"Terimakasih Atas Kunjungannya, Semoga Anda Banyak Rezeki, Banyak Anak, Dan Masuk Surga. SALAM CINTA"

Semua Kebenaran Itu Relatif

Lagi-lagi kata dosen aku, “anak-anak, semua kebenaran itu relatif. Qur,an juga relative kalau sudah turun kedunia. Nabi Muhammad kan manusia.” Banyak anak-anak yang kaget. Tapi tidak dengan Sem. Gak ada yang buat kaget dari teori murahan itu.

“Betul pak, semua kebenaran itu realtif” itu aku bicara

“Tuh, lihat sem! Dia ngerti” kata Mr. Filsof

“Makasih pak. Karena relative itu, aku gak percaya ucapan bapak. Bapak suka ngiklanin kebenaran akal. Gak masuk akal itu. Kan, relative”

“Loh, kok kamu balik nyerang” dosen itu penasaran.

“Ih, bapak. Saya itu menganut ucapan bapak” aku

“Emang bener kan ucapan bapak itu gak bener. Ayolah pak mengerti. Aku itu punya akal. Maka, kebeneran itu, ya, gimana ku aja. Masa harus nurut akal bapak. Aku juga punya akal. Kalau gitukan aku bebas memilih kebenaran. Jangan maksa donk pak! Kebeneran bapak itu untuk bapak aja. Kan dari akal bapak. Kalau aku harus nurut ke bapak, gagal bapak didik saya” itu aku berfilsafat.

“Enggak gitu, bahaya kalau seperti itu”

« yeh, bapak itu gak ngerti juga. Kan kata bapak kebenaran itu relatif. Manusia punya akal bisa berpikir dan mengaktualisasi kebenaran. Oleh karena itu. Bapak gak usah repot ngajak orang sama pemikiran bapak. Kebenaran persi bapak kan relatif. Biarkan aja, orang berpikir ama maunya tentang pilihan kebenaran. Hancur-hancur peradaban pak”

“kamu kok bicara gitu?” kata Mr. Filsof

“Pak jam pelajaran habis. Kami mau belajar lagi”

« Gak bisa, mesti ada penjelasan »

« Gak usah pak, akal bapak kurang bisa dimengerti. Kasihan akal saya harus jadi umat bapak. Gak mau ach, biarkan kami memilih kebenaran dengan pilihan Tuhan kami, yaitu akal OK. Wahyu OK. Gak repot kami »

« Silahkan keluar pak ! »

Kebenaran memang ada yang relatif, tapi bukan untuk digemborkan. Cukup kehancuran pemuda Athena yang menganut relatifisme. Tidak semuanya relatif, ada kebenaran yang hakiki. Namun, jika kita menganggap kebenaran aka kita relatif, jangan berharap menemukan kebenaran mutlak dengan rasio yang realtif.

Jika anda bersikukuh, atau punya pandangan lain, atau anda penganut realtifisme. Maka, tulisan ini adalah persi kebenaranku, saya tidak harus peduli dengan anggapan anda. Jika anda memang harus mengagungkan relatifisme.

Lelaki Tua di Bawah Pohon Beringin

Cerpen SYAMSUDIN eL-FAQIRUL'ILMY

Pohon beringin tua yang berdiri kokoh dan terkadang menebar aura seram saat gelap menyelimuti cahaya. Tidak ada mahasiswa yang tahu betul usia pohon itu. Yang mereka tahu hanya kenyamanan dan keteduhan di saat duduk di akar-akarnya yang besar merambah mencengkeram bumi. Daunnya yang tipis kecil, dengan warna hijau dan kuning saat di belai angin akan membaurkan, dan mejatuhkannya keatas tanah. Dedaunan yang berjatuhan dan berantakan, setiap hari akan menyibukan pak Darmin dan kawan-kawannya, karena harus menyapu daun ciptaan Tuhan yang telah melindungi para calon intelektual akademisi dari galaknya sorot surya.

Ricuhnya suara manusia bersepatu. Membingungkan lelaki tua yang duduk di bawah pohon beringin di kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Lelaki yang matanya buta, tubuhnya lemah. Hanya tongkat kayu rapuh yang tidak pernah lepas dari dirinya. Dia pengemis tua yang memandang hidup dengan telinga. Hanya pakaian tipis compang-camping yang tidak pernah dicuci perisai tubuhnya yang hitam legam. Rambutnya yang kusut, tubuhnya yang kehilangan tangan kanannya. Terkadang menimbulkan bau yang tidak sedap. Tidak ada pemandangan yang indah pada lelaki tua itu.

Canda tawa dan suara langkah sepatu mahasiswa UIN. Jika terasa begitu dekat dengan dirinya. Ia akan mengangkat tangannya yang tidak pernah meninggalkan sampah plastic anorganik yang berbentuk gelas. Mengharapkan sepeser uang jajan mahasiswa yang diamanatkan dari orang tuanya untuk dimanfaatkan. Jarang, atau mungkin sangat langka mahasiswa yang merogok sakunya sekedar untuk memberinya uang. Walau hanya sepeser.

Entah tangan lelaki tua itu diganjal dengan apa? Tangan kirinya, tangan satu-satunya, terus menengadahkan berusaha mengasongkannya pada arah suara yang ia dengar. Tidakkah bosan pengemis tua itu ? menjalani hidup diantara orang-orang yang selalu meneriakan kebenaran, kemerdekaan, demokratisasi dan teriakan-teriakan lainnya yang ia anggap membela kebenaran, yang ia sendiri ada kalanya mengkhianati ucapannya.

Hari semakin sore, pengemis tua yang usianya hampir mendekati batas waktu kontrak dengan Peniup ruhnya, tubuhnya kelihatan seperti lelah atau sangat letih. Tangannya yang kurus kini turun disimpan di atas pahanya yang sama kurusnya. Hanya beberapa koin uang receh yang membebani sampah anorganik itu. Tidak ada yang menyaksikan ia makan dari pagi, saat pantatnya ditancapkan dibawah pohon beringin yang selalu memberi keteduhan padanya. Tidak ada interaksi yang terjadi antara mahasiswa Islam itu dengan pengemis yang kini hampir tidak jelas rupanya. Karena matahari yang bertengger di atas pohon beringin itu, kini sembunyi entah kemana ? mungkinkah takut atau sekedar menghormati kegelapan yang akan menggantikannya. Kegelapan yang memaksa mahasiswa harus kembali kekostan masing-masing.

Sepertinya lelaki tua itu masih duduk di sana, di bawah pohon yang sekarang berubah menjadi raksasa karena kegelapan. Tidak ada mahasiswa yang berani berjalan sendiri melewati pohon itu di tengah malam. Tapi kenapa pengemis itu masih saja duduk ? masihkah ia mengharap belas kasih seseorang, atau ia sedang menunggu iba Tuhan ? yang belum tentu Tuhan pun ridho terhadap pilihan hidup yang ia jalani.

Hilang, sekarang ia menghilang dari tempatnya. Entah kemana ia pergi, tidak ada jejak kaki yang ia tinggalkan. Tidak ada seseorang yang tahu ia melangkahkan kaki dengan tongkat kayu. Tidak ada bedanya, baginya gelap atau terang semua sama. Hanya telinga peta arah tujuan langkah kakinya, hanya tongkat kayu indra perasanya yang ia lahirkan dari mata hatinya. Mata hati yang semua orang pun tidak tahu. Apakah mata hatinya itu melihat Tuhannya atau tidak ?

***

Kembali langkah kaki bersepatu menimbulkan suara berisik dan ancaman bagi para semut yang akan lewat menyeberangi jalan yang menggurat di kampus UIN. Langkah kaki mereka, mahasiswa itu, tiba-tiba menjadi ajang lomba lari. Dari teriakan dan ajakan, mereka serempak berdondong mendatangi kerumunan mahasiswa yang dicekam aura penasaran. Penasaran dengan apa yang menimpa seorang lelaki tua yang kemarin mereka acuhkan. Yang kini terbujur kaku tak berdaya tak bernyawa. Mati, iya, lelaki tua atau mereka menyebutnya pengemis tua itu sekarang telah mati. Matanya melotot, tubuhnya beku dan tangannya memegang erat gelas plastik bekas tempat air mineral merek Aqua. Menjeratnya dengan kuat, tangan kirinya menjerat wadah itu dengan sekuat tenaga seakan tidak boleh ada yang mengambilnya. Aneh, semua itu memang aneh? Mereka para mahasiswa pun penasaran. Kenapa lelaki tua itu mati?

Aneh? Bagi para mahasiswa hal itu tidak aneh. Seharusnya memang tidak aneh bagi mereka. Apalah bedanya hidup atau matinya pengemis itu. Toh, mereka tetap acuh. Buktinya, saat kabar kematian pengemis itu menyebar keseluruh kampus. Tidak ada satu tangan mahasiswa yang mau menyentuh kulit kering lelaki tua itu. Mereka hanya melihat, membicarakannya, menghanyutkan berita terhadap angin agar menepi keseluruh telinga.

Ya, itulah mereka. Para pelanggan demonstrasi peneriak kebenaran, keadilan dan kepedulian sosial. Juga, yang diam membisu menyaksikan seorang mayat mati dikampusnya. Memang ada yang tidak diam, mereka berbicara dengan seorang polisi yang ada kalanya suatu saat akan ribut berebut keadilan dan kebenaran. Sekarang mereka berdamai, untuk serah terima urusan mayat itu. "Tidak penting mahasiswa mengurus mayat. Apalagi hanya untuk seorang pengemis. Semua itu menggaanggu belajar. Belajar kan wajib?" Mungkin. Mungkin itu kesimpulan keacuhan mereka. Tidak usah mendengar dari kata-katanya, semua orang akan tahu dan merasakan.

Mayat lelaki yang tidak dikenal oleh agen perubahan sosial itu, kini telah tiada. Kepergiannya, mungkin sedikitnya memberi kenyamanan suasana. Mungkin mereka akan merasa bersih. Karena tidak ada lagi penunggu pohon beringin besar nan rindang dikampus UIN. Tapi, pohon itu akan banyak yang menyalahkan. Kenapa lelaki itu mati di bawah pohon beringin? Ada apa dengan pohon beringin? Nanti, nanti bagaiamana keadaan pohon beringin itu, setelah akarnya ditiduri jenazah yang telah ribuan kali mendengar suara kaki mahasiswa bersepatu.

***

Setelah hari ketujuh dari kematian lelaki itu, suasana kampus tidak ada yang berubah. Dan, kenyamanan duduk dibawah pohon beringin semakin terasa asik. Ya, mungkin tidak ada seseorang kumal yang duduk berdampingan dengan para mahasiswa yang bersih nan suci? Atau so, suci.

Pohon beringin besar itu, sekarang sering bergoyang keras menggetarkan tiap ranting dan dahan menggugurkan dedaunannya keatas tanah. Akarnya yang mencengkeram bumi dengan kuat, sepertinya telah menjadi lemah. Pohon itu memang sudah sangat tua. Pohon beringin itu sudah banyak mengetahui rahasia para mahasiswa. Pohon beringin itu juga sudah terlalu setia dan lelah menjaga lelaki tua itu dari terik mentari dan terik ketidak pedulian mereka. Ia kini harus sendiri, ditinggalkan penunggu setianya yang hidupnya selalu disandarkan padanya. Ia telah kembali kepada Tuhannya, dan pasti akan berterima kasih pada-Nya. Karena menjaga pohon tersebut tetap hidup.

Di saat pagi menjelang, dan surya menghangatkan sinarnya. Kaki-kaki mahasiswa yang bersepatu, tidak ada yang bisa melangkahkan kakinya. Mereka hanya berdiri heran dan pikiran diliputi berbagai pertanyaan. Semuanya kaget, mereka mahasiswa UIN kaget. Menyaksikan pohon beringin besar dan tua itu, kini tumbang terbaring tak berdaya dan tak bernyawa. Ranting dan dahannya banyak yang patah. Tubuh perkasanya mampu meretakan jalan aspal dibawahnya dan menghancurkan gedung Fakultas Tarbiyah dan Keguruan yang tidak jauh dari pusat akar pohon beringin. Mobil para elitis kampus terpaksa harus dihentikan atau dibalikan agar tidak melewati jalan itu. Entah dimana mereka akan menyimpan mobil inventaris lembaga pendidikan itu? Terlalu memuji mengatakan mobil miliknya. Itu bukan milik mereka.

Tumbangnya atau kemtian pohon beringin besar itu, tidak mempunyai waktu yang panjang menyusul kematian lelaki tua yang setia duduk di bawahnya. Mereka atau pengemsi dan pohon beringin keduanya telah mati. Mati karena Tuhannya. Sedangkan mahasiswa yang menyaksikannya, mereka akan kangen terhadap keteduhan yang diberikan dari pohon itu. Mereka tidak akan ingat pada lelaki tua yang selalu setia berterima kasih kepada pohon itu. Mahasiswa hanya akan ingat, rindu dan mengenang pohon rindang itu. Mereka tahu, betapa sejuknya alam ketika mereka akrab dengan Tuhan. Tapi, sekarang pohon itu telah tumbang, mereka pun akan mencari tempat yang bisa memberinya keteduhan.

Apakah mahasiswa yang pintar itu tahu, mungkin saja pohon itu tidak menyukai mereka? Apakah mereka merasa berdirinya pohon itu hanya untuk melindungi lelaki tua yang duduk di bawahnya? Apakah mereka berpikir, mungkin saja pohon itu benci atau bosan hidup di lingkungan mereka? Semua hanya mungkin, namun suatu saat akan pasti. Apabila lelaki tua dan pohon itu kembali hidup dan bertanya serta menjelaskan kenapa dia selalu duduk dipohon itu. Pohon beringin pun akan berbicara, kenapa dia berdiri di Kampus dan meneduhkan mahasiswa, atau barangkali hanya meneduhkan pengemis tua.[]





Nge-blog Menumbuhkan Minat Menulis

Oleh DASAM SYAMSUDIN

Seorang teman menyuruh saya membuat weblog, katanya "agar tidak ketinggalan zaman". Dengan iseng saya menuruti ajakan teman saya itu, yang kini menjadi guru nulis saya (Sukron Abdilah). Mula-mula saya hanya memposting satu tulisan yang berjudul "Aku tidak bisa menulis". Kemudian, setelah itu saya mendapat komentar dari teman. Akhirnya, berawal dari situ saya tidak bisa menghentikan aktivitas menulis. Bahkan guru nulis saya, sampai mengatakan, "kamu menulis seperti kesetanan saja". Karena, setiap hari hidup saya diisi dengan menulis. Dari sini pula minat membaca saya meningkat, karena ingin tulisan itu bernilai pendidikan.

MENGARUNGI arus modern yang membuka gerbang globalisasi, telah mengalirkan teknologi-teknologi canggih yang setiap hari bisa disaksikan oleh manusia. Bukan hanya disaksikan, tapi mereka juga bisa mengarunginya (menggunakannya). Msialnya, dunia virtual (internet) yang dihadirkan perusahaan media komputer seperti Michrosoft telah menyedot perhatian masyarakat dunia.

Salah satunya yang banyak dikonsumsi masyarakat, terkhusus kalangan akademisi adalah weblog atau biasa disebut blog. Weblog adalah website yang disediakan perusahaan seperti, Blogspot, Wodrpress, Multiply dan lain-lain, kepada para pengguna internet secara gratis. Di blog, kita bisa membuat media online sendiri, di mana pada tempat itu, kita bisa memposting tulisan, gambar, video atau informasi lainnya.

Banyak sekali manfaat yang bisa didapatkan dari weblog, atau menggunakan weblog. Diantaranya, kita bisa berbagi informasi mengenai hal pendidikan, teknologi, budaya, politik dan lain sebagainya. Tentu saja informasi itu bisa kita publikasikan berupa tulisan. Nah, disinilah salah satu manfaat besar memiliki blog, seseorang akan terhanyut secara tidak disadari mengarungi dunia tulis-menulis. Dan secara tidak langsung, ia telah beralih dari budaya baca atau simak menuju budaya tulis.

Di era modern, masyarakat tidak hanya dijejali dengan berbagai informasi yang ia konsumsi dari orang lain. Akan tetapi, ia juga harus ikut membagi informasi kepada orang lain dari pemikirannya. Dengan demikian, arus informasi-pengetahuan (baca : ilmu) atau pertukaran pemikiran akan meramaikan dunia, dan masyarakat tidak terbelengu menjadi masyarakat yang korban pemikiran. Tapi, dengan nge-blog kita bisa mengkritisi, atau bahkan memberi ide-ide baru tentang informasi tersebut.

Menulis melahirkan ide-ide

Untuk mengisi blog, tentu saja kita harus rajin menulis, karena weblog memang tempatnya kita memposting atau mempublikasikan tulisan. Memang, masih banyak masyarakat yang belum meninggalkan budaya simak atau baca dan belum beralih menuju budaya tulis, termasuk kalangan akademisi. Untuk memicu hal itu dan menumbuhkan minat menulis. Tidak ada salahnya kita mencoba membuat blog sendiri, atau media sendiri tempat kita mencurahkan tulisan agar dibaca orang lain.

Dengan demikian, dengan sendirinya kita akan tergugah untuk melahirkan tulisan sebagai tempat kita menuangkan ide atau gagasan. Seandainya budaya tulis telah tertanam di dalam diri, maka kita tidak akan puas dengan pengetahuan yang ada pada diri kita. Kita akan selalu haus informasi dan ilmu, karena kita ingin selalu mengaktualisasi ide yang dituangkan dalam tulisan mengikuti perkembangan zaman.

Hal itu telah saya rasakan, dulu sebelum mempunyai blog, saya hanya mengkonsumsi informasi yang ada di dalam media online atau media massa lainnya. Namun, setelah saya mempunyai media sendiri, blog itu, setiap ada informasi yang menurut saya tidak sesuai (tidak setuju). Saya selalu ingin terlibat dalam masalah tersebut, dengan melahirkan ide-ide dari literatur yang saya baca. Kemudian disajikan dalam bentuk tulisan dan dipublikasikan diinternet melalui blog saya.

Kendati tulisan saya belum tentu bagus, namun ada baiknya, yaitu kita menulis dan berusaha menuangkan ide kita membaginya kepada masyarakat. Bukankah hal ini baik? Apalagi untuk kalangan akademisi. Bahkan Umberto Ecco mengatakan, bahwa menulis adalah "kewajiban moral". Ucapan ini ditujukannya kepada mereka yang mempunyai ilmu, agar mau menuangkannya kedalam tulisan. Hal ini tentu saja agar pengetahuan yang kita miliki tidak hilang. Karena, menuliskan ilmu yang kita ketahui akan lebih kuat bersemayam di dalam pikiran (tidak mudah lupa).

Oleh karena itu, bagi mereka yang belum atau memang tidak suka dunia tulis menulis. Harus mencoba membuat blog—bisa belajar pada yang bisa—dengan sendirinya kita akan terpicu untuk menghadirkan karya tulis sendiri di dalam blog yang kita miliki. Lagipula hal itu sangat baik, karena kita membagi pengetahuan pada masyarakat pengguna internet—menurut agamawan, hal itu "ibadah" (karena berdakwah, walaupun hanya didunia virtual).

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...