Bagian Dua puluh
“Kalian ini mau ngaji apa mau pacaran? Jawab!”
“Mau ngaji” kata santri
“Kalian ini mau cari ilmu apa cari pacar? Jawab!”
“Cari ilmu, tapi bonusnya dapat pacar”
“BUKKK!!!” santri yang mengatakan cari ilmu dapat bonus pacar, dihantam kamus al-Munawir oleh keamanan, menyebabkan ia ngejoprak, pingsan.
“Kalian ke pesantren karena Allah apa karena wanita? Jawab!”
“Karena Allah” jawab santri kompak.
“Kenapa punya pacar di pesantren? Jawab!”
“Anugerah dari Allah” kata seorang santri, sekenanya.
“ANUGERAH KAMU BILANG? ANUGERAH APANYA? GARA-GARA PACARAN ITU KAN, KAMU JADI SERING NULIS SURAT DIBANDING MENGHAFAL? JAWAB!” Itu keamanan berteriak keras di telinga si itu santri yang tadi ngomong sekenanya.
“JAWAB!!!!!!!” Keamanan semakin geram.
“ya…… gitu….” Santri tadi jawab sambil bergetar-getar tubuhnya.
“BUKKK!!! Apanya yang gitu” itu santri yang tadi ngomong, dihantam kamus al-Munawir bibirnya. Menyebabkan dia tumbang, dan beberapa tim kesehatan menggotongnya ke RGD (Ruang Gawat Darurat).
“Fitria, kenapa kamu pacaran di pesantren?...”
“Saya gak pacaran, kak keamanan…” jawab Fitria, datar.
“Bohong! Kami pacaran…” jawab Herman merasa dirinya gak diakui.
“BUKKK!!! Diam!” Herman kena hantam kamus.
“Fitri… kamu tega sama aku, kamu bohongin aku” Herman mengatakan itu sambil merangkak-rangkak di atas lantai, lalu pingsan akibat hantaman kamus tadi.
“Bentang Nur Nazmi Laila, kenapa kamu pacaran di pesantren?...”
“Saya emang sudah pacaran sejak SD, kak kemanan”
“Kenapa dilanjutkan sampai sekarang?”
“Sebab kami saling mencintai” Kata Tendi, memotong introgasi keamanan dengan Bentang.
“Eh, kamu gak tahu sopan santun, ya? Gak lihat saya sedang nanya Bentang. Kenapa kamu motong pembicaraan. Jawab!”
“Ya, maaf keamanan… ” kata Tendi sambil nangis sebelah mata.
“Staf Keamanan! Seret dia!!!” Staf keamanan langsung megang Tendi, lalu diseret ke luar masjid.
“Hukum saja yang berat, kalau bisa telanjangi lalu arak keliling kampong” kata seseorang.
“Siapa yang mengusulkan itu?...” kemanan bertanya dan melirik-lirik santri yang usul tadi.
“Saya keamanan…” kata Bentang, mengaku.
“kenapa berkata seperti itu?” Tanya keamanan.
“Sebab saya mencintainya, tapi dia selalu nyakitin saya… huk…huk…” jawab bentang sambil nangis, seolah sedang curhat.
“Udah, sabar ya…” kata keamanan sambil menyuruh Bentang duduk.
“Kok disuruh duduk? Bentang juga kan pacaran. Wah, keamanan gak adil ni” kata seorang santri sambil menggelengkan kepala.
“BUKK!!” santri tadi langsung dihantam kamus juga.
“BUKK!!” santri tadi membalas hantaman keamanan.
“BUK…BUK..BUK..BUKBUKBUKBUK!!!” Santri tadi dikeroyok keamanan. Dan tim kesehatan membawanya ke Ruang Sangat Gawat Darurat.
***
Jumlah santri yang kena jerat hukuman sebab pacaran itu ada 17 pasang. Dan semuanya disangsi, hukumannya sama rata. Yaitu disuruh putus. Santriwan dan santriwati yang berpacaran disuruh mengatakan kata-kata perpisahan dengan pasangannya masing-masing.
“Ayo! dimulai dari santriwan yang mengatakan kata-kata putusnya, dan santriawati yang memberi keputusannya” kata keamanan.
Hari Hamka, “Gina, maafkan Akang. Sepertinya sampai di sini hubungan kita. Kita putus, ya. Terimalah dengan lapang dada. Kelak kalau kita jodoh, kita akan bersatu kembali” Ucap hari, sambil menangis sebelah mata.
“……” Gina hanya diam saja. Dia menangis terisak-isak.
“Lanjut!” Suruh keamanan.
Rizal Fauzi, “Lis, kita putus saja, ya” Rizal bilangnya to the point.
“Emang dari dulu aku mau putus sama kamu!” Jawab Elis tak berperasaan.
“Lanjut!” suruh keamanan.
Sidik, “Sayangku Naila. Terpaksa aku harus memutuskan kamu, sayang. Maafkan ananda, oh Niala” Sidik memutuskan Naila seolah merayu.
“Eh, gombal. Emangnya siapa yang jadian” Jawab Naila.
Mendengar jata-kata itu, sidik terkulai lemas tak berdaya, dia pingsan.
“tim kesehatan gotong Sidik!... Yu, pasangan selanjutnya!” suruh keamanan.
Uden, “Dea, kita putus!”
Dea, “Baik!”
“Singkat padat dan pasti. Bagus. Lanjuuuut!” suruh keamanan sambil tersenyum.
Hendi, “Qowi, mungkin selama hubungan aku belum pernah mengatakan I love you. Sekarang saat terakhir, aku akan mengatakannya….”
Qowi, “Gak usah, aku sudah medapatkan kata cinta dari pria lain. Kamu terlambat mengatakannya” ucap Qowi memotong kata-kata Hendi.
Hendi mendengar itu, dank arena itu Hendi pingsan, tubuhnya kejang-kejang.
“Tim kesehatan, gotong dia. Pasangan berikutnya, lanjut!” suruh keamanan.
Saeful Anam, “Untuk Melan dan Maya, maaf sekarang kita bertiga harus berpisah. Kalian kedua pacarku yang sangat aku sayangi….”
Mesa, “Oh, jadi loe menduakan gue…” ucap Mesa sambil ngerebut pemukul sebesar jempol dari tangan kemanan. “dasar! Bajingan!” Ucap Mesa sambil menghantam bokong Eful dengan itu pemukul.
Maya, “Mesa, boleh aku pinjam pemukulnya” pinta Maya.
“Boleh” jawab Mesa sambil menyerahkan itu alat pemukul.
“Pria tengik, bau dan belagu” ….”BUKKK!!!” maya berkata sambil menghantam bokong Eful beberapa kali dengan itu pemukul.
“Kesehataaaaannnn… Gotong Eful!” suruh keamanan.
“Saya belum pingsan kak keamanan” kata Eful memotong.
“oh, belum pingsan”
“iya, belum, kak” jawab Eful.
“BUKKKK!!!!” suara hantaman kamus.
“Sekarang gotong dia” suruh keamanan.
***
“Santri, kalian jangan terlalu membuang-buang waktu dengan pacaran, ada waktunya untuk cari pasangan hidup. Jadilah santri yang baik, jangan jauh-jauh datang ke sini hanya untuk cari pacar. Wanita bisa di mana saja dicari. Tapi ilmu agama, sulit dan sempit” Ucap keamanan menasehati para santri yang sudah pada putus hubungan dengan pacarnya.
Catatan kaki:
kisah di atas tidak aku alami, aku tahu itu kisah dari temanku yang saat itu nelfon aku. Dia curhat kalau dia disuruh putus. Dia juga bilang, “Kak, kalau kakak ada di sini. Pasti kakak akan dihukum, dan hukumannya yang terberat”.
"Terimakasih Atas Kunjungannya, Semoga Anda Banyak Rezeki, Banyak Anak, Dan Masuk Surga. SALAM CINTA"
Catatan Garing 19: Adan Syarat
Bagian sembilan Belas
“Eh, loe ingat tidak siapa yang dulu paling indah dan nyaring suaranya kalau adzan, sehingga dia jadi muadzin ternama di masa Rasulullah saw?”
“…tahu”
“Siapa?” Tanya gue.
“Gak tahu, Sam!!!...” Jawab Eful, berteriak.
“Gak usah teriak gitu donk!”
“Abis, gue udah bilang gak tahu, masih ditanya lagi”
“Ah, dasar bodoh, loe itu. Bilal. Dia yang jadi muadzin ternama di masa Rasulullah” gue menerangkan.
“Iya, gua juga itu mah …tahu”
“Terserah loe aja Ful!”
Di tengah-tengah perdebatan antara gue dan Eful membahas Bilal. Tiba-tiba datang Makmun sambil garuk-garuk kepala, menyebabkan rambutnya awut-awutan. Tanpa banyak kata dan tanpa permisi, dia langsung duduk di tengah-tengah antara gue dan Eful.
“Mun, ada apa gerangan yang terjadi? Menybebkan kepala kau itu digaruk-garuk?” Gue nanya ke itu Makmun yang semakin cepat saja menggaruk-garuk kepalanya.
“Cinta!” jawab makmun datar.
“Hah! Cinta?!” gue jawab bareng Eful.
“Ah, Amun… Amun, cinta dipikirin…” kata Eful, sambil mengambil gelas berisi kopi, lalu meminumnya.
“Gue gak mikirin cinta, gue mirikin Nova” jawab Amun.
Mendengar kata Nova Eful kaget. Sampai-sampai kopi yang akan diminumnya yang sedang bercokol di dalam mulutnya, menyembur ke wajah gue. Karena kesal, maka gue rebut itu gelas yang dipegang Eful. Lalu gue guyur kepala Eful dengan air kopi yang masih hot itu, menyebabkan Eful lari pontang-panting. Kopi yang tadi gue siram ke kepala Eful masih bersisa, dan sisanya itu gue guyurkan saja ke kepala Makmun, dan sisianya lagi gue guyurkan ke kepala gue sendiri. Biar adil.
“jadi, gimana… eh.. kenapa dengan Nova, Mun?” Gue nanya sambil menghabiskan sisa kopi yang ada di gelas tadi.
“Gue mencintainya, Sam. Gue sangat dan teramat mencintai Nova”
"Lalu, kenapa sampai kau garuk-garuk itu kepala karena cinta sama Nova?”
“Itu dia masalahnya, Sam!”
“Apa masalahnya?”
“Gue gak berani mengatakan cinta padanya…”
“Oh, itu…”
“Kok, Oh sih Sam?...”
“Emang harusnya ngapain gue ini, Mun?”
“Ya, tolonglah kasih gue saran atau kritik”
“Oke! Kalau mau saran. Sekarang turunkan itu tangan dari kepala kau yang jelek itu. Dan gak usah terlalu memikirkan Nova. sekarang tenang saja, rileks, ambil nafas dalam-dalam dan keluarkan.” Gue diam sesaat lalu mengangkat gelas yang berisi kopi tapi kopinya sudah habis, sementara Amun sedang mengambil nafas. “Cinta gak usah dipikirkan, Mun. tembak aja itu si Neng Nova…”
“Tembak!!! Kok ditembak?!”
“Iya, ditembak… tembak aja pake pistol dadanya, atau geranat saja sekalian”
“kok begitu, Sam”
“eh, loe itu bodoh ya? Maksud gue itu, loe ungkapkan saja rasa cinta itu ke Nova, ajak dia jadian sama loe. Kali aja dia mau nerima loe. Gitu, Mun”
“Oh….”
***
Malam itu, sambil menunggu Eful, gue dan Amun membicarakan banyak hal tentang cinta, dari berbicara cara mencintai Allah sampai ujung-ujungnya kembali juga bagaimana cara mengungkapkan cinta ke Nova Nurul Ulfiyah, gadis yang dicintai Amun. gue memberikan banyak saran dan metode pada Amun bagaimana dia harus bersikap dan berkata saat mengungkapkan cintanya itu ke Nova Nurul Ulfiyah. Tapi semua saran itu ditolaknya, katanya dia gak berani melakukannya. Sampai akhirnya dia menyuruh gue menulis surat buat Nova. Seperti ini suratnya.
Untuk seorang gadis
yang secara diam-diam telah saya cintai,
siapa lagi kalau bukan Nova Nurul Ulfiyah.
Nova, Assalamu’alaikum….
Nova punya kabar gimana? Mudah-mudahan baik-baik saja.
Nova, sebetulnya aku malu menuliskan surat ini. tapi demi kedamaian hatiku, aku harus menulisnya.
Nova, langsung aja ya!
Nov, kamu tahu tidak, kalau aku itu cinta sama kamu? Banyak malam telah menjadi sepi dan sunyi gara-gara aku cinta sama kamu. Tapi aku ikhlas kok Nov, mencintai kamu. Sumpah.
Nov, aku harus bagaimana kalau sudah begini. Habis, rasa ini telah menjelma menjadi geranat yang mengganjal di hatiku, yang kalau tidak diungkapkan, geranat ini akan meledak bagaikan bom. Kamu tahu kan, bom? Yang meledak dan berdentum itu. Oleh karenanya atas dasar hati yang selalu dan serasa berdetak membunyikan namamu, aku mau kamu jadi pacar aku. Aku nembak kamu, Nov.
Mau ya, jadi pacar aku! Tapi kalau kamu gak mau, aku ikhlas, aku menyerahkan lagi cinta dan nasib aku pada Tuhanku.
Nov, tolong dipikirkan baik-baik, dan bayangkan aku, rupaku dan kelakuanku, mungkin saja layak untuk kau jadikan pacar. Aku mau melakukan apa saja asal (asal jangan suruh aku musyrik) untuk mendapatkanmu.
Wassalam
Makmun Murodz
***
Tiga hari kemudian, di tempat dan masih saat meronda.
Amun berlari-lari mau menemui gue, rambutnya yang hitam tebal terlihat merumbai-rumbai.
“ada apa, Mun, Lari-lari kayak di kejar syaithon?” gue bertanya sambil melihat Eful yang sedang minum kopi.
“Surat… surat Sam. Surat balasan dari Nova”
“Siapa Mun. Nova?!!” Tanya Eful, kaget.
“Iya, Nova”
Mendengar kata Nova, Eful kaget, dan langsung menyemburkan kopi dari mulutnya kemuka gue. Tapi, sekarang gue gak kesiram lagi semburan kopi dari mulut Eful, sebab gue menahannya. Menahan dengan payung. Yang sengaja gue bawa. Dan itu menyebabkan air kopinya kembali ke wajah Eful.
“apa isi suratnya Mun?” gue bertanya lagi ke Amun.
“tulisan”
“Iya, gue tahu tulisan. Maksudnya apa katanya?”
“Oh, kalo itu gue belum tahu, kita buka sama-sama saja”
Gue tidak menjawab, dan Amun langsung duduk di samping gue, memperlihatkan surat dari Nova. Eful juga ikut nimbrung, baca bareng-bareng.
Kepada seorang lelaki yang gak punya keberanian
mengungkapkan cinta di depan gadis pujaannya.
Siapa lagi kalau bukan Makmun Murodz.
Mun, ‘alaikum salam.
Kabar aku baik-baik saja, dan untuk itu aku besrsyukur.
Mun, aku emang gak tahu kamu cinta sama aku. Malah aku kaget, kok kamu tiba-tiba banget ngungkapin cinta sama aku. Sebagai wanita baik aku berterima kasih masih ada orang yang cinta sama aku.
Mun,aku sudah ngebayangin wajah kamu, perilaku kamu, kerajinan kamu mengaji, dan kepintaran kamu juga. Dan semuanya (maaf) gak ada yang menarik, yang membuat aku harus cinta kepadamu apalagi nerima cinta kamu.
Sampai kalimat itu, Amun mengangkat kepalanya menghentikan membaca surat. Lalu tangan kananya menyeka air matanya yang menetes dari matanya yang sebelah kanan, yang sebelah kirinya gak menangis. Nangis sebelah mata.
Setelah selesai menyeka air matanya, Amun kembali tertunduk untuk membaca.
Tapi, sebagai wanita baik aku memberi kamu kesempatan. Katanya kamu mau melakukan apa saja untuk mendapatkan aku, aku hanya minta satu syarat saja. Nanti, sebelum shalat subuh, aku mau kamu yang adzannya. Aku mau kamu mengumandangkan Asma Allah.
Subuh, nanti aku menunggu suaramu.
Wassalam
Nova Nurul Ulfiyah
Membaca lanjutan suratnya, Amun kembali berseri, merasa punya harapan. Dan ia tersenyum, tersenyum sebelah bibir.
Setelah membaca surat dari Nova, Amun terus saja duduk bersila di dalam masjid sambil baca al-Quran dan sesekali melihat jam di dinding. Dari kejauhan, terdengar suara adzan samara-samar. Amun terperanjat, al-Quran ditutupnya, lalu mik dipegangnya, telinganya ditutup tangan kirinya. Dan, di belakangnya para santri yang siap menunggu waktu shalat, menutup telinganya rapat-rapat. Bukan tidak mau mendengar suara adzan, tapi tidak mau mendengar suara Amun.
“ALLAHUAKBAR…ALLAHUAKBAR…. (2 KALI)”
Mendengar adzan Amun, para santri yang ada di belakang Amun meringis-ringis, banyak yang terjengkang, dan beberapa diantaranya ada yang lari ke luar masjid menyelamatkan diri dari suara adzan yang Islami tapi tak berirama.
…..
Anggap saja adzannya sudah selesai.
Adzan Amun sungguh dahsyat. Semua santri yang tidur, karena mendengar adzannya jadi pada bangun menghambur ke luar dari asrama masing-masing. Amun merasa tenang bisa adzan, walaupun itu adzanpertamanya I pesantren. Hatinya berbunga-bunga, seolah-olah banyak bunga melati, bunga mawar, bunga ros, bunga teratai, sampai bunga bangkai menghujani dirinya, saking senangnya.
Pagi pun tiba. Di atas masjid terlihat beberapa orang santri sedang membetulkan spiker masjid yang rusak. Kata seorang santri, kerusakan spiker itu sebab suara Amun itu. Spikernya meledak, kabelnya putus-putus, kulit spiker juga meleleh, dan magnet yang ada di dalam sound itu spiker hancur. Bagaimana nasib itu siker? Tanya gue. Gak bisa diselamatkan, jawab itu santri.
Saat Amun tengah berdiri di depan masjid, ada santri yang berlari menghadapnya. Santri itu membawa selembar kertas putih. Dan kertas itu diberikan ke Amun, yang menyebabkan Amun harus membaca itu kertas.
Gak akan banyak kata.
Mun, kamu telah melaksanakan adzan syarat. Kalaupun suaramu sangat….. ya gitu lah????
Mun, aku nerima kamu. Aku juga suka ama kamu. Sekarang kau resmi jadi pacar aku.
Garut, 12 Mei 2005
Nova Nurul Ulfiyah
Amun menyeringaikan senyum kebahagiaan. Surat yang singkat itu, diciumnya oleh Amun, dibayangkan seakan Nova sedang tersenyum padanya, dan Amun juga seakan harus membalas senyumnya, dan memang ia tersenyum ke itu kertas.
Catatan kaki:
Jangan berpikir mau mendapatkan sesuatu kalau loe belum mengusahakannya, jangan berpikir orang akan mengerti loe, kalau loe tidak mengatakan sesuatu yang jujur tentang loe.
“Eh, loe ingat tidak siapa yang dulu paling indah dan nyaring suaranya kalau adzan, sehingga dia jadi muadzin ternama di masa Rasulullah saw?”
“…tahu”
“Siapa?” Tanya gue.
“Gak tahu, Sam!!!...” Jawab Eful, berteriak.
“Gak usah teriak gitu donk!”
“Abis, gue udah bilang gak tahu, masih ditanya lagi”
“Ah, dasar bodoh, loe itu. Bilal. Dia yang jadi muadzin ternama di masa Rasulullah” gue menerangkan.
“Iya, gua juga itu mah …tahu”
“Terserah loe aja Ful!”
Di tengah-tengah perdebatan antara gue dan Eful membahas Bilal. Tiba-tiba datang Makmun sambil garuk-garuk kepala, menyebabkan rambutnya awut-awutan. Tanpa banyak kata dan tanpa permisi, dia langsung duduk di tengah-tengah antara gue dan Eful.
“Mun, ada apa gerangan yang terjadi? Menybebkan kepala kau itu digaruk-garuk?” Gue nanya ke itu Makmun yang semakin cepat saja menggaruk-garuk kepalanya.
“Cinta!” jawab makmun datar.
“Hah! Cinta?!” gue jawab bareng Eful.
“Ah, Amun… Amun, cinta dipikirin…” kata Eful, sambil mengambil gelas berisi kopi, lalu meminumnya.
“Gue gak mikirin cinta, gue mirikin Nova” jawab Amun.
Mendengar kata Nova Eful kaget. Sampai-sampai kopi yang akan diminumnya yang sedang bercokol di dalam mulutnya, menyembur ke wajah gue. Karena kesal, maka gue rebut itu gelas yang dipegang Eful. Lalu gue guyur kepala Eful dengan air kopi yang masih hot itu, menyebabkan Eful lari pontang-panting. Kopi yang tadi gue siram ke kepala Eful masih bersisa, dan sisanya itu gue guyurkan saja ke kepala Makmun, dan sisianya lagi gue guyurkan ke kepala gue sendiri. Biar adil.
“jadi, gimana… eh.. kenapa dengan Nova, Mun?” Gue nanya sambil menghabiskan sisa kopi yang ada di gelas tadi.
“Gue mencintainya, Sam. Gue sangat dan teramat mencintai Nova”
"Lalu, kenapa sampai kau garuk-garuk itu kepala karena cinta sama Nova?”
“Itu dia masalahnya, Sam!”
“Apa masalahnya?”
“Gue gak berani mengatakan cinta padanya…”
“Oh, itu…”
“Kok, Oh sih Sam?...”
“Emang harusnya ngapain gue ini, Mun?”
“Ya, tolonglah kasih gue saran atau kritik”
“Oke! Kalau mau saran. Sekarang turunkan itu tangan dari kepala kau yang jelek itu. Dan gak usah terlalu memikirkan Nova. sekarang tenang saja, rileks, ambil nafas dalam-dalam dan keluarkan.” Gue diam sesaat lalu mengangkat gelas yang berisi kopi tapi kopinya sudah habis, sementara Amun sedang mengambil nafas. “Cinta gak usah dipikirkan, Mun. tembak aja itu si Neng Nova…”
“Tembak!!! Kok ditembak?!”
“Iya, ditembak… tembak aja pake pistol dadanya, atau geranat saja sekalian”
“kok begitu, Sam”
“eh, loe itu bodoh ya? Maksud gue itu, loe ungkapkan saja rasa cinta itu ke Nova, ajak dia jadian sama loe. Kali aja dia mau nerima loe. Gitu, Mun”
“Oh….”
***
Malam itu, sambil menunggu Eful, gue dan Amun membicarakan banyak hal tentang cinta, dari berbicara cara mencintai Allah sampai ujung-ujungnya kembali juga bagaimana cara mengungkapkan cinta ke Nova Nurul Ulfiyah, gadis yang dicintai Amun. gue memberikan banyak saran dan metode pada Amun bagaimana dia harus bersikap dan berkata saat mengungkapkan cintanya itu ke Nova Nurul Ulfiyah. Tapi semua saran itu ditolaknya, katanya dia gak berani melakukannya. Sampai akhirnya dia menyuruh gue menulis surat buat Nova. Seperti ini suratnya.
Untuk seorang gadis
yang secara diam-diam telah saya cintai,
siapa lagi kalau bukan Nova Nurul Ulfiyah.
Nova, Assalamu’alaikum….
Nova punya kabar gimana? Mudah-mudahan baik-baik saja.
Nova, sebetulnya aku malu menuliskan surat ini. tapi demi kedamaian hatiku, aku harus menulisnya.
Nova, langsung aja ya!
Nov, kamu tahu tidak, kalau aku itu cinta sama kamu? Banyak malam telah menjadi sepi dan sunyi gara-gara aku cinta sama kamu. Tapi aku ikhlas kok Nov, mencintai kamu. Sumpah.
Nov, aku harus bagaimana kalau sudah begini. Habis, rasa ini telah menjelma menjadi geranat yang mengganjal di hatiku, yang kalau tidak diungkapkan, geranat ini akan meledak bagaikan bom. Kamu tahu kan, bom? Yang meledak dan berdentum itu. Oleh karenanya atas dasar hati yang selalu dan serasa berdetak membunyikan namamu, aku mau kamu jadi pacar aku. Aku nembak kamu, Nov.
Mau ya, jadi pacar aku! Tapi kalau kamu gak mau, aku ikhlas, aku menyerahkan lagi cinta dan nasib aku pada Tuhanku.
Nov, tolong dipikirkan baik-baik, dan bayangkan aku, rupaku dan kelakuanku, mungkin saja layak untuk kau jadikan pacar. Aku mau melakukan apa saja asal (asal jangan suruh aku musyrik) untuk mendapatkanmu.
Wassalam
Makmun Murodz
***
Tiga hari kemudian, di tempat dan masih saat meronda.
Amun berlari-lari mau menemui gue, rambutnya yang hitam tebal terlihat merumbai-rumbai.
“ada apa, Mun, Lari-lari kayak di kejar syaithon?” gue bertanya sambil melihat Eful yang sedang minum kopi.
“Surat… surat Sam. Surat balasan dari Nova”
“Siapa Mun. Nova?!!” Tanya Eful, kaget.
“Iya, Nova”
Mendengar kata Nova, Eful kaget, dan langsung menyemburkan kopi dari mulutnya kemuka gue. Tapi, sekarang gue gak kesiram lagi semburan kopi dari mulut Eful, sebab gue menahannya. Menahan dengan payung. Yang sengaja gue bawa. Dan itu menyebabkan air kopinya kembali ke wajah Eful.
“apa isi suratnya Mun?” gue bertanya lagi ke Amun.
“tulisan”
“Iya, gue tahu tulisan. Maksudnya apa katanya?”
“Oh, kalo itu gue belum tahu, kita buka sama-sama saja”
Gue tidak menjawab, dan Amun langsung duduk di samping gue, memperlihatkan surat dari Nova. Eful juga ikut nimbrung, baca bareng-bareng.
Kepada seorang lelaki yang gak punya keberanian
mengungkapkan cinta di depan gadis pujaannya.
Siapa lagi kalau bukan Makmun Murodz.
Mun, ‘alaikum salam.
Kabar aku baik-baik saja, dan untuk itu aku besrsyukur.
Mun, aku emang gak tahu kamu cinta sama aku. Malah aku kaget, kok kamu tiba-tiba banget ngungkapin cinta sama aku. Sebagai wanita baik aku berterima kasih masih ada orang yang cinta sama aku.
Mun,aku sudah ngebayangin wajah kamu, perilaku kamu, kerajinan kamu mengaji, dan kepintaran kamu juga. Dan semuanya (maaf) gak ada yang menarik, yang membuat aku harus cinta kepadamu apalagi nerima cinta kamu.
Sampai kalimat itu, Amun mengangkat kepalanya menghentikan membaca surat. Lalu tangan kananya menyeka air matanya yang menetes dari matanya yang sebelah kanan, yang sebelah kirinya gak menangis. Nangis sebelah mata.
Setelah selesai menyeka air matanya, Amun kembali tertunduk untuk membaca.
Tapi, sebagai wanita baik aku memberi kamu kesempatan. Katanya kamu mau melakukan apa saja untuk mendapatkan aku, aku hanya minta satu syarat saja. Nanti, sebelum shalat subuh, aku mau kamu yang adzannya. Aku mau kamu mengumandangkan Asma Allah.
Subuh, nanti aku menunggu suaramu.
Wassalam
Nova Nurul Ulfiyah
Membaca lanjutan suratnya, Amun kembali berseri, merasa punya harapan. Dan ia tersenyum, tersenyum sebelah bibir.
Setelah membaca surat dari Nova, Amun terus saja duduk bersila di dalam masjid sambil baca al-Quran dan sesekali melihat jam di dinding. Dari kejauhan, terdengar suara adzan samara-samar. Amun terperanjat, al-Quran ditutupnya, lalu mik dipegangnya, telinganya ditutup tangan kirinya. Dan, di belakangnya para santri yang siap menunggu waktu shalat, menutup telinganya rapat-rapat. Bukan tidak mau mendengar suara adzan, tapi tidak mau mendengar suara Amun.
“ALLAHUAKBAR…ALLAHUAKBAR…. (2 KALI)”
Mendengar adzan Amun, para santri yang ada di belakang Amun meringis-ringis, banyak yang terjengkang, dan beberapa diantaranya ada yang lari ke luar masjid menyelamatkan diri dari suara adzan yang Islami tapi tak berirama.
…..
Anggap saja adzannya sudah selesai.
Adzan Amun sungguh dahsyat. Semua santri yang tidur, karena mendengar adzannya jadi pada bangun menghambur ke luar dari asrama masing-masing. Amun merasa tenang bisa adzan, walaupun itu adzanpertamanya I pesantren. Hatinya berbunga-bunga, seolah-olah banyak bunga melati, bunga mawar, bunga ros, bunga teratai, sampai bunga bangkai menghujani dirinya, saking senangnya.
Pagi pun tiba. Di atas masjid terlihat beberapa orang santri sedang membetulkan spiker masjid yang rusak. Kata seorang santri, kerusakan spiker itu sebab suara Amun itu. Spikernya meledak, kabelnya putus-putus, kulit spiker juga meleleh, dan magnet yang ada di dalam sound itu spiker hancur. Bagaimana nasib itu siker? Tanya gue. Gak bisa diselamatkan, jawab itu santri.
Saat Amun tengah berdiri di depan masjid, ada santri yang berlari menghadapnya. Santri itu membawa selembar kertas putih. Dan kertas itu diberikan ke Amun, yang menyebabkan Amun harus membaca itu kertas.
Gak akan banyak kata.
Mun, kamu telah melaksanakan adzan syarat. Kalaupun suaramu sangat….. ya gitu lah????
Mun, aku nerima kamu. Aku juga suka ama kamu. Sekarang kau resmi jadi pacar aku.
Garut, 12 Mei 2005
Nova Nurul Ulfiyah
Amun menyeringaikan senyum kebahagiaan. Surat yang singkat itu, diciumnya oleh Amun, dibayangkan seakan Nova sedang tersenyum padanya, dan Amun juga seakan harus membalas senyumnya, dan memang ia tersenyum ke itu kertas.
Catatan kaki:
Jangan berpikir mau mendapatkan sesuatu kalau loe belum mengusahakannya, jangan berpikir orang akan mengerti loe, kalau loe tidak mengatakan sesuatu yang jujur tentang loe.
Catatan Garing 18: Letter Love to Santriawati
Bagian Delapan Belas
Waktu itu angin niup-niup pepohonan tidak lembut, mengguncang-guncang ranting kecilnya. Angin tidak lembut itu menyebabkan gue, Cecep dan Saeful yang sedang duduk di beranda masjid menggigil kedinginan. Cecep yang berselimut sarung cap Gajah Duduk, duduk di depan gue sambil baca kitab. Dan Saeful yang tidak berselimut sarung, duduk di samping Cecep sambil melihat-lihat secarik kertas, kertas itu bukan hanya diliatin saja, tapi juga didekapkan ke dadanya, terkadang, kertas itu diciuminya juga. Anehnya lagi, Eful selalu memberi senyum pada kertas itu, seperti sedang merayu atau menggombalinya.
Gue tau Cecep sedang baca kitab dan Eful—menurut subjektivitas gue—sedang mencabuli kertas, sebab gue duduk di hadapan mereka sambil liatin kegiatan mereka yang ganjil. Kenapa ganjil? Sebab ini waktu sudah larut malam dan lampu yang berada di dalam masjid sudah padam. Jadi gak cocok membaca atau melihat sesuatu yang menjelma di dalam kertas.
Kembali gue merhatiin Cecep yang dari tadi tunduk seolah matanya memperhatikan kitab tanpa berkedip. Sekedar meyakinkan atau mempermainkan Cecep. Gue ambil itu kitab dari tangan Cecep. Aneh! Gue kira dia bakal kaget, ternyata tidak. Itu Cecep terus aja nunduk, seolah jejak-jejak huruf dari kitabnya yang gue rebut masih berada dipangkuannya. Gue penasaran dengan kependiaman Cecep. Karena penasaran itu, gue coba mengguncang-guncang tubuh Cecep. Ow! Ketika gue guncang-guncang, tubuh Cecep langsung tumbang. Ia terkulai lemas, lalu tubuhnya roboh ke arah kanan dan kepalanya yang lebih besar dari ukuran normalnya membentur keramik dengan keras. Lalu apa yang terjadi dengan kepalanya? Kepalanya baik-baik saja. Keramiknya saja yang tidak tahan banting. Keramiknya belah.
Eful melirik Cecep yang sedang ngorok. Sambil tersenyum ia ngambil sarungnya. Membuat Cecep kedinginan. Tapi tidak membuatnya bangun, sebab Cecep kalo udah tidur mirip beruang kutub. Tahan gangguan apapun.
Dipikir-pikir, gue enek juga lihat tingkah laku Eful. Bayangin aja, terkadang ia lihat secarik kertas yang di pegangnya, terkadang juga ia melirik-lirik gue, pake senyum segala lagi. Itu, belaga orang tampan aja.
“Ful, apa-apaan sih, lo. Liatin gue terus?...”
“Siapa yang liatin, loe? Orang gue lagi ngebayangin”
“Ngebayangin?”
“Iya, seandainya loe itu Melan. Pasti malam ini malam terindah”
“Kalau kenyatannya gue bukan Melan?”
“Berarti ini malam terburuk”
“Sialan loe!”
***
Besoknya… sekitar pukul 06.00 ba’da shalat subuh???...
Gue duduk di atas kursi menghadap meja di dalam asrama santriawan yang bernama “Hasan Al-Bana”. Duduk sambil ngerokok Djarum Cokelat yang waktu itu sebatang Rp. 500. Kalo lagi gak punya duit, biasanya gue duduk-duduk seperti itu sambil ngebako. Tahu, kan? Mirip ngegele?!
Pagi indah yang sedang gue nikmati, tiba-tiba saja jadi tidak nyaman. Itu terjadi karena Eful sedang berjalan menuju arah gue. Dan pasti mau menemui gue. Eful berjalannya agak belagu, dia jalan sembari bersiul, mulutnya terkadang menyemburkan asap bako. Bener, kan? Eful mau nemuin gue. Dia udah berdiri di hadapan gue. Sial!!
“God morning, Sem?...”
“Hmmm…”
Eful diam sesaat sambil memberi senyum sesat. Lalu “BRAK!!!” menggebrak meja dengan keras dan dengan tiba-tiba, bikin gua kaget.
“Apa-apaan sih, lo?!”
“Sem, kertas itu. Kertas itu, Sem…”
“Iya, ada apa dengan kertas itu?...”
“Kertas itu udah gue kirim ke Melan”
“HAH!!!!”
“Iya!!...”
“Jadi??!!...”
“Iya, gue ngirim surat ke Melan. Hebatkan?...”
“Hebat?! Hebat loe bilang! Melan itu kan…”
“Iya, gue tahu”
Di tengah-tengah percakapan menegangkan gue dan Eful, tiba-tiba saja ada santri kelas satu berlari membawa sebuah amplop tebal. Entah bisu, entah apa? Santri kelas satu itu langsung saja memberikan amplop putih tak bernama ke Eful.
“Dari teh Melan” kata santri kelas satu itu.
Mendengar kata melan, mulut Eful yang sedang menyeringaikan senyum jadi mengkerut kembali ke posisi awal. Mulutnya kembali menganga, dadanya berdenyut seperti mau meledak.
“Oh… Melan membalas surat gue” kata Eful sambil membuka amplop itu dengan tergesa-gesa. Sepertinya Eful mau sombong ke gue. Surat itu dibukanya di hadapan gue, dan anehnya ngajak gue membaca bareng-bareng.
Kepada Yth
Saeful Anam
Di tempat
Walaikum Salam….
Al-hamdulillah kabar Melan baik-baik saja.
To the point aja!
Kang Eful…
Melan sangat menghargai Akang sebab mengirim surat ini. Melan juga berterima kasih atas perhatiannya. Dan Melan juga mengapresiasi atas keberanian Akang mengirim surat.
Kang Eful…
Melan tidak sepenuhnya mengerti isi surat Akang. Maaf, di samping tulisannya sukar dibaca (tulisan akang jelek, sekali lagi maaf). Melan juga tidak begitu memahami maksudnya. Melan memuji dengan untaian bahasa puitisnya. Tapi maksudnya apa? Gak ngerti sama sekali. Apalagi ada kalimat, “walau pun keamanan Pesantren menumpahkan lautan dan menimpakan seribu cambukan, aku akan tetap me….(katat terakhir itu tidak terbaca).
Kang Eful…
Maaf! Sebetulnya akang ngirim surat itu mau nembak (ngajak jadian) saya atau mau menyombongkan diri. Kenapa isi surat itu kebanyak memuji diri Akang sendiri dari pada Melan. Kenapa surat itu juga banyak menghina keamanan Pesantren?
Kang Eful…
Apa pun yang akan tulis di dalam surat Melan bisa menyimpulkan, yaitu akan mengajak santriawati pacaran dan menghina keamanan pesantren. Dan, maaf, Kang. Melan gak nerima Akang berbuat demikian. Akang sudah mencorang nama baik keamanan satriawati. Akang juga melanggar peraturan besar pesantren, yaitu dilarang pacaran. Akang tahu kan hukumannya apa kalau ketahuan pacaran dan ngirim surat cinta.
Kang Eful…
Dengan hormat Melan meminta Akang agar segera taubat kepada Allah swt. Dan dengan ikhlas menyerahkan diri kepada sie Kemanan. Itu lebih baik dari pada Keamanan yang nyariin Akang. Karena seluruh isi surat yang akang tulis itu Melan berikan kepada Sie Keamanan Santriawati.
Mohon maaf atas kekhilafan.
Wassalam…
Melan Nur’aini
Baru saja Eful selesai membaca surat balasan dari Melan. Ada seorang santriawan kelas satu memanggilnya.
“Kang Eful….” Kata anak itu
“Iya…” Eful menjawab sambil melipat surat itu dengan tangan yang bergetar-getar.
“Kata Keamanan Pesantren, Akang disuruh menghadap”
“Di mana?...” jawan Eful sambil nangis sebelah muka.
“Di masjid”
“Berapa orang Keamanan yang manggil?”
“Seluruh Keamanan. Santri lain sepesantren juga ada di dalam masjid”
“Ngapain?!”
“Mau lihat Akang”
Waktu itu angin niup-niup pepohonan tidak lembut, mengguncang-guncang ranting kecilnya. Angin tidak lembut itu menyebabkan gue, Cecep dan Saeful yang sedang duduk di beranda masjid menggigil kedinginan. Cecep yang berselimut sarung cap Gajah Duduk, duduk di depan gue sambil baca kitab. Dan Saeful yang tidak berselimut sarung, duduk di samping Cecep sambil melihat-lihat secarik kertas, kertas itu bukan hanya diliatin saja, tapi juga didekapkan ke dadanya, terkadang, kertas itu diciuminya juga. Anehnya lagi, Eful selalu memberi senyum pada kertas itu, seperti sedang merayu atau menggombalinya.
Gue tau Cecep sedang baca kitab dan Eful—menurut subjektivitas gue—sedang mencabuli kertas, sebab gue duduk di hadapan mereka sambil liatin kegiatan mereka yang ganjil. Kenapa ganjil? Sebab ini waktu sudah larut malam dan lampu yang berada di dalam masjid sudah padam. Jadi gak cocok membaca atau melihat sesuatu yang menjelma di dalam kertas.
Kembali gue merhatiin Cecep yang dari tadi tunduk seolah matanya memperhatikan kitab tanpa berkedip. Sekedar meyakinkan atau mempermainkan Cecep. Gue ambil itu kitab dari tangan Cecep. Aneh! Gue kira dia bakal kaget, ternyata tidak. Itu Cecep terus aja nunduk, seolah jejak-jejak huruf dari kitabnya yang gue rebut masih berada dipangkuannya. Gue penasaran dengan kependiaman Cecep. Karena penasaran itu, gue coba mengguncang-guncang tubuh Cecep. Ow! Ketika gue guncang-guncang, tubuh Cecep langsung tumbang. Ia terkulai lemas, lalu tubuhnya roboh ke arah kanan dan kepalanya yang lebih besar dari ukuran normalnya membentur keramik dengan keras. Lalu apa yang terjadi dengan kepalanya? Kepalanya baik-baik saja. Keramiknya saja yang tidak tahan banting. Keramiknya belah.
Eful melirik Cecep yang sedang ngorok. Sambil tersenyum ia ngambil sarungnya. Membuat Cecep kedinginan. Tapi tidak membuatnya bangun, sebab Cecep kalo udah tidur mirip beruang kutub. Tahan gangguan apapun.
Dipikir-pikir, gue enek juga lihat tingkah laku Eful. Bayangin aja, terkadang ia lihat secarik kertas yang di pegangnya, terkadang juga ia melirik-lirik gue, pake senyum segala lagi. Itu, belaga orang tampan aja.
“Ful, apa-apaan sih, lo. Liatin gue terus?...”
“Siapa yang liatin, loe? Orang gue lagi ngebayangin”
“Ngebayangin?”
“Iya, seandainya loe itu Melan. Pasti malam ini malam terindah”
“Kalau kenyatannya gue bukan Melan?”
“Berarti ini malam terburuk”
“Sialan loe!”
***
Besoknya… sekitar pukul 06.00 ba’da shalat subuh???...
Gue duduk di atas kursi menghadap meja di dalam asrama santriawan yang bernama “Hasan Al-Bana”. Duduk sambil ngerokok Djarum Cokelat yang waktu itu sebatang Rp. 500. Kalo lagi gak punya duit, biasanya gue duduk-duduk seperti itu sambil ngebako. Tahu, kan? Mirip ngegele?!
Pagi indah yang sedang gue nikmati, tiba-tiba saja jadi tidak nyaman. Itu terjadi karena Eful sedang berjalan menuju arah gue. Dan pasti mau menemui gue. Eful berjalannya agak belagu, dia jalan sembari bersiul, mulutnya terkadang menyemburkan asap bako. Bener, kan? Eful mau nemuin gue. Dia udah berdiri di hadapan gue. Sial!!
“God morning, Sem?...”
“Hmmm…”
Eful diam sesaat sambil memberi senyum sesat. Lalu “BRAK!!!” menggebrak meja dengan keras dan dengan tiba-tiba, bikin gua kaget.
“Apa-apaan sih, lo?!”
“Sem, kertas itu. Kertas itu, Sem…”
“Iya, ada apa dengan kertas itu?...”
“Kertas itu udah gue kirim ke Melan”
“HAH!!!!”
“Iya!!...”
“Jadi??!!...”
“Iya, gue ngirim surat ke Melan. Hebatkan?...”
“Hebat?! Hebat loe bilang! Melan itu kan…”
“Iya, gue tahu”
Di tengah-tengah percakapan menegangkan gue dan Eful, tiba-tiba saja ada santri kelas satu berlari membawa sebuah amplop tebal. Entah bisu, entah apa? Santri kelas satu itu langsung saja memberikan amplop putih tak bernama ke Eful.
“Dari teh Melan” kata santri kelas satu itu.
Mendengar kata melan, mulut Eful yang sedang menyeringaikan senyum jadi mengkerut kembali ke posisi awal. Mulutnya kembali menganga, dadanya berdenyut seperti mau meledak.
“Oh… Melan membalas surat gue” kata Eful sambil membuka amplop itu dengan tergesa-gesa. Sepertinya Eful mau sombong ke gue. Surat itu dibukanya di hadapan gue, dan anehnya ngajak gue membaca bareng-bareng.
Kepada Yth
Saeful Anam
Di tempat
Walaikum Salam….
Al-hamdulillah kabar Melan baik-baik saja.
To the point aja!
Kang Eful…
Melan sangat menghargai Akang sebab mengirim surat ini. Melan juga berterima kasih atas perhatiannya. Dan Melan juga mengapresiasi atas keberanian Akang mengirim surat.
Kang Eful…
Melan tidak sepenuhnya mengerti isi surat Akang. Maaf, di samping tulisannya sukar dibaca (tulisan akang jelek, sekali lagi maaf). Melan juga tidak begitu memahami maksudnya. Melan memuji dengan untaian bahasa puitisnya. Tapi maksudnya apa? Gak ngerti sama sekali. Apalagi ada kalimat, “walau pun keamanan Pesantren menumpahkan lautan dan menimpakan seribu cambukan, aku akan tetap me….(katat terakhir itu tidak terbaca).
Kang Eful…
Maaf! Sebetulnya akang ngirim surat itu mau nembak (ngajak jadian) saya atau mau menyombongkan diri. Kenapa isi surat itu kebanyak memuji diri Akang sendiri dari pada Melan. Kenapa surat itu juga banyak menghina keamanan Pesantren?
Kang Eful…
Apa pun yang akan tulis di dalam surat Melan bisa menyimpulkan, yaitu akan mengajak santriawati pacaran dan menghina keamanan pesantren. Dan, maaf, Kang. Melan gak nerima Akang berbuat demikian. Akang sudah mencorang nama baik keamanan satriawati. Akang juga melanggar peraturan besar pesantren, yaitu dilarang pacaran. Akang tahu kan hukumannya apa kalau ketahuan pacaran dan ngirim surat cinta.
Kang Eful…
Dengan hormat Melan meminta Akang agar segera taubat kepada Allah swt. Dan dengan ikhlas menyerahkan diri kepada sie Kemanan. Itu lebih baik dari pada Keamanan yang nyariin Akang. Karena seluruh isi surat yang akang tulis itu Melan berikan kepada Sie Keamanan Santriawati.
Mohon maaf atas kekhilafan.
Wassalam…
Melan Nur’aini
Baru saja Eful selesai membaca surat balasan dari Melan. Ada seorang santriawan kelas satu memanggilnya.
“Kang Eful….” Kata anak itu
“Iya…” Eful menjawab sambil melipat surat itu dengan tangan yang bergetar-getar.
“Kata Keamanan Pesantren, Akang disuruh menghadap”
“Di mana?...” jawan Eful sambil nangis sebelah muka.
“Di masjid”
“Berapa orang Keamanan yang manggil?”
“Seluruh Keamanan. Santri lain sepesantren juga ada di dalam masjid”
“Ngapain?!”
“Mau lihat Akang”
Catatan Garing 17: Apel ke Rumah Pacar
Bagian Tujuh Belas
Gue emang santri. Gue emang anak pesantren. Tapi apakah karena itu gue gak boleh pacaran? Emang dosa ya, mencintai seseorang karena status kita santri? Ayo jawab! Gue ngeguncang-guncang tubuh Eful yang sedang tidur. Soalnya dia ngomong, “di Pesantren gak boleh pacaran!”
Gue gak peduli Eful yang lagi tidur, lagi pula ngapain mikirin dia dan argumennya tentang gak boleh pacaran. Ah, dia aja yang gak bisa pacaran. Itu, alasannya cuma satu. Gak ada cewek yang suka padanya. Tidak seperti gue, biar agak sedikit jelek dan banyak gantengnya. Gue jauh-jauh mesantren masih bisa menghasilkan seorang wanita. Cantik, matanya sipit, wajahnya bundar, bibirnya seksi, kulitnya putih, dan soleh. Anak manusia lagi.
Malam ini gue agak sedikit tegang. Pasalnya, gue nerima surat cinta dari Irma, pacar gue itu. Kemarin gue ngirim surat pada Irma. Di mana esensi surat itu gue memohon dan meronta-ronta ke pacar gue itu, agar dikasih ijin main kerumahnya. Alasan gue mau main kerumahnya antara lain: mau lihat ibunya. Al-hamdulillah banget, gue dapat ijin. Surat balasan ini buktinya. Mau tahu isi suratnya? Oh iya, gue juga nanya apakah dia mencintai gue atau tidak? Ini jawabannya.
Dear My Love
Kak Dasam
Fil-hujroh
Wa’alaikumussalam…
Ima baik-baik aja kak, Alhamdulillah sehat.
Kak…
Ima juga tahu kita sudah lama pacaran. Tapi kakak belum pernah main ke rumah. Bukannya gak boleh, kak. Tapi Ima malu.
Kak…
Ima udah bilang sama Emak, kak Dasam mau main ke rumah. Emak ngijinin. Jadi kalau mau main, main aja. Asal jangan bikin malu Ima, ya kak. Jangan lupa mandi dan gosok gigi!
Kak…
Jangan takut, Ima gak bakal ninggalin kakak. Emang Ima sampai sekarang belum bisa mencintai kakak. Banyak faktor yang membuat Ima seperti ini. Tapi itu gak usah dibahas. Yang penting Ima setia dan sayang sama kakak.
Udah dulu ya, kak….
Ima juga kadang-kadang kangen ama kamu.
Wassalam…
Irma Ulfah
Pacarmu yang sekarang
Itulah saudaraku, surat dari pacar gue. Loe sudah bacakan, bagaimana dia sangat mencintai gue?
Malam ini masih malam, belum pagi. Sungguh, malam yang panjang. Gue merasa gelisah menunggu esok hari. Besok hari jum’at dan pesantren libur. Gue sepertinya insomnia, gak bisa tidur karena gelisah. Oh, Irma gue udah gak sabar mau bertemu dirimu. I miss you baby. Wait me there, baby. I will come to you, with my hard love…..
***
“Jum’at telah tibaaaaa…. yess!”
Itu gue tariak senang. Bagaimana tidak? hari ini gue mau apel ke rumah Irma.
Setelah shalat subuh, sekitar jam 07.00 gue mandi pake sabun merk Shinzui, dikeramas pake shampoo merk Sunsilk, juga tentunya gosok gigi pake pasta gigi merk ABC Dent. Gue pake pakaian terbagus yang gue miliki. Sekitar lima belas menit gue berdiri di hadapan cermin. Berusaha meyakinkan bahwa gue ganteng dan manis. Semanis gula jawa.
Ya, inilah gue. Siap berangkat menuju rumah surga. Rumahnya Irma.
Hari ini begitu sejuk, matahari sinarnya sangat hangat. Perjalanan menuju rumah Irma gak butuh waktu lama. Sekitar 500 meteran dari Pesantren. Sesampainya di depan rumah Irma, gue merapihkan pakaian, mengusap-usap rambut dengan kedua tangan, lalu menarik itu rambut sekuat tenaga ke depan. Sehingga bongkahan jambul menyembul di kepala gue. Walau gak lihat di cermin, gua bisa menyimpulkan, tampang gue menarik.
Pintu rumah Irma gue ketok-ketok dan sedikit ngucapin salam. Lalu munculah sesosok tak gue harapkan. Tubuhnya besar, tangannya kekar, kumisnya baplang dan tebal, tatapan matanya tajam. Dia. Bapaknya Irma.
“Pagi, Om. Irmanya ada?...”
“HHmmmm…Grrrr…” bapak Irma menggeram. Gue kaget dan mundur satu langkah. Agar terlihat soleh, gue berusaha baik sama bapaknya.
“Oh, Om! Assalamu’alaikum, Om. Gimana kabarnya? Aduh… Om kelihatan ganteng banget. Persis seperti Irma… hehe…”
“hhmmm….” Bapak Irma gak jawab. Dia hanya nunjuk deretan sofa. Maksudnya gue boleh masuk.
“Makasih, Om”
Beberapa menit gue menunggu. Kemudian ada seseorang menyingkap tirai yang memisahkan antara ruang tamu dan ruang keluarga. Oh, my God! Itu Irma. Dia cantik banget pake baju pink, kerudung pink, dan rok panjang hitam.
Bapak Irma ngijinin gue ngobrol sama Irma, asal ditemenin kedua adiknya: Fikri dan Tita. Walau agak benci dengan syarat ini, gue nerima aja. Daripada gak jadi ngobrol. Gue dan Irma duduk saling berhadapan, hanya dipisah meja sepanjang 1 m. Irma duduk di temenin kedua adiknya. Sungguh, kehadiran adiknya membuat gue terganggu. Gue harus mencari akal untuk mengusirnya.
Aha! Gue punya ide. Gue rogoh saku. Gue ambil uang seribu rupiah. Lalu gue berikan sama adiknya. Gue suap mereka biar pergi sejauh-jauhnya. Mereka pun pergi sejauh-jauhnya. Al-hamdulillah banget, keadaan mulai mendingin gue bisa agak tenang ngobrolnya. Bisa ngegombal, bisa muji-muji Irma, bisa menyatakan cinta dan bisa minta makan. Gue lapar banget. Dan, nyaris tujuan gue apel hanya buat makan enak.
Dengan penuh kasih sayang, Irma ngambil makanan berat dan makanan ringan sampai-sampai meja di hadapan gue penuh dengan makanan. Dan sebanyak apapun makanan tersaji, selalu tidak ada yang nyisa. Gue lahap semua makanan yang dia suguhkan.
Gue makan terlalu kenyang. Perut gue aja sampe buncit, mirip kodok. Mungkin karena terlalu kenyang itu mata gue jadi sepet dan berat untuk ditahan tetap terbuka. Pandangan gue mulai memudar, Irma yang tadinya cantik serasa pudar kecantikannya bersamaan dengan hilangnya pandangan gue. Dunia mulai gelap. Gue terlelap di atas sopa. Di rumah Irma.
***
Pengalaman apel ke rumah Irma, gue bilang-bilang sama temen-temen gue yang bisa dipercaya menjaga rahasia. Curhat sama mereka. Sambil ngasih makan ringan dan berat ke temen, gua bilang ama mereka, gue sangat senang di rumah Irma, sebab ia begitu perhatian sama pacarnya ini. Irma memberi gue makanan yang sangat banyak, makanan atas nama cinta. Temen gue sampai banyak yang iri. Bukan iri dengan apelnya, tapi iri dengan makanan yang disuguhkannya.
“Kak Sam….”
Seseorang manggil nama gue. Ternyata itu Sidik, santri anak kelas 3. kedatangan Sidik mencari gue untuk memberikan sepucuk surat dari Irma. Gue tidak heran Irma ngasih gue surat. Emang seperti itulah gue pacaran sama dia, hanya melalui surat. Gue lebih sering membaca suratnya dari pada bertemu wajahnya. Pesantren itu ketat, bagaikan penjara untuk anak-anak nakal dan tidak patuh aturan.
“Tuh, apa ku bilang? Irma itu cinta ama gue. Baru aja ketemu, udah ngasih surat lagi. Cinta rupanya kau Irma sama kang Syamsudin?.....”
Itu gue bicara muji diri sendiri sama temen-temen di kamar. Gue bicara sambil ngacung-ngacungin surat cinta dari Irma. Gak banyak kata lagi, gue langsung buka surat yang tidak dibungkus amplop itu.
Dear
Dasam Syamsudin
Di mana aja loe adanya
Hei, Sam! kan udah gue bilang. Loe, kalau mau main kerumah gue jangan bikin gue malu. Loe, tahu tidak ?! Kemarin gue didamprat ama bapak gue. Bapak gue bilang, “Irma, Loe punya pacar yang bener! Masa orang kayak gitu di jadiin pacar. Mau apel apa mau ngorok di rumah orang!”
Hei, Sam! loe itu gak bisa ya, bikin gue bahagia. Loe selalu aja bikin gue malu. Loe ngabisin makanan gak apa-apa, tapi jangan di bawa semua ke Pesantren. Bukannya gak boleh, itu gak sopan, Sam, gak sopan! Loe mau apel apa mau nyuri? Bapak gue juga cari rokok Drajum Cokelatnya. Loe, kan yang ngambil. Udah gitu, loe abis makan malah tidur, pake ngorok lagi.
Denger ya, Syamsudin!!!
Gue benci sama loe!!! Udah ah, kita PUTUS aja. Gue stresss pacaran ama loe. Sebetulnya putus juga gak cukup. Loe jangan mau ketemu gue lagi, jangan berani liat-liat gue lagi. Kecuali kalau loe lagi ngajar kelas gue. Itu boleh aja. Tapi jangan sengaja mau liat wajah gue.
Kita PUTUS. Pergi dari kehidupan gue. Pergiiiiiii!!!!!!!!!!!!.....
Irma Ulfah
Bukan Pacar loe lagi sekarang
“huk…huk…huk….” Gue nangis sebelah mata!
Gak pake catatan kaki:
Maaf, gue lagi sedih, diputusin.
Gue emang santri. Gue emang anak pesantren. Tapi apakah karena itu gue gak boleh pacaran? Emang dosa ya, mencintai seseorang karena status kita santri? Ayo jawab! Gue ngeguncang-guncang tubuh Eful yang sedang tidur. Soalnya dia ngomong, “di Pesantren gak boleh pacaran!”
Gue gak peduli Eful yang lagi tidur, lagi pula ngapain mikirin dia dan argumennya tentang gak boleh pacaran. Ah, dia aja yang gak bisa pacaran. Itu, alasannya cuma satu. Gak ada cewek yang suka padanya. Tidak seperti gue, biar agak sedikit jelek dan banyak gantengnya. Gue jauh-jauh mesantren masih bisa menghasilkan seorang wanita. Cantik, matanya sipit, wajahnya bundar, bibirnya seksi, kulitnya putih, dan soleh. Anak manusia lagi.
Malam ini gue agak sedikit tegang. Pasalnya, gue nerima surat cinta dari Irma, pacar gue itu. Kemarin gue ngirim surat pada Irma. Di mana esensi surat itu gue memohon dan meronta-ronta ke pacar gue itu, agar dikasih ijin main kerumahnya. Alasan gue mau main kerumahnya antara lain: mau lihat ibunya. Al-hamdulillah banget, gue dapat ijin. Surat balasan ini buktinya. Mau tahu isi suratnya? Oh iya, gue juga nanya apakah dia mencintai gue atau tidak? Ini jawabannya.
Dear My Love
Kak Dasam
Fil-hujroh
Wa’alaikumussalam…
Ima baik-baik aja kak, Alhamdulillah sehat.
Kak…
Ima juga tahu kita sudah lama pacaran. Tapi kakak belum pernah main ke rumah. Bukannya gak boleh, kak. Tapi Ima malu.
Kak…
Ima udah bilang sama Emak, kak Dasam mau main ke rumah. Emak ngijinin. Jadi kalau mau main, main aja. Asal jangan bikin malu Ima, ya kak. Jangan lupa mandi dan gosok gigi!
Kak…
Jangan takut, Ima gak bakal ninggalin kakak. Emang Ima sampai sekarang belum bisa mencintai kakak. Banyak faktor yang membuat Ima seperti ini. Tapi itu gak usah dibahas. Yang penting Ima setia dan sayang sama kakak.
Udah dulu ya, kak….
Ima juga kadang-kadang kangen ama kamu.
Wassalam…
Irma Ulfah
Pacarmu yang sekarang
Itulah saudaraku, surat dari pacar gue. Loe sudah bacakan, bagaimana dia sangat mencintai gue?
Malam ini masih malam, belum pagi. Sungguh, malam yang panjang. Gue merasa gelisah menunggu esok hari. Besok hari jum’at dan pesantren libur. Gue sepertinya insomnia, gak bisa tidur karena gelisah. Oh, Irma gue udah gak sabar mau bertemu dirimu. I miss you baby. Wait me there, baby. I will come to you, with my hard love…..
***
“Jum’at telah tibaaaaa…. yess!”
Itu gue tariak senang. Bagaimana tidak? hari ini gue mau apel ke rumah Irma.
Setelah shalat subuh, sekitar jam 07.00 gue mandi pake sabun merk Shinzui, dikeramas pake shampoo merk Sunsilk, juga tentunya gosok gigi pake pasta gigi merk ABC Dent. Gue pake pakaian terbagus yang gue miliki. Sekitar lima belas menit gue berdiri di hadapan cermin. Berusaha meyakinkan bahwa gue ganteng dan manis. Semanis gula jawa.
Ya, inilah gue. Siap berangkat menuju rumah surga. Rumahnya Irma.
Hari ini begitu sejuk, matahari sinarnya sangat hangat. Perjalanan menuju rumah Irma gak butuh waktu lama. Sekitar 500 meteran dari Pesantren. Sesampainya di depan rumah Irma, gue merapihkan pakaian, mengusap-usap rambut dengan kedua tangan, lalu menarik itu rambut sekuat tenaga ke depan. Sehingga bongkahan jambul menyembul di kepala gue. Walau gak lihat di cermin, gua bisa menyimpulkan, tampang gue menarik.
Pintu rumah Irma gue ketok-ketok dan sedikit ngucapin salam. Lalu munculah sesosok tak gue harapkan. Tubuhnya besar, tangannya kekar, kumisnya baplang dan tebal, tatapan matanya tajam. Dia. Bapaknya Irma.
“Pagi, Om. Irmanya ada?...”
“HHmmmm…Grrrr…” bapak Irma menggeram. Gue kaget dan mundur satu langkah. Agar terlihat soleh, gue berusaha baik sama bapaknya.
“Oh, Om! Assalamu’alaikum, Om. Gimana kabarnya? Aduh… Om kelihatan ganteng banget. Persis seperti Irma… hehe…”
“hhmmm….” Bapak Irma gak jawab. Dia hanya nunjuk deretan sofa. Maksudnya gue boleh masuk.
“Makasih, Om”
Beberapa menit gue menunggu. Kemudian ada seseorang menyingkap tirai yang memisahkan antara ruang tamu dan ruang keluarga. Oh, my God! Itu Irma. Dia cantik banget pake baju pink, kerudung pink, dan rok panjang hitam.
Bapak Irma ngijinin gue ngobrol sama Irma, asal ditemenin kedua adiknya: Fikri dan Tita. Walau agak benci dengan syarat ini, gue nerima aja. Daripada gak jadi ngobrol. Gue dan Irma duduk saling berhadapan, hanya dipisah meja sepanjang 1 m. Irma duduk di temenin kedua adiknya. Sungguh, kehadiran adiknya membuat gue terganggu. Gue harus mencari akal untuk mengusirnya.
Aha! Gue punya ide. Gue rogoh saku. Gue ambil uang seribu rupiah. Lalu gue berikan sama adiknya. Gue suap mereka biar pergi sejauh-jauhnya. Mereka pun pergi sejauh-jauhnya. Al-hamdulillah banget, keadaan mulai mendingin gue bisa agak tenang ngobrolnya. Bisa ngegombal, bisa muji-muji Irma, bisa menyatakan cinta dan bisa minta makan. Gue lapar banget. Dan, nyaris tujuan gue apel hanya buat makan enak.
Dengan penuh kasih sayang, Irma ngambil makanan berat dan makanan ringan sampai-sampai meja di hadapan gue penuh dengan makanan. Dan sebanyak apapun makanan tersaji, selalu tidak ada yang nyisa. Gue lahap semua makanan yang dia suguhkan.
Gue makan terlalu kenyang. Perut gue aja sampe buncit, mirip kodok. Mungkin karena terlalu kenyang itu mata gue jadi sepet dan berat untuk ditahan tetap terbuka. Pandangan gue mulai memudar, Irma yang tadinya cantik serasa pudar kecantikannya bersamaan dengan hilangnya pandangan gue. Dunia mulai gelap. Gue terlelap di atas sopa. Di rumah Irma.
***
Pengalaman apel ke rumah Irma, gue bilang-bilang sama temen-temen gue yang bisa dipercaya menjaga rahasia. Curhat sama mereka. Sambil ngasih makan ringan dan berat ke temen, gua bilang ama mereka, gue sangat senang di rumah Irma, sebab ia begitu perhatian sama pacarnya ini. Irma memberi gue makanan yang sangat banyak, makanan atas nama cinta. Temen gue sampai banyak yang iri. Bukan iri dengan apelnya, tapi iri dengan makanan yang disuguhkannya.
“Kak Sam….”
Seseorang manggil nama gue. Ternyata itu Sidik, santri anak kelas 3. kedatangan Sidik mencari gue untuk memberikan sepucuk surat dari Irma. Gue tidak heran Irma ngasih gue surat. Emang seperti itulah gue pacaran sama dia, hanya melalui surat. Gue lebih sering membaca suratnya dari pada bertemu wajahnya. Pesantren itu ketat, bagaikan penjara untuk anak-anak nakal dan tidak patuh aturan.
“Tuh, apa ku bilang? Irma itu cinta ama gue. Baru aja ketemu, udah ngasih surat lagi. Cinta rupanya kau Irma sama kang Syamsudin?.....”
Itu gue bicara muji diri sendiri sama temen-temen di kamar. Gue bicara sambil ngacung-ngacungin surat cinta dari Irma. Gak banyak kata lagi, gue langsung buka surat yang tidak dibungkus amplop itu.
Dear
Dasam Syamsudin
Di mana aja loe adanya
Hei, Sam! kan udah gue bilang. Loe, kalau mau main kerumah gue jangan bikin gue malu. Loe, tahu tidak ?! Kemarin gue didamprat ama bapak gue. Bapak gue bilang, “Irma, Loe punya pacar yang bener! Masa orang kayak gitu di jadiin pacar. Mau apel apa mau ngorok di rumah orang!”
Hei, Sam! loe itu gak bisa ya, bikin gue bahagia. Loe selalu aja bikin gue malu. Loe ngabisin makanan gak apa-apa, tapi jangan di bawa semua ke Pesantren. Bukannya gak boleh, itu gak sopan, Sam, gak sopan! Loe mau apel apa mau nyuri? Bapak gue juga cari rokok Drajum Cokelatnya. Loe, kan yang ngambil. Udah gitu, loe abis makan malah tidur, pake ngorok lagi.
Denger ya, Syamsudin!!!
Gue benci sama loe!!! Udah ah, kita PUTUS aja. Gue stresss pacaran ama loe. Sebetulnya putus juga gak cukup. Loe jangan mau ketemu gue lagi, jangan berani liat-liat gue lagi. Kecuali kalau loe lagi ngajar kelas gue. Itu boleh aja. Tapi jangan sengaja mau liat wajah gue.
Kita PUTUS. Pergi dari kehidupan gue. Pergiiiiiii!!!!!!!!!!!!.....
Irma Ulfah
Bukan Pacar loe lagi sekarang
“huk…huk…huk….” Gue nangis sebelah mata!
Gak pake catatan kaki:
Maaf, gue lagi sedih, diputusin.
Catatan Garing 16: Kripik Buat Santriwati
Bagin Enam Belas
Irma adalah santriwati. Berarti ia wanita, atau rendahan dikit, ia gadis. Walapun Irma gadis. Cantik atau tidaknya itu bukan urusan gue. Gue tidak mau membahas hal yang relatif. Yang gue tahu dan rasakan saat ini adalah, gue mencintainya. Itu aja, kurang lebihnya mohon ma’af.
Dulu, Irma pacarnya Cecep. al-hamdulillah hubungan mereka rusak. Itu juga gara-gara gue. Pasca Cecep, Irma pacaran ama temen sekelasnya, adik kelas gue. Rizal Fauzi orangnya. Ia laki-laki sama kaya gue. Bedanya ia lebih ganteng. Nah, al-hamdulillah lagi, hubungan mereka juga rusak. Itu juga gue lagi penyebabnya. Emang bagi gue masalah rusak-merusak bukan urusan ruwet, itu kecil liwil-liwil. Bukannya sombong, gue bersukur punya kelebihan. Al-hamdulillah banget. Gwe gitu lho.
***
Singkatnya cerita.
Gue sudah pacaran ama Irma. Dan, sekarang lagi tahap kritits ke-12. Sebab, selama pacaran 3 tahun di pesantren. Gue belum pernah ada romantisnya. Yang ada hanya kerusakan dan kerusakan dalam hubungan. Putus nyambungnya aja udah 11 kali. Sekarang yang kedua belas juga rusak lagi. Ah…cape dech.
Minggu kemarin, gue nyatain cinta ama Irma dan janji akan setia. Asal Irma mau menandatangani surat pernyataan kesediaan menjadi pacar yang ke-12 kali. al-hamdulillah banget Irma nerima. Tapi, yah, sekarang gue nerima surat pembatalan kontrak. Pas hari ketujuh pasca penanda tanganan. Gue udah coba menggugatnya, bahwa hitam diatas putih tidak bisa batal begitu aja. Tapi ia bilang,
“Gue tidak merasa tanda tangan”
“Lantas siapa donk, yaa humaira ?”
“Nenek”
“What you say?!...” gue baru makan roti.
“Nenek gue yang tanda tangan” Irma.
“Kenapa ini terjadi Sayang…”
“Gak ada kenapa-kenapa. Udah ah, gwe males. Gwe mau tidur”
“Tunggu Dulu”
“Apa lagi?”
“Salam ama Nenek loe”
***
“Mey, beli keripiknya dua aja. uangnya nanti”
“Iya, catat ya hutangnya. Ini yang kedua belas kamu bilang nanti” Mey mendesak.
Setelah beli kripik singkong dua bungkus dari Mey (nama aslinya Marwah, gue manggilnya Mey). Gue dan Hudaya pergi ke depan kelas untuk menunggu santriawan dan santriawati kelas 1 pulang dari ngajinya. Tujuan gue menunggu santriawati, tiada lain untuk menitipkan kripik singkong agar diberikan ke Irma. Maksudnya, kripik itu sebagai alat, agar Irma sadar. Bahwa Kang Syamsudin masih perhatian. Kalo pun kripik itu pemberian pertama setelah tiga tahun pacaran. Mudah-mudahan dengan kripik itu konplik antara gue dan Irma selesai.
Ide ngasih kripik singkong, itu usulan dari Hudaya. Setelah kami agak lama mempertimbangkan antara memberi bakwan Ma Engkai, atau kripik Mey. Dan, keputusan jatuh pada kripik Mey.
Sambil menunggu, gue dan Hudaya duduk di samping kelas tidak melakukan apa-apa. Kecuali Hudaya, ia duduk sambil mencoret-coret tanah menggunakan kapur. Dan di tengah simbol hati, ia menulis “MEntari aGAma” maksudnya, MEGA. Sedangkan menurut gue, itu artinya Syamsu-diin. Selagi Hudaya mencurat-coret tanah. Gue juga menulis, “Sya’Ir” = Syamsudin Irma. Itu bisa dibaca di belakang baju kokok Hudaya.
“Sam, itu Fitria sudah keluar” kata Hudaya, kakinya menghapus coretan di tanah.
“Oh, iya. Tangkap Day!” kata gue. Tidak menghapus tulisan di baju Uday.
“Fit… Fitria!”
“Oh, Om Uday, ngagetin aja. Ada apa Om?” Fitria
“Tuh..” Hudaya menunjuk gue pake dagunya.
“Ada apa kak Sam?” Fitri mengedipkan mata. Centil.
“Ini, tolong kasiin ya, ke teh Irma. Salamin juga dari kang Syamsudin”
“Insya Allah. Biasa kak, ongkosnya. Khomsatumi’ah” Fitria
“Dasar! ni, mi’ah” Gue ngasih dia cepe. Padahal mintanya gope.
Besoknya, sekitar pukul 16.00 Sore di depan masjid
“Sam, ni! Irma ngembaliin kripiknya” kata Hudaya.
“What!” gue lagi makan roti.
Mendengar laporan itu, gue kaget. Dengan sangat emosi kripik di tangan Uday gue jambret. Lalu gue lihat dulu apakah masih utuh. Setelah yakin utuh. Gue banting keripik sekeras-kerasnya. Belum puas juga gue. Gue banting lagi, plastiknya sobek, kripiknya juga hancur berantakan. Masih belum puas gue. Gue injak itu kripik.
“Hentikan!” kata Uday.
Mendengar teriakan Hudaya. Gue langsung lari dan memeluk Hudaya tanpa tetesan air mata. “Sudah-sudah” kata Uday. Rupanya Uday tidak mau gue peluk. Gue juga sama gak mau memeluknya—gue bukan homo—Yang pada akhirnya Huday mengajak gue meninggalkan kripik itu, yang berantakan di depan masjid. Sambil melangkahkan kaki, Hudaya masih melirik kebelakang melihat kripik yang berantakan. Sedangkan gue terus aja jalan, sambil makan kripik yang nempel di kaki. Tiba-tiba Huday melirik kebelakang dan berteriak.
“Woi! Jangan ambil kripiknya…” Hudaya berteriak.
Rupanya saat kami meninggalkan kripik itu, anak kelas satu menunggu kesempatan untuk mengambil kripik. Untung aja ada Hudaya. Jadi kripik bersejarah itu tetap utuh.
Catatan Kaki:
Jangan pacaran kalo lagi ngaji. Juga, jangan ngasih kripik ke pacar.
Jangan juga membuangnya. Gak boleh! Mubadzir tau!
Irma adalah santriwati. Berarti ia wanita, atau rendahan dikit, ia gadis. Walapun Irma gadis. Cantik atau tidaknya itu bukan urusan gue. Gue tidak mau membahas hal yang relatif. Yang gue tahu dan rasakan saat ini adalah, gue mencintainya. Itu aja, kurang lebihnya mohon ma’af.
Dulu, Irma pacarnya Cecep. al-hamdulillah hubungan mereka rusak. Itu juga gara-gara gue. Pasca Cecep, Irma pacaran ama temen sekelasnya, adik kelas gue. Rizal Fauzi orangnya. Ia laki-laki sama kaya gue. Bedanya ia lebih ganteng. Nah, al-hamdulillah lagi, hubungan mereka juga rusak. Itu juga gue lagi penyebabnya. Emang bagi gue masalah rusak-merusak bukan urusan ruwet, itu kecil liwil-liwil. Bukannya sombong, gue bersukur punya kelebihan. Al-hamdulillah banget. Gwe gitu lho.
***
Singkatnya cerita.
Gue sudah pacaran ama Irma. Dan, sekarang lagi tahap kritits ke-12. Sebab, selama pacaran 3 tahun di pesantren. Gue belum pernah ada romantisnya. Yang ada hanya kerusakan dan kerusakan dalam hubungan. Putus nyambungnya aja udah 11 kali. Sekarang yang kedua belas juga rusak lagi. Ah…cape dech.
Minggu kemarin, gue nyatain cinta ama Irma dan janji akan setia. Asal Irma mau menandatangani surat pernyataan kesediaan menjadi pacar yang ke-12 kali. al-hamdulillah banget Irma nerima. Tapi, yah, sekarang gue nerima surat pembatalan kontrak. Pas hari ketujuh pasca penanda tanganan. Gue udah coba menggugatnya, bahwa hitam diatas putih tidak bisa batal begitu aja. Tapi ia bilang,
“Gue tidak merasa tanda tangan”
“Lantas siapa donk, yaa humaira ?”
“Nenek”
“What you say?!...” gue baru makan roti.
“Nenek gue yang tanda tangan” Irma.
“Kenapa ini terjadi Sayang…”
“Gak ada kenapa-kenapa. Udah ah, gwe males. Gwe mau tidur”
“Tunggu Dulu”
“Apa lagi?”
“Salam ama Nenek loe”
***
“Mey, beli keripiknya dua aja. uangnya nanti”
“Iya, catat ya hutangnya. Ini yang kedua belas kamu bilang nanti” Mey mendesak.
Setelah beli kripik singkong dua bungkus dari Mey (nama aslinya Marwah, gue manggilnya Mey). Gue dan Hudaya pergi ke depan kelas untuk menunggu santriawan dan santriawati kelas 1 pulang dari ngajinya. Tujuan gue menunggu santriawati, tiada lain untuk menitipkan kripik singkong agar diberikan ke Irma. Maksudnya, kripik itu sebagai alat, agar Irma sadar. Bahwa Kang Syamsudin masih perhatian. Kalo pun kripik itu pemberian pertama setelah tiga tahun pacaran. Mudah-mudahan dengan kripik itu konplik antara gue dan Irma selesai.
Ide ngasih kripik singkong, itu usulan dari Hudaya. Setelah kami agak lama mempertimbangkan antara memberi bakwan Ma Engkai, atau kripik Mey. Dan, keputusan jatuh pada kripik Mey.
Sambil menunggu, gue dan Hudaya duduk di samping kelas tidak melakukan apa-apa. Kecuali Hudaya, ia duduk sambil mencoret-coret tanah menggunakan kapur. Dan di tengah simbol hati, ia menulis “MEntari aGAma” maksudnya, MEGA. Sedangkan menurut gue, itu artinya Syamsu-diin. Selagi Hudaya mencurat-coret tanah. Gue juga menulis, “Sya’Ir” = Syamsudin Irma. Itu bisa dibaca di belakang baju kokok Hudaya.
“Sam, itu Fitria sudah keluar” kata Hudaya, kakinya menghapus coretan di tanah.
“Oh, iya. Tangkap Day!” kata gue. Tidak menghapus tulisan di baju Uday.
“Fit… Fitria!”
“Oh, Om Uday, ngagetin aja. Ada apa Om?” Fitria
“Tuh..” Hudaya menunjuk gue pake dagunya.
“Ada apa kak Sam?” Fitri mengedipkan mata. Centil.
“Ini, tolong kasiin ya, ke teh Irma. Salamin juga dari kang Syamsudin”
“Insya Allah. Biasa kak, ongkosnya. Khomsatumi’ah” Fitria
“Dasar! ni, mi’ah” Gue ngasih dia cepe. Padahal mintanya gope.
Besoknya, sekitar pukul 16.00 Sore di depan masjid
“Sam, ni! Irma ngembaliin kripiknya” kata Hudaya.
“What!” gue lagi makan roti.
Mendengar laporan itu, gue kaget. Dengan sangat emosi kripik di tangan Uday gue jambret. Lalu gue lihat dulu apakah masih utuh. Setelah yakin utuh. Gue banting keripik sekeras-kerasnya. Belum puas juga gue. Gue banting lagi, plastiknya sobek, kripiknya juga hancur berantakan. Masih belum puas gue. Gue injak itu kripik.
“Hentikan!” kata Uday.
Mendengar teriakan Hudaya. Gue langsung lari dan memeluk Hudaya tanpa tetesan air mata. “Sudah-sudah” kata Uday. Rupanya Uday tidak mau gue peluk. Gue juga sama gak mau memeluknya—gue bukan homo—Yang pada akhirnya Huday mengajak gue meninggalkan kripik itu, yang berantakan di depan masjid. Sambil melangkahkan kaki, Hudaya masih melirik kebelakang melihat kripik yang berantakan. Sedangkan gue terus aja jalan, sambil makan kripik yang nempel di kaki. Tiba-tiba Huday melirik kebelakang dan berteriak.
“Woi! Jangan ambil kripiknya…” Hudaya berteriak.
Rupanya saat kami meninggalkan kripik itu, anak kelas satu menunggu kesempatan untuk mengambil kripik. Untung aja ada Hudaya. Jadi kripik bersejarah itu tetap utuh.
Catatan Kaki:
Jangan pacaran kalo lagi ngaji. Juga, jangan ngasih kripik ke pacar.
Jangan juga membuangnya. Gak boleh! Mubadzir tau!
Catatan Garing 15: Santriwan Pake Cadar
Bagian Lima Belas
Sore itu, gue dan sohib-sohib sekelas hanya diam lesu dan bosan. Lesu belum makan dan bosan mendengarkan ustadz ceramah di kelas menjelaskan Shorof Kailani. Cecep tidak seperti biasanya. Ia kelihatan kurang bersemangat. Gue tahu penyebabnya. Mungkin ia merasa kesepian. Karena, teman duduk sebangkunya, Fadil, tidak mengaji atau belum datang. Saat ustadz sedang asyik menjelaskan. Dan kami semakin bosan mendengarkan. Tiba-tiba terdengar suara seorang santri mengucapkan salam di balik pintu.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum…….” Suaranya keras. Terus, “…salam..” suaranya pelan. Kaget.
Semua bengong, ustadz menghentikan ceramah. Semua mata menatap arah datangnya sumber suara. Di depan pintu yang terbuka berdiri seorang santriawan. Yang membuat kami heran. Santriawan ini, berbeda dengan yang lainnya. Ia memakai cadar.
“Udkhul!... masuk!” ustadz masih bengong.
Tanpa banyak cakap, santriawan yang dicadar ini. Berjalan agak canggung, ia terus diam. Cadarnya melambai-lambai terembusi angin akibat ia berjalan. Agak cantik santriawan ini. Dengan sangat gemulai, ia meletakkan pantatnya di atas bangku di samping Cecep. Cecep mengenal orang ini.
“Fadil?!... loe!...hi…hi…” Cecep kaget. terus menahan tawannya.
“hi….hi…hi…”
Semua santri menahan tawa yang ditekan agar tidak terdengar. Semua cekikian kecil. Semua mata menyorot Fadil. Fadil hanya tertunduk. Ia memain-mainkan pena sebagai penghilang kemaluannya. Para santri masih menahan tawa. Santriawati banyak yang menutup mulutnya, agar tawanya tersembunyi. Sebagai teman Fadil, gue tidak menahan tawa. Gue hanya tertawa terbahak.
“Hua…hua…hua… Fadil lucu pake cadar. Mirip Hindun Padang Pasir” gue tertawa puas. Puas banget. Sambil nunjuk-nunjuk muka Fadil.
Menyaksikan gue tertawa terbahak-bahak. Menyebabkan semua santri tidak menahan tawanya. Semuanya tertawa keras, terbahak-bahak dan memuaskan diri masing-masing dengan tawa. Ustadz juga ngikutin gue tertawa lebar.
“Fadil lucu ya?...hahaha…”
“Iya…” jawab santri
Kami terus tertawa terbahak-bahak. Tendi, saking tertawanya nikmat dan puas. Ia tidak sadar menendang-nendang meja yang ada di depannya. “Kek…kek…” itu tawa Tendi.
Setalah agak lama. Fadil berdiri. Ia sepertinya menangis. Cadarnya basah. Ia lalu berdiri tertunduk, matanya terpejam. Sedangkan kami masih tertawa. Tapi mulai reda, tidak terbahak-bahak lagi. Melihat Fadil berdiri, disaat yang lain meredakan tawanya. Gue malah semakin merasa geli. Gue tertawa terbahak-bahak lagi sambil nunjuk-nunjuk Fadil. “Fadil cantik pake cadar”
“Sudah Cukup tertawanya?...” Fadil berdiri marah.
“Belum Dil, bentar lagi….” Seorang santri jawab. Itu gue.
Fadil tunduk lagi. Gue masih tertawa lebar dan gak sadar. Saking asyiknya ketawa, gue gak sadar menghamtam punggung Herman, dan menunjuk kearah Fadil. Agar Herman ketawa lagi. Tapi gak berhasil. Semua santri sudah diam.
“Udah, Dil. Silahkan! Haduh…he. he. Cape juga ketawa” gue masih tertawa terputus-putus.
“Makasih sahabatku…Syamsudin” Fadil.
“Oh, sama-sama itu biasa” gue, masih aja tertawa terputus-putus.
Fadil tunduk lagi, matanya pejam lagi. Dan, wow! Sekarang matanya Fadil terbuka, ia melotot dan berteriak. Ia hendak berorasi.
“Ayo! Sohib. Tertawa lagi. Tertawa sampai puas…”
“ssssyyyuuuttt…!!!” Gue menengkan santri lain agar tenang.
Fadil teriak lagi.
“Ayo! Tertawa. Kenapa kalian diam. Kalian ini teman macam apa? santri macam apa kalian? kalian senang saat sohib ente-ente sedih. Kalian tahu? Kenapa aku memakai cadar?”
“Enggak….” Santri jawab kompak.
“Gue make cadar. Karena gue... karena gue… kalian bener mau tahu?...” Fadil.
“Iya…” santri kompak.
“Bener?! Mau tahu?...”
“Iya…” kompak lagi
Fadil tertunduk, matanya terpejam. Tangannya dengan sangat pelan diangkatnya diarahkan menuju cadarnya. Setelah hampir sampai.
“Bener, nih?!...” Fadil bicara agak berbisik.
“Iya…” kompak lagi. Santri.
“Jangan ketawa lagi ya”
“Iya…” kompak lagi.
“Janji?!”
“…iya” tidak kompak.
“Bismillahirrahmanirrahim…. Lihat!” Fadil membuka cadarnya.
Semua mata melotot tanpa berkedip. Ternyata kami semua ngerti. Alasan Fadil pake cadar. Di hidungnya Fadil, ada bongkahan bisul yang menggunung mini, warnanya pink…. pinky boy gitu dech. Yups, itu bikin hidung Fadil menjadi ada dua bongkah. Menyaksikan itu, gue tidak tahan menahan tawa. Akhirnya gue tertawa terbahak-bahak lagi. Dan, memukul punggung Herman sembari menunjuk Hidung Fadil. Yah, tapi sayang. Hanya gue yang tertawa. Yang laiannya loyo. Diam saja.
“Syamsudin?!” semua santri kompak berteriak.
“Bagamaina kalo ente yang bisul di hidung? Fadil.
“Amiin” semua santri.
Besoknya…..
“Assalamu’alaikum”
“wa’alaikum…..hua….hua….salam” semua santri tertawa lebar dan sangat puas. Fadil tertawanya sangat puas. Sampai punggung Cecep di pukul-pukul.
“Syamsudin… pake cadar” Kata Fadil, dendam.
Catatan kaki:
Jangan menghina aja. Oh, iya, ustadz di kisah itu jarang disebut. Anggap aja ia keluar. Tidak ada tempat sich, bahas ustadz-nya….he..he…
Sore itu, gue dan sohib-sohib sekelas hanya diam lesu dan bosan. Lesu belum makan dan bosan mendengarkan ustadz ceramah di kelas menjelaskan Shorof Kailani. Cecep tidak seperti biasanya. Ia kelihatan kurang bersemangat. Gue tahu penyebabnya. Mungkin ia merasa kesepian. Karena, teman duduk sebangkunya, Fadil, tidak mengaji atau belum datang. Saat ustadz sedang asyik menjelaskan. Dan kami semakin bosan mendengarkan. Tiba-tiba terdengar suara seorang santri mengucapkan salam di balik pintu.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum…….” Suaranya keras. Terus, “…salam..” suaranya pelan. Kaget.
Semua bengong, ustadz menghentikan ceramah. Semua mata menatap arah datangnya sumber suara. Di depan pintu yang terbuka berdiri seorang santriawan. Yang membuat kami heran. Santriawan ini, berbeda dengan yang lainnya. Ia memakai cadar.
“Udkhul!... masuk!” ustadz masih bengong.
Tanpa banyak cakap, santriawan yang dicadar ini. Berjalan agak canggung, ia terus diam. Cadarnya melambai-lambai terembusi angin akibat ia berjalan. Agak cantik santriawan ini. Dengan sangat gemulai, ia meletakkan pantatnya di atas bangku di samping Cecep. Cecep mengenal orang ini.
“Fadil?!... loe!...hi…hi…” Cecep kaget. terus menahan tawannya.
“hi….hi…hi…”
Semua santri menahan tawa yang ditekan agar tidak terdengar. Semua cekikian kecil. Semua mata menyorot Fadil. Fadil hanya tertunduk. Ia memain-mainkan pena sebagai penghilang kemaluannya. Para santri masih menahan tawa. Santriawati banyak yang menutup mulutnya, agar tawanya tersembunyi. Sebagai teman Fadil, gue tidak menahan tawa. Gue hanya tertawa terbahak.
“Hua…hua…hua… Fadil lucu pake cadar. Mirip Hindun Padang Pasir” gue tertawa puas. Puas banget. Sambil nunjuk-nunjuk muka Fadil.
Menyaksikan gue tertawa terbahak-bahak. Menyebabkan semua santri tidak menahan tawanya. Semuanya tertawa keras, terbahak-bahak dan memuaskan diri masing-masing dengan tawa. Ustadz juga ngikutin gue tertawa lebar.
“Fadil lucu ya?...hahaha…”
“Iya…” jawab santri
Kami terus tertawa terbahak-bahak. Tendi, saking tertawanya nikmat dan puas. Ia tidak sadar menendang-nendang meja yang ada di depannya. “Kek…kek…” itu tawa Tendi.
Setalah agak lama. Fadil berdiri. Ia sepertinya menangis. Cadarnya basah. Ia lalu berdiri tertunduk, matanya terpejam. Sedangkan kami masih tertawa. Tapi mulai reda, tidak terbahak-bahak lagi. Melihat Fadil berdiri, disaat yang lain meredakan tawanya. Gue malah semakin merasa geli. Gue tertawa terbahak-bahak lagi sambil nunjuk-nunjuk Fadil. “Fadil cantik pake cadar”
“Sudah Cukup tertawanya?...” Fadil berdiri marah.
“Belum Dil, bentar lagi….” Seorang santri jawab. Itu gue.
Fadil tunduk lagi. Gue masih tertawa lebar dan gak sadar. Saking asyiknya ketawa, gue gak sadar menghamtam punggung Herman, dan menunjuk kearah Fadil. Agar Herman ketawa lagi. Tapi gak berhasil. Semua santri sudah diam.
“Udah, Dil. Silahkan! Haduh…he. he. Cape juga ketawa” gue masih tertawa terputus-putus.
“Makasih sahabatku…Syamsudin” Fadil.
“Oh, sama-sama itu biasa” gue, masih aja tertawa terputus-putus.
Fadil tunduk lagi, matanya pejam lagi. Dan, wow! Sekarang matanya Fadil terbuka, ia melotot dan berteriak. Ia hendak berorasi.
“Ayo! Sohib. Tertawa lagi. Tertawa sampai puas…”
“ssssyyyuuuttt…!!!” Gue menengkan santri lain agar tenang.
Fadil teriak lagi.
“Ayo! Tertawa. Kenapa kalian diam. Kalian ini teman macam apa? santri macam apa kalian? kalian senang saat sohib ente-ente sedih. Kalian tahu? Kenapa aku memakai cadar?”
“Enggak….” Santri jawab kompak.
“Gue make cadar. Karena gue... karena gue… kalian bener mau tahu?...” Fadil.
“Iya…” santri kompak.
“Bener?! Mau tahu?...”
“Iya…” kompak lagi
Fadil tertunduk, matanya terpejam. Tangannya dengan sangat pelan diangkatnya diarahkan menuju cadarnya. Setelah hampir sampai.
“Bener, nih?!...” Fadil bicara agak berbisik.
“Iya…” kompak lagi. Santri.
“Jangan ketawa lagi ya”
“Iya…” kompak lagi.
“Janji?!”
“…iya” tidak kompak.
“Bismillahirrahmanirrahim…. Lihat!” Fadil membuka cadarnya.
Semua mata melotot tanpa berkedip. Ternyata kami semua ngerti. Alasan Fadil pake cadar. Di hidungnya Fadil, ada bongkahan bisul yang menggunung mini, warnanya pink…. pinky boy gitu dech. Yups, itu bikin hidung Fadil menjadi ada dua bongkah. Menyaksikan itu, gue tidak tahan menahan tawa. Akhirnya gue tertawa terbahak-bahak lagi. Dan, memukul punggung Herman sembari menunjuk Hidung Fadil. Yah, tapi sayang. Hanya gue yang tertawa. Yang laiannya loyo. Diam saja.
“Syamsudin?!” semua santri kompak berteriak.
“Bagamaina kalo ente yang bisul di hidung? Fadil.
“Amiin” semua santri.
Besoknya…..
“Assalamu’alaikum”
“wa’alaikum…..hua….hua….salam” semua santri tertawa lebar dan sangat puas. Fadil tertawanya sangat puas. Sampai punggung Cecep di pukul-pukul.
“Syamsudin… pake cadar” Kata Fadil, dendam.
Catatan kaki:
Jangan menghina aja. Oh, iya, ustadz di kisah itu jarang disebut. Anggap aja ia keluar. Tidak ada tempat sich, bahas ustadz-nya….he..he…
Catatan Garing 14: Santri yang Cerdas
Bagian Empat Belas
“Jadi Ustadz gak akan ngajar kelas 3”
“Gak bisa Sam, Mey Sakit”
“Oh… iya, saya ngerti. Penganten baru gitu lho..hehe…”
“Makasih, Sam… ni kitabnya”
Itu dialog gue ama ustadz Toni yang gak bisa ngajar. Terpaksa harus ikhlas, gue menjadi badalnya . Gue emang biasa di suruh ustadz Toni ngegantiin ngajar. Ya, Cuma pelajaran biasa. Kalo enggak Mutamimah, di suruhnya ngajar yang agak ruwet dikit. Ushul fiqh.
Dari sekian banyaknya santri yang berpakaian rapi. Gue salah satunya yang tidak pernah rapi. Saat disuruh ngajar. Gue hanya make kaos biasa yang bergambar Slipknot. Tanpa kopiah, pake sarung yang suka di gunakan sebagai selimut kalo tidur. Dan tidak lupa pake sepatu Adidas. Gak punya sandal. Kebayangkan, gue santri qona’ah?!
Kelas yang akan gue didik adalah kelas 3. kalo tidak salah kelasnya Dinan, Sidik, Agus, Giri, Irfan, Elis, Aniel dan Shifa dan sebagainya. Santri kelas ini lucu-lucu. Juga santriawannya jarang yang mandi. Ketularan gue
“Santri semuanya, ustadz Toni gak bisa ngajar.”
“Horrreeeee….gak ada Ustadz Toni” santri
“Kak Sam ngapain ke sini?” Santri
“Ngajar!”
“Yaaaah… Sial benget” santriawan
“Asyiiik kak Sam ngajar…’ santriawati
Selalu aja Syamsudin jadi favorit kaum santriawati. Gak sombong. Gwe gitu lho!
“Pelajaran Ushul Fiqih ya”
“………..????”santriawan diam.
“Iya… Kak” santriawati
“Mau pulang?”
“Iya Kak Sam… Pulang aja” santriawan
“Yah, jangan donk!... kita ngaji aja. kan dapat ilmu” Santriawati.
“Baik, karena kalian memaksa. Sekarang buka kitabnya!”
“Siapa yang maksa?” Irfan. Benci sepertinya.
Setelah perseteruan dengan santri agak lama. Akhirnya gue ngajar juga. Seperti gak biasanya. Kalo ngajar gue selalu menyuruh santri yang baca kitabnya. Dan selama santri baca kitab, gue akan berjalan mondar-mandir memeriksa santri agar mereka ngajinya serius. Gue berjalan dengan halus menatap wajah santriawan wahid-wahid. Dari semuanya, tidak ada ekspresi yang menarik. Hmmmm……
Nah, bagian meriksa santriawati. Gue agak betah. Di situlah gue mondar-mandir terus, meriksa mereka. Sementara Irfan membaca kitab. Gue ngobrol ama santriawati. Mendengar curhat mereka atu-atu…hehe…he..
“Teruskan bacanya Fan!” gue suruh Irfan.
“Jadi cowok itu nasibnya gimana, Lis ?...” gue diskusi ama santriawati. Elis curhat.
“Udah kak.” Irfan
“Baca lagi… lagi seru, ni”
“Kak, Udah tamat satu kitab. Sekarang jelasin!”
“Oh, tamat. Ok…. Kakak jelasin. Lis, nanti kita lanjutin ya”
Gue bangkit dari riungan santriawati, berjalan kedepan kelas untuk ngejelasin.
“Jadi, yang dimaksud kaidah Ushul fiqh, ‘al-Yaqinu layuzalu bisyak’ arinya keyakinan itu gak bakal hilang atau kalah oleh karaguan. Misal, kalo kamu lagi shalat, kamu merasa kentut. Kalo kamu ragu kentut. Shalatnya batal. Tapi, kalo kamu yakin gak kentut. Shalatnya syah. Dan, untuk mencoba meyakinkan, boleh megang pantat, lalu kita cium, bau atau tidak tangan kita. Dengan begitu kita akan yakin kentut atau tidaknya. Paham?!”
“……????” Santriawan gak ada yang jawab.
“Kak permisi…” Dinan
“saya juga kak…” Sidik
***
“Dinan, kamu dari mana?”
“Shalat Isya”
“Mana Sidik?”
“emmmm… mabuk kali. Eh, pingsan kali”
“Pingsan! Kok, bisa?” gue kaget.
“Gimana ya?... Gini, kak. Kan kata kak Sam, kalo lagi shalat kita merasa seperti kentut gak kentut, boleh megang pantat kita, menangkap gas kentut, lalu dicium bau atau tidak. Nah, saya merasa kentut gak kentut. Tapi, gak sanggup nyium tangan saya yang sebelumnya pake nangkap gas kentut. Kebetulan saya dan Sidik shalat berjama’ah. Sidik Jadi Imam. Nah, ketika sidik bilang ‘amiin’. Tangan saya yang megang gas kentut itu, saya kasih ke Sidik. saya dekatkan aja genggaman tangan saya ke hidung Sidik. Pas yakin sangat deket hidung sidik, saya buka kepalan tangan saya. Eh, Sidik malah pingsan. Jadi, ane yakin. Shalat ane gak syah. Sidik aje pingsan. Gitu!”
“Cerdas!!!!!”
***
“Dik, kamu gak apa-apa?”
“Busuk kak. Baunya busuk banget”
“Sabar aja ya.”
“Karena sudah saatnya pulang. Silahkan baca do’a! kita pulang”
Setalah gue selesai ngajar. Di masjid ada santri yang sedang shalat berjama’ah. Setalah wudhu gue langsung gabung.
3 Menit kemudian….
“Assalamu’alaikum” Imam shalat baca salam. Tanda shalat isya selesai.
“Angkat Cecep!’ Kata Eful.
“Kok, bisa pingsan sich lagi shalat?” Tanya Eful sembari menyadarkan Cecep.
“Sam, Bantu donk, jangan diam aja” Eful nyuruh.
Sambil ngangkat Cecep yang pingsan. Eful berkata.
“Eh, Sam, kenapa shalat kamu tadi batal?...”
“Cecep tahu jawabannya!”
Catatan kaki: Santri tadi cerdas ya? Eh, iya, kalo ngajar utamakan kepentingan murid. Jangan ngajak curhat di kelas.
“Jadi Ustadz gak akan ngajar kelas 3”
“Gak bisa Sam, Mey Sakit”
“Oh… iya, saya ngerti. Penganten baru gitu lho..hehe…”
“Makasih, Sam… ni kitabnya”
Itu dialog gue ama ustadz Toni yang gak bisa ngajar. Terpaksa harus ikhlas, gue menjadi badalnya . Gue emang biasa di suruh ustadz Toni ngegantiin ngajar. Ya, Cuma pelajaran biasa. Kalo enggak Mutamimah, di suruhnya ngajar yang agak ruwet dikit. Ushul fiqh.
Dari sekian banyaknya santri yang berpakaian rapi. Gue salah satunya yang tidak pernah rapi. Saat disuruh ngajar. Gue hanya make kaos biasa yang bergambar Slipknot. Tanpa kopiah, pake sarung yang suka di gunakan sebagai selimut kalo tidur. Dan tidak lupa pake sepatu Adidas. Gak punya sandal. Kebayangkan, gue santri qona’ah?!
Kelas yang akan gue didik adalah kelas 3. kalo tidak salah kelasnya Dinan, Sidik, Agus, Giri, Irfan, Elis, Aniel dan Shifa dan sebagainya. Santri kelas ini lucu-lucu. Juga santriawannya jarang yang mandi. Ketularan gue
“Santri semuanya, ustadz Toni gak bisa ngajar.”
“Horrreeeee….gak ada Ustadz Toni” santri
“Kak Sam ngapain ke sini?” Santri
“Ngajar!”
“Yaaaah… Sial benget” santriawan
“Asyiiik kak Sam ngajar…’ santriawati
Selalu aja Syamsudin jadi favorit kaum santriawati. Gak sombong. Gwe gitu lho!
“Pelajaran Ushul Fiqih ya”
“………..????”santriawan diam.
“Iya… Kak” santriawati
“Mau pulang?”
“Iya Kak Sam… Pulang aja” santriawan
“Yah, jangan donk!... kita ngaji aja. kan dapat ilmu” Santriawati.
“Baik, karena kalian memaksa. Sekarang buka kitabnya!”
“Siapa yang maksa?” Irfan. Benci sepertinya.
Setelah perseteruan dengan santri agak lama. Akhirnya gue ngajar juga. Seperti gak biasanya. Kalo ngajar gue selalu menyuruh santri yang baca kitabnya. Dan selama santri baca kitab, gue akan berjalan mondar-mandir memeriksa santri agar mereka ngajinya serius. Gue berjalan dengan halus menatap wajah santriawan wahid-wahid. Dari semuanya, tidak ada ekspresi yang menarik. Hmmmm……
Nah, bagian meriksa santriawati. Gue agak betah. Di situlah gue mondar-mandir terus, meriksa mereka. Sementara Irfan membaca kitab. Gue ngobrol ama santriawati. Mendengar curhat mereka atu-atu…hehe…he..
“Teruskan bacanya Fan!” gue suruh Irfan.
“Jadi cowok itu nasibnya gimana, Lis ?...” gue diskusi ama santriawati. Elis curhat.
“Udah kak.” Irfan
“Baca lagi… lagi seru, ni”
“Kak, Udah tamat satu kitab. Sekarang jelasin!”
“Oh, tamat. Ok…. Kakak jelasin. Lis, nanti kita lanjutin ya”
Gue bangkit dari riungan santriawati, berjalan kedepan kelas untuk ngejelasin.
“Jadi, yang dimaksud kaidah Ushul fiqh, ‘al-Yaqinu layuzalu bisyak’ arinya keyakinan itu gak bakal hilang atau kalah oleh karaguan. Misal, kalo kamu lagi shalat, kamu merasa kentut. Kalo kamu ragu kentut. Shalatnya batal. Tapi, kalo kamu yakin gak kentut. Shalatnya syah. Dan, untuk mencoba meyakinkan, boleh megang pantat, lalu kita cium, bau atau tidak tangan kita. Dengan begitu kita akan yakin kentut atau tidaknya. Paham?!”
“……????” Santriawan gak ada yang jawab.
“Kak permisi…” Dinan
“saya juga kak…” Sidik
***
“Dinan, kamu dari mana?”
“Shalat Isya”
“Mana Sidik?”
“emmmm… mabuk kali. Eh, pingsan kali”
“Pingsan! Kok, bisa?” gue kaget.
“Gimana ya?... Gini, kak. Kan kata kak Sam, kalo lagi shalat kita merasa seperti kentut gak kentut, boleh megang pantat kita, menangkap gas kentut, lalu dicium bau atau tidak. Nah, saya merasa kentut gak kentut. Tapi, gak sanggup nyium tangan saya yang sebelumnya pake nangkap gas kentut. Kebetulan saya dan Sidik shalat berjama’ah. Sidik Jadi Imam. Nah, ketika sidik bilang ‘amiin’. Tangan saya yang megang gas kentut itu, saya kasih ke Sidik. saya dekatkan aja genggaman tangan saya ke hidung Sidik. Pas yakin sangat deket hidung sidik, saya buka kepalan tangan saya. Eh, Sidik malah pingsan. Jadi, ane yakin. Shalat ane gak syah. Sidik aje pingsan. Gitu!”
“Cerdas!!!!!”
***
“Dik, kamu gak apa-apa?”
“Busuk kak. Baunya busuk banget”
“Sabar aja ya.”
“Karena sudah saatnya pulang. Silahkan baca do’a! kita pulang”
Setalah gue selesai ngajar. Di masjid ada santri yang sedang shalat berjama’ah. Setalah wudhu gue langsung gabung.
3 Menit kemudian….
“Assalamu’alaikum” Imam shalat baca salam. Tanda shalat isya selesai.
“Angkat Cecep!’ Kata Eful.
“Kok, bisa pingsan sich lagi shalat?” Tanya Eful sembari menyadarkan Cecep.
“Sam, Bantu donk, jangan diam aja” Eful nyuruh.
Sambil ngangkat Cecep yang pingsan. Eful berkata.
“Eh, Sam, kenapa shalat kamu tadi batal?...”
“Cecep tahu jawabannya!”
Catatan kaki: Santri tadi cerdas ya? Eh, iya, kalo ngajar utamakan kepentingan murid. Jangan ngajak curhat di kelas.
Catatan Garing 1: Lautan Air Mata
Bagian Satu
Gue masuk Pesantren bareng Saeful — panggilan akrabnya Eful — dia banyak bercerita tentang pesantren. Itu terjadi saat gue berangkat pertama kali ke pesantren. Ia mencoba meyakinkan bahwa pesantren nggak seburuk yang gue bayangkan.
“Sam. Pesantren itu memang seperti penjara. Disitulah letak keasyikan pesantren. Bayangkan, hidup kita nggak bebas. Asyik lho kalo hidup nggak bebas. Banyak aturan yang harus kita curangi. Kamu tahu, Sam? Sebetulnya dunia juga penjara. Sebab dengan aturan dunia akan tetap ada. Aturan adalah kebutuhan, Sam…”, ocehnya.
Dia mengambil beberapa buah rambutan, mengupasnya kemudian menelannya bulat-bulat. Dan, melanjutkan.
“Gue tahu, Sam. Bakal berat hari-hari pertama di pesantren. Gue yakin, loe bakal nangis. Apalagi loe mengalami bahwa loe ditinggalkan oleh bapak loe sendiri. Sendirian di pesantren. Sepi dan membosankan. Gue yakin, loe bakal nangis!”
Eful kembali mengambil dua biji rambutan. Mengupasnya dan menelannya bulat-bulat lagi.
“Lu, juga bakal nangis kan, Ful?” gue nanya.
“Nangis?!!! Gue nangis? Gila ya, loe. Gue itu cowok jantan. Nangis…? Apaan…cowok nangis,” jawab Eful sekenanya. Sambil makan tiga buah rambutan bulat-bulat. Tanpa dikupas.
Singkat cerita gue beserta gerombolan sampai di pesantren. Setelah bapak mengurus administrasi, gue langsung ditinggal bapak gue. Ya, agak sedih juga. Cuma gak sedih banget. Cuma agak sedih. Eful, benar, ia cowok yang tangguh. Setelah salaman dengan bapaknya. Ia langsung pergi main dengan teman-teman barunya. Ia memang banyak mengenal pesantren ini. Bapaknya adalah bagian dari keluarga pesantren ini.
Setelah bapak gue pergi, pulang kerumah. Gue merasa kesepian, kemudian mencari Eful. Ternyata Eful sulit ditemukan. Sampai ada seorang santri senior mengantar gue ke kamar yang akan gue huni. Mungkin selama satu tahun gue akan mendekam di kamar itu. Santri senior itu menuntun gue ke sebuah kamar yang agak luas. Cukup untuk lima belas orang. Kamar ini bekas kelas yang sudah tidak terpakai.
Waw! Saat pintu kamar dibuka. Gue kaget banget. Mungkin sekitar 20-an santri sudah berada di dalam kamar. Dan, semuanya pada nangis. Mereka santri baru. Ya, hampir semua yang ada di kamar pada menangis. Ada yang menjerit-jerit menyebut orang tuanya. Ada yang nangis terisak-isak melihat foto orang tuanya. Ada yang membenamkan kepalanya ke bantal. Ada yang nangis sambil mukul-mukul dinding dan mengutuki orang tuanya karena memasukkannya ke pesantren.
Belum beres…! Ada yang nangis sambil terkencing-kencing. Ada yang nangisnya menggeliat-geliat di lantai seperti ulat. Ada yang mengomeli bapaknya. Ada juga yang nangis sambil nampar-nampar diri sendiri, mungkin gak percaya dirinya ada di pesantren. Ada yang lebih parah lagi, ia nangis sambil membenturkan kepala temannya sendiri ke dinding. Sebab gara-gara ajakan orang tua temannya ia masuk pesantren.
Gue begitu takjub dan senang melihatnya. Senang melihat anak-anak menangis histeris. Sampai-sampai kamar banjir dengan air mata. Hari itu adalah hari air mata, kalau boleh gue peringati. Di antara tumpukan santri yang cengeng itu, gue nggak menemukan Eful. Mungkin ia gak sedih. Jadi nggak bergabung dengan anak-anak cengeng itu. Gue juga merasa heran. Lihat santri menangis tapi malah mau ketawa. Mungkinkah ada bakat gue suka melihat penderitaan?!!
Lama melihat santri, gue bosan. Gue melangkahkan kaki masuk kamar. Sesampainya di kamar gue bergegas menuju almari baju. Ganti baju.
Almari gue sebetulnya milik si Eful juga. Gue numpang nyimpen pakaian di almarinya. Nah, waktu gue membuka gagang pintu almari. Gue menjerit. Gue kaget banget. Di dalam almari gue menemukan Eful. Ia sedang meremas-remas rambut. Kepalanya dibentur-bentur pelan ke bagian belakang dinding almari. Menangis jadi-jadian.
“Bener, Ful. Loe emang gak nangis. Jantan... !”
Catatan kaki:
Jangan berkata kalo gak tau pasti, dan belum mengalaminya.
Oh iya, gue masuk Pesantren setelah lulus SD.
Gue masuk Pesantren bareng Saeful — panggilan akrabnya Eful — dia banyak bercerita tentang pesantren. Itu terjadi saat gue berangkat pertama kali ke pesantren. Ia mencoba meyakinkan bahwa pesantren nggak seburuk yang gue bayangkan.
“Sam. Pesantren itu memang seperti penjara. Disitulah letak keasyikan pesantren. Bayangkan, hidup kita nggak bebas. Asyik lho kalo hidup nggak bebas. Banyak aturan yang harus kita curangi. Kamu tahu, Sam? Sebetulnya dunia juga penjara. Sebab dengan aturan dunia akan tetap ada. Aturan adalah kebutuhan, Sam…”, ocehnya.
Dia mengambil beberapa buah rambutan, mengupasnya kemudian menelannya bulat-bulat. Dan, melanjutkan.
“Gue tahu, Sam. Bakal berat hari-hari pertama di pesantren. Gue yakin, loe bakal nangis. Apalagi loe mengalami bahwa loe ditinggalkan oleh bapak loe sendiri. Sendirian di pesantren. Sepi dan membosankan. Gue yakin, loe bakal nangis!”
Eful kembali mengambil dua biji rambutan. Mengupasnya dan menelannya bulat-bulat lagi.
“Lu, juga bakal nangis kan, Ful?” gue nanya.
“Nangis?!!! Gue nangis? Gila ya, loe. Gue itu cowok jantan. Nangis…? Apaan…cowok nangis,” jawab Eful sekenanya. Sambil makan tiga buah rambutan bulat-bulat. Tanpa dikupas.
Singkat cerita gue beserta gerombolan sampai di pesantren. Setelah bapak mengurus administrasi, gue langsung ditinggal bapak gue. Ya, agak sedih juga. Cuma gak sedih banget. Cuma agak sedih. Eful, benar, ia cowok yang tangguh. Setelah salaman dengan bapaknya. Ia langsung pergi main dengan teman-teman barunya. Ia memang banyak mengenal pesantren ini. Bapaknya adalah bagian dari keluarga pesantren ini.
Setelah bapak gue pergi, pulang kerumah. Gue merasa kesepian, kemudian mencari Eful. Ternyata Eful sulit ditemukan. Sampai ada seorang santri senior mengantar gue ke kamar yang akan gue huni. Mungkin selama satu tahun gue akan mendekam di kamar itu. Santri senior itu menuntun gue ke sebuah kamar yang agak luas. Cukup untuk lima belas orang. Kamar ini bekas kelas yang sudah tidak terpakai.
Waw! Saat pintu kamar dibuka. Gue kaget banget. Mungkin sekitar 20-an santri sudah berada di dalam kamar. Dan, semuanya pada nangis. Mereka santri baru. Ya, hampir semua yang ada di kamar pada menangis. Ada yang menjerit-jerit menyebut orang tuanya. Ada yang nangis terisak-isak melihat foto orang tuanya. Ada yang membenamkan kepalanya ke bantal. Ada yang nangis sambil mukul-mukul dinding dan mengutuki orang tuanya karena memasukkannya ke pesantren.
Belum beres…! Ada yang nangis sambil terkencing-kencing. Ada yang nangisnya menggeliat-geliat di lantai seperti ulat. Ada yang mengomeli bapaknya. Ada juga yang nangis sambil nampar-nampar diri sendiri, mungkin gak percaya dirinya ada di pesantren. Ada yang lebih parah lagi, ia nangis sambil membenturkan kepala temannya sendiri ke dinding. Sebab gara-gara ajakan orang tua temannya ia masuk pesantren.
Gue begitu takjub dan senang melihatnya. Senang melihat anak-anak menangis histeris. Sampai-sampai kamar banjir dengan air mata. Hari itu adalah hari air mata, kalau boleh gue peringati. Di antara tumpukan santri yang cengeng itu, gue nggak menemukan Eful. Mungkin ia gak sedih. Jadi nggak bergabung dengan anak-anak cengeng itu. Gue juga merasa heran. Lihat santri menangis tapi malah mau ketawa. Mungkinkah ada bakat gue suka melihat penderitaan?!!
Lama melihat santri, gue bosan. Gue melangkahkan kaki masuk kamar. Sesampainya di kamar gue bergegas menuju almari baju. Ganti baju.
Almari gue sebetulnya milik si Eful juga. Gue numpang nyimpen pakaian di almarinya. Nah, waktu gue membuka gagang pintu almari. Gue menjerit. Gue kaget banget. Di dalam almari gue menemukan Eful. Ia sedang meremas-remas rambut. Kepalanya dibentur-bentur pelan ke bagian belakang dinding almari. Menangis jadi-jadian.
“Bener, Ful. Loe emang gak nangis. Jantan... !”
Catatan kaki:
Jangan berkata kalo gak tau pasti, dan belum mengalaminya.
Oh iya, gue masuk Pesantren setelah lulus SD.
Catatan Garing 2: Ada Shaolin di Pesantren
Bagian Dua
Bakda maghrib gue dan temen-temen masuk kelas. Di kelas sudah menunggu seorang santri, Seksi keamanan. Dia itu santri yang diberi tanggung jawab mendisiplinkan santri lain. Misalnya, seperti gue ini lah. Menurut gue tugas keamanan berat. Tapi, seberat apapun dan semulia apapun menjalankan tugas keamanan, gue gak suka keamanan (gak suka orangnya, bukan tugasnya). Soalnya gue yang paling sering diamankan. Dan diamankan itu gak enak. Maka, sebelum gue diamankan selalu membuat diri gue aman dulu.
“Wahai, para santri baru. Ada beberapa hal yang harus kalian perhatikan dan laksanakan. Lembaran ini berisi peraturan pesantren yang sudah baku dan harus kalian laksanakan dengan ikhlas lilahita’ala. Berikut peraturannya…. (bla….bla…bla...) …dan yang terakhir bagi santriwan harus berambut pendek. Nggak boleh lebih dari 2 cm. Kalo lebih, kalian akan mendapat sangsi !! digunduli rame-rame…”
Nah, itulah salah satu peraturan yang telah diproklamasikan seksi keamanan. Banyak santri yang nggak menyukai peraturan ini. Alasannya mudah. Menurut sebagian santri, rambut modal penampilan. Kalo rambutnya gak menarik, maka nasibnya pun nggak baik? (diharap jangan percaya mitos ini).
Pagi itu, saat matahari baru bangun dari peraduannya. Santri baru berjejer di depan asrama untuk dicukur. Tim penyukur adalah seksi keamanan dan kebersihan. Yang pertama jadi korban adalah Galih. Rambutnya panjang dan nggak teratur. Menurut Galih, rambut jabriknya itu menarik. Sedangkan menurut mayoritas santri, rambutnya mirip jerami sawah.
Seksi kebersihan mencukur rambut Galih dengan tenang. Gunting terus memotong rambut galih. Akhirnya rambut Galih berjatuhan. Galih menyaksikan helai demi helai rambutnya tumbang ke atas bumi. Di depan matanya. Dengan penuh haru ia mengambil beberapa helai rambutnya dari tanah. Diperhatikannya secara saksama. Tiba-tiba, ia menepis gunting dari tangan seksi kebersihan. Galih menangis menjerit-jerit memunguti rambutnya yang kini telah berguguran. Dia nggak percaya rambutnya sekarang telah berpisah dengan kepalanya. Dia meraup semua rambutnya dari atas tanah. Kemudian diperlihatkan pada seksi kebersihan. Sambil menangis terisak-isak Galih berteriak,
“Kak, kembalikan rambut ini ke kepala saya....!”
***
Gue baru tahu khasiat rambut pendek. Salah satunya terkesan rapi. Ya, gara-gara santri pada botak, akhirnya semua santri memakai kopiah. Kopiahnya juga sama, Kopiah cap H. Iming.
Keamanan masuk kelas lagi. Gak ada angin gak ada hujan, ia langsung memerintahkan santriwan agar membuka kopiahnya masing-masing. Katanya untuk memastikan semua rambut di kelas gue 2 centi-an.
Dengan kompak semua santri membuka kopiahnya. Dengan kompak juga para santriwati menjerit-jerit. Bukan menjerit sedih. Tapi menjerit kaget. Karena semua kepala santri botak semua. Kebetulan sinar surya masuk menembus kaca jendela menyinari kepala-kepala botak itu. Terjadilah photosintesis. Kepala-kepala botak itu memantulkan kembali sinar matahari ke segala penjuru. Ada yang mantul ke dinding. Memantul ke lantai. Saling berpantulan ke kepala botak lagi.
Ada juga yang mantul ke mata para santriwati. Santriwati matanya berkedip-kedip, kesilauan. Dari sanalah mungkin asal usul populernya kalimat…silau men!!! Beberapa santriwati ada yang cerdas. Sebelum masuk kelas mereka sudah mempersiapkan diri. Agar nggak silau, santriwati itu pake kaca mata hitam.
Keamanan yakin semua rambut sudah dicukur pendek. Tapi ia belum yakin semua santri baru, sudah masuk kelas.
“Mana Andri?” keamanan bertanya.
Semua santri gak ada yang jawab. Semuanya gak ada yang tahu. Belum kering keamanan bertanya. Seorang santri mengucapkan salam dari balik pintu. Pintu pun dibuka.
Santri di balik pintu itu adalah Andri. Saat Andri mengayuhkan langkahnya masuk kelas. Semua santri menahan tawa. Termasuk keamanan. Semua merasa geli melihat Andri. Ia terkesan ganjil. Kelucuan ini bukan karena Andri botak. Tapi, kopiah cap H. Iming yang dikenakannya terlalu besar. Sampai-sampai kepalanya hampir tenggelam tertutupi kopiah.
Sebagai teman baik, gue nggak membiarkan ia terzalimi. Gue langsung merobek beberapa lembar kertas. Membulatkannya. Setelah yakin bulatannya cukup besar, gue mendekati Andri dan langsung membuka kopiahnya. Setelah itu, gue tempel itu bulatan kertas di bagian belakang kepala Andri. Lalu ditutup kopiah lagi. Kopiah Andri pun jadi pas dikepalanya. Diganjal kertas.
Catatan kaki:
Buatlah hidup ini bersih dan terkesan rapi. Jangan memakai kopiah yang melebih batas ukuran kepala. Sebab, merugikan perusahaan kertas. Banyak dijadikan pengganjal!
Bakda maghrib gue dan temen-temen masuk kelas. Di kelas sudah menunggu seorang santri, Seksi keamanan. Dia itu santri yang diberi tanggung jawab mendisiplinkan santri lain. Misalnya, seperti gue ini lah. Menurut gue tugas keamanan berat. Tapi, seberat apapun dan semulia apapun menjalankan tugas keamanan, gue gak suka keamanan (gak suka orangnya, bukan tugasnya). Soalnya gue yang paling sering diamankan. Dan diamankan itu gak enak. Maka, sebelum gue diamankan selalu membuat diri gue aman dulu.
“Wahai, para santri baru. Ada beberapa hal yang harus kalian perhatikan dan laksanakan. Lembaran ini berisi peraturan pesantren yang sudah baku dan harus kalian laksanakan dengan ikhlas lilahita’ala. Berikut peraturannya…. (bla….bla…bla...) …dan yang terakhir bagi santriwan harus berambut pendek. Nggak boleh lebih dari 2 cm. Kalo lebih, kalian akan mendapat sangsi !! digunduli rame-rame…”
Nah, itulah salah satu peraturan yang telah diproklamasikan seksi keamanan. Banyak santri yang nggak menyukai peraturan ini. Alasannya mudah. Menurut sebagian santri, rambut modal penampilan. Kalo rambutnya gak menarik, maka nasibnya pun nggak baik? (diharap jangan percaya mitos ini).
Pagi itu, saat matahari baru bangun dari peraduannya. Santri baru berjejer di depan asrama untuk dicukur. Tim penyukur adalah seksi keamanan dan kebersihan. Yang pertama jadi korban adalah Galih. Rambutnya panjang dan nggak teratur. Menurut Galih, rambut jabriknya itu menarik. Sedangkan menurut mayoritas santri, rambutnya mirip jerami sawah.
Seksi kebersihan mencukur rambut Galih dengan tenang. Gunting terus memotong rambut galih. Akhirnya rambut Galih berjatuhan. Galih menyaksikan helai demi helai rambutnya tumbang ke atas bumi. Di depan matanya. Dengan penuh haru ia mengambil beberapa helai rambutnya dari tanah. Diperhatikannya secara saksama. Tiba-tiba, ia menepis gunting dari tangan seksi kebersihan. Galih menangis menjerit-jerit memunguti rambutnya yang kini telah berguguran. Dia nggak percaya rambutnya sekarang telah berpisah dengan kepalanya. Dia meraup semua rambutnya dari atas tanah. Kemudian diperlihatkan pada seksi kebersihan. Sambil menangis terisak-isak Galih berteriak,
“Kak, kembalikan rambut ini ke kepala saya....!”
***
Gue baru tahu khasiat rambut pendek. Salah satunya terkesan rapi. Ya, gara-gara santri pada botak, akhirnya semua santri memakai kopiah. Kopiahnya juga sama, Kopiah cap H. Iming.
Keamanan masuk kelas lagi. Gak ada angin gak ada hujan, ia langsung memerintahkan santriwan agar membuka kopiahnya masing-masing. Katanya untuk memastikan semua rambut di kelas gue 2 centi-an.
Dengan kompak semua santri membuka kopiahnya. Dengan kompak juga para santriwati menjerit-jerit. Bukan menjerit sedih. Tapi menjerit kaget. Karena semua kepala santri botak semua. Kebetulan sinar surya masuk menembus kaca jendela menyinari kepala-kepala botak itu. Terjadilah photosintesis. Kepala-kepala botak itu memantulkan kembali sinar matahari ke segala penjuru. Ada yang mantul ke dinding. Memantul ke lantai. Saling berpantulan ke kepala botak lagi.
Ada juga yang mantul ke mata para santriwati. Santriwati matanya berkedip-kedip, kesilauan. Dari sanalah mungkin asal usul populernya kalimat…silau men!!! Beberapa santriwati ada yang cerdas. Sebelum masuk kelas mereka sudah mempersiapkan diri. Agar nggak silau, santriwati itu pake kaca mata hitam.
Keamanan yakin semua rambut sudah dicukur pendek. Tapi ia belum yakin semua santri baru, sudah masuk kelas.
“Mana Andri?” keamanan bertanya.
Semua santri gak ada yang jawab. Semuanya gak ada yang tahu. Belum kering keamanan bertanya. Seorang santri mengucapkan salam dari balik pintu. Pintu pun dibuka.
Santri di balik pintu itu adalah Andri. Saat Andri mengayuhkan langkahnya masuk kelas. Semua santri menahan tawa. Termasuk keamanan. Semua merasa geli melihat Andri. Ia terkesan ganjil. Kelucuan ini bukan karena Andri botak. Tapi, kopiah cap H. Iming yang dikenakannya terlalu besar. Sampai-sampai kepalanya hampir tenggelam tertutupi kopiah.
Sebagai teman baik, gue nggak membiarkan ia terzalimi. Gue langsung merobek beberapa lembar kertas. Membulatkannya. Setelah yakin bulatannya cukup besar, gue mendekati Andri dan langsung membuka kopiahnya. Setelah itu, gue tempel itu bulatan kertas di bagian belakang kepala Andri. Lalu ditutup kopiah lagi. Kopiah Andri pun jadi pas dikepalanya. Diganjal kertas.
Catatan kaki:
Buatlah hidup ini bersih dan terkesan rapi. Jangan memakai kopiah yang melebih batas ukuran kepala. Sebab, merugikan perusahaan kertas. Banyak dijadikan pengganjal!
Catatan Garing 3: Istaiqidz….istaiqidz..!!!
Bagian Tiga
Catatan atas : ‘Istaiqidz! artinya Bangun!. Paham!
Peraturan di pesantren gue. Setiap hari santri harus bangun shubuh. Dengan terpaksa harus ikhlas, gue dan sohib-sohib kelas "terpadu" saat malam menjelang shubuh harus bangun cepat-cepat. Sekitar pukul empatan.
Belum sempat jarum jam menunjuk angka empat. Seksi keamanan sudah berteriak-teriak di microphon. Membangunkan santri.
“Asholatu khoiru minan-naum.” Itu bagi yang hendak shalat tahajud, atau shalat isya-nya keshubuhan. Artinya, shalat lebih baik daripada tidur.
Sedangkan bagi yang mau sahur keamanan berteriak, “Assahuru khoiru minan-naum”. Artinya, sahur lebih baik dari pada tidur.
Sedangkan bagi santriwati yang sedang haid, mereka berteriak “An-naumu khoiru minas-shalati was-sahuri.” Artinya, tidur lebih baik daripada shalat dan sahur.
Setelah jam menunjukan pukul tiga lewat nol-nol. Gue dan sohib kelas terpadu bangun. Terpaksa harus bangun. Gue bangun yang pertama kali. Sohib yang belum bangun, gue bangunin wahid-wahid.
Fadli yang tidur pulas kakinya membelit leher Deden. Begitu juga Deden kakinya melilit tubuh Fadli. Terkadang kalo mereka sedang tidur saling menendang. Sekarang kaki mereka mulai diangkat dan diletakan pada tempat yang sepantasnya. Kadang-kadang kakinya juga bersalaman?
Saeful yang tidurnya terlentang, kedua kakinya terbuka menganga seperti posisi ibu-ibu sedang melahirkan. Mengakibatkan sarung yang menyelimutinya terangkat dan terbuka lebar menganga. Nampak jelas isi dalam sarungnya. Mungkin dari semalam mengerut kedinginan. Sekarang sarungnya ditutup kembali. Isinya pun hidup kembali dalam kehangatan?
Biban, kalau tidur suka tertawa-tawa sendiri gak jelas. Kadang-kadang ia rewel, sering berteriak-teriak minta tolong, melolong seperti anjing, mengeong seperti kucing. Dan yang bikin ngeri suka mukul-mukul temennya gak jelas. Berbeda ketika sudah bangun ia sangat pendiam.
Tendi yang tidurnya selalu tersenyum, mulai menunjukan wajah aslinya. Tendi hidupnya jarang tersenyum, selalu, wajahnya selalu menunjukan kengerian dan kekejaman. Kecuali, kalo tidur. Ia selalu tersenyum manis. Aneh!
Harits yang bibirnya nempel pada pipi Rubi saat tidur, seperti gerakan mencium. Sekarang bibirnya sudah menjadi pendaratan telapak tangan tamparan Rubi. Keplakk !! suaranya nyaring banget.
Agus yang ketika tidur matanya agak terbuka, sekarang saat bangun matanya malah terpejam.
Mukhlis yang saat tidurnya pendiam, tidak bergerak-gerak. Kini saat bangun matanya melirik-lirik bengis, kemudian berjalan, berputar-putar dan meloncat-loncat gak jelas. Pada langkah kakinya yang ketujuh, tubuh Mukhlis kembali tumbang ke atas tumpukan cuciannya. Tidur kembali!
Andri yang tidurnya tanpa sarung, sehingga saat tidur tampak di bawah udelnya bentuk underwear mirip segi tiga tak beraturan, seperti logo Supermen yang sudah usang, dan robek disisi-sisinya. Wah! Saat bangun Andri mengkerutkan kedua alisnya dan menyorot Ade yang tidur nyaman pake sarungnya. Tanpa banyak Tanya dan tanpa ampun. “Sim.. salabim..” sarung di tubuh Ade di ambilnya tanpa ampun. Tampaklah saat tidur Ade suka memegang bagian tubuh sensitifnya, agak diremas sedikit, atau digaruk-garuk.
Gue sendiri saat tidur nggak mengekspresikan apa-apa. Kecuali setelah bangun, karena biasanya gue suka mandi pagi. Pagi sekali, sebelum melaksanakan shalat shubuh.
“Istaiqidz…ya..Thulab!!! (bangun! Wahai para santri)” Keamanan berteriak membangunkan.
“Oke…..oke…” kata Saeful, sembari membetulkan sarungnya. Tidur lagi.
“Insya Allah….. Qismul’Am…” Andri mulutnya menjawab, sedangkan matanya masih terpejam pulas. Tangannya menggaruk-garuk bokong.
“Bangun! Ente-ente jami’an… haya ‘ala shalat!” Keamanan menambahkan.
“Bangun-bangun!!! Istighfar kalian! Sebentar lagi shalat” Gue membantu keamanan membangunkan mereka.
Gue mendisiplinkan sohib-sohib sembari memberi bantal terbagus yang gue miliki pada keamanan. Sebagai penyuap agar keamanan kembali menikmati malamnya. Juga, kami tentunya bisa menikmati sisa malam lagi.
Mendapat bantal, Keamanan tersenyum pasrah. Ia lalu bergegas ke arah tumpukan santri yang masih tidur. Memeriksa sedikit celah, mungkin ada tempat yang masih bisa ditiduri. Ketemu juga. Di antara Harits dan Rubi ada celah kosong. Cukup untuk satu orang. Keamanan pun merebahkan tubuhnya untuk kembali tidur dengan bantal gue. Nah, pas keamanan kembali tidur. Semua santri bangun dan meninggalkan keamanan.
Keamanan tidur dengan senyum bahagia. Namun hanya lima menit senyum bahagianya. Lima menit berikutnya. Satu ember air mengguyur tubuhnya. Air tumpah dari ember yang dipegang tangan ustaz. Kami semua tertawa terbahak-bahak melihat keamanan basah kuyup. Apalagi gue, senang banget melihat keamanan menderita. Sebab gue yang ngelaporin pada ustaz, keamanan tidur lagi…. hehehe…
Catatan kaki:
Jangan menyontoh gue dan sohib gue! Gitu aja. Oh, iya, harus amanat melaksanakan tugas, jangan mudah disuap. Harus punya komitmen moral kata mahasiswa UIN Bandung.
Catatan atas : ‘Istaiqidz! artinya Bangun!. Paham!
Peraturan di pesantren gue. Setiap hari santri harus bangun shubuh. Dengan terpaksa harus ikhlas, gue dan sohib-sohib kelas "terpadu" saat malam menjelang shubuh harus bangun cepat-cepat. Sekitar pukul empatan.
Belum sempat jarum jam menunjuk angka empat. Seksi keamanan sudah berteriak-teriak di microphon. Membangunkan santri.
“Asholatu khoiru minan-naum.” Itu bagi yang hendak shalat tahajud, atau shalat isya-nya keshubuhan. Artinya, shalat lebih baik daripada tidur.
Sedangkan bagi yang mau sahur keamanan berteriak, “Assahuru khoiru minan-naum”. Artinya, sahur lebih baik dari pada tidur.
Sedangkan bagi santriwati yang sedang haid, mereka berteriak “An-naumu khoiru minas-shalati was-sahuri.” Artinya, tidur lebih baik daripada shalat dan sahur.
Setelah jam menunjukan pukul tiga lewat nol-nol. Gue dan sohib kelas terpadu bangun. Terpaksa harus bangun. Gue bangun yang pertama kali. Sohib yang belum bangun, gue bangunin wahid-wahid.
Fadli yang tidur pulas kakinya membelit leher Deden. Begitu juga Deden kakinya melilit tubuh Fadli. Terkadang kalo mereka sedang tidur saling menendang. Sekarang kaki mereka mulai diangkat dan diletakan pada tempat yang sepantasnya. Kadang-kadang kakinya juga bersalaman?
Saeful yang tidurnya terlentang, kedua kakinya terbuka menganga seperti posisi ibu-ibu sedang melahirkan. Mengakibatkan sarung yang menyelimutinya terangkat dan terbuka lebar menganga. Nampak jelas isi dalam sarungnya. Mungkin dari semalam mengerut kedinginan. Sekarang sarungnya ditutup kembali. Isinya pun hidup kembali dalam kehangatan?
Biban, kalau tidur suka tertawa-tawa sendiri gak jelas. Kadang-kadang ia rewel, sering berteriak-teriak minta tolong, melolong seperti anjing, mengeong seperti kucing. Dan yang bikin ngeri suka mukul-mukul temennya gak jelas. Berbeda ketika sudah bangun ia sangat pendiam.
Tendi yang tidurnya selalu tersenyum, mulai menunjukan wajah aslinya. Tendi hidupnya jarang tersenyum, selalu, wajahnya selalu menunjukan kengerian dan kekejaman. Kecuali, kalo tidur. Ia selalu tersenyum manis. Aneh!
Harits yang bibirnya nempel pada pipi Rubi saat tidur, seperti gerakan mencium. Sekarang bibirnya sudah menjadi pendaratan telapak tangan tamparan Rubi. Keplakk !! suaranya nyaring banget.
Agus yang ketika tidur matanya agak terbuka, sekarang saat bangun matanya malah terpejam.
Mukhlis yang saat tidurnya pendiam, tidak bergerak-gerak. Kini saat bangun matanya melirik-lirik bengis, kemudian berjalan, berputar-putar dan meloncat-loncat gak jelas. Pada langkah kakinya yang ketujuh, tubuh Mukhlis kembali tumbang ke atas tumpukan cuciannya. Tidur kembali!
Andri yang tidurnya tanpa sarung, sehingga saat tidur tampak di bawah udelnya bentuk underwear mirip segi tiga tak beraturan, seperti logo Supermen yang sudah usang, dan robek disisi-sisinya. Wah! Saat bangun Andri mengkerutkan kedua alisnya dan menyorot Ade yang tidur nyaman pake sarungnya. Tanpa banyak Tanya dan tanpa ampun. “Sim.. salabim..” sarung di tubuh Ade di ambilnya tanpa ampun. Tampaklah saat tidur Ade suka memegang bagian tubuh sensitifnya, agak diremas sedikit, atau digaruk-garuk.
Gue sendiri saat tidur nggak mengekspresikan apa-apa. Kecuali setelah bangun, karena biasanya gue suka mandi pagi. Pagi sekali, sebelum melaksanakan shalat shubuh.
“Istaiqidz…ya..Thulab!!! (bangun! Wahai para santri)” Keamanan berteriak membangunkan.
“Oke…..oke…” kata Saeful, sembari membetulkan sarungnya. Tidur lagi.
“Insya Allah….. Qismul’Am…” Andri mulutnya menjawab, sedangkan matanya masih terpejam pulas. Tangannya menggaruk-garuk bokong.
“Bangun! Ente-ente jami’an… haya ‘ala shalat!” Keamanan menambahkan.
“Bangun-bangun!!! Istighfar kalian! Sebentar lagi shalat” Gue membantu keamanan membangunkan mereka.
Gue mendisiplinkan sohib-sohib sembari memberi bantal terbagus yang gue miliki pada keamanan. Sebagai penyuap agar keamanan kembali menikmati malamnya. Juga, kami tentunya bisa menikmati sisa malam lagi.
Mendapat bantal, Keamanan tersenyum pasrah. Ia lalu bergegas ke arah tumpukan santri yang masih tidur. Memeriksa sedikit celah, mungkin ada tempat yang masih bisa ditiduri. Ketemu juga. Di antara Harits dan Rubi ada celah kosong. Cukup untuk satu orang. Keamanan pun merebahkan tubuhnya untuk kembali tidur dengan bantal gue. Nah, pas keamanan kembali tidur. Semua santri bangun dan meninggalkan keamanan.
Keamanan tidur dengan senyum bahagia. Namun hanya lima menit senyum bahagianya. Lima menit berikutnya. Satu ember air mengguyur tubuhnya. Air tumpah dari ember yang dipegang tangan ustaz. Kami semua tertawa terbahak-bahak melihat keamanan basah kuyup. Apalagi gue, senang banget melihat keamanan menderita. Sebab gue yang ngelaporin pada ustaz, keamanan tidur lagi…. hehehe…
Catatan kaki:
Jangan menyontoh gue dan sohib gue! Gitu aja. Oh, iya, harus amanat melaksanakan tugas, jangan mudah disuap. Harus punya komitmen moral kata mahasiswa UIN Bandung.
Catatan Garing 4: Ngejar Layang-layang
Bagian Empat
Pesantren waktu itu sedang libur. Gue, Cecep dan Saeful menunggu layang-layang. Kali aja ada layangan yang lepas. Setelah lama menunggu. Akhirnya ada juga layang-layang yang nyasar ke pesantren. Cecep dan Saeful terus memandang layang-layang putus dari benangnya bergoyang di udara. Mereka berdua lari ke sana-ke mari mencari letak strategis pendaratan layang-layang.
Mereka pantang menyerah. Kepalanya terus melihat layang-layang yang bergoyang di langit. Sedangkan gue nggak begitu peduli dengan layang-layang. Gue lebih suka menatap gadis cantik yang sedang berjalan di jalanan pesantren. Kalo loe lihat, gadis ini cantik banget. “Swiiit wiiiiiiwww”. Hati gue bersiul keras.
Sementara Cecep dan Saeful sibuk lari ke sana-ke mari ngejar layangan. Gue lari mengejar gadis tadi. Setelah agak dekat, dan posisi gue tepat di belakangnya. Gadis itu berjalan menemui suaminya. Menyaksikan itu. Gue merasa tidak mempunyai harapan mendekatinya. Sial bener nasib gue.
“Kenapa kamu lari-lari, kayak kuda kepanasan aja?” bertanya suaminya yang berkepala botak dan berjanggut panjang.
“Anu Om, Layang-layang putus. Tuh, lihat Om!..”
Sementara Om botak melihat layangan. Gue lari meninggalkannya sejauh mungkin. Setelah yakin jarak gue dan si Om botak itu jauh. Gue teriak “Botax…tax..tax…tax..!!!”
***
“Anjreet…! Layang-Layangnya mendarat di atas masjid, Cep.” Kata Eful.
“Iya Brow! Kaefa… bagaimana ini teh Ful?” Cecep Menjawab
Sebagai teman yang baik. Bukan baik. Terkadang baik. Gue menyarankan Saeful memanjat Masjid untuk mengambil layang-layangnya. Saeful pun mau. Padahal ia tubuhnya yang paling besar. Apalagi pantatnya. Tapi itu gak apa-apa dari pada gue yang manjat mendingan si Eful. Kalo jatuh juga pasti dia kuat. Tinggi masjidnya, Cuma 4 meteran.
Sementara Eful pemanasan. Gue dan Cecep membantu mengambilkan tangga. Tap! Dengan injakan yang teguh, dan genggaman yang kuat. Eful mulai memanjat. Gemulai goyang bokongnya yang super duper montok menggetarkan tangga. Dan itu membuat gue beserta Cecep lelah memegangi tangganya. Dilihat dari bawah, pantat Eful mirip melon kembar.
“Manusia atau kerbau sih si Saeful teh…?” kata gue dalam hati.
“Kerbau kali Sam” Cecep menjawab dalam hati juga.
“hehe…he..he….” Kami tertawa dalam hati.
Setelah Saeful berhasil memanjat puncak masjid. Kemudian dia berdiri kokoh. Kepalanya yang botak terembusi angin sore. Sangat mengilap bersinar menyala-nyala disorot sang surya memantulkan cahaya ke arah mata gue. Sampai gue silau dibuatnya. Nggak lama kemudian, tangan Eful memegang layangan tadi. Eful mendapat layangannya.
“Ful, lemparkan layangannya!” Cecep berteriak riang dan licik. Gue yakin dia licik. Karena setelah dilempar, layangannya akan dibawa kabur.
“Ful, berikan saja ke gue. Gue gak akan membawanya kabur. Cuma mau dijual ke Jang Balah. Lumayan, kan, nanti dapat fulus Khomsatumiah Rupiah (Rp. 500,-) ” gue berusaha meyakinkan Eful. Atau menipu Eful. Yang bener nipu Eful.
“Bullshit...! gak mungkin gue berikan layangan ini ke ente-ente pade.” Kata Eful.
Sepertinya Saeful tidak mau percaya siapa-siapa. Dia tetap mempertahankan layang-layangnya. Dengan sangat bersemangat dia menuruni jari tangga. Dan, yups, dengan bersemangat pula kami nggak mau membantu memegang tangganya.
Baru saja Saeful senang mendapat layangan. Allah mencabut kesenangannya lagi. Karena jari tangga yang diinjaknya patah. Eful bergelantungan. Tangan kanannya memegang kuat bata masjid. Sedangkan tangan kirinya memegang kuat layangan. Akibatnya Saeful jatuh dari ketinggian masjid itu dan tersangkut di tangga. Gue dan Cecep menyaksikannya. Hanya menyaksikan, nggak menolongnya.
“Diulang ya”. Musibah belum berakhir. Emang Saeful jatuh beberapa chenti-an dan tersangkut. Tapi, bata yang dipegang tangannya menimpa paha montoknya. Bata itu meluncur dengan cepat dan menghantam dengan keras paha Eful. Gue dan Cecep menutup wajah dengan kedua tangan. Nggak sanggup menyaksikan musibah itu. Meskipun wajah kami ditutup, kami bisa mengintip dari sela-sela jari tangan. Yang gue pikirkan saat itu adalah akan mendengar teriakan terkeras Saeful, karena kesakitan. Akan tetapi.
“He..he… untung masih nyankut di tangga. Makasih Tuhan”. Itulah teriakan di hati Saeful.
Meskipun Saeful merasa gak kesakitan. Kami tetap membantunya. Mungkin dia masih shock. Jadi gak sadar kalau kakinya sobek. Cecep menahan tangga dan gue menahan bokong Eful. Karena berat, lama-lama pantat Eful semakin mendekat dengan wajah gue. Tiba-tiba dari bokong Eful keluar suara halus dan sepi , “PSSSSHHHHH………”. Suara ini bercampur dengan gas beracun.
Dalam keadaan darurat. Gue merasakan ada gas yang langsung menuju lubang hidung gue. Gas beracun. Ya, nggak salah lagi. Ini gas beracun dari pantat Eful. Udah berat, lelah; Eful malah kentut, bau busuk pula. Tembakan jarak dekat kentut Saeful yang tepat sasaran ke lubang hidung gue…. yeakhh… Membuat gue mau mati.
Maunya, sih, kabur. Tapi apalah daya, nggak ada waktu untuk melarikan diri. Lagipula, kalau gue pergi Eful akan jatuh, dan bokong montoknya akan hancur berantakan berserakan di atas bumi. Hanya tinggal sejarah nantinya.
Gue tidak memberitahu Cecep adanya gas beracun yang keluar dari pantat Eful yang baunya… ih… seperti bau neraka tujuh tingkat. Biarlah gue yang menderita dan menikmati kentutnya. Akan tetapi, Cecep pun merasakan kehadiran gas beracun itu. Karena genggaman tangannya mulai melemah. Tubuhnya bergetar-getar lemas tak berdaya. Tenaganya hilang oleh tusukan kentut beracun Saeful.
“Afwan (maaf)… gerogi…he…he…” itu kata Saeful dengan senyum puas. Kalo sedang gerogi ia selalu begitu. Bokongnya yang akan berbicara bukan mulutnya…. Ihhhh!
Setelah dibantu turun, Eful masih tertawa lebar. Sedangkan gue dan Cecep masih berusaha membuang sisa-sisa gas yang bersarang dirongga hidung….fuih…fuih…pait banget!
“Ful, itu….Kaki loe… asthagfirullah…berdarah!!!” Cecep berteriak kaget.
“Mana Cep…?” Eful pun kaget. Ia berusaha memeriksa kaki kanannya. Yups, ketemu juga, paha kanan Eful sobek, panjang sobeknya 12 cm dan kedalamannya 2,5 cm. melihat pahanya sobek tawa Eful terhenti seketika. Mulutnya tertutup rapat. Kemudian terbuka lebar lagi dan berteriak, “EMMMAAAAA…….AAAKSSS….”.
Dalam keadaan kritis. Hilman datang tergesa-gesa. Mungkin mendengar teriakan keras Eful. Hilman nggak banyak bertanya, kemudian menuntun Eful. Dia akan dibawa ke puskemas Limbangan menggunakan motor Kiai. Dengan bekal celenganan gue, mereka pergi duluan. Gue dan Cecep menyusulnya menggunakan angkutan kota. Sesampai di Puskesmas, gue bertemu Hilman yang terlihat sedih. Matanya terpejam halus. Kepalanya menggeleng-geleng dan terkadang bibirnya senyum manis sedikit. Air mata meleleh pelan di pipinya.
Kata Hilman, “saat Eful di bonceng motor, ia masih bisa tersenyum, bersiul dan masih bisa kentut. Seakan deritanya telah lenyap berjatuhan di jalan. Namun, lihat!... huk….huk..” Hilman menunjuk sambil menangis. “Huk..huk…huk…Setelah bertemu dokter. Eful menjerit-jerit dan menangis, seakan penderitaan, rasa sakit, dan luka di pahanya kembali menghinggapinya. Mungkinkah dia takut jarum suntik?..huk…huk….”
Kami bertiga tertunduk prihatin dan terkadang tersenyum lucu. Gue tahu, masalahnya bukan Eful takut jarum suntik. Tapi, kebahagian, senyum dan siulannya di atas motor. Karena dia menganggap dokter yang akan merawatnya adalah wanita cantik. Namun, harapannya hancur. Saat ia tahu bahwa dokternya laki-laki tua dan berkumis tebal.
Catatan kaki:
Hindari mengharapkan dokter cantik. Sebab semua dokter suka menusuk. Jangan mau naik kalo gak mau jatuh. Atau, menjatuhkan ente sendiri.
Pesantren waktu itu sedang libur. Gue, Cecep dan Saeful menunggu layang-layang. Kali aja ada layangan yang lepas. Setelah lama menunggu. Akhirnya ada juga layang-layang yang nyasar ke pesantren. Cecep dan Saeful terus memandang layang-layang putus dari benangnya bergoyang di udara. Mereka berdua lari ke sana-ke mari mencari letak strategis pendaratan layang-layang.
Mereka pantang menyerah. Kepalanya terus melihat layang-layang yang bergoyang di langit. Sedangkan gue nggak begitu peduli dengan layang-layang. Gue lebih suka menatap gadis cantik yang sedang berjalan di jalanan pesantren. Kalo loe lihat, gadis ini cantik banget. “Swiiit wiiiiiiwww”. Hati gue bersiul keras.
Sementara Cecep dan Saeful sibuk lari ke sana-ke mari ngejar layangan. Gue lari mengejar gadis tadi. Setelah agak dekat, dan posisi gue tepat di belakangnya. Gadis itu berjalan menemui suaminya. Menyaksikan itu. Gue merasa tidak mempunyai harapan mendekatinya. Sial bener nasib gue.
“Kenapa kamu lari-lari, kayak kuda kepanasan aja?” bertanya suaminya yang berkepala botak dan berjanggut panjang.
“Anu Om, Layang-layang putus. Tuh, lihat Om!..”
Sementara Om botak melihat layangan. Gue lari meninggalkannya sejauh mungkin. Setelah yakin jarak gue dan si Om botak itu jauh. Gue teriak “Botax…tax..tax…tax..!!!”
***
“Anjreet…! Layang-Layangnya mendarat di atas masjid, Cep.” Kata Eful.
“Iya Brow! Kaefa… bagaimana ini teh Ful?” Cecep Menjawab
Sebagai teman yang baik. Bukan baik. Terkadang baik. Gue menyarankan Saeful memanjat Masjid untuk mengambil layang-layangnya. Saeful pun mau. Padahal ia tubuhnya yang paling besar. Apalagi pantatnya. Tapi itu gak apa-apa dari pada gue yang manjat mendingan si Eful. Kalo jatuh juga pasti dia kuat. Tinggi masjidnya, Cuma 4 meteran.
Sementara Eful pemanasan. Gue dan Cecep membantu mengambilkan tangga. Tap! Dengan injakan yang teguh, dan genggaman yang kuat. Eful mulai memanjat. Gemulai goyang bokongnya yang super duper montok menggetarkan tangga. Dan itu membuat gue beserta Cecep lelah memegangi tangganya. Dilihat dari bawah, pantat Eful mirip melon kembar.
“Manusia atau kerbau sih si Saeful teh…?” kata gue dalam hati.
“Kerbau kali Sam” Cecep menjawab dalam hati juga.
“hehe…he..he….” Kami tertawa dalam hati.
Setelah Saeful berhasil memanjat puncak masjid. Kemudian dia berdiri kokoh. Kepalanya yang botak terembusi angin sore. Sangat mengilap bersinar menyala-nyala disorot sang surya memantulkan cahaya ke arah mata gue. Sampai gue silau dibuatnya. Nggak lama kemudian, tangan Eful memegang layangan tadi. Eful mendapat layangannya.
“Ful, lemparkan layangannya!” Cecep berteriak riang dan licik. Gue yakin dia licik. Karena setelah dilempar, layangannya akan dibawa kabur.
“Ful, berikan saja ke gue. Gue gak akan membawanya kabur. Cuma mau dijual ke Jang Balah. Lumayan, kan, nanti dapat fulus Khomsatumiah Rupiah (Rp. 500,-) ” gue berusaha meyakinkan Eful. Atau menipu Eful. Yang bener nipu Eful.
“Bullshit...! gak mungkin gue berikan layangan ini ke ente-ente pade.” Kata Eful.
Sepertinya Saeful tidak mau percaya siapa-siapa. Dia tetap mempertahankan layang-layangnya. Dengan sangat bersemangat dia menuruni jari tangga. Dan, yups, dengan bersemangat pula kami nggak mau membantu memegang tangganya.
Baru saja Saeful senang mendapat layangan. Allah mencabut kesenangannya lagi. Karena jari tangga yang diinjaknya patah. Eful bergelantungan. Tangan kanannya memegang kuat bata masjid. Sedangkan tangan kirinya memegang kuat layangan. Akibatnya Saeful jatuh dari ketinggian masjid itu dan tersangkut di tangga. Gue dan Cecep menyaksikannya. Hanya menyaksikan, nggak menolongnya.
“Diulang ya”. Musibah belum berakhir. Emang Saeful jatuh beberapa chenti-an dan tersangkut. Tapi, bata yang dipegang tangannya menimpa paha montoknya. Bata itu meluncur dengan cepat dan menghantam dengan keras paha Eful. Gue dan Cecep menutup wajah dengan kedua tangan. Nggak sanggup menyaksikan musibah itu. Meskipun wajah kami ditutup, kami bisa mengintip dari sela-sela jari tangan. Yang gue pikirkan saat itu adalah akan mendengar teriakan terkeras Saeful, karena kesakitan. Akan tetapi.
“He..he… untung masih nyankut di tangga. Makasih Tuhan”. Itulah teriakan di hati Saeful.
Meskipun Saeful merasa gak kesakitan. Kami tetap membantunya. Mungkin dia masih shock. Jadi gak sadar kalau kakinya sobek. Cecep menahan tangga dan gue menahan bokong Eful. Karena berat, lama-lama pantat Eful semakin mendekat dengan wajah gue. Tiba-tiba dari bokong Eful keluar suara halus dan sepi , “PSSSSHHHHH………”. Suara ini bercampur dengan gas beracun.
Dalam keadaan darurat. Gue merasakan ada gas yang langsung menuju lubang hidung gue. Gas beracun. Ya, nggak salah lagi. Ini gas beracun dari pantat Eful. Udah berat, lelah; Eful malah kentut, bau busuk pula. Tembakan jarak dekat kentut Saeful yang tepat sasaran ke lubang hidung gue…. yeakhh… Membuat gue mau mati.
Maunya, sih, kabur. Tapi apalah daya, nggak ada waktu untuk melarikan diri. Lagipula, kalau gue pergi Eful akan jatuh, dan bokong montoknya akan hancur berantakan berserakan di atas bumi. Hanya tinggal sejarah nantinya.
Gue tidak memberitahu Cecep adanya gas beracun yang keluar dari pantat Eful yang baunya… ih… seperti bau neraka tujuh tingkat. Biarlah gue yang menderita dan menikmati kentutnya. Akan tetapi, Cecep pun merasakan kehadiran gas beracun itu. Karena genggaman tangannya mulai melemah. Tubuhnya bergetar-getar lemas tak berdaya. Tenaganya hilang oleh tusukan kentut beracun Saeful.
“Afwan (maaf)… gerogi…he…he…” itu kata Saeful dengan senyum puas. Kalo sedang gerogi ia selalu begitu. Bokongnya yang akan berbicara bukan mulutnya…. Ihhhh!
Setelah dibantu turun, Eful masih tertawa lebar. Sedangkan gue dan Cecep masih berusaha membuang sisa-sisa gas yang bersarang dirongga hidung….fuih…fuih…pait banget!
“Ful, itu….Kaki loe… asthagfirullah…berdarah!!!” Cecep berteriak kaget.
“Mana Cep…?” Eful pun kaget. Ia berusaha memeriksa kaki kanannya. Yups, ketemu juga, paha kanan Eful sobek, panjang sobeknya 12 cm dan kedalamannya 2,5 cm. melihat pahanya sobek tawa Eful terhenti seketika. Mulutnya tertutup rapat. Kemudian terbuka lebar lagi dan berteriak, “EMMMAAAAA…….AAAKSSS….”.
Dalam keadaan kritis. Hilman datang tergesa-gesa. Mungkin mendengar teriakan keras Eful. Hilman nggak banyak bertanya, kemudian menuntun Eful. Dia akan dibawa ke puskemas Limbangan menggunakan motor Kiai. Dengan bekal celenganan gue, mereka pergi duluan. Gue dan Cecep menyusulnya menggunakan angkutan kota. Sesampai di Puskesmas, gue bertemu Hilman yang terlihat sedih. Matanya terpejam halus. Kepalanya menggeleng-geleng dan terkadang bibirnya senyum manis sedikit. Air mata meleleh pelan di pipinya.
Kata Hilman, “saat Eful di bonceng motor, ia masih bisa tersenyum, bersiul dan masih bisa kentut. Seakan deritanya telah lenyap berjatuhan di jalan. Namun, lihat!... huk….huk..” Hilman menunjuk sambil menangis. “Huk..huk…huk…Setelah bertemu dokter. Eful menjerit-jerit dan menangis, seakan penderitaan, rasa sakit, dan luka di pahanya kembali menghinggapinya. Mungkinkah dia takut jarum suntik?..huk…huk….”
Kami bertiga tertunduk prihatin dan terkadang tersenyum lucu. Gue tahu, masalahnya bukan Eful takut jarum suntik. Tapi, kebahagian, senyum dan siulannya di atas motor. Karena dia menganggap dokter yang akan merawatnya adalah wanita cantik. Namun, harapannya hancur. Saat ia tahu bahwa dokternya laki-laki tua dan berkumis tebal.
Catatan kaki:
Hindari mengharapkan dokter cantik. Sebab semua dokter suka menusuk. Jangan mau naik kalo gak mau jatuh. Atau, menjatuhkan ente sendiri.
Catatan Garing 5: Perang Saudara
Bagian Lima
“Pemberitahuan, kepada seluruh santri. Atau yang merasa dirinya santri jantan dan bukan pecundang. Diharapkan berkumpul di depan masjid. Untuk sekarang, ngaji diliburkan. Sekali lagi kepada para santri ngumpul di depan masjid!….”
“Hore!!! Ngaji libur” Teriak santri.
Mendengar pengumuman Rois’Amm santri yang merasa dirinya jantan berbondong-bondong datang ke depan masjid. Bagi santri yang pecundang, mereka nggak datang ke depan masjid. Malah ada yang main petak umpet di pesantren. “Dasar pecundang ke depan masjid aja gak berani. Suruh pake kerudung aja, jangan pake sarung”. Teriak seseorang, dan orang itu gue.
Setelah santri jantan berkumpul. Rois’Amm langsung berkoar-koar macam ayam berkokok.
“Wahai, para santri jantan sekalian. Sungguh suatu kehormatan bagi saya kalian mau datang ke sini. Sesungguhnya ada hal yang sangat penting yang harus diselesaikan sekarang juga. Tadi, Pimpinan pesantren, pak Kiai memberi amanat kepada saya. Amanat itu adalah, kalian harus ganti baju koko kalian, pake baju yang sepantasnya bagi seorang pria. Ya, baju yang terlihat jantan untuk seorang pria… pergi ke sawah. Jadi, hari ini kita disuruh menaburi sawah dengan urea tablet. Sekian, terima kasih.”
“Yaaahhhh…”
Semua santri jantan jadi lemas mendengar maklumat itu.
Walau bagaimana pun. Perintah itu dilaksanakan dengan taat oleh para santri. Sebab pak Kiai telah mendidik santri dengan gratis. Maka, berbondong-bondonglah para santri jantan pergi ke sawah. Jumlahnya sekitar 40 santri. Nggak termasuk gue.
Awalnya, para santri menaburi sawah dengan urea tablet terlihat disiplin, rapi dan penuh penghayatan. Katanya, sawah merupakan ciptaan Tuhan. namun, setelah kejenuhan meliputi para santri. Mereka menaburkan urea tablet sekenanya. Nggak peduli ke mana bercokolnya itu urea, yang penting di aur-aur .
Karena kurang terorganisir dan terkoordinasi dengan baik oleh Keamanan. Akhirnya ada santri iseng melempar urea tablet ke santri lain. Santri itu pun kembali membalas dengan melempar beberapa tablet. Lemparannya salah, mengenai kepala keamanan. Keamanan nggak mau dipecundangi, ia membalas lemparan itu dengan serentetan urea tablet yang dihamburkan menghujani santri lain. Perang saudara pun meledak.
Keadaan kacau dan genting. Para santri saling melempar. Urea tablet tidak lagi dilempar ke sawah tapi dilemparkan mengenai santri-santri lain. Secara alamiah 40 santri itu berubah menjadi dua kubu. Tembak-menembak pun meledak, saling lempar, saling caci, dan berteriak. Urea tablet berdesingan meluncur cepat mengenai kepala, dada, telinga, hidung, mata, pipi, mulut ; ada juga yang termakan beberapa biji oleh para santri. Mereka ada yang mengejang..seperti terkena senjata biologis pemusnah massal.
Perang berlangsung lama dan sengit, keadaan semakin menegang. Setiapkali kehabisan peluru urea tablet. Akan ada sukarelawan berlari ke gudang memikul sekarung urea tablet. Perang pun meledak kembali. Akibat peperangan ini, banyak santri berguguran, bertumbangan, terkulai lemas tertembaki. Tim kesehtan dibuat lelah sebab korbannya terus berjatuhan dari kedua kubu. Banyak yang kejang-kejang dan dari mulutnya keluar busa. Mereka menelan bulat-bulat urea tablet. Tapi gak sampai mati.
Saat peperangan berlangsung sengit dan urea berdesingan. Rois ’Amm datang. Rois ’Amm nggak percaya dengan penglihatan dihadapannya. Ia melihat peperangan antar santri terjadi. Segera ia menengahi peperangan ini dan berusaha mendamaikan.
“Hei! Kalian apa-apaan? Bikin malu aja. Hentikaaaaaannn!!!!!!!”
Seketika keadaan jadi sepi. Nggak ada urea beterbangan. Semua wajah melirik arah datangnya suara. Setelah semua yakin arah suara itu. Para santri meraup urea sebanyak-banyaknya dan melempari Rois ’Amm rame-rame dengan urea tablet. Rois ’Amm nggak punya pertahanan kuat. Akhirnya ia dijatuhi tembakan bertubi-tubi. Beberapa urea mengenai wajahnya, jidatnya, pipinya, hidungnya, ada juga yang masuk ke lubang hidungnya, dan berbelas-belas urea tablet menjejali mulut sang Rois ’Amm. Rois ’Amm pun tumbang. Tubuhnya kejang-kejang.
Catatan kakai:
Perang yang terburuk adalah perang saudara.
Catatan penting:
Kisah di atas nggak gue alami. Itu pengalaman kakak kelas gue. Ceritanya juga gak separah itu. Cuma mau ceritanya seperti itu. Biar agak dramatis...kata mahasiswa teater di STSI Bandung.
Keajaiban:
Ajaib! Walaupun urea dilempar sekenanya ke sawah. Tanaman padi pak Kiai jadi sangat subur dan panennya bagus. Sungguh ajaib. Seharusnya padinya mati. Over dosis !!!
“Pemberitahuan, kepada seluruh santri. Atau yang merasa dirinya santri jantan dan bukan pecundang. Diharapkan berkumpul di depan masjid. Untuk sekarang, ngaji diliburkan. Sekali lagi kepada para santri ngumpul di depan masjid!….”
“Hore!!! Ngaji libur” Teriak santri.
Mendengar pengumuman Rois’Amm santri yang merasa dirinya jantan berbondong-bondong datang ke depan masjid. Bagi santri yang pecundang, mereka nggak datang ke depan masjid. Malah ada yang main petak umpet di pesantren. “Dasar pecundang ke depan masjid aja gak berani. Suruh pake kerudung aja, jangan pake sarung”. Teriak seseorang, dan orang itu gue.
Setelah santri jantan berkumpul. Rois’Amm langsung berkoar-koar macam ayam berkokok.
“Wahai, para santri jantan sekalian. Sungguh suatu kehormatan bagi saya kalian mau datang ke sini. Sesungguhnya ada hal yang sangat penting yang harus diselesaikan sekarang juga. Tadi, Pimpinan pesantren, pak Kiai memberi amanat kepada saya. Amanat itu adalah, kalian harus ganti baju koko kalian, pake baju yang sepantasnya bagi seorang pria. Ya, baju yang terlihat jantan untuk seorang pria… pergi ke sawah. Jadi, hari ini kita disuruh menaburi sawah dengan urea tablet. Sekian, terima kasih.”
“Yaaahhhh…”
Semua santri jantan jadi lemas mendengar maklumat itu.
Walau bagaimana pun. Perintah itu dilaksanakan dengan taat oleh para santri. Sebab pak Kiai telah mendidik santri dengan gratis. Maka, berbondong-bondonglah para santri jantan pergi ke sawah. Jumlahnya sekitar 40 santri. Nggak termasuk gue.
Awalnya, para santri menaburi sawah dengan urea tablet terlihat disiplin, rapi dan penuh penghayatan. Katanya, sawah merupakan ciptaan Tuhan. namun, setelah kejenuhan meliputi para santri. Mereka menaburkan urea tablet sekenanya. Nggak peduli ke mana bercokolnya itu urea, yang penting di aur-aur .
Karena kurang terorganisir dan terkoordinasi dengan baik oleh Keamanan. Akhirnya ada santri iseng melempar urea tablet ke santri lain. Santri itu pun kembali membalas dengan melempar beberapa tablet. Lemparannya salah, mengenai kepala keamanan. Keamanan nggak mau dipecundangi, ia membalas lemparan itu dengan serentetan urea tablet yang dihamburkan menghujani santri lain. Perang saudara pun meledak.
Keadaan kacau dan genting. Para santri saling melempar. Urea tablet tidak lagi dilempar ke sawah tapi dilemparkan mengenai santri-santri lain. Secara alamiah 40 santri itu berubah menjadi dua kubu. Tembak-menembak pun meledak, saling lempar, saling caci, dan berteriak. Urea tablet berdesingan meluncur cepat mengenai kepala, dada, telinga, hidung, mata, pipi, mulut ; ada juga yang termakan beberapa biji oleh para santri. Mereka ada yang mengejang..seperti terkena senjata biologis pemusnah massal.
Perang berlangsung lama dan sengit, keadaan semakin menegang. Setiapkali kehabisan peluru urea tablet. Akan ada sukarelawan berlari ke gudang memikul sekarung urea tablet. Perang pun meledak kembali. Akibat peperangan ini, banyak santri berguguran, bertumbangan, terkulai lemas tertembaki. Tim kesehtan dibuat lelah sebab korbannya terus berjatuhan dari kedua kubu. Banyak yang kejang-kejang dan dari mulutnya keluar busa. Mereka menelan bulat-bulat urea tablet. Tapi gak sampai mati.
Saat peperangan berlangsung sengit dan urea berdesingan. Rois ’Amm datang. Rois ’Amm nggak percaya dengan penglihatan dihadapannya. Ia melihat peperangan antar santri terjadi. Segera ia menengahi peperangan ini dan berusaha mendamaikan.
“Hei! Kalian apa-apaan? Bikin malu aja. Hentikaaaaaannn!!!!!!!”
Seketika keadaan jadi sepi. Nggak ada urea beterbangan. Semua wajah melirik arah datangnya suara. Setelah semua yakin arah suara itu. Para santri meraup urea sebanyak-banyaknya dan melempari Rois ’Amm rame-rame dengan urea tablet. Rois ’Amm nggak punya pertahanan kuat. Akhirnya ia dijatuhi tembakan bertubi-tubi. Beberapa urea mengenai wajahnya, jidatnya, pipinya, hidungnya, ada juga yang masuk ke lubang hidungnya, dan berbelas-belas urea tablet menjejali mulut sang Rois ’Amm. Rois ’Amm pun tumbang. Tubuhnya kejang-kejang.
Catatan kakai:
Perang yang terburuk adalah perang saudara.
Catatan penting:
Kisah di atas nggak gue alami. Itu pengalaman kakak kelas gue. Ceritanya juga gak separah itu. Cuma mau ceritanya seperti itu. Biar agak dramatis...kata mahasiswa teater di STSI Bandung.
Keajaiban:
Ajaib! Walaupun urea dilempar sekenanya ke sawah. Tanaman padi pak Kiai jadi sangat subur dan panennya bagus. Sungguh ajaib. Seharusnya padinya mati. Over dosis !!!
Catatan Garing 6: Sahur Kita
Sebelum shubuh, sekitar pukul 03.30. Sepertinya gue harus bangun. Karena Peraturan di pesantren, setiap hari Kamis harus melaksanakan puasa sunah. Nah, kebetulan Kamis itu kami sekelas kompak hendak berpuasa. Sebelum bangun, kami tidur dulu. Dan setelah bangun tentu maunya tidur lagi. Namun apalah daya, jeritan suara sumbang keamanan sangat mengganggu. Seksi keamanan dari pukul tiga nggak pernah capek membangunkan santri. Kata dia, “membangunkan santri adalah ibadah”. Yah, semoga saja apa yang ia anggap ibadah diterima di sisi Allah beserta iman-Islamnya. Amiin.
Mengingat waktu sudah setengah empat lebih. Gue bergegas membangunkan sohib-sohib. Dengan terpaksa untuk sebagian sohib yang belum bangun. Gue siram dia dengan beberapa tetes air. Hanya tetesan air saja, nggak kurang nggak lebih. Hanya satu tetes air saja cukup membangunkannya. Tapi kalo nggak bangun juga, satu tetes air itu akan disusul satu ember air yang akan tumpah ke seluruh tubuhnya.
Itu bagi yang susah. Untuk santri yang sangat susah sekali bangun. Biasanya kami sangat halus membangunkannya. Hanya dengan menyelimutinya lagi. Nah, setelah selimutnya rapat membungkus tubuh. Bareng-bareng kami menyeretnya ke kamar mandi. Nggak melakukan apa-apa. Hanya melemparkannya ke bak mandi, merendamnya beberapa menit. Itu saja cukup.
Pasca bangun. Untuk persiapan masak. Kami sibuk sendiri-sendiri. Ada yang mencari kayu bakar. Biasanya mencari ke dalam kelas. Mungkin aja ada bangku atau meja yang sudah rusak dan pantas dibakar. Ada juga yang sibuk menyalakan api. Kesibukannya nggak berat. Hanya meniup api di hawu sampai berkobar-kobar. Seksi peniup api nggak sembarang orang. Harus santri yang paling tebal bibirnya.
Kalau Saeful dan Fadli kesibukannya mencari makanan cuci mulut. Biasanya ke kebun Kiai, “sekadar jalan-jalan berhadiah buah Nangka ” katanya. Selain itu ada juga yang sibuk mencuci beras dan peralatan masak. Biasanya Agus.
Dari semua kesibukan. Yang paling sibuk adalah Hilman. Dia harus berusaha mengangkat kelopak matanya agar tetap terbuka. Dan biasanya gagal. Dan inilah yang gue maksud harus dilemparkan ke bak mandi. Tidur di atas kesibukan santri lain.
Sekitar pukul ar-rabi’ah (4). Semua beres melaksanakan tugas. Semuanya berkumpul membentuk lingkaran kecil mengelilingi api hawu. Setelah api cukup panas, barulah nasi dimasak. Biasanya nasi matang menghabiskan waktu tiga puluh menit. Sedangkan azan lima belas menit lagi. Maka, untuk mengantisipasi hal-hal yang nggak diinginkan. Agar nasi cepat matang. Kami meniup api secara berjama’ah, alias barengan. Dalam hitungan mundur dimulai…
“Tsalatsah… Tsaniyah…wahid… tiup!!!”
“Wuuuhhh….wuuuuhh…” dan
“Buzzzz….” Api berkobar menyambar wajah kami. Semua wajah menjadi hitam. Hari, karena ia berjenggot agak panjang. Jenggotnya kebakaran, apinya berkobar kecil. Kami semua menolongnya. Kami membantu memadamkan api dengan cara menggesek-gesek dagu Hari ke tanah beberapa kali, agak ditekan dikit juga. Kalo Makmun, ia hitam bukan karena ke sambar api. Emang sudah takdir!
Apinya mengecil lagi. Kami nggak menyerah. “Tiup lagi!!!...”
Kami terus meniup api itu agar terus berkobar dahsyat, supaya nasi cepat matang. Kulihat semua sohibku sangat bersemangat, awalnya. Namun, tiga menit kemudian semua lelah. Rubi karena kelelahan meniup-niup api tubuhnya jadi kempes. Mukhlis matanya melotot dan kepalanya berputar-putar. Mungkin kepusingan. Fadli tubuhnya terkulai lemas tanpa daya dan hendak muntah. Bukan karena meniup api. Tapi, karena tiupan gue mengenai tepat lubang hidung Fadli. Maklum, lupa gosok gigi...hehehe…
Kira-kira khomsah (5) menit sebelum azan. Nasi sudah matang. Agak kematangan dikit… Maksudnya gosong. Setelah itu, nasi ditumpahkan ke atas daun pisang. Kami semua nongkrongi nasi yang sudah matang. Sambil menunggu mie, lauk-pauknya. Kami agak culak colek dikit nasi itu.
Keadaan tegang, saat azan lima menit lagi. Sedangkan mie belum masak. Alhamdulillah banget, setelah peniupan berjama’ah lagi. Beberapa saat kemudian, mie matang, dan dibawa si Fadli. Namun, tiba-tiba bencana (sekali lagi bencana) mie yang dibawa Fadli….oh tidak!…semuanya tumpah, jatuh berantakan ke atas tanah. Sebagian mie berceceran di tanah. Sebagian lagi terinjak kaki Fadli.
Semua mulut ternganga. Kaget. Semua marah, semua kecewa, sampai ada yang putus asa. Bahkan Cecep menangis, hasil tiupannya sia-sia….
Aha! Melihat kondisi itu. Gue memberikan solusi alternatif. Mie, gue ambil semua plus tanah yang menempel. Sohib-sohib juga ada yang membantu. Fadli juga mengambil mie yang menempel di kakinya. Setelah terkumpul banyak. Mie dimasukan ke dalam nampan berisi air bersih, dikucek-kucek sedikit biar bersih dari noda, mirip nyuci pakaian. Setelah bersih dan suci, mie diguyur air panas lagi. Akhirnya masalah selesai. Mie kembali matang dan bersih. Kendati mie-nya mekar menjadi sebesar kelingking. Setelah disajikan, kami melahap nasi gosong dan mie yang terinjak tadi. Kami selesai makan sahur pas muazin mengumandangkan kalimat. “Laillaha illallah”.
Catatan kaki :
Jangan menyia-nyiakan makanan. Bekerja samalah dalam segala urusan. Kecuali dalam kejahatan. Waspadalah ! Waspada!
Mengingat waktu sudah setengah empat lebih. Gue bergegas membangunkan sohib-sohib. Dengan terpaksa untuk sebagian sohib yang belum bangun. Gue siram dia dengan beberapa tetes air. Hanya tetesan air saja, nggak kurang nggak lebih. Hanya satu tetes air saja cukup membangunkannya. Tapi kalo nggak bangun juga, satu tetes air itu akan disusul satu ember air yang akan tumpah ke seluruh tubuhnya.
Itu bagi yang susah. Untuk santri yang sangat susah sekali bangun. Biasanya kami sangat halus membangunkannya. Hanya dengan menyelimutinya lagi. Nah, setelah selimutnya rapat membungkus tubuh. Bareng-bareng kami menyeretnya ke kamar mandi. Nggak melakukan apa-apa. Hanya melemparkannya ke bak mandi, merendamnya beberapa menit. Itu saja cukup.
Pasca bangun. Untuk persiapan masak. Kami sibuk sendiri-sendiri. Ada yang mencari kayu bakar. Biasanya mencari ke dalam kelas. Mungkin aja ada bangku atau meja yang sudah rusak dan pantas dibakar. Ada juga yang sibuk menyalakan api. Kesibukannya nggak berat. Hanya meniup api di hawu sampai berkobar-kobar. Seksi peniup api nggak sembarang orang. Harus santri yang paling tebal bibirnya.
Kalau Saeful dan Fadli kesibukannya mencari makanan cuci mulut. Biasanya ke kebun Kiai, “sekadar jalan-jalan berhadiah buah Nangka ” katanya. Selain itu ada juga yang sibuk mencuci beras dan peralatan masak. Biasanya Agus.
Dari semua kesibukan. Yang paling sibuk adalah Hilman. Dia harus berusaha mengangkat kelopak matanya agar tetap terbuka. Dan biasanya gagal. Dan inilah yang gue maksud harus dilemparkan ke bak mandi. Tidur di atas kesibukan santri lain.
Sekitar pukul ar-rabi’ah (4). Semua beres melaksanakan tugas. Semuanya berkumpul membentuk lingkaran kecil mengelilingi api hawu. Setelah api cukup panas, barulah nasi dimasak. Biasanya nasi matang menghabiskan waktu tiga puluh menit. Sedangkan azan lima belas menit lagi. Maka, untuk mengantisipasi hal-hal yang nggak diinginkan. Agar nasi cepat matang. Kami meniup api secara berjama’ah, alias barengan. Dalam hitungan mundur dimulai…
“Tsalatsah… Tsaniyah…wahid… tiup!!!”
“Wuuuhhh….wuuuuhh…” dan
“Buzzzz….” Api berkobar menyambar wajah kami. Semua wajah menjadi hitam. Hari, karena ia berjenggot agak panjang. Jenggotnya kebakaran, apinya berkobar kecil. Kami semua menolongnya. Kami membantu memadamkan api dengan cara menggesek-gesek dagu Hari ke tanah beberapa kali, agak ditekan dikit juga. Kalo Makmun, ia hitam bukan karena ke sambar api. Emang sudah takdir!
Apinya mengecil lagi. Kami nggak menyerah. “Tiup lagi!!!...”
Kami terus meniup api itu agar terus berkobar dahsyat, supaya nasi cepat matang. Kulihat semua sohibku sangat bersemangat, awalnya. Namun, tiga menit kemudian semua lelah. Rubi karena kelelahan meniup-niup api tubuhnya jadi kempes. Mukhlis matanya melotot dan kepalanya berputar-putar. Mungkin kepusingan. Fadli tubuhnya terkulai lemas tanpa daya dan hendak muntah. Bukan karena meniup api. Tapi, karena tiupan gue mengenai tepat lubang hidung Fadli. Maklum, lupa gosok gigi...hehehe…
Kira-kira khomsah (5) menit sebelum azan. Nasi sudah matang. Agak kematangan dikit… Maksudnya gosong. Setelah itu, nasi ditumpahkan ke atas daun pisang. Kami semua nongkrongi nasi yang sudah matang. Sambil menunggu mie, lauk-pauknya. Kami agak culak colek dikit nasi itu.
Keadaan tegang, saat azan lima menit lagi. Sedangkan mie belum masak. Alhamdulillah banget, setelah peniupan berjama’ah lagi. Beberapa saat kemudian, mie matang, dan dibawa si Fadli. Namun, tiba-tiba bencana (sekali lagi bencana) mie yang dibawa Fadli….oh tidak!…semuanya tumpah, jatuh berantakan ke atas tanah. Sebagian mie berceceran di tanah. Sebagian lagi terinjak kaki Fadli.
Semua mulut ternganga. Kaget. Semua marah, semua kecewa, sampai ada yang putus asa. Bahkan Cecep menangis, hasil tiupannya sia-sia….
Aha! Melihat kondisi itu. Gue memberikan solusi alternatif. Mie, gue ambil semua plus tanah yang menempel. Sohib-sohib juga ada yang membantu. Fadli juga mengambil mie yang menempel di kakinya. Setelah terkumpul banyak. Mie dimasukan ke dalam nampan berisi air bersih, dikucek-kucek sedikit biar bersih dari noda, mirip nyuci pakaian. Setelah bersih dan suci, mie diguyur air panas lagi. Akhirnya masalah selesai. Mie kembali matang dan bersih. Kendati mie-nya mekar menjadi sebesar kelingking. Setelah disajikan, kami melahap nasi gosong dan mie yang terinjak tadi. Kami selesai makan sahur pas muazin mengumandangkan kalimat. “Laillaha illallah”.
Catatan kaki :
Jangan menyia-nyiakan makanan. Bekerja samalah dalam segala urusan. Kecuali dalam kejahatan. Waspadalah ! Waspada!
Catatan Garing 7:Kelapa Pak Ustadz
Bagian Tujuh
Di balik kegelapan malam dan perut keroncongan. Gue dan Muslim berdiri kokoh di depan masjid melihat keadaan sekeliling. Gue dan Muslim kebagian jatah ngeronda oleh seksi keamanan. Saat itu sekitar pukul 10 lewat 3 jam. Jam satu maksudnya. Kami nggak melakukan apa-apa, sumpah, hanya berdiri. Tambah sebel boleh dong mengekspresikan kondisi kami saat itu dengan bergaya.
Misalnya, Muslim berdiri dengan tangan menyentuh perutnya, mengelus-ngelus dan memijatnya. Seperti isyarat agar perutnya berhenti ngemiscall (anggap aja: suara perut minta diisi). Kalau gue lain lagi. Gue, berdiri kokoh dengan jari tangan membentuk isyarat menunjuk, tidak jauh yang gue tunjuk. Kepala gue sendiri. Artinya gue sedang berpikir. Contoh ekspresi tadi bukan misal, tapi kenyataan. Jujur aja, gue dan Muslim kelaparan. Muslim gak tahan lapar mijit-mijit perutnya dan gue berpikir mencari makanan.
Kata ustaz, malam itu adalah waktu yang baik untuk berpikir. Hmmm, pernyataan itu benar. Karena saat gue kelaparan ditambah kehausan. Eh, nemuin solusi. Yups, kelapa. Aha!, di belakang rumah pak ustaz, ada pohon kelapa yang sudah mempunyai ibnun dan bintun. Bahasa biologi-nya pohon kelapanya sudah berbuah. Kalo menurut orang Belanda, “ ada The Gun?” Artinya, ada kelapa mudanya ? Nah, kalo kata orang Sunda ada dawegan-nya? Maksudnya sama, ada kelapa mudanya yang pas buat isi perut.
***
Dengan sangat profesional, misi memetik buah kelapa (memetik, bukan mencuri) sejauh ini berhasil. Sekitar tiga meter dari masjid kami sudah melakukan perjalanan. Tiga menit kemudian kami sampai di bawah pohon kelapa yang sangat tinggi bagi semut, sedangkan bagi gue lumayan tinggi. Setelah mata Muslim berkeliling melihat, kondisinya aman. Maaf, (Agar ceritanya agak singkat, anggap saja Muslim sudah di atas pohon kelapa). Dengan menuruti telunjuk gue, Muslim mejatuhkan beberapa buah kelapa yang bersuara, “BUUUKKK”.
Itu kalo kelapanya jatuh ke tanah. Tapi, kalo jatuh menimpa kepala orang, suaranya pasti, “ADUH!”.
Melihat malam yang hening, gue yakin nggak ada orang yang tahu, apalagi ustaz, pasti dia nggak tahu. Rumahnya saja jauh dari lokasi kami, sekitar 2 meteran. Setelah Muslim turun, gue mengeluarkan golok. Kelapa itu gue cabik-cabik. Belum sempat gue minum airnya, Muslim sudah nyerobot duluan. Gue nggak marah melihatnya bersemangat mengambil jatah gue. Sebab gue orangnya baik. Cieueuh… baik. Ok. Bukan baik. Terkadang baik.
Saat gue berdiri hendak mengambil kelapa yang tergeletak di atas tanah. Tiba-tiba…wakwaaaw…
“Sedang apa Sam?”, Teh Nenden istrinya ustaz bangun dan melihat gue berdiri kokoh dengan golok di tangan bercucuran air kelapa.
“Oh, Teteh, bikin kaget aja. Anu Teh, Ngeronda, biasa keliling menjaga keamanan pesantren…” Gue menjawab sekenanya. Tubuh gue panas-dingin.
“Oh, ngeronda. Jaga keamanan ya?”
“emmm… ho..oh, Teh”
“Dari Maling kelapa?” Teh Nenden mulai curiga.
“Hehe….iya, dari maling kelapa… “ Gue berkata sambil menunjuk Muslim.
“Itu, temanmu lagi makan apa?”
“Teman?!...makan?” gue kura-kura dalam perahu. Pura-pura gak tahu.
Mendengar ucapan Teh Nenden, gue langsung melirik Muslim. Dan gue lihat ternyata Muslim sedang menggenggam kelapa yang telah dibelah. Mulutnya penuh dengan agar-agar putih kelapa, dan ada beberapa lembar lapis kelapa yang belum ditelannya, terlihat melambai-lambai. Berayun ke mari ke sana terembusi angin malam. Kemudian… srupuuuut… disedot masuk tenggorokannya.
“Masya Allah! Muslim. Loe makan kelapa?!!”
“Muslim teh! Tuh, liat! Lagi makan kelapa dia..” gue nuduh Muslim.
“Mau hukuman apa Teh untuk Muslim?” gue sok perhatian.
“Udah gak usah mitnah orang lain! Sekarang jawab dengan jujur. What are you doing here?” Teh Nenden marah dan kedua alisnya hampir bertemu.
“Anu Teh,…. Cabuuut, Slim”
“Apa?...cabut!” Muslim malah nyabut golok.
“Bukan cabut golok bego… kabur!”
Catatan kaki:
Kalo mau nyuri, jangan malam hari. Gak aman. Itu kesatu. Boleh nyuri asal jangan ketahuan orang. Kalo ketahuan Allah gak apa-apa. Paling-paling masuk neraka. Ngeri ya bicara neraka? Diulang lagi aja. Kalo nyuri ketahuan Allah. Paling-paling gak bakal masuk sorga. Itu juga kalo gak tobat.
Di balik kegelapan malam dan perut keroncongan. Gue dan Muslim berdiri kokoh di depan masjid melihat keadaan sekeliling. Gue dan Muslim kebagian jatah ngeronda oleh seksi keamanan. Saat itu sekitar pukul 10 lewat 3 jam. Jam satu maksudnya. Kami nggak melakukan apa-apa, sumpah, hanya berdiri. Tambah sebel boleh dong mengekspresikan kondisi kami saat itu dengan bergaya.
Misalnya, Muslim berdiri dengan tangan menyentuh perutnya, mengelus-ngelus dan memijatnya. Seperti isyarat agar perutnya berhenti ngemiscall (anggap aja: suara perut minta diisi). Kalau gue lain lagi. Gue, berdiri kokoh dengan jari tangan membentuk isyarat menunjuk, tidak jauh yang gue tunjuk. Kepala gue sendiri. Artinya gue sedang berpikir. Contoh ekspresi tadi bukan misal, tapi kenyataan. Jujur aja, gue dan Muslim kelaparan. Muslim gak tahan lapar mijit-mijit perutnya dan gue berpikir mencari makanan.
Kata ustaz, malam itu adalah waktu yang baik untuk berpikir. Hmmm, pernyataan itu benar. Karena saat gue kelaparan ditambah kehausan. Eh, nemuin solusi. Yups, kelapa. Aha!, di belakang rumah pak ustaz, ada pohon kelapa yang sudah mempunyai ibnun dan bintun. Bahasa biologi-nya pohon kelapanya sudah berbuah. Kalo menurut orang Belanda, “ ada The Gun?” Artinya, ada kelapa mudanya ? Nah, kalo kata orang Sunda ada dawegan-nya? Maksudnya sama, ada kelapa mudanya yang pas buat isi perut.
***
Dengan sangat profesional, misi memetik buah kelapa (memetik, bukan mencuri) sejauh ini berhasil. Sekitar tiga meter dari masjid kami sudah melakukan perjalanan. Tiga menit kemudian kami sampai di bawah pohon kelapa yang sangat tinggi bagi semut, sedangkan bagi gue lumayan tinggi. Setelah mata Muslim berkeliling melihat, kondisinya aman. Maaf, (Agar ceritanya agak singkat, anggap saja Muslim sudah di atas pohon kelapa). Dengan menuruti telunjuk gue, Muslim mejatuhkan beberapa buah kelapa yang bersuara, “BUUUKKK”.
Itu kalo kelapanya jatuh ke tanah. Tapi, kalo jatuh menimpa kepala orang, suaranya pasti, “ADUH!”.
Melihat malam yang hening, gue yakin nggak ada orang yang tahu, apalagi ustaz, pasti dia nggak tahu. Rumahnya saja jauh dari lokasi kami, sekitar 2 meteran. Setelah Muslim turun, gue mengeluarkan golok. Kelapa itu gue cabik-cabik. Belum sempat gue minum airnya, Muslim sudah nyerobot duluan. Gue nggak marah melihatnya bersemangat mengambil jatah gue. Sebab gue orangnya baik. Cieueuh… baik. Ok. Bukan baik. Terkadang baik.
Saat gue berdiri hendak mengambil kelapa yang tergeletak di atas tanah. Tiba-tiba…wakwaaaw…
“Sedang apa Sam?”, Teh Nenden istrinya ustaz bangun dan melihat gue berdiri kokoh dengan golok di tangan bercucuran air kelapa.
“Oh, Teteh, bikin kaget aja. Anu Teh, Ngeronda, biasa keliling menjaga keamanan pesantren…” Gue menjawab sekenanya. Tubuh gue panas-dingin.
“Oh, ngeronda. Jaga keamanan ya?”
“emmm… ho..oh, Teh”
“Dari Maling kelapa?” Teh Nenden mulai curiga.
“Hehe….iya, dari maling kelapa… “ Gue berkata sambil menunjuk Muslim.
“Itu, temanmu lagi makan apa?”
“Teman?!...makan?” gue kura-kura dalam perahu. Pura-pura gak tahu.
Mendengar ucapan Teh Nenden, gue langsung melirik Muslim. Dan gue lihat ternyata Muslim sedang menggenggam kelapa yang telah dibelah. Mulutnya penuh dengan agar-agar putih kelapa, dan ada beberapa lembar lapis kelapa yang belum ditelannya, terlihat melambai-lambai. Berayun ke mari ke sana terembusi angin malam. Kemudian… srupuuuut… disedot masuk tenggorokannya.
“Masya Allah! Muslim. Loe makan kelapa?!!”
“Muslim teh! Tuh, liat! Lagi makan kelapa dia..” gue nuduh Muslim.
“Mau hukuman apa Teh untuk Muslim?” gue sok perhatian.
“Udah gak usah mitnah orang lain! Sekarang jawab dengan jujur. What are you doing here?” Teh Nenden marah dan kedua alisnya hampir bertemu.
“Anu Teh,…. Cabuuut, Slim”
“Apa?...cabut!” Muslim malah nyabut golok.
“Bukan cabut golok bego… kabur!”
Catatan kaki:
Kalo mau nyuri, jangan malam hari. Gak aman. Itu kesatu. Boleh nyuri asal jangan ketahuan orang. Kalo ketahuan Allah gak apa-apa. Paling-paling masuk neraka. Ngeri ya bicara neraka? Diulang lagi aja. Kalo nyuri ketahuan Allah. Paling-paling gak bakal masuk sorga. Itu juga kalo gak tobat.
Langganan:
Postingan (Atom)