tantangan modernitas? Apakah mesti menyesuaikan (ngigeulan) zaman ataukah sampai pada mengelola tantangan era modern yang cenderung menggusur manusia pada pemahaman positivistik?
Sebab, sebagai satu-satunya lembaga pendidikan swasta, pesantren memiliki kekuatan yang teramat dahsyat hasil dari motivasi dari para pendirinya (founding fathers) untuk mencerdaskan bangsa tanpa mengurusi “tetek bengek” keuntungan ekonomis. Melainkan menjalankan amanat pendidikan pofetik yang digariskan oleh ajaran Islam sebagai penghantar terwujudnya manusia yang memiliki harkat, derajat dan martabat yang sangat urgen untuk dimiliki oleh setiap manusia di era modern ini. Seperti yang terdapat dalam sebuah pepatah Rasulullah yang memerintahkan setiap muslim untuk mencari dan mengajarkan ilmu dari mulai lahir sampai desah nafas tidak lagi terdengar (baca: wafat).
Pesantren dan Santri
Menurut catatan sejarah, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang diwariskan oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim sekitar abad 16-17 M, seorang guru “walisongo” yang menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa. Sedangkan secara kebahahasaan, pesantren berasal dari kata “santri” yang berarti guru mengaji (bahasa tamil) dengan awalan “pe” dan akhiran “an” yang berarti tempat tinggal (mondok moe) para santri. Dengan demikian, pesantren merupakan mesin copy-an yang bertugas mem-print out manusia yang pintar agama (tafaquh fi al-din) dan mampu menyampaikan keluhungan ajaran Islam serta populer disebut dengan “santri”.
Sebagai ladang penghasil santri, tentunya pesantren harus menghasilkan santri (output) yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Output tersebut selain berimplikasi secara personal, juga berdampak positif secara sosial. Adapun hasil implikasi tersebut dapat dilihat dari intensitas keuntungan yang besar yang diproduksi pesantren terhadap lingkungan sekitar, di antaranya berupa keuntungan pragmatis bagi aspek yang berdimensi budaya, edukatif dan sosial.
Dalam dimensi kultural, kehidupan seorang santri di pesantren ternyata seringkali dihiasi dengan prinsip hidup yang mencerminkan kesederhanaan dan kebersamaan melalui aktivitas “mukim”. Kalau saja “abdi negara” ataupun masyarakat modern mampu melakukan hal seperti mereka, akan muncul solidaritas sosial terhadap sesama manusia. Lalu, dari aspek edukatif pesantren juga mampu menghasilkan calon pemimpin agama (religious leader) yang piawai menaungi kebutuhan praktik keagamaan masyarakat sekitar, hingga aktivitas kehidupannya mendapat berkah dari Tuhan. Sedangkan dalam aspek sosial, keberadaan pesantren seakan telah menjadi semacam “community learning centre” (pusat kegiatan belajar masyarakat) yang berfungsi menuntun masyarakat hingga memiliki life style agar hidup dalam kesejahteraan.
Namun, kendati secara output tidak selalu sesuai dengan kebutuhan, setidak-tidaknya secara ideal pendidikan di Pesantren mampu mencetak calon-calon ahli agama yang siap diterjunkan ke masyarakat. Tidaklah heran jika pesantren sebagai “laboratorium sosial” banyak membidani kelahiran tokoh-tokoh yang dihormati serta ikut andil dalam pembangunan bangsa lewat sumbangsih pemikiran yang brilian.
Misalnya saja, K.H.A.Dahlan (pendiri Muhammadiyah), K.H.A.Hasan (tokoh Persatuan Islam), Hasyim Asy’ari (pendiri NU), H.O.S Tjokroaminoto (pencetus SI), Muhammad Natsir (bekas Perdana menteri), Dien Syamsuddin, Abdurrahman Wahid, Nurchalis Madjid dan yang lainnya merupakan aktor intelektual yang dididik oleh lembaga pendidikan Islam seperti Pesantren.
Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa: “ Hendaklah ada di antara kamu sekalian segolongan ummat yang menyeru kepada kebaikan, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung” (Q.S. Ali-Imran, 3 : 104). Artinya, dengan kreasi kultural berupa pendirian pesantren dalam khazanah Islam Indonesia merupakan misi profetik untuk mengaplikasikan kebaikan-kebaikan hingga dapat bermanfaat bagi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan di tubuh dan jiwa umat, bangsa dan warga masyarakat.
Tantangan Modernisasi
Jika mencari lembaga pendidikan yang asli Indonesia dan berakar kuat dalam masyarakat, tentu akan menempatkan pesantren di tangga teratas. Namun, ironisnya lembaga yang dianggap merakyat ini ternyata masih menyisakan keberbagaian masalah dan diragukan kemampuannya dalam menjawab tantangan zaman, terutama ketika berhadapan dengan arus modernisasi. Untuk mengubah image yang agak miring ini tentunya memerlukan proses yang panjang dan usaha tidak begitu mudah.
Proses modernisasi telah menguatkan subjektivitas individu atas alam semesta, tradisi, dan agama. Manusia dalam subjektivitas dengan kesadarannya dan dalam keunikannya telah menjadi titik acuan pengertian terhadap realitas. Manusia memandang alam, sesama manusia, dan Tuhan mengacu pada dirinya sendiri. Manusia juga menjadi bebas dalam merealisasikan kehidupannya tanpa campur tangan kekuatan lain di luar dirinya sendiri. Modernitas sebagai periode sejarah yang khas dan superior telah membuat orang percaya bahwa zaman modern lebih baik, lebih maju, dan memiliki referensi kebenaran lebih banyak dari zaman sebelumnya. Selain itu, modernitas menciptakan sikap optimisme dan berbagai kualitas positif tentang masa depan serta kemajuan menjadi tema utama peradaban sejarah umat manusia (Fahrizal A. Halim, 2002: 19-20).
Dalam tradisi pesantren terdapat kaidah hukum yang menarik untuk diresapi dan diaplikasikan oleh pesantren sebagai lembaga pendidikan yang mesti merespon tantangan dan “kebaharuan” zaman. Kaidah itu berbunyi, “Al-Muhafadzatu ‘ala al-qadim al-ashalih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah”, artinya: melestarikan nilai-nilai Islam lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik. Hal ini berarti pesantren patut memelihara nilai-nilai tradisi yang baik sembari mencari nilai-nilai baru yang sesuai dengan konteks zaman agar tercapai akurasi motodologis dalam mencerahkan peradaban bangsa.
Ulil Abshar Abdalla (2000) mengatakan bahwa jika tradisi besar Islam yang direproduksi dan diolah kembali, umat Islam akan memeroleh keuntungan yang besar sekali, di antaranya adalah memiliki “tradisi baru” yang lebih baik. Pesantren ketika tampil dengan wajah baru akan menimbulkan apa yang disebut oleh Cak Nur dengan psychological striking force (daya gugah baru).
Untuk itu, tidak layak kiranya jika para pengelola pesantren mengabaikan arus modernitas sebagai penghasil nilai-nilai baru yang baik – meskipun ada sebagian yang buruk – kalau pesantren ingin maju untuk mengimbangi perubahan zaman. Namun, jika tidak mau maju sedikit pun di era yang serba maju ini, silahkan menutup diri dari nilai-nilai baru dan peliharalah nilai-nilai lama yang telah ketinggalam zaman (out of date).
Persoalan ini tentu saja berkorelasi positif dengan konteks pengajaran di pesantren. Di mana, secara tidak langsung mengharuskan adanya pembaharuan (modernisasi)-kalau boleh dikatakan demikian-dalam pelbagai aspek pendidikan di dunia pesantren. Misalnya, mengenai kurikulum, sarana-prasarana, tenaga administrasi, guru, manajemen (pengelolaan), sistem evaluasi dan aspek-aspek lainnya dalam penyelenggaraan pendidikan di pesantren.
Jika aspek-aspek pendidikan seperti di atas tidak mendapatkan perhatian yang proporsional untuk segera dimodernisasi, atau minimal disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat (social needs and demand), tentu akan mengancam survival pesantren di masa depan. Masyarakat (baca: kaum muslimin Indonesia) akan semakin tidak tertarik dan lambat laun akan meninggalkan pendidikan pesantren, kemudian lebih memilih institusi pendidikan yang lebih menjamin kualitas output-nya.
Pada taraf ini, pesantren berhadap-hadapan dengan dilema antara tradisi dan modernitas. Ketika pesantren tidak mau beranjak ke modernitas, dan hanya berkutat dan mempertahankan otentisitas tradisi pengajarannya yang khas tradisional, dengan pengajaran yang melulu bermuatan al-Qur’an dan al-Hadis serta kitab-kitab klasiknya, tanpa adanya pembaharuan metodologis, maka selama itu pula pesantren harus siap ditinggalkan oleh masyarakat.
Pengajaran Islam tradisional dengan muatan-muatan yang telah disebutkan di muka, tentu saja harus lebih dikembangkan agar penguasaan materi keagamaan anak didik (baca: santri) dapat lebih maksimal, di samping juga perlu memasukkan materi-materi pengetahuan non-agama dalam proses pengajaran di pesantren.
Dengan tidak meninggalkan ciri khas lokal, pesntren juga mesti merespon perkembangan zaman dengan cara-cara yang kreatif, inovatif, dan transformatif. Alhasil, persoalan tantangan zaman modern yang secara realitas seakan menciptakan segala produk yang menyibakkan tirai-tirai batas ruang dan waktu seperti dalam gejala global media infromasi dapat dijawab secara akurat, tuntas dan tepat. Wallahua’lam
Kepustakaan
1. M. Dawam Rahardjo; Pesantren dan Pembaharuan, PT Pustaka LP3ES, Jakarta: 1995.
2. Fahrizal A. Halim; Beragama dalam Belenggu Kapitalisme, Penerbit Indonesia Tera, Magelang, 2002.
3. Karel A Steenbirk; Pesantren Madrasah Sekolah, LP3ES, Jakarta, 1994.
4. Sukron Abdilah; Pesantren, Santri dan Modernitas, Surat Kabar Mingguan Medikom, edisi 182 Tahun III 3-9 Juli 2006.
5. H.M. Yacub; Pondok Pesantren dan Pembangunan Masyarakat, Penerbit Angkasa, Bandung, 1985.
6. Zamakhsyari Dhofier; Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta, 1994.
Santri dan Dakwah
Oleh DASAM SYAMSUDIN
Entah siapa yang mengtakan, bahwa kata santri berasal dari bahasa Inggris. Yaitu sun dan there, yang berarti tiga matahari. Saya belum pernah mendengar seseorang yang memaknai kata itu secara eksplisit. Namun, saya berpikir, bahwa mungkin yang disebut tiga matahari tiada lain adalah rukun agama, dimana tiga unsur itu wajib dimiliki oleh setiap umat Islam. Tiga rukun itu yaitu, Iman, Islam dan Ihsan. Dalam hal ini, saya mengindikasikan bahwa seorang santri pantas dan seharusnya memiliki tiga rukun iman tersebut dan terpatri di dalam dirinya.
Dengan demikian, kewajiban identitas santri adalah seorang yang memiliki keimanan yang kuat, dan hidupnya seiring dengan ajaran Islam serta mengindahkannya. Kemudian, dari keduanya jika telah terpatri dalam diri santri maka akan melahirkan sikap dan perilaku yang baik (Ihsan). Tentu sudah menjadi kewajiban moral bagi seorang santri hidup dengan ke’arifan Islam sebagai cerminan dari keimannya.
Setiap santri adalah muslim, namun tidak semua muslim dikatakan santri. Pembahasan tentang muslim—orang yang sudah masuk Islam—terlalu luas jika diidentikan dengan santri. Karena, hukum sosial telah menyudutkan pengertian santri sebagai orang yang mengaji dipesantren atau rajin mengaji dimasjid. Kalaupun ada celetusan yang mengatakan bahwa setiap muslim adalah santri, itu syah-syah saja dalam segi konteks. Namun, secara tekstual pengertian santri adalah orang-orang yang mengaji atau belajar ilmu agama pada sebuah lembaga pendidikan Islam—pesantren, baik tradisional ataupun modern. Kendati demikian, rupanya fleksiblitas pesantren mengikuti arus modernisasi tidak bisa dihindarkan, realitas objektif menunjukan adanya transformasi pesantren dari corak pesantren klasik (salafiyah) menjadi corak pesantren modern. Sehinngga orientasipun berubah, ada santri abangan yang mengaji di pesantren salafiyah dan santri intelek yang mengaji di pesantren modern.
Dalan konteks itu, apapun istilah santri entah itu abangan atau intelek yang pasti keduanya mempunyai sisi identik, yaitu dakwah. Dakwah bagi seorang santri merupakan kewajiban moral, sebagai identitas dari kekhasanya. Di zaman sekarang, seorang santri tidak diindikasikan sebagai orang yang selalu memakai kopiah, pakaian muslim lengkap dengan sarung, leher dililit oleh sorban atau lain sebagainnya. Sebab, jika dilihat dari sisi itu, maka santri modern mayoritas sulit dibedakan dengan masyarakat nonsantri. Dengan demikian, cirri khas santri di era modern sejatinya dengan retorika berdakwah. Apapun tema yang disampaikan santri dalam orasinya yang pasti esensinya harus berbau nilai-nilai religi.
Jika kewajiban moral santri berdakwah, maka kewajiban lembaga pesantren terhadap santri harus bisa mengajarkannya retorika dakwah yang baik. Dengan demikian, identitas seorang santri tidak akan hilang. Santri modern lebih mengidentikan santrinya terhadap intelektualitas. Sedangkan santri abangan tidak mengenal intelektualitas, namun ciri khas retorika dakwahnya akan membahas esensi permasalahan dari satu titik sehingga dakwahnya rinci dan tajam. Berbeda dengan santri modern, ia akan menjabarkan suatu permasalahan dengan lebar, dibidik dari berbagai disiplin ilmu. Jadi, kendati mereka santri tetap saja dalam retorika dakwahynya bisa diindikasikan berbeda. Toh, kalaupun dari segi minoritas ada gaya berdakwahnya yang sesuai, gramatika misalnya. Wallahu a’lam.
Entah siapa yang mengtakan, bahwa kata santri berasal dari bahasa Inggris. Yaitu sun dan there, yang berarti tiga matahari. Saya belum pernah mendengar seseorang yang memaknai kata itu secara eksplisit. Namun, saya berpikir, bahwa mungkin yang disebut tiga matahari tiada lain adalah rukun agama, dimana tiga unsur itu wajib dimiliki oleh setiap umat Islam. Tiga rukun itu yaitu, Iman, Islam dan Ihsan. Dalam hal ini, saya mengindikasikan bahwa seorang santri pantas dan seharusnya memiliki tiga rukun iman tersebut dan terpatri di dalam dirinya.
Dengan demikian, kewajiban identitas santri adalah seorang yang memiliki keimanan yang kuat, dan hidupnya seiring dengan ajaran Islam serta mengindahkannya. Kemudian, dari keduanya jika telah terpatri dalam diri santri maka akan melahirkan sikap dan perilaku yang baik (Ihsan). Tentu sudah menjadi kewajiban moral bagi seorang santri hidup dengan ke’arifan Islam sebagai cerminan dari keimannya.
Setiap santri adalah muslim, namun tidak semua muslim dikatakan santri. Pembahasan tentang muslim—orang yang sudah masuk Islam—terlalu luas jika diidentikan dengan santri. Karena, hukum sosial telah menyudutkan pengertian santri sebagai orang yang mengaji dipesantren atau rajin mengaji dimasjid. Kalaupun ada celetusan yang mengatakan bahwa setiap muslim adalah santri, itu syah-syah saja dalam segi konteks. Namun, secara tekstual pengertian santri adalah orang-orang yang mengaji atau belajar ilmu agama pada sebuah lembaga pendidikan Islam—pesantren, baik tradisional ataupun modern. Kendati demikian, rupanya fleksiblitas pesantren mengikuti arus modernisasi tidak bisa dihindarkan, realitas objektif menunjukan adanya transformasi pesantren dari corak pesantren klasik (salafiyah) menjadi corak pesantren modern. Sehinngga orientasipun berubah, ada santri abangan yang mengaji di pesantren salafiyah dan santri intelek yang mengaji di pesantren modern.
Dalan konteks itu, apapun istilah santri entah itu abangan atau intelek yang pasti keduanya mempunyai sisi identik, yaitu dakwah. Dakwah bagi seorang santri merupakan kewajiban moral, sebagai identitas dari kekhasanya. Di zaman sekarang, seorang santri tidak diindikasikan sebagai orang yang selalu memakai kopiah, pakaian muslim lengkap dengan sarung, leher dililit oleh sorban atau lain sebagainnya. Sebab, jika dilihat dari sisi itu, maka santri modern mayoritas sulit dibedakan dengan masyarakat nonsantri. Dengan demikian, cirri khas santri di era modern sejatinya dengan retorika berdakwah. Apapun tema yang disampaikan santri dalam orasinya yang pasti esensinya harus berbau nilai-nilai religi.
Jika kewajiban moral santri berdakwah, maka kewajiban lembaga pesantren terhadap santri harus bisa mengajarkannya retorika dakwah yang baik. Dengan demikian, identitas seorang santri tidak akan hilang. Santri modern lebih mengidentikan santrinya terhadap intelektualitas. Sedangkan santri abangan tidak mengenal intelektualitas, namun ciri khas retorika dakwahnya akan membahas esensi permasalahan dari satu titik sehingga dakwahnya rinci dan tajam. Berbeda dengan santri modern, ia akan menjabarkan suatu permasalahan dengan lebar, dibidik dari berbagai disiplin ilmu. Jadi, kendati mereka santri tetap saja dalam retorika dakwahynya bisa diindikasikan berbeda. Toh, kalaupun dari segi minoritas ada gaya berdakwahnya yang sesuai, gramatika misalnya. Wallahu a’lam.
Mukjizat Al-Quran
Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa
(QS. Al-Baqarah: 2)
Kondisi bangsa ‘Arab sebelum kedatangan Islam sangat kacau balau, baik dari segi pemerintahan, sosial-budaya dan moralitas masyarakat. Kesemburautan dari segi pemerintahannya ialah, banyaknya qobilah (suku/ etnis) di Arab pra-Islam dan tidak adanya kekuatan integrasasi dari masyarakat. Dan itu menandakan suatu bangsa yang remuk. Qobilah yang terbesar dan terkuat itulah yang akan menguasi dan mempengaruhi qobilah lain yang lebih kecil sekaligus pemegang tampuk kekuasaan tertinggi dari bangsa ‘Arab.
Sedangkan dari segi sosial-budaya, adanya klasifikasi masyarakat, di mana si kaya kedudukannya lebih tinggi dari orang-orang miskin, dan perempuan derajatnya lebih rendah dari laki-laki. Dan yang paling parah adalah, adanya perbudakan (hamba sahaya) dan ini jelas melangar HAM (Hak Asasi Manusia). Ciri khas kerusakan masyarakat ‘Arab yang paling parah adalah demoralisasi (perilaku tidak bermoral) juga dikenal dengan istilah jahiliyah. Jahiliyahnya masyarakat ‘Arab disamping penyimpangan teologi (ketuhanan) juga penyimpangan nilai yang jauh dari cirri masyarakat bermoral. Misalnya, freesex (seks bebas, kekejaman rumah tangga (termasuk penganiyan terhadap budak), sering terjadinya pembunuhan dengan sebab yang sepele, pencurian, mabuk-mabukan dan lain sebagainya.
Kondisi masyarakat yang sangat carut-marut dengan ke-jahiliyahannya dalam waktu relatif singkat bisa tersusun kembali dengan rapih dan lebih dinamis. Karena kehadiran Al-Quran yang di bawa Rasulullah sebagai pusaka sang Nabi mampu menggoyahkan ideologi ‘Arab dari tidak keberaturan menjadi negara yang terorganisir karena pengaruh dahsyat dari al-Quran. Gempuran ayat-ayat al-Quran mematahkan ideologi ‘Arab dengan pesannya yang dahsyat, tajam, aktual, faktual dan kritik konstruktif, selain itu dengan bahasanya yang halus dan sastrawi mampu meruntuhkan keangkuhan masyarakat ‘Arab. Jangankan dari pesan ayatnya, dari susunan bahasanya saja yang sarat dengan nilai-nilai sastra mampu mendongkolkan masyarakat ‘Arab dengan syai’ir-sya’irnya yang indah.
Ideologi bangsa ‘Arab yang dulu sarat dengan mistis, dalam waktu relatif singkat telah digeser oleh sang Nabi dengan menggunakan al-Quran menjadi ideologi tahuid. Merubah keyakinan adalah hal yang sangat sulit, tapi dengan kesaktian al-Quran dari bahasa, makna, pesan dan isi kandungannya masyarakat ‘Arab terpengaruh dan merubah keyakinanya. Yang tadinya penyembah berhala menjadi hamba Allah yang beriman. Hal demikian itu merupakan bukti dari kemukjizatan al-Quran.
Perubahan besar dengan waktu yang relative singkat yang terjadi di Negara ‘Arab karena pengaruh al-Quran adalah bukti bersejarah yang tidak akan hilang dari pengalaman umat manusia. Lantas, bagaimana kehadiran al-Qur’an di zaman yang syarat dengan ketiadaan pegangan etika moral? Juga banyak yang menyinggung bahwa perpecahan dikalangan umat Islam adalah karena pengaruh al-Quran yang memiliki banyak penafsiran sehingga menimbulkan hukum yang berbeda pula?
Al-Quran bukan pemecah belah
Jika kita mengamati secara seksama, justru salah satu kemukzijatan al-Quran adalah relevannya pesan-pesan teks dalam memproduksi terhadap hukum-hukum yang baru yang berkembang di msayarakat. Di manapun dan kapanpun. Al-Quran adalah kitab yang fleksibel, yang selalu bisa dikaji untuk memecahkan suatu masalah. Sebagai pedoman hidup umat Islam, al-Quran akan selalu menjawabnya. Kemampuannya menjawab berbagai persoalan memang harus di dukung dengan ilmu-ilmu lainnya (‘ulumul-quran) sebagai alat untuk menafsirkannya. Nah, dengan penafsiran inilah semua hukum Islam berkorelasi dengan ayat-ayatnya. Jadi, jelaslah bahwa kedinamisan al-Quran adalah salah satu bukti keunggulannya atau mukjizat tak terhingga.
Mengkaji al-Quran membutuhkan disiplin ilmu lainnya yang membantu mempermudah menafsirkan ayatnya. Maka kehadiran hadits Rasulullah pun sangat penting. Karena, hadits Rasulullah adalah bayan (penjelas) al-Quran yang utama disamping ‘ijma (kompromi para ulama dalam suatu hukum Islam) dan qiyas (analogi hukum). Kendati hadits menurut mayoritas ‘ulama disepakati sebagai sumber hukum Islam yang ,munfarid (sendiri bukan sub dari al-Quran). Tetapi mereka juga sepakat bahwa hadits adalah penjelas dari al-Quran. Karena, semua syari’at yang diceritakan hadits tidak akan melenceng dari al-Quran, dan keduanya adalah satu kesatuan yang utuh (satu paket).
Seandainya ada hukum yang tidak relefan dengan al-Quran, maka hadits itu dinyatakan dho’if (lemah, tidak bisa dijadikan hukum). Bukti bahwa hadits penjelas ayat al-Quran misalnya, al-Quran sering menyinggung lafadz “aminuu billahi wa al-yaumi al-akhir” artinya: “berimanlah kepada Allah dan hari kiamat”. Dalam ajaran Islam rukun Iman ada enam yaitu iman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab-Nya, para rasul, hari kiamat dan qada dan qadhar. Contoh ayat di atas hanya menyinggung dua yaitu beriman kepada Allah dan hari kiamat. Padahal yang dimaksud ayat itu adalah semua rukun iman, dan hadislah yang menjelaskannya bahwa al-Quran hanya menyebutkan contoh dua rukun iman. Disinilah kita harus memahami, bahwa al-Quran itu jelas sumber utama hukum Islam, toh walaupun hanya menyitir garis besarnya saja.
Al-Quraan sebagai mukjizat Rasulullah tidak akan bisa dikalahkan oleh kitab manapun dan dari segi apapun. Bahkan Allah memberikan sub-nama pada al-Quran dengan al-bayan maksudnya sebagai penjelas dari kitab terdahulu yaitu Injil, Taurat dan Zabur. Ke-al-bayan-an al-Quran bisa kita buktikan dengan kitab terdahulu karena di sana akan ada penjelasan tentang al-Quran walaupun yang sering diceritakannya kenubuwatan Rasulullah yang membawa al-Quran. Jadi, apapun hukum yang berkembang dimasyarakat baik masyarakat terdahulu atau masyarakat modern bisa dipecahkan dengan al-Quran. Hanya saja kita harus pandai memahami al-Quran dengan berbagai ilmunya. Inilah salah satu keunggulan al-Quran dan tidak semua orang bisa menafsrikan al-quran seenae dewek. Karena hanya orang yang berilmu dan beriman yang mampu menafsirkannya.
Yakinlah bahwa al-Quran itu merupakan petunjuk bagi manusia, khususnya umat Islam sebagaimana Allah mengenalkan al-Quran kepada manusia sebagai petunjuk bagi orang –orang yang bertaqwa (al-baqarah: 2). Disitir hanya orang bertaqwa yang mampu menjadikannya petunjuk, disebabkan, jika semua orang mengerti (bisa menafsirkan al-Quran) maka keutuhan al-Quran akan terancam. Keihtilafan makna dan isi kandungan akan terbuka lebar dan bisa menyesatkan karena orang tidak berilmu juga menafsirkan al-Quran. Adapun bagi orang yang tidak mengerti bahasa al-Quran solusinya bertanya pada yang mampu (orang taqwa dan berilmu). Maka disanalah al-Quran sebagai petunjuk manusia, tidak harus mengerti bahasa (jika tidak mampu ilmunya).
Jelas, al-Quran adalah pedoman hidup umat Islam sepanjang zaman, pusaka tersakti yang dimiliki kaum Muslimin. Dimana integritas, rasa bersudara, spirit ibadah dan perjuangan, harapan keyakinan akan adanya kebahagiaan akhirat, dan ancaman neraka dan lain sebagainya, semuanya kita rasakan dan kita ketahui dari al-Quran. Maka berpegang teguhlah sekalian kaum muslimin kepada kitab Allah yang mulia, agar hidup kita sejalan dengan Islam. alhasil sampai pada tujuan akhir yakni bahagia dunia dan akhirat.
(QS. Al-Baqarah: 2)
Kondisi bangsa ‘Arab sebelum kedatangan Islam sangat kacau balau, baik dari segi pemerintahan, sosial-budaya dan moralitas masyarakat. Kesemburautan dari segi pemerintahannya ialah, banyaknya qobilah (suku/ etnis) di Arab pra-Islam dan tidak adanya kekuatan integrasasi dari masyarakat. Dan itu menandakan suatu bangsa yang remuk. Qobilah yang terbesar dan terkuat itulah yang akan menguasi dan mempengaruhi qobilah lain yang lebih kecil sekaligus pemegang tampuk kekuasaan tertinggi dari bangsa ‘Arab.
Sedangkan dari segi sosial-budaya, adanya klasifikasi masyarakat, di mana si kaya kedudukannya lebih tinggi dari orang-orang miskin, dan perempuan derajatnya lebih rendah dari laki-laki. Dan yang paling parah adalah, adanya perbudakan (hamba sahaya) dan ini jelas melangar HAM (Hak Asasi Manusia). Ciri khas kerusakan masyarakat ‘Arab yang paling parah adalah demoralisasi (perilaku tidak bermoral) juga dikenal dengan istilah jahiliyah. Jahiliyahnya masyarakat ‘Arab disamping penyimpangan teologi (ketuhanan) juga penyimpangan nilai yang jauh dari cirri masyarakat bermoral. Misalnya, freesex (seks bebas, kekejaman rumah tangga (termasuk penganiyan terhadap budak), sering terjadinya pembunuhan dengan sebab yang sepele, pencurian, mabuk-mabukan dan lain sebagainya.
Kondisi masyarakat yang sangat carut-marut dengan ke-jahiliyahannya dalam waktu relatif singkat bisa tersusun kembali dengan rapih dan lebih dinamis. Karena kehadiran Al-Quran yang di bawa Rasulullah sebagai pusaka sang Nabi mampu menggoyahkan ideologi ‘Arab dari tidak keberaturan menjadi negara yang terorganisir karena pengaruh dahsyat dari al-Quran. Gempuran ayat-ayat al-Quran mematahkan ideologi ‘Arab dengan pesannya yang dahsyat, tajam, aktual, faktual dan kritik konstruktif, selain itu dengan bahasanya yang halus dan sastrawi mampu meruntuhkan keangkuhan masyarakat ‘Arab. Jangankan dari pesan ayatnya, dari susunan bahasanya saja yang sarat dengan nilai-nilai sastra mampu mendongkolkan masyarakat ‘Arab dengan syai’ir-sya’irnya yang indah.
Ideologi bangsa ‘Arab yang dulu sarat dengan mistis, dalam waktu relatif singkat telah digeser oleh sang Nabi dengan menggunakan al-Quran menjadi ideologi tahuid. Merubah keyakinan adalah hal yang sangat sulit, tapi dengan kesaktian al-Quran dari bahasa, makna, pesan dan isi kandungannya masyarakat ‘Arab terpengaruh dan merubah keyakinanya. Yang tadinya penyembah berhala menjadi hamba Allah yang beriman. Hal demikian itu merupakan bukti dari kemukjizatan al-Quran.
Perubahan besar dengan waktu yang relative singkat yang terjadi di Negara ‘Arab karena pengaruh al-Quran adalah bukti bersejarah yang tidak akan hilang dari pengalaman umat manusia. Lantas, bagaimana kehadiran al-Qur’an di zaman yang syarat dengan ketiadaan pegangan etika moral? Juga banyak yang menyinggung bahwa perpecahan dikalangan umat Islam adalah karena pengaruh al-Quran yang memiliki banyak penafsiran sehingga menimbulkan hukum yang berbeda pula?
Al-Quran bukan pemecah belah
Jika kita mengamati secara seksama, justru salah satu kemukzijatan al-Quran adalah relevannya pesan-pesan teks dalam memproduksi terhadap hukum-hukum yang baru yang berkembang di msayarakat. Di manapun dan kapanpun. Al-Quran adalah kitab yang fleksibel, yang selalu bisa dikaji untuk memecahkan suatu masalah. Sebagai pedoman hidup umat Islam, al-Quran akan selalu menjawabnya. Kemampuannya menjawab berbagai persoalan memang harus di dukung dengan ilmu-ilmu lainnya (‘ulumul-quran) sebagai alat untuk menafsirkannya. Nah, dengan penafsiran inilah semua hukum Islam berkorelasi dengan ayat-ayatnya. Jadi, jelaslah bahwa kedinamisan al-Quran adalah salah satu bukti keunggulannya atau mukjizat tak terhingga.
Mengkaji al-Quran membutuhkan disiplin ilmu lainnya yang membantu mempermudah menafsirkan ayatnya. Maka kehadiran hadits Rasulullah pun sangat penting. Karena, hadits Rasulullah adalah bayan (penjelas) al-Quran yang utama disamping ‘ijma (kompromi para ulama dalam suatu hukum Islam) dan qiyas (analogi hukum). Kendati hadits menurut mayoritas ‘ulama disepakati sebagai sumber hukum Islam yang ,munfarid (sendiri bukan sub dari al-Quran). Tetapi mereka juga sepakat bahwa hadits adalah penjelas dari al-Quran. Karena, semua syari’at yang diceritakan hadits tidak akan melenceng dari al-Quran, dan keduanya adalah satu kesatuan yang utuh (satu paket).
Seandainya ada hukum yang tidak relefan dengan al-Quran, maka hadits itu dinyatakan dho’if (lemah, tidak bisa dijadikan hukum). Bukti bahwa hadits penjelas ayat al-Quran misalnya, al-Quran sering menyinggung lafadz “aminuu billahi wa al-yaumi al-akhir” artinya: “berimanlah kepada Allah dan hari kiamat”. Dalam ajaran Islam rukun Iman ada enam yaitu iman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab-Nya, para rasul, hari kiamat dan qada dan qadhar. Contoh ayat di atas hanya menyinggung dua yaitu beriman kepada Allah dan hari kiamat. Padahal yang dimaksud ayat itu adalah semua rukun iman, dan hadislah yang menjelaskannya bahwa al-Quran hanya menyebutkan contoh dua rukun iman. Disinilah kita harus memahami, bahwa al-Quran itu jelas sumber utama hukum Islam, toh walaupun hanya menyitir garis besarnya saja.
Al-Quraan sebagai mukjizat Rasulullah tidak akan bisa dikalahkan oleh kitab manapun dan dari segi apapun. Bahkan Allah memberikan sub-nama pada al-Quran dengan al-bayan maksudnya sebagai penjelas dari kitab terdahulu yaitu Injil, Taurat dan Zabur. Ke-al-bayan-an al-Quran bisa kita buktikan dengan kitab terdahulu karena di sana akan ada penjelasan tentang al-Quran walaupun yang sering diceritakannya kenubuwatan Rasulullah yang membawa al-Quran. Jadi, apapun hukum yang berkembang dimasyarakat baik masyarakat terdahulu atau masyarakat modern bisa dipecahkan dengan al-Quran. Hanya saja kita harus pandai memahami al-Quran dengan berbagai ilmunya. Inilah salah satu keunggulan al-Quran dan tidak semua orang bisa menafsrikan al-quran seenae dewek. Karena hanya orang yang berilmu dan beriman yang mampu menafsirkannya.
Yakinlah bahwa al-Quran itu merupakan petunjuk bagi manusia, khususnya umat Islam sebagaimana Allah mengenalkan al-Quran kepada manusia sebagai petunjuk bagi orang –orang yang bertaqwa (al-baqarah: 2). Disitir hanya orang bertaqwa yang mampu menjadikannya petunjuk, disebabkan, jika semua orang mengerti (bisa menafsirkan al-Quran) maka keutuhan al-Quran akan terancam. Keihtilafan makna dan isi kandungan akan terbuka lebar dan bisa menyesatkan karena orang tidak berilmu juga menafsirkan al-Quran. Adapun bagi orang yang tidak mengerti bahasa al-Quran solusinya bertanya pada yang mampu (orang taqwa dan berilmu). Maka disanalah al-Quran sebagai petunjuk manusia, tidak harus mengerti bahasa (jika tidak mampu ilmunya).
Jelas, al-Quran adalah pedoman hidup umat Islam sepanjang zaman, pusaka tersakti yang dimiliki kaum Muslimin. Dimana integritas, rasa bersudara, spirit ibadah dan perjuangan, harapan keyakinan akan adanya kebahagiaan akhirat, dan ancaman neraka dan lain sebagainya, semuanya kita rasakan dan kita ketahui dari al-Quran. Maka berpegang teguhlah sekalian kaum muslimin kepada kitab Allah yang mulia, agar hidup kita sejalan dengan Islam. alhasil sampai pada tujuan akhir yakni bahagia dunia dan akhirat.
Pemuda dan Ancaman Demoralisasi
Oleh DASAM SYAMSUDIN
Last not but least, sudah saatnya, kita membangun masyarakat yang menjunjung tinggi moralitas dan nilai-nilai budaya lokal. Bukankah, pemuda adalah generasi bangsa, penerus bangsa, pemertahan kibaran Sang Merah Putih di langit yang biru? Bahkan Presiden Pertama RI, Soekarno berteriak, "Berikan aku satu pemuda maka akan aku guncang Indonesia, berikan aku sepuluh orang pemuda maka akan aku guncang dunia.".
Mendekati hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober, hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi pemuda, mestinya kita merenung. 28 Oktober 1928 adalah moment historis bagi para pemuda dalam merumuskan kesatuan dan persatuan, sehingga mampu memodali diri untuk terus mengusir penjajah yang selama ratusan tahun bercokol di negara kita. Cipratan darah di dinding-dinding bangunan tua Surabaya menjadi saksi atas pengorbanan para pemuda, yang gagah berani mengusir penjajah dari tanah air Indonesia.
Namun, sekarang rupanya momen bersejarah itu hanya ingatan tekstual yang terlampir pada lembaran buku–buku sejarah bangsa. Pemuda masa kini, yang hidup di tengah arus globalisasi banyak yang tidak bertahan dan hanyut terbawa arus gaya hidup amoral. Hidup ala cowboy atau kebarat-baratan akrab dengan kehidupan para pemuda. Rasa gengsi dengan budaya lokal, bangga dengan budaya luar adalah cikal bakal lahirnya pemuda yang kurang respek dengan agama dan sejuta kearifan lokal bangsanya.
Jika dulu (prakemerdekaan) para pemuda memegang senjata dengan kekhawatiran negara yang dicintainya dicuri bangsa lain. Kini, pemuda tidak mempunyai pegangan apa-apa. Pendidikan sebagai asas pencetak karakter juga, bagi sebagian pemuda hanyalah formalitas, bukan urgensi kehidupan. Tingkat pendidikan Indonesia memang meningkat jika dibandingkan dengan zaman dulu, apalagi zaman penjajahan. Akan tetapi, kepintaran kaum muda saat ini, tidak dibarengi ketangguhan moral yang seharusnya terus meningkat.
Rapuh pijakan
Dekadensi moral pemuda, sebagai anak bangsa adalah dampak dari tidak adanya pijakan terhadap nilai-nilai yang sarat teladan. Mengonsumsi narkoba dan miras menjadi hal yang biasa menurut sebagian kalangan pemuda. Mereka menganggap bahwa hal itu hanya keisengan semata. Pesta seks dan narkoba sering terngiang di telinga. Bahkan, hampir setiap hari, media melaporkan kejahatan yang dilakukan pemuda amoral. Misalnya, kasus pemuda yang meninggal akibat menenggak minuman yang haram di daerah Indramayu.
Minuman keras dan narkoba telah mempengaruhi dan meracuni para pemuda sehingga masa depan mereka terkikis habis. Bukan hanya narkoba dan miras saja yang menjadi indikator demoralisasi. Tidak kalah berbahayanya adalah freesex. Kebebasan seks juga merajalela di kalangan pemuda. Penganut seks bebas merasa hal itu tidak salah dan wajar. Parahnya lagi, mereka tidak menyadari bahwa dibalik perilaku itu akan menyebabkan mereka rawan terkena AIDS dan penyakit lainnya.
Hidup modern yang dianut pemuda Indonesia, tidak dilandasi dengan nilai moral dan cenderung mengadopsi budaya negatif modernitas, menjerumuskannya ke lembah degradasi laku, di mana tidak akan ditemui lagi masa depan yang cerah. Pemuda yang tidak bisa menyaring budaya Barat dan arus modernitas akan menyebabkan dua arus itu sebagai ancaman bagi masa depannya. Padahal jika ia mampu memaknai modernitas, pasti ia akan menemukan kebaikan-kebaikan yang dikandungnya.
Ancaman demoralisasi pemuda terus menerus melanda bangsa ini. Pornoaksi dan pornografi seringkali menjadi tontonan umum, bahkan tuntunan. Efek yang ditimbulkan dari pornoaksi dan pornografi adalah lahirnya paham seks bebas. Televisi, internet, dan CD/DVD forno menayangkannya seolah tuntutan pasar. Sehingga, dampaknya pada pemuda, mereka banyak yang mengikuti gaya hidup tersebut. Tayangan gaya hidup negatif Barat terus menerus menyeret pemuda ke kandang modernitas dan mengikatnya, hingga mereka berkiblat pada laku lampah Barat yang tak beradab. Inilah racun yang sangat ditakuti mendegradasi kepribadian generasi muda bangsa ini.
Tayangan-tayangan film yang kurang bermoral seharusnya jangan diputar pada jam-jam di mana banyak orang suka menonton TV. Hal ini dikhawatirkan terekam oleh anak kecil dan dipraktikannya dalam kehidupan nyata. Seandainya terus dibiarkan, dekadensi moral akan mendera kalangan muda dan mengikis eksistensi kader bangsa yang berkualitas. Akibatnya, jika pejabat dicetak dari seorang pemuda yang akhlaknya bobrok, pejabatnya rusak dan sistem pemerintahan pun semrawut karena dipimpin orang yang tidak bermoral.
Pemuda semestinya
Ancaman demoralisasi adalah permasalahan bangsa yang sangat menakutkan dan sangat berbahaya. Jika hal ini terus-menerus dibiarkan, maka akan mengakar di diri tiap pemuda, bahkan seluruh lapisan masyarakat akan terkena dampak krisis moral ini. Kelalaian dan keteledoran bangsa Indonesia dalam menjaring setiap budaya yang masuk ke negara ini, melahirkan dampak yang negatif dan merusak. Westernisasi yang dibiarkan, lama–kelamaan akan menghapus kebudayaan lokal yang penuh dengan kearifan hidup.
Jika ancaman demoralisasi tidak disikapi dengan serius, kita tidak akan jadi bangsa yang maju, tidak akan ada yang berteriak "merdeka" untuk membela tanah air ini. Mungkin korban pemuda yang mati karena minuman keras, narkoba, AIDS atau lainnya akan jadi pemandangan yang mengerikan setiap hari. Maka, media sebagai alat informasi selayaknya menayangkan hal-hal yang memotivasi, setidaknya kritis moralis atau kritis konstruktif demi membangkitkan gairah pemuda. Menyadarkannya bahwa "Bangsa Indonesia membutuhkan pemuda yang bermoral, bahkan mereka adalah harapan Bangsa".
Last not but least, sudah saatnya, kita membangun masyarakat yang menjunjung tinggi moralitas dan nilai-nilai budaya lokal. Bukankah, pemuda adalah generasi bangsa, penerus bangsa, pemertahan kibaran Sang Merah Putih di langit yang biru? Bahkan Presiden Pertama RI, Soekarno berteriak, "Berikan aku satu pemuda maka akan aku guncang Indonesia, berikan aku sepuluh orang pemuda maka akan aku guncang dunia."
Last not but least, sudah saatnya, kita membangun masyarakat yang menjunjung tinggi moralitas dan nilai-nilai budaya lokal. Bukankah, pemuda adalah generasi bangsa, penerus bangsa, pemertahan kibaran Sang Merah Putih di langit yang biru? Bahkan Presiden Pertama RI, Soekarno berteriak, "Berikan aku satu pemuda maka akan aku guncang Indonesia, berikan aku sepuluh orang pemuda maka akan aku guncang dunia.".
Mendekati hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober, hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi pemuda, mestinya kita merenung. 28 Oktober 1928 adalah moment historis bagi para pemuda dalam merumuskan kesatuan dan persatuan, sehingga mampu memodali diri untuk terus mengusir penjajah yang selama ratusan tahun bercokol di negara kita. Cipratan darah di dinding-dinding bangunan tua Surabaya menjadi saksi atas pengorbanan para pemuda, yang gagah berani mengusir penjajah dari tanah air Indonesia.
Namun, sekarang rupanya momen bersejarah itu hanya ingatan tekstual yang terlampir pada lembaran buku–buku sejarah bangsa. Pemuda masa kini, yang hidup di tengah arus globalisasi banyak yang tidak bertahan dan hanyut terbawa arus gaya hidup amoral. Hidup ala cowboy atau kebarat-baratan akrab dengan kehidupan para pemuda. Rasa gengsi dengan budaya lokal, bangga dengan budaya luar adalah cikal bakal lahirnya pemuda yang kurang respek dengan agama dan sejuta kearifan lokal bangsanya.
Jika dulu (prakemerdekaan) para pemuda memegang senjata dengan kekhawatiran negara yang dicintainya dicuri bangsa lain. Kini, pemuda tidak mempunyai pegangan apa-apa. Pendidikan sebagai asas pencetak karakter juga, bagi sebagian pemuda hanyalah formalitas, bukan urgensi kehidupan. Tingkat pendidikan Indonesia memang meningkat jika dibandingkan dengan zaman dulu, apalagi zaman penjajahan. Akan tetapi, kepintaran kaum muda saat ini, tidak dibarengi ketangguhan moral yang seharusnya terus meningkat.
Rapuh pijakan
Dekadensi moral pemuda, sebagai anak bangsa adalah dampak dari tidak adanya pijakan terhadap nilai-nilai yang sarat teladan. Mengonsumsi narkoba dan miras menjadi hal yang biasa menurut sebagian kalangan pemuda. Mereka menganggap bahwa hal itu hanya keisengan semata. Pesta seks dan narkoba sering terngiang di telinga. Bahkan, hampir setiap hari, media melaporkan kejahatan yang dilakukan pemuda amoral. Misalnya, kasus pemuda yang meninggal akibat menenggak minuman yang haram di daerah Indramayu.
Minuman keras dan narkoba telah mempengaruhi dan meracuni para pemuda sehingga masa depan mereka terkikis habis. Bukan hanya narkoba dan miras saja yang menjadi indikator demoralisasi. Tidak kalah berbahayanya adalah freesex. Kebebasan seks juga merajalela di kalangan pemuda. Penganut seks bebas merasa hal itu tidak salah dan wajar. Parahnya lagi, mereka tidak menyadari bahwa dibalik perilaku itu akan menyebabkan mereka rawan terkena AIDS dan penyakit lainnya.
Hidup modern yang dianut pemuda Indonesia, tidak dilandasi dengan nilai moral dan cenderung mengadopsi budaya negatif modernitas, menjerumuskannya ke lembah degradasi laku, di mana tidak akan ditemui lagi masa depan yang cerah. Pemuda yang tidak bisa menyaring budaya Barat dan arus modernitas akan menyebabkan dua arus itu sebagai ancaman bagi masa depannya. Padahal jika ia mampu memaknai modernitas, pasti ia akan menemukan kebaikan-kebaikan yang dikandungnya.
Ancaman demoralisasi pemuda terus menerus melanda bangsa ini. Pornoaksi dan pornografi seringkali menjadi tontonan umum, bahkan tuntunan. Efek yang ditimbulkan dari pornoaksi dan pornografi adalah lahirnya paham seks bebas. Televisi, internet, dan CD/DVD forno menayangkannya seolah tuntutan pasar. Sehingga, dampaknya pada pemuda, mereka banyak yang mengikuti gaya hidup tersebut. Tayangan gaya hidup negatif Barat terus menerus menyeret pemuda ke kandang modernitas dan mengikatnya, hingga mereka berkiblat pada laku lampah Barat yang tak beradab. Inilah racun yang sangat ditakuti mendegradasi kepribadian generasi muda bangsa ini.
Tayangan-tayangan film yang kurang bermoral seharusnya jangan diputar pada jam-jam di mana banyak orang suka menonton TV. Hal ini dikhawatirkan terekam oleh anak kecil dan dipraktikannya dalam kehidupan nyata. Seandainya terus dibiarkan, dekadensi moral akan mendera kalangan muda dan mengikis eksistensi kader bangsa yang berkualitas. Akibatnya, jika pejabat dicetak dari seorang pemuda yang akhlaknya bobrok, pejabatnya rusak dan sistem pemerintahan pun semrawut karena dipimpin orang yang tidak bermoral.
Pemuda semestinya
Ancaman demoralisasi adalah permasalahan bangsa yang sangat menakutkan dan sangat berbahaya. Jika hal ini terus-menerus dibiarkan, maka akan mengakar di diri tiap pemuda, bahkan seluruh lapisan masyarakat akan terkena dampak krisis moral ini. Kelalaian dan keteledoran bangsa Indonesia dalam menjaring setiap budaya yang masuk ke negara ini, melahirkan dampak yang negatif dan merusak. Westernisasi yang dibiarkan, lama–kelamaan akan menghapus kebudayaan lokal yang penuh dengan kearifan hidup.
Jika ancaman demoralisasi tidak disikapi dengan serius, kita tidak akan jadi bangsa yang maju, tidak akan ada yang berteriak "merdeka" untuk membela tanah air ini. Mungkin korban pemuda yang mati karena minuman keras, narkoba, AIDS atau lainnya akan jadi pemandangan yang mengerikan setiap hari. Maka, media sebagai alat informasi selayaknya menayangkan hal-hal yang memotivasi, setidaknya kritis moralis atau kritis konstruktif demi membangkitkan gairah pemuda. Menyadarkannya bahwa "Bangsa Indonesia membutuhkan pemuda yang bermoral, bahkan mereka adalah harapan Bangsa".
Last not but least, sudah saatnya, kita membangun masyarakat yang menjunjung tinggi moralitas dan nilai-nilai budaya lokal. Bukankah, pemuda adalah generasi bangsa, penerus bangsa, pemertahan kibaran Sang Merah Putih di langit yang biru? Bahkan Presiden Pertama RI, Soekarno berteriak, "Berikan aku satu pemuda maka akan aku guncang Indonesia, berikan aku sepuluh orang pemuda maka akan aku guncang dunia."
Benahi Parpol, Teliti Memilih Caleg
Oleh DASAM SYAMSUDIN
Penentuan calon tak sesuai dengan para meter partai nomor 008 (HANURA). Yang baru kenal dan bukan asal partai, tiba-tiba menjadi calon. Sistem manajemen yang digunakan, seperti manajemen perusahaan."
Tiga alasan itu, diutarakan oleh belasan Caleg yang mengundurkan diri sebagai legislator kabupaten Cirebon dari partai HANURA (Hati Nurani Rakyat). Itu yang dilaporkan TRIBUN JABAR, Kamis, 30 Oktober 2008.
Ironis, konstalasi perpolitikan di Indonesia selalu ada aja masalah yang mungkin di Negara lain tidak akan ditemuinya. Bayangkan, ketidak telitian Parpol nomor 008 ini telah menggurat aib di diri parpol yang akan berakibat pada perolehan suara yang akan di kantonginya. Belasan para calon legisalatornya mengudunrkan diri secara berjama,ah. Karena, memandang partai nomor 008 ini tidak bisa memilih calon yang berkualitas dan kurang terorganisir dalam memanajemen partainya.
Kekeliruan memanajemen Partai Politik, seperti manajemen perusahaan adalah imege yang buruk bagi sebuah organisasi partai politik. Kenapa? Karena, parpol adalah organisasi politik yang mengusung salah satu calonnya untuk duduk dikursi kepemerintahan. Bagaimana ia bisa mengatur pemerintahan yang besar jika partainya saja tidak terorganisir?
Manajemen organisasi partai, sejatinya, tidak mesti serupa dengan manejamen perusahaan. Manajemen perusahaan berindikasi mengeruk laba yang banyak demi keuntungan, dan ini wajar. Coba kalau parpol seperti ini, pasti ia terlatih untuk mengeruk keuntungan dari sebuah organisasi yang pada akhirnya akan mencetak legislator yang pragmatis. Mementingkan diri sendiri, "Se enae dewek!" .
Organisasi politik seharusnya
Tujuan dari sebuah organisasi, pasti pada dasarnya untuk kepentingan organisasi dan para anggotanya. Tapi, kalau sudah bicara politik, bukan tujuan kepentingan organisasi lagi,atau untuk kepentingan pribadi. Melainkan untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat, karena memang itu tujuan didirikannya parpol. Bukankah setiap berdirinya Parpol karena menginginkan perubahan pada sistem pemerintahan kearah yang lebih baik lagi?. Saya kira demikian, karena setiap calon dari parpol mempresentasikannya seperti itu. Dengan menebar janji akan memperbaiki sistem pemerintah yang lemah dan mensejahterakan rakyat.
Kalau kiranya demikian, maka kepentingan pribadi organisasi berada pada peringkat dua, yang penting kepentingan bangsa dan masyarakat. Organisasi partai politik, sejatinya memang harus bertujuan mensejahterakan rakyat dan untuk mencapai tujuan ini, diperlukan kadernya yang militan dan intelektual yang bermoral. Calon legislator dari setiap parpol harus mengutamakan kader yang berintelek tinggi dan berkepribadian baik, bukan hanya mengandalkan senioritas dan popularitas. Apalah arti semua itu, kalau toh pada akhirnya tak berarti bagi masayarakat, dan selanjutnya akan merusak nama baik parpol.
Seyogyanya semua parpol mengorganisir partainya dan menyusun konsep yang kiranya akan mampu membawa Indonesia atau daerahnya kearah yang lebih maju. Wajar, bila parpol berusaha mengumpulkan suara sebanyak-banyknya, karena ini Negara demokrasi. Namun, kurang ajar, bila caleg yang diusung parpol berusaha mengumpulkan keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan nasib rakyat. Untuk itu, ketelitian memilih caleg dari setiap parpol harus sangan teliti demi perkebaikan Negara dan partainya.
Selektif dalam memilih Caleg
Berita tentang pejabat pemerintah yang menggunakan Ijazah palsu sebagai legalitas dan identitas dari kedudukannya, sampai sekarang masih terdengar. Disamping itu, berita tentang tindak korupsi seorang wakil rakyat, wakil daerah dan yang lainnya masih aktual sampai sekarang. Bahkan, seorang pejabat yang terhormat terpaksa harus mencopot jabatannya dan mendekam dipenjara karena tindak korupsi dan pemalsuan ijazah.
Sebenarnya, adanya pemalsuan ijazah dan tindak korupsi dikalangan pejabat Negara, karena implikasi dari usungan parpol terhadap calonnya yang tidak selektif. Tidak sedikit parpol yang mengusung calon legislator berdasarkan senioritasnya atau popularitasnya, tidak intelektualitas dan moralitsnya. Hal inilah yang pada akhirnya menelurkan pejabat-pejabat yang tidak cerdas dan tidak mementingkan nasib rakyat.
Oleh karena itu, parpol dalam memilih calon yang akan diusungnya harus berdasarkan criteria yang layak disandang oleh seorang caleg. Jangan main cabut aja! Nanti, kalau calonnya gak bisa mimpin, kan parpol juga yang rugi, namanya tercoreng. Apalagi rakyat, kalau dipimpin oleh pemimpin yang tidak cerdas dan tidak bermoral, bagaimana jadinya? Bukanya mensejahterakan rakyat dan menyelsaikan masalah, malah akan menyengsarakan rakyat dan menambah masalah.
Bukan parpol saja yang harus bisa milih, tapi masyarakat pun dalam memilih caleg harus selektif. Jangan main coblos aja karena menerima suap. Kalau masayarakat ingin mempunyai pemimpin yang bisa mensejahterakanya, pandai-pandailah memilih caleg. Jangan mau menerima suap, karena hal itu sama saja kita membantunya berbuat jahat. Pilihlah partai dan caleg sesuai criteria pemimpin yang sepantasnya jadi pemimpin.
Penentuan calon tak sesuai dengan para meter partai nomor 008 (HANURA). Yang baru kenal dan bukan asal partai, tiba-tiba menjadi calon. Sistem manajemen yang digunakan, seperti manajemen perusahaan."
Tiga alasan itu, diutarakan oleh belasan Caleg yang mengundurkan diri sebagai legislator kabupaten Cirebon dari partai HANURA (Hati Nurani Rakyat). Itu yang dilaporkan TRIBUN JABAR, Kamis, 30 Oktober 2008.
Ironis, konstalasi perpolitikan di Indonesia selalu ada aja masalah yang mungkin di Negara lain tidak akan ditemuinya. Bayangkan, ketidak telitian Parpol nomor 008 ini telah menggurat aib di diri parpol yang akan berakibat pada perolehan suara yang akan di kantonginya. Belasan para calon legisalatornya mengudunrkan diri secara berjama,ah. Karena, memandang partai nomor 008 ini tidak bisa memilih calon yang berkualitas dan kurang terorganisir dalam memanajemen partainya.
Kekeliruan memanajemen Partai Politik, seperti manajemen perusahaan adalah imege yang buruk bagi sebuah organisasi partai politik. Kenapa? Karena, parpol adalah organisasi politik yang mengusung salah satu calonnya untuk duduk dikursi kepemerintahan. Bagaimana ia bisa mengatur pemerintahan yang besar jika partainya saja tidak terorganisir?
Manajemen organisasi partai, sejatinya, tidak mesti serupa dengan manejamen perusahaan. Manajemen perusahaan berindikasi mengeruk laba yang banyak demi keuntungan, dan ini wajar. Coba kalau parpol seperti ini, pasti ia terlatih untuk mengeruk keuntungan dari sebuah organisasi yang pada akhirnya akan mencetak legislator yang pragmatis. Mementingkan diri sendiri, "Se enae dewek!" .
Organisasi politik seharusnya
Tujuan dari sebuah organisasi, pasti pada dasarnya untuk kepentingan organisasi dan para anggotanya. Tapi, kalau sudah bicara politik, bukan tujuan kepentingan organisasi lagi,atau untuk kepentingan pribadi. Melainkan untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat, karena memang itu tujuan didirikannya parpol. Bukankah setiap berdirinya Parpol karena menginginkan perubahan pada sistem pemerintahan kearah yang lebih baik lagi?. Saya kira demikian, karena setiap calon dari parpol mempresentasikannya seperti itu. Dengan menebar janji akan memperbaiki sistem pemerintah yang lemah dan mensejahterakan rakyat.
Kalau kiranya demikian, maka kepentingan pribadi organisasi berada pada peringkat dua, yang penting kepentingan bangsa dan masyarakat. Organisasi partai politik, sejatinya memang harus bertujuan mensejahterakan rakyat dan untuk mencapai tujuan ini, diperlukan kadernya yang militan dan intelektual yang bermoral. Calon legislator dari setiap parpol harus mengutamakan kader yang berintelek tinggi dan berkepribadian baik, bukan hanya mengandalkan senioritas dan popularitas. Apalah arti semua itu, kalau toh pada akhirnya tak berarti bagi masayarakat, dan selanjutnya akan merusak nama baik parpol.
Seyogyanya semua parpol mengorganisir partainya dan menyusun konsep yang kiranya akan mampu membawa Indonesia atau daerahnya kearah yang lebih maju. Wajar, bila parpol berusaha mengumpulkan suara sebanyak-banyknya, karena ini Negara demokrasi. Namun, kurang ajar, bila caleg yang diusung parpol berusaha mengumpulkan keuntungan pribadi sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan nasib rakyat. Untuk itu, ketelitian memilih caleg dari setiap parpol harus sangan teliti demi perkebaikan Negara dan partainya.
Selektif dalam memilih Caleg
Berita tentang pejabat pemerintah yang menggunakan Ijazah palsu sebagai legalitas dan identitas dari kedudukannya, sampai sekarang masih terdengar. Disamping itu, berita tentang tindak korupsi seorang wakil rakyat, wakil daerah dan yang lainnya masih aktual sampai sekarang. Bahkan, seorang pejabat yang terhormat terpaksa harus mencopot jabatannya dan mendekam dipenjara karena tindak korupsi dan pemalsuan ijazah.
Sebenarnya, adanya pemalsuan ijazah dan tindak korupsi dikalangan pejabat Negara, karena implikasi dari usungan parpol terhadap calonnya yang tidak selektif. Tidak sedikit parpol yang mengusung calon legislator berdasarkan senioritasnya atau popularitasnya, tidak intelektualitas dan moralitsnya. Hal inilah yang pada akhirnya menelurkan pejabat-pejabat yang tidak cerdas dan tidak mementingkan nasib rakyat.
Oleh karena itu, parpol dalam memilih calon yang akan diusungnya harus berdasarkan criteria yang layak disandang oleh seorang caleg. Jangan main cabut aja! Nanti, kalau calonnya gak bisa mimpin, kan parpol juga yang rugi, namanya tercoreng. Apalagi rakyat, kalau dipimpin oleh pemimpin yang tidak cerdas dan tidak bermoral, bagaimana jadinya? Bukanya mensejahterakan rakyat dan menyelsaikan masalah, malah akan menyengsarakan rakyat dan menambah masalah.
Bukan parpol saja yang harus bisa milih, tapi masyarakat pun dalam memilih caleg harus selektif. Jangan main coblos aja karena menerima suap. Kalau masayarakat ingin mempunyai pemimpin yang bisa mensejahterakanya, pandai-pandailah memilih caleg. Jangan mau menerima suap, karena hal itu sama saja kita membantunya berbuat jahat. Pilihlah partai dan caleg sesuai criteria pemimpin yang sepantasnya jadi pemimpin.
Al-Quran Dan Kekuatan Perubahan
Oleh DASAM SYAMSUDIN
Kitabnya tebal, tulisannya unik dan sastrawi, berbahasa ‘Arab, maknanya luas, penafsirannya menebarkan aura lautan pengetahuan, kata-katanya indah, membacanya ibadah,dan lain sebagainya. Kitab itu diturunkan di Mekkah kepada seorang laki – laki bernama Muhammad dengan perantara malaikat Jibril. Kitab itu adalah al-Quran,, dimana kata-kata yang tersusun layaknya mutiara yang mampu mempengaruhi seluruh manusia. Al-Quran bukan hanya mantra pemikat hati umat Islam, tapi seluruh orang yang telah membaca al-Quran. Seandainya orang yang beriman membaca al-Quran maka di dalam dirinya akan terjadi “konflik” yaitu lakukan amal soleh sekarang atau jangan?”. Pengaruh itu akan dirasakan oleh orang yang beriman. Hal demikian, memang sebagian besar hanya bisa dirasakan bagi orang-orang yang mengerti dan faham isi kandungan al-Quran. Tapi, tidak menutup kemungkinan seseorang yang tidak mengerti arti dari bahasa al-Quran, tapi dia mengerti al-Quran berisi segala perintah kebaikan dan dia merasakan nikmatnya membaca al-Quran yang penuh dengan sya’ir, maka hal itu akan memotivasi dirinya untuk berbuat kebaikan. al-Quran berisi pesan – pesan kebaikan, keimanan, keIslaman juga tentang ihsan, hal demikian itu diketahui dan dirasakan oleh orang-orang, maka tidak heran al-Quran adalah kitab perubahan (the power of change).
Seseorang yang telah membaca al-Quran nuansa ruhaniyahnya akan terbuka, baik dia mengerti atau tidak tentang artinya pasti suasana ruhaninya (keimanan) akan begitu terasa. Kita sering mendengarkan lantunan ayat yang sangat indah, dan yang kita pikirkan hanya satu yaitu “ajakan kebaikan”, walau kita tidak memahami isinya. Kesakralan al-Quran saja, karena selalu diidentikan dengan pesan kebaikan mampu merubah perasaan seseorang, apalagi jika ia mengerti hakikat dan esensi ayat-ayat yang dibacanya. Pastilah ia akan berusaha melakukan kebaikan secepatnya. Al-Quran mampu menumbuhkan kerinduan seseorang untuk berbuat kebaikan.
Kekuatan pengaruh perubahan di dalam-al-Quran sangat besar, maka tidak heran orang-orang non muslim yang mempelajari al-Quran banyak yang terhanyut dengan keindahan bahasa dan pesan dari kitab yang mulia itu.Sehingga tidak sedikit diantara mereka yang masuk Islam. Orientalis misalnya, mereka meyakini kebenaran pesan-pesan al-Quran yang mampu mempengaruhi perubahan besar jika seseorang sudah berpegang teguh terhadap al-Quran. Tidak sedikit pula, orang non muslim yang membpelajari al-Quran, terpikat dengan bahasanya, tidak bisa menutupi pesan keberannya sehingga ia berubah menjadi orang Islam. Hal seperti itu sudah kita ketahui, dan itu adalah bukti konkreet dari al-Quran sebagai kekuatan perubahan. Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw itu memang hanyalah sebuah kertas tak ubahnya dengan buku-buku yang lain.Tapi, kesakralan al-Quran itulah yang mampu menumbuhkan kekuatan besar untuk perubahan. Maka tidak aneh jika orang yang tidak mengerti al-Quran, dia hanya bisa membacanya dirinya akan melakukan perubahan yang lebih baik.
Orang yang tidak terpengaruh mantera al-Quran bukanlah orang yang bodoh (tidak mengerti/ faham maksud ayat) saja, melainkan yang tidak ada pada dirinya keinginan untuk berubah. Walau pada hakikatnya ia merasakan pengaruh al-Quran, Cuma ia berusaha menutupinya. Bukti banyaknya orang non muslim yang masuk Islam karena membaca al-Quran, mendengar ayatnya, atau hanya mendengar adzan –kalimatnya, penggalan potongan-potongan ayat al-Quran—itu jelas, bahwa mereka terpengaruh. Bagi mereka yang tidak masuk Islam, maka mereka akan berusaha menutupi rasa kekuatan yang besar dari al-Quran yang terus terasa.
Umat Islam yang menyebar dihamparan dunia ini, merasakan arti persaudaraan, dan integritas yang tinggi adalah karena pengaruh al-Quran yang selalu mereka baca. Al-Quran adalah kitab tertangguh yang pernah ada. Agama lain banyak yang merubah esensi dari kitabnya, karena mereka tidak merasakan kekuatan perubahan pada dirinya setelah membacanya. Mereka menganggap kebenaran kitabnya sudah tidak relevan dengan jamannya. Berbeda halnya dengan kitab yang selalu dijaga pemilik-Nya ini, pesan-pesan nya yang terhimpit dibutiran ayat-ayat selalu relevan dengan masalah apapun dan sesuai dengan konteks jaman.
Perubahan besar pada negara- negara Islam bisa kita saksikan dibelahan dunia karena pengaruh dari pesan-pesan kebenaran al-Quran. Kitab mulia itu memang hanya sebuah kertas, bahkan hasil tulisan manusia, yang menjadi dasar pengaruh dari kitab itu adalah karena mengandung pesan kelangitan yang abstrak dan sakral. Sehingga jika kita membacanya maka perasaan ketuhanan akan begitu terasa dan menggelora di dalam jiwa sehingga menumbuhkan benih-benih kerinduang pada perubahan yang lebih baik. Al-Quran sebagai petunjuk akan selalu relevan memberi pedoman pada manusia di jaman apapun, dan dimensi manpun.
Penulis, Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Bergiat di Institute for Religion and future analysis (Irfani) Bandung
Kitabnya tebal, tulisannya unik dan sastrawi, berbahasa ‘Arab, maknanya luas, penafsirannya menebarkan aura lautan pengetahuan, kata-katanya indah, membacanya ibadah,dan lain sebagainya. Kitab itu diturunkan di Mekkah kepada seorang laki – laki bernama Muhammad dengan perantara malaikat Jibril. Kitab itu adalah al-Quran,, dimana kata-kata yang tersusun layaknya mutiara yang mampu mempengaruhi seluruh manusia. Al-Quran bukan hanya mantra pemikat hati umat Islam, tapi seluruh orang yang telah membaca al-Quran. Seandainya orang yang beriman membaca al-Quran maka di dalam dirinya akan terjadi “konflik” yaitu lakukan amal soleh sekarang atau jangan?”. Pengaruh itu akan dirasakan oleh orang yang beriman. Hal demikian, memang sebagian besar hanya bisa dirasakan bagi orang-orang yang mengerti dan faham isi kandungan al-Quran. Tapi, tidak menutup kemungkinan seseorang yang tidak mengerti arti dari bahasa al-Quran, tapi dia mengerti al-Quran berisi segala perintah kebaikan dan dia merasakan nikmatnya membaca al-Quran yang penuh dengan sya’ir, maka hal itu akan memotivasi dirinya untuk berbuat kebaikan. al-Quran berisi pesan – pesan kebaikan, keimanan, keIslaman juga tentang ihsan, hal demikian itu diketahui dan dirasakan oleh orang-orang, maka tidak heran al-Quran adalah kitab perubahan (the power of change).
Seseorang yang telah membaca al-Quran nuansa ruhaniyahnya akan terbuka, baik dia mengerti atau tidak tentang artinya pasti suasana ruhaninya (keimanan) akan begitu terasa. Kita sering mendengarkan lantunan ayat yang sangat indah, dan yang kita pikirkan hanya satu yaitu “ajakan kebaikan”, walau kita tidak memahami isinya. Kesakralan al-Quran saja, karena selalu diidentikan dengan pesan kebaikan mampu merubah perasaan seseorang, apalagi jika ia mengerti hakikat dan esensi ayat-ayat yang dibacanya. Pastilah ia akan berusaha melakukan kebaikan secepatnya. Al-Quran mampu menumbuhkan kerinduan seseorang untuk berbuat kebaikan.
Kekuatan pengaruh perubahan di dalam-al-Quran sangat besar, maka tidak heran orang-orang non muslim yang mempelajari al-Quran banyak yang terhanyut dengan keindahan bahasa dan pesan dari kitab yang mulia itu.Sehingga tidak sedikit diantara mereka yang masuk Islam. Orientalis misalnya, mereka meyakini kebenaran pesan-pesan al-Quran yang mampu mempengaruhi perubahan besar jika seseorang sudah berpegang teguh terhadap al-Quran. Tidak sedikit pula, orang non muslim yang membpelajari al-Quran, terpikat dengan bahasanya, tidak bisa menutupi pesan keberannya sehingga ia berubah menjadi orang Islam. Hal seperti itu sudah kita ketahui, dan itu adalah bukti konkreet dari al-Quran sebagai kekuatan perubahan. Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw itu memang hanyalah sebuah kertas tak ubahnya dengan buku-buku yang lain.Tapi, kesakralan al-Quran itulah yang mampu menumbuhkan kekuatan besar untuk perubahan. Maka tidak aneh jika orang yang tidak mengerti al-Quran, dia hanya bisa membacanya dirinya akan melakukan perubahan yang lebih baik.
Orang yang tidak terpengaruh mantera al-Quran bukanlah orang yang bodoh (tidak mengerti/ faham maksud ayat) saja, melainkan yang tidak ada pada dirinya keinginan untuk berubah. Walau pada hakikatnya ia merasakan pengaruh al-Quran, Cuma ia berusaha menutupinya. Bukti banyaknya orang non muslim yang masuk Islam karena membaca al-Quran, mendengar ayatnya, atau hanya mendengar adzan –kalimatnya, penggalan potongan-potongan ayat al-Quran—itu jelas, bahwa mereka terpengaruh. Bagi mereka yang tidak masuk Islam, maka mereka akan berusaha menutupi rasa kekuatan yang besar dari al-Quran yang terus terasa.
Umat Islam yang menyebar dihamparan dunia ini, merasakan arti persaudaraan, dan integritas yang tinggi adalah karena pengaruh al-Quran yang selalu mereka baca. Al-Quran adalah kitab tertangguh yang pernah ada. Agama lain banyak yang merubah esensi dari kitabnya, karena mereka tidak merasakan kekuatan perubahan pada dirinya setelah membacanya. Mereka menganggap kebenaran kitabnya sudah tidak relevan dengan jamannya. Berbeda halnya dengan kitab yang selalu dijaga pemilik-Nya ini, pesan-pesan nya yang terhimpit dibutiran ayat-ayat selalu relevan dengan masalah apapun dan sesuai dengan konteks jaman.
Perubahan besar pada negara- negara Islam bisa kita saksikan dibelahan dunia karena pengaruh dari pesan-pesan kebenaran al-Quran. Kitab mulia itu memang hanya sebuah kertas, bahkan hasil tulisan manusia, yang menjadi dasar pengaruh dari kitab itu adalah karena mengandung pesan kelangitan yang abstrak dan sakral. Sehingga jika kita membacanya maka perasaan ketuhanan akan begitu terasa dan menggelora di dalam jiwa sehingga menumbuhkan benih-benih kerinduang pada perubahan yang lebih baik. Al-Quran sebagai petunjuk akan selalu relevan memberi pedoman pada manusia di jaman apapun, dan dimensi manpun.
Penulis, Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Bergiat di Institute for Religion and future analysis (Irfani) Bandung
RI-Jepang Dulu Vs Sekarang Cs
Oleh DASAM SYAMSUDIN
"DOR... DOR…" Kira-kira itu deskripsi letusan senjata tentara Jepang membidik para pahlawan Indonesia yang berusaha merebut kemerdaakn sekitar tahun 1942-an. Senyum haru kepergian penjajah Belanda, berganti menjadi penderitaan, saat kaki-kaki tentara Jepang menginjak Tanah Air. Kobaran api yang telah padam menjadi kesejukan, terpaksa harus berkobar lebih dahsyat lagi untuk mengusir Negeri Matahari Terbit dari tanah Pertiwi.
Catatan yang diukir Jepang menjajah bangsa Indonesia, tak pernah terhapus walau sudah menjalin hubungan kekerabatan. Moncong senjata dilengkapi belati tajam ditodongkan ditiap punggung rakyat Indonesia, agar kerja-rodi mengeruk potensi bangsa untuk diserahkannya. Terlalu sulit untuk dilupakannya.
Wajar, jika rakyat Indonesia tidak bisa menghapus catatan sejarah itu, karena ini Tanah Air yang dicinitainya. Tapi, kini semua sudah berakhir, jika dulu rentetan senjata mengancam rakyat, kini deretan otomotif produksi industri Jepang berjajar ditiap-diap Deler, Sorum bahkan alat-alat elektroniknya terpampang di tiap toko. Suara "dor… dor…" letusan senjata tentara jepang berganti menjadi suara "ngeng… ngeng…" pacuan gas kuda besi yang dinaiki rakyat Indonesia dengan rasa bangga (mayoritas). Itulah realita RI-Indonesia pasca Kemerdekaan. Sudah baikah RI-Jepang?
"Sejak dibukannya secara resmi hubungan Republik Indonesia dengan Jepang pada 20 Januari 1958, yang ditandai dengan tanda tangan perjanjian perdamaian RI-Jepang, hubungan kedua Negara berjalan sangat baik". Kutipan Laporan Khusus paragraf pertama media ini (30 Oktober 2008), memberi kesan bahwa, RI-Jepang selama 50 tahun ini berjalan sangat baik. Memang seharusnya baik, dan harus dipertahankan.
RI-Jepang saling ketergantungan
Alasan rasional kenapa hubungan RI-Jepang baik adalah adanya ketergantungan yang kuat, khususnya dalam segi ekonomi. Pasar otomotif dan elektronik, skala besar barang itu diimport dari Negara Jepang. Sebagai timbal baliknya, Jepang meminta sumber daya alam Indonesia seperti minyak bumi, gas dan lainnya diekspor atau dijual ke negaranya. Disamping itu, Jepang juga memberi bantuan dana kepada Indonesia berupa uang. Walau pada kenyatannya, bantuan itu antara 65-85 persen adalah pinjaman yang harus dilunasi.
Jepang, memiliki produksi otomotif dan elektronik berkualitas yang relative murah dibandingkan dengan Negara lain.Tapi, miskin SDA-nya. Sedangkan Indonesia Negara kaya SDA, tapi kemajuan bidang industri otomotif dan barang elektroniknya kurang berkualitas di kancah Internasional. Maka, keduanya saling membutuhkan. Jepang membutuhkan SDA dan Indonesia membutuhkan produksi otomotif dan elektronik khususnya. Ketergantungan masalah ekonomi ini, mengindikasikan bahwa hubungan RI-Jepang, memiliki ikatan yang kuat.
Jangan hanya Ketergantungan, tapi belajar
Ketergantungan Indonesia pada Jepang, seharusnya tidak berlebihan. Indonesia memang membutuhkan teknologi berkualitas yang relative murah untuk memajukan bangsanya. Tapi, kalau harus membeli terus menerus, apalagi menukar dengan kekayaan Indonesia. Kapan Negara kita akan maju dan berpikir?
Tidak ada salahnya bangsa Indonesia belajar pada Jepang. Kenapa ia menjadi Negara maju? Hari ini kita boleh bergantung pada Jepang dalam bidang industri otomotif dan elektronik. Tapi, esok hari Indonesia harus mampu memproduksi barang tersebut. 50 tahun waktu yang relative lama untuk belajar pada kemajuan Jepang. Pertanyaannya, apakah Negara Indonesia belajar pada Jepang?
Seharusnya kita sudah mampu memproduksi barang otomotif dan elektronik yang kualitasnya menyamai Jepang. Karena, otomotif dan elektronik Jepang telah lama dan menjadi barang favorit rakyat. Seyogyanya hubungan RI-Jepang, khususnya kita mau belajar kenapa Jepang maju? minimal pada industri otomotif dan elektronik.
Para mekanik Indonesia Indonesia khususnya harus lebih berpikir lebih maju, jangan hanya berusaha memodifikasi. Tapi yang lebih kreatif, yaitu menciptakan. Hal itu akan sangat hebat, dan tidak sia-sia Hubungan RI-Jepang.
Kalau hanya ketergantungan ekonomi sampai kapan pun tidak akan maju. Bisa-bisa terkuras habis dan rakyat kita sendiri tidak bisa menikmatinya. Hubungan RI-Jepang diharapkan menjadi pembelajaran Indonesia agar mau berpikir seperti Negara matahari terbit tersebut.
"DOR... DOR…" Kira-kira itu deskripsi letusan senjata tentara Jepang membidik para pahlawan Indonesia yang berusaha merebut kemerdaakn sekitar tahun 1942-an. Senyum haru kepergian penjajah Belanda, berganti menjadi penderitaan, saat kaki-kaki tentara Jepang menginjak Tanah Air. Kobaran api yang telah padam menjadi kesejukan, terpaksa harus berkobar lebih dahsyat lagi untuk mengusir Negeri Matahari Terbit dari tanah Pertiwi.
Catatan yang diukir Jepang menjajah bangsa Indonesia, tak pernah terhapus walau sudah menjalin hubungan kekerabatan. Moncong senjata dilengkapi belati tajam ditodongkan ditiap punggung rakyat Indonesia, agar kerja-rodi mengeruk potensi bangsa untuk diserahkannya. Terlalu sulit untuk dilupakannya.
Wajar, jika rakyat Indonesia tidak bisa menghapus catatan sejarah itu, karena ini Tanah Air yang dicinitainya. Tapi, kini semua sudah berakhir, jika dulu rentetan senjata mengancam rakyat, kini deretan otomotif produksi industri Jepang berjajar ditiap-diap Deler, Sorum bahkan alat-alat elektroniknya terpampang di tiap toko. Suara "dor… dor…" letusan senjata tentara jepang berganti menjadi suara "ngeng… ngeng…" pacuan gas kuda besi yang dinaiki rakyat Indonesia dengan rasa bangga (mayoritas). Itulah realita RI-Indonesia pasca Kemerdekaan. Sudah baikah RI-Jepang?
"Sejak dibukannya secara resmi hubungan Republik Indonesia dengan Jepang pada 20 Januari 1958, yang ditandai dengan tanda tangan perjanjian perdamaian RI-Jepang, hubungan kedua Negara berjalan sangat baik". Kutipan Laporan Khusus paragraf pertama media ini (30 Oktober 2008), memberi kesan bahwa, RI-Jepang selama 50 tahun ini berjalan sangat baik. Memang seharusnya baik, dan harus dipertahankan.
RI-Jepang saling ketergantungan
Alasan rasional kenapa hubungan RI-Jepang baik adalah adanya ketergantungan yang kuat, khususnya dalam segi ekonomi. Pasar otomotif dan elektronik, skala besar barang itu diimport dari Negara Jepang. Sebagai timbal baliknya, Jepang meminta sumber daya alam Indonesia seperti minyak bumi, gas dan lainnya diekspor atau dijual ke negaranya. Disamping itu, Jepang juga memberi bantuan dana kepada Indonesia berupa uang. Walau pada kenyatannya, bantuan itu antara 65-85 persen adalah pinjaman yang harus dilunasi.
Jepang, memiliki produksi otomotif dan elektronik berkualitas yang relative murah dibandingkan dengan Negara lain.Tapi, miskin SDA-nya. Sedangkan Indonesia Negara kaya SDA, tapi kemajuan bidang industri otomotif dan barang elektroniknya kurang berkualitas di kancah Internasional. Maka, keduanya saling membutuhkan. Jepang membutuhkan SDA dan Indonesia membutuhkan produksi otomotif dan elektronik khususnya. Ketergantungan masalah ekonomi ini, mengindikasikan bahwa hubungan RI-Jepang, memiliki ikatan yang kuat.
Jangan hanya Ketergantungan, tapi belajar
Ketergantungan Indonesia pada Jepang, seharusnya tidak berlebihan. Indonesia memang membutuhkan teknologi berkualitas yang relative murah untuk memajukan bangsanya. Tapi, kalau harus membeli terus menerus, apalagi menukar dengan kekayaan Indonesia. Kapan Negara kita akan maju dan berpikir?
Tidak ada salahnya bangsa Indonesia belajar pada Jepang. Kenapa ia menjadi Negara maju? Hari ini kita boleh bergantung pada Jepang dalam bidang industri otomotif dan elektronik. Tapi, esok hari Indonesia harus mampu memproduksi barang tersebut. 50 tahun waktu yang relative lama untuk belajar pada kemajuan Jepang. Pertanyaannya, apakah Negara Indonesia belajar pada Jepang?
Seharusnya kita sudah mampu memproduksi barang otomotif dan elektronik yang kualitasnya menyamai Jepang. Karena, otomotif dan elektronik Jepang telah lama dan menjadi barang favorit rakyat. Seyogyanya hubungan RI-Jepang, khususnya kita mau belajar kenapa Jepang maju? minimal pada industri otomotif dan elektronik.
Para mekanik Indonesia Indonesia khususnya harus lebih berpikir lebih maju, jangan hanya berusaha memodifikasi. Tapi yang lebih kreatif, yaitu menciptakan. Hal itu akan sangat hebat, dan tidak sia-sia Hubungan RI-Jepang.
Kalau hanya ketergantungan ekonomi sampai kapan pun tidak akan maju. Bisa-bisa terkuras habis dan rakyat kita sendiri tidak bisa menikmatinya. Hubungan RI-Jepang diharapkan menjadi pembelajaran Indonesia agar mau berpikir seperti Negara matahari terbit tersebut.
Pelajar dan Perilaku Amoral
SAAT ini, krap kita saksikan perilaku amoral yang dilakukan oleh para pelajar. Baik dari media cetak, media elektronik, media online, atau bahkan kita saksikan langsung dalam kehidupan nyata sekitar khidupan kita. Seperti tawuran antar geng, tawuran antar sekolah, mengonsumsi miras atau narkoba, pemerkosaan, seks bebas, pencabulan, dan pencurian.
Dulu—sebelum meledaknya dunia informasi—kasus-kasus di atas, jarang kita temui, apalagi dikalangan pelajar. Jika ada pelajar mempraktekan salah satu perilaku amoral tadi, maka berita ini merupakan hal yang sangat mengherankan. Apalagi, kejadian itu dipraktekan pelajar yang sekolah dikampung, bisa membuat satu kampung geger, mungkin karena hukum adat atau norma kesopanan dan kesusilaannya masih kental.
Tapi, di zaman sekarang yang konon zaman modern. Perilaku amoral pelajar sangat sering kita dengar dan saksikan, dari kekerasan sampai keromantisan, dan dari mabuk-mabukan sampai pencabulan. Dan parahnya, perilaku ini semakin hari semakin menjadi-jadi. Misalnya, kasus video adegan mesum yang dilakukan pelajar.
Sebenarnya, pelajar melakukan hal itu, pasti karena ada pemicunya (stimulus). Yang jadi persoalan, bagaimana seorang pelajar bisa melakukan perilaku amoral tersebut, yang notabenenya sebagai orang terdidik?
Media bisa jadi salah satu penyebabnya karena ada tontonan-tontonan yang tidak jadi tuntunan. Namun, media tidak sepenuhnya menjadi motif perilaku amoral pelajar, karena masih banyak tayangan lain yang bisa jadi tuntunan.
Dalam ilmu Psikologi Pendidikan, bahwa salah satu pemicu perilaku amoral pada pelajar adalah lingkungan. Lingkungan terhadap pembentukan karakteristik pelajar sangat berpengaruh. Karena pelajar, apalagi anak SMP dan SMA, menurut ilmu psikologi perkembangan adalah orang yang sedang mencari jati diri. dan pencarian itu kebanyakan mereka dapatkan dari lingkungan, interaksi dengan masyarakat sosial dan banyak pristiwa sosial yang ia amati, lama-kelamaan akan mempengaruhinya.
Banyaknya peristiwa-peristiwa baru yang ia kenal dalam lingkungan, akan mengontruksi pemikirannya dan karakteristiknya. Jika lingkungannya baik, maka pengaruhnya pun positif, tapi, jika lingkungannya buruk maka sangat berbahaya pada pemikiran dan karakteristik pelajar. Bisa-bisa ia menirunya dan mempraktekannya.
Tapi, walau bagaimanapun, menyalahkan lingkungan seratus persen pun tidak tepat. Karena, tidak semua lingkungan buruk, dan bukankah manusia yang membentuk lingkungan?
Pelaku amoral, kebanyakan dilakukan oleh para pelajar sekolah pendidikan umum. Misalnya, istilah tawuran antar madrasah itu tidak ada, yang ada tawuran antar sekolah. Juga adegan vidio mesum pelajar selalu bertema anak skolah SMU… kalau dianalisis, hal ini kemungkinan besar karena minimnya pengetahuan agama para pelajar. Kurangnya pemahaman mereka tentang arti dosa dan pahala, surga dan neraka menjadikan sesuatu yang sangat berdosa itu hal yang biasa, setidaknya penyimpangan nilai yang tidak terlalu jauh. Para pelajar yakin hal itu perilaku amoral. Tapi, karena dianggap tidak berdosa lebih jauhnya tidak apa-apa, maka mereka mempraktekan hal itu walau tahu itu penyimpangan.
Nah, disinilah harus diyakini bahwa pengetahuan agama sangat penting bagi perkembangan karaktristik siswa. Pendidikan agama lebih mementingkan praktek dari pada teori, dan lebih mementingkan budi pekerti.
Oleh karena itu, syogianya seorang pendidik atau pengajar bisa menerapkan muatan agamis yang syarat dengan budi pekerti terhadap para siswa. Siapapun gurunya dan apa pun yang diajarkannya. Jangan berpikir karena kita guru Biologi, Fisika, Matematika atau apa pun, sehingga masalah moral tidak lagi diprioritaskan.
Mendidik bukan hanya mengajar
bagi sorang pengajar, menjadikan siswanya pintar itu sudah dikatakan sukses. Tapi tidak bagi sorang pendidik. Guru disamping pengajar juga harus bisa mendidik, agar tiak hanya memperhatikan masalah IQ (intelejensi) siswa, tapi lebih memperhatikan masalah moralnya. Karna itulah kesuksesan sorang guru.
"Buat apa banyak orang pintar kalau tidak bermoral" Itu, asumsi masyarakat. Betapa mereka menuntut dan mengharapkan para anak-anaknya disamping menjadi orang pintar juga berbudi pekerti baik. Dan semua ini adalah tugas seorang pendidik. Maka dari itu, seorang pengajar harus bisa mendidik dengan sebaik-baiknya, agar melahirkan pelajar yang brintelejensi tinggi dan budi pekertinya baik.
Tidak harus guru agama yang menanamkan nilai-nilai agama atau budi pekerti yang baik. Tapi, sudah menjadi kewajiban moral bagi para guru untuk menanamkannya bahkan bertanggung jawab atasnya. Guru bukan hanya pengajar tapi juga pendidk.
Langganan:
Postingan (Atom)