"Terimakasih Atas Kunjungannya, Semoga Anda Banyak Rezeki, Banyak Anak, Dan Masuk Surga. SALAM CINTA"

Guru dan Tantangannya di Era Globalisasi

Oleh DASAM SYAMSUDIN

MASALAH guru merupakan topik yang tidak pernah habis dibahas sekurang-kurangnya selama dasawarsa terakhir. Pembahasan tentang guru tersebar diberbagai media massa, diperdebatkan di dalam diskusi-diskusi akademik, diangkat permasalahannya di dalam seminar-seminar. Membahas tentang guru selalu aktual, karena permasalahan guru sendiri dan dunia pendidikan yang menyangkutnya selalu diperbincangkan.

Misalnya, sekelumit deskripsi ketidak sukaan masyarakat pada guru bisa kita saksikan tiap akhir tahun ajaran. Tidak sedikit orang tua murid yang merasa kecewa pada guru karena anaknya tidak lulus. Mereka menuding guru tidak bisa mengajar dan mendidik. Dari masyarakat pendidikan sendiri, tidak sedikit siswa yang marah dan kecewa terhadap guru karena ia tidak berhasil lulus pada test ujian Nasional. Pemandangan seperti ini, tiap tahun kelulusan sekolah-sekolah selalu kita saksikan baik secara langsung atau melalui media massa.

Muhibbin syah, M.Ed. dalam bukunya Psikologi Pendidikan, bahkan mengatakan bahwa, "profesi guru yang dianggap "kering", dalam arti kerja keras para guru membangun sumber daya manusia (SDM) hanya sekedar untuk mempertahankan kepulan asap dapur mereka saja. Bahkan, harkat dan derajat mereka di mata masyarakat merosot, seolah-olah menjadi warga second class (kelas kedua). Kemorosotan ini terkesan hanya karena mereka berpenghasilan jauh dibawah rata-rata kalangan profesi lainnya.

Tantangan eksternal guru

Hal diatas adalah secuil dari permasalahan guru, khusunya masalah internal guru. Selain dihadapkan pada persoalan internal, guru juga mempunyai tantangan eksternal yang harus dihadapinya. Menurut Indra Djati Sidi, Ph.d. dalam bukunya menuju Masyarakat Belajar guru mempunyai dua persoalan eksternal, yaitu pertama, krisis etika dan moral anak bangsa, dan yang kedua, tantangan masyarakat global.

Persoalan etika dan moral anak bangsa, sesungguhnya bukan hanya permasalah guru. Namun, jika yang dibidiknya adalah moral pelajar, maka tidak ada alasan guru tidak dilibatkan. Guru sebagai pengajar dan pendidik, memang tidak hanya harus "membina" para murid dari segi kognitif dan psikomotoriknya demi peningkatan nilai angka. Akan tetapi, seorang guru sangat dituntut agar apa yang ia ajarkan dipraktekan oleh para muridnya dalam kehidupan.

Disamping itu, yang terpenting seorang guru harus bisa mengubah pola pikir dan perilaku para siswa agar lebih baik dan mampu menciptakan pelajar yang etis-moralis. Guru adalah orang yang bertanggung jawab atas peningkatan moral pelajar juga kemorosotannya. Dengan demikian, tugas guru tidak terbatas pada pengajaran mata pelajaran, tapi yang paling urgen adalah pencetakan karakter murid. Tantangan persoalan ini memang sangat sulit bagi para guru, keterbatasan kontroling guru pada murid kerap membuatnya kecolongan. Sehingga tidak sedikit murid didikannya yang trebawa arus perilaku amoral diluar pengetahuannya.

Persoalan pertama ini, memang selalu menjadi persoalan utama yang harus diperbaiki dan diperbaikai oleh para guru. Tantangan etika moral siswa adalah tantangan guru dari masa kemasa, mungkin karena pendidikan dipandang sebagai proses memanusiakan manusia. Maka, untuk mensukseskan proses itu guru harus lebih sibuk dan teliti dalam mengajar, mengontrol dan menjaga etika moral siswa kearah perbaikan.

Disamping masalah besar pertama tadi, guru juga harus menghadapi permasalahan lainnya yaitu tantangan masyarakat global. Di era globalisasi, guru sangat dituntut meningkatkan profesionalitasnya sebagai pengajar dan pendidik. Disamping profesionalitas, guru juga harus menghadapi beberapa kata kunci dunia pendidikan yaitu, kompetisi, transparansi, efisiensi, dan kualitas tinggi. Dari segi sosial, masayarakat global akan menjadi sangat peka dan peduli terhadap masalah-masalah demokrasi, hak asasi manusia, dan isu lingkungan hidup.

Kendala tersebut harus dihadapi guru dengan sangat arif. Maka tidak heran jika pemerintah mengadakan sertifikasi guru, agar profesionalitas guru terwujud. Perhatian pemerintah memberi solusi terhadap persoalan dunia pendidikan khsusunya guru, di implementasikannya dengan sertifikasai guru dan meningkatkan kesejahteraanya dengan peningkatan tunjangan pendidikan. Dengan demikian, kulaitias mutu pendidikan harus sangat diperhatikan bagi para guru untuk menyelamatkan profesinya.

Menanggapi persoalan tersebut, dalam peningkatan kualiatas pengajaran, guru harus bisa mengembangkan tiga intelejensi dasar siswa. Yaitu, intelektual, emosional dan moral. Tiga unsur itu harus ditanamkan pada diri murid sekuat-kuatnya agar terpatri didalam dirinya. Hal lain yang harus diperhatikan guru adalah dimensi spiritual siswa.

Intelektual murid harus luas, agar ia bisa menghadapi era globalisasi dan tidak ketinggalan zaman apalagi sampai terbawa arus. Selain itu, dimensi emosional dan spiritual pelajar harus terdidik dengan baik, agar bisa melahirkan perilaku yang baik dan murid bisa bertahan di antara tarik-ulur pengaruh demoralisasi diera globalisasi dengan prinsip spiritualnya.

Disamping itu, untuk mempertahankan profesinya, guru juga harus memiliki kualifikasi pendidikan profesi yang memadai, memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan bidang yang ditekuninya, mampu berkomunikasi baik dengan anak didiknya, mempunyai jiwa kreatif dan produktif, dan mempunyai etos kerja dan komitmen tinggi terhadap profesinya. Dengan demikian, tantangan guru di era glbalisasi tidak akan menggusurnya pada posisi yang tidak baik, sebagaimana diatas.

Pesan Seorang Mujahid

Cerpen DASAM SYAMSUDIN

Langit telah menyembunyikan dirinya, malam telah menyelimuti sisa cahaya surya yang hamper pudar. Aku, ibu dan ayah duduk diruang tamu. Menonton siaran televisi. Sedangkan aku, berusaha menjawab pertanyaan ayah, tentang kondisi dan hasil yang aku dapatkan selama kuliah. Setelah ujian akhir semester, aku memang tidak tinggal di Cairo. Memutuskan menghabiskan masa libur dengan Orangtua.

Malam itu, disela-sela keharmonisan kami. Seorang utusan mujahid Hamas, memberikan surat pada ayahku. Aku tidak mengenal orang itu, tapi aku ingat betul apa yang diucapkannya,

“tentara zionis telah memasuki Gaza. Mereka telah membunuh banyak penduduk, menganiaya dan menawan anak-anak kecil”.

Aku mengerti maksud ucapan itu, dan tahu isi suratnya. Karena itulah aku memaksa ayahku agar mengizinkanku pergii berperang. Kami berdialog cukup lama, ibu meninggalkan kami masuk kamar. Sedangkan aku terus maksa ayah.

“Ayah, biarkan aku saja yang pergi”

“Gak Usah, selesaikan saja kuliahmu!” Kata-kata terakhir ayahku, menutup percakapan kami, sebelum ia masuk kamar menemui bunda.

Namun, ayahku tidak menghiraukan ucapanku. Dia bahkan menyuruhku kembali ke Kairo, untuk menyelesaikan kuliah. Sungguh aku tidak mengerti apa yang ia katakana. Kebingungan it uterus aku pikirkan sampai aku tertidur.

“Ahmad, bangun! Ayahmu akan pergi” ibuku membangunkan.

“Mana ayah?” Aku penasaran, apakah dia benar-benar akan pergi.

“Sudah masuk mobil jemputan mujahid” ibuku menjelaskan

Mendengar itu, aku bangun dan berlari menemui ayahku yang sudah masuk mobil. Baru saja aku membuka pintu rumah. Ayah menatapku dan melambaikan tangannya dihiasi dengan senyuman. Senyuman yang penuh getir, karena meninggalkan keluarga. Tidak ada kehawatiran pergi ke medan perang bagi dirinya. “Tapi, kalianlah yang aku kawatirkan”, ucapannya, dalam percakapan kami malam tadi.

Tak ada pesan yang dia ucapkan, bahkan salam dan sentuhan tangannya pun tidak aku rasakan. Tetesan air mata, membasahi lantai yang aku pijak. Sedang ibu, menangis semabari menutup wajahnya diatas sopa. Aku dan ibu tahu betul apa yang akan terjadi di medan perang. Banyak mujahid dari kampungku yang tidak kembali. Meninggalkan anak yatim yang harus diurus oleh seorang janda.

“Bu, jangan menangis terus. Ayah pasti kembali” aku menyapa ibu, menenangkannya dari kesedihan.

“bukan ayahmu yang aku kawatirkan. Tapi kuliahmu. Ayahmu ingin kau jadi ulama pintar, agar bisa membimbing orang-orang” Ibuku menasehatiku.

Aku tidak mengerti. Kenapa ibu lebih menghawatirkan aku. Padahal ia jelas mengetahui kejamnya dan penderitaan perang.

Setelah aku selesai shalat subuh, yang belum sempat aku kerjakan karena mengejar ayah. Aku menemui ibu yang belum berhenti meneteskan air mata, “bu, kenapa ibu dan ayah menghatirkan kuliah?”

“Dulu, ibu dan ayah pernah mengalami betapa kejamnya perang. Bahkan, saudara kandung ayahmu meninggal di depan matanya. Kami sangat menderita, mayat dimana-mana, anak-anak banyak yang jadi yatim, ibunya menjadi janda, dan ulama banyak yang meninggal. Mengalami semua itu, ayahmu berjanji akan menyekolahkanmu sampai jadi ulama. Ia tidak menginginkan apa yang ibu dan ayahmy alami terjadi padamu”

Menjeleaskan itu, ibu mengusap kedua airmatanya. Dan mengelus kepalaku. Seakan-akan ia menyimpan sebuah harapan.

Sekarang aku mengerti apa yang dikawatirkan mereka. Ia tidak hanya menghawatirkanku. Tapi, umat, masyarakat kampung ini dan kampung lainnya yang telah kehilangan banyak ulama. Aku mengerti pesan mujahid—ayahku, berjihad bukan hanya berperang. Melainkan mencari ilmu yang bermanfaatpun adalah jihad. Terlalu banyak umat masa kini yang membutukan ulama yang solih. Itulah pesan sang mujahid.

Gak Ada Cewek Yang Lebih Baik Dari Emak

“Mak, usia Sem sudah twentyone, mau mengarungi dunia kasih dulu” itu aku bicara pada emak“Jig, sing kenging nu beunghar!” emak matrealistis juga

“Yes, mak. Sem pergi dulu”

“Jig, sing Samalet, eh salamet” emak

“Mak, Tong ceurik, Salam ka bapak, Assalamu’alaikum’”

Sebagai anak lelaki pertama emak. Aku selalu berusaha mengimplementasi harapannya mendapatkan wanita beunghar. Garut sudah habis kusebrangi , kudaki, dan kukelilingi. Tak ada wanita yang cocok untukku. Dari 50,35 cewek yang aku tembak—ajak jadi pacar—yang kena hanya berkisar 2,5%. Ironis. Bukanya wanita itu gak mau padaku. Tapi, semua orang gak mau wanita itu jadi pacarku. Jangankan kamu aku juga gak ngerti?Sebeleum tahun masehi, Garut, tepatnya daerah Cibiuk hampir disinyalir akan tenggelam oleh air mata para gadisnya. Kehilangan keperawanankah? Hampir, namun jawabannya kurang tepat. Karena gak ada bukti nuduh aku gitu-gitu-an. Kesedihan ditinggalkan kekasih, kira-kira itu jawabanya. Yah, dengan terpaksa aku harus meninggalkan semua gadisku, dari balita sampai manula (manusia lanjuta usia—aki-aki dan nini-nini). Dalam pencarian wanita beunghar, aku tidak pandang bulu. Dari yang berbulu sampai tidak, dari yang kriting sampai yang dirimboding. Dan dari yang pirang sampai yang hitam berkilau—penteen.

Ketidak pandang buluku tiada lain demi mewujudkan kesetaraan sosial. Kan, kalau hanya gadis belasan kurang adil. Bagaimana nasib mereka yang janda, yatim piatu. Kendati jadi yatimnya sudah usia 70-an. Disinilah mesti ditegakkan kepedulian sosial.

Awal memasuki tahun masehi—sebelum fir’aun lelengohan—aku memasuki kawasan Bandung. Disana, aku mulai berpetualang mencari cinta. Cinta dari kaum hawa yang cantik, baik hati juga tidak sombong. Satu lagi, suka minum susu. Mengarungi sungai kasih di Bandung. Hanya, sekitar 6,7 tahun. Massa yang terlalu lama. Nasib ku, di Bandung tak seindah di Garut. Di Bandung banyak wanita beunghar, cantik berpendidikan. Tapi sayang, mereka banyak yang brengsek. Coba bayangin, baru aja aku pacaran satu hari. Ehh, si dia mau dicium? jahat gak cewek itu? Main kasih pipi aja ama anak orang. Ya Tuhan ampuni mereka.

Berhubung aku lelaki kuat iman. Ribuan pipi, bibir, mata, telinga semua aku hiraukan. Aku gak ingin merampas harta wanita. Hanya satu harapanku. Para gadis itu mau memberi anu…nya. Hatinya agar mencintaiku lebih baik dari emak. Bukan sekedar ngasih tubuh yang gak penting. Tapi, kasing sayang.

Sekitar 70 wanita ku kantongi di kota kembang ini. Namun, gak ada wanita yang lebih baik dari emak. Aku menyesal pada diriku. Tidak bisa memenuhi harapan emak mendapatkan wanita beunghar. Semenjak itu kuputuskan pulang kampung. Menemui emak dan menyampaikan kabar buruk ini.

Setelah aku sampai dirumah. Sepertianya emakku berubah menjadi muda lagi. Bahkan, lebih muda dariku.

“mak, ni Sem. Anakmu. Wah emak cantik juga sekarang?” aneh emak kok diam aja, apa dia…..

“EMAKKKKK!!!!.....” aku teriak

“SEMMMM… PLAK..PLAK”emak menjerit dan mukul aku dengan sapu lidi segede pohon kelapa jaman purba.

“Gandeng, emak ge teu budge, ni gogorowokan” ema marah nie

“Emak ie saha?” aku

“Aisya, mahasiswa Jerman” emak

“Naha tidak pakai cadar? Kaya, ninja gitu” aku lagi

“teuing ah… ngelekeb meurreun.”

Setelah itu, diperkenalkan aku dengan Aisya tak bercadar. Satu hari kamu ta’aruf. Dalam sehari aku kenal siapa dia, seluruhnya aku tahu, isi dan luarnya aku tahu. Besoknya kami dikawinkan. Kendati sedikit memaksa Aisya, karena ia masih 20-an. Katanya dijerman kurang pas, nikah usia segitu. Satu bulan kemudian, aku menikah lagi dengan Maria Muslimah anak sungai NIL dari Mesir.

Setelah aku dipenjara. Karena dituduh mencabuli kambing perawan. Aku dipaksa nikah dengan kambing katanya sebagai pertanggung jawaban. Aisya setuju, Maria juga setuju. Tapi, emak enggak. Bahkan kambing yang terfitnah itu. Di beli emak. Kemudian disembelih dan dimakan, sisanya kira-kira 20 kg-an dibagikan keorang-orang miskin.

Emak menyelamatkan hidupku. Sedangkan kedua istriku hampir menjerumuskan. Memang di dunia ini gak ada wanita yang lebih baik dari emak.

Antara Wanita dan Pena

Oleh DASAM SYAMSUDIN

Menurut pak anu… saya lupa namanya. Tapi, kalau gak salah bukunya yang berjudul “Sayap-sayap Patah Pemikiran Kahlil Gibran” Itu kalau gak salah. Kalau mau informasi yang akurat tanya aja ke kang Amien Rais Iskandar, dia punya bukunya.

Intinya gini. Menurut pak anu tadi dalam bukunya, ada ucapan Kahlil Gibran yang berbunyi, “Sesungguhnya nafsu seksual ku tinggi. Namun, aku mencurahkan hasyrat ku itu kedalam tulisan”. Kira-kira kalian percaya gak ucapannya? Jadi, mungkin maksud ucapan Gibran, kalau ia mau mencurahkan kebutuhan bilogisnya (seks) dicurahkannya dengan menulis. So berhubungan or bersenggema dengan pena….”maaf, kira-kira maksudnya begitu kali”. Aku gak tahu yang sebenarnya. Yang aku tahu syah aja menginterpretasi pemikiran orang lain. Dengan syarat dia gak tahu (pikiran yang ditafsirkannya)

Sekelumit kisah ramijud di atas. Bisa ditarik benang merah dan hijaunya. Pertama, Gibran adalah seorang sastrawan hebat. Bayangkan, tulisannya aja bikin kita mabuk kepayang melayang di awang-awang di pengaruhi pemikiran Gibran yang membayang. Kedua, Gibran mempunyai pilihan antara wanita atau pena. Bagi si dia, si Gibran itu. Wanita dan pena gak ada bedanya. Keduanya nampak seksi di depan matannya, dengan gemulai lekuk tubuh wanita dan gemulai goyangan pena yang ditangannya. Keduanya sama-sama menimbulkan hasyrat ingin berkarya. Wanita menghasilkan anak sebagai karya produksi kreativitas si anu….ah jujur aja! Karya penis. Sedangkan pena, menghasilkan hasyrat karya tulisan tangan hasil buah pikiran yang beranak menjadi karya sastra, syair DSB—Dasam Syamsudin Baik dech—sekarang tahu yach yang nulis ini, aku “Dasam Syamsudin”.

Ada apa dengan GIbran? Kenapa dia memilih pena ketimbang wanita? Apakah pena lebih memuaskan? Atau bahkan, pena lebih seksi dari wanita? Atau dia mandul? Atau dia…… (kalian mengerti apa yang aku maksud)?

Semua pertanyaan itu, berputar di dalam sanubariku. Mengobok-obok pemikiranku. Parahnya, telah mempengaruhiku. Jangan sangka aku seperti Gibran yang memandang pena lebih seksi dari tubuh wanita. Bukan! Bukan itu yang ku maksud. Tapi aku terpengaruh oleh pemikirannya. Dan musibah itu menjadi parah saat kang Sukron dan Kang Amien mendokrin lebih tajam. Sungguh ini kejam. Aku tak bisa bernafas lega tanpa menghasilkan sebuah tulisan yang walaupun “acak kadut”. Tapi berusaha adalah bekerja. Bekerja adalah proses. Proses adalah belajar. Dan belajar adalah ibadah. Setuju?! Enggak? Pergi! Jangan baca tulisanku! Kalau kau anggap usaha untuk bisa bukan ibadah. Pergi! Hussss….!

Kalian percaya? Percaya apa? Itu pasti pertanyaan kalian. Gini, dulu aku anggap pemikiran Gibran tentang pena lebih odep dari wanita. Itu sebuah ide gila. Memang si Gibran itu cinta sama Marry… eh Marissa… eh Marsanda apa ya.. Gak tahu ah, lupa. Pokoknya ia cinta sama wanita itu. Namun kecintaanya terhadap dunia sastra—menulis—telah menghabiskan hasyrat seksualnya terhadap wanita. Jadi, ketika ia mau gitu-gituan, yang keluar dari celananya pena. Saya kira apa yang keluar dari dalam celanannya. Pena sudara?! Gibran-Gibran.. ada-ada aja.

Nah, apa yang telah Gibran alamai. Sedikit banyak aku alami juga. Dulu, entah kapan? Aku sangat mencintai seorang wanita. Tahu apa pemicunya? Ya, karena aku normalkan? Normalkan kalau aku mau wanita. Aku kan wanita. Jadi aku mau lelaki—Maksudnya sebaliknya. Tapi saudara-saudara sebangsa dan setanah air. Setelah aku mengarungi dunia tulis menulis. Ya itu, akibat diracuni sama kedua orang yang tadi ku sebutin. Kang Sukron, dan Kang Amien. Mereka gak tahu aku selalu gelisah karena ingin menulis. Mereka gak tahu penulis telah menjadi harapanku. Mereka gak tahu nama emak dan bapakku. Mereka gak tahu aku punya pacar berapa. Yang aku tahu mereka tahu tulisanku acak-kadut. Bagus, Cuma tahu tulisan yang jelek. Kalau yang bagus. Pasti di tiru hak cipta—tulisan yang bagus masih dalam proses pracipta—gak ngerti ya? Sama!.....

Itulah sebuah kisah nyata dari Negeri sastra. Kalian tahu kenapa banyak karya patung telanjang mempraktekkan berbagai variasi cara hubungan seks? Dimana patung itu kebanyakan? Baratkan? Tahu alasannya? Tahu? Baik kita sharing aja. Konon para pembuat karya patung-patung tersebut, adalah orang-orang yang mencurahkan nafsu seksnya dengan membuat karya. Karya tersebut, patung telanjang itu. Jadi, bagi sebuah sastrawan yang telah mendarah daging, bahkan menulang mendaging. Sastra adalah sebuah kehidupan yang lebih indah dari kemolekan tubuh sang wanita pemuas……. Mereka para sastra yang aku ceritain tadi. Mendapat kepuasan tersendiri ketika mempunyai karya sastra. Sehingga, karena jarang atau bahkan tidak pernah bersenggema. Ya, akibatnya, tulisan, patung, arca dan lain sebagainya mereka gambarkan tentang apa yang ia inginkan dari wanita. Aneh ya? Atau memang tulisanku fiktif? Gak percaya cari sendiri! Hmmmmmmmmm….

Kisah sama dialami. Si Qois, pecinta sejati Laila. Siapa yang bisa membuktikan, bahwa mereka pernah berciuman secara fisik? Ayo jawab! (aku berteriak), ayo! Siapa yang bisa buktikan? Saya bisa. Siapa kamu? Dasam Syamsudin. Silahkan! Qois, mencurahkan nafsu seksnya sama gilanya dengan Gibran. Cuma beda caranya dikit-tipis. Gibran kan dikenal tulisannya. Nah, kalau Qois ini dikenal dengan syair-syairnya. Senandung kata yang tersusun dari lidah si Majnun itu gambaran dari kerinduan pada si Laila. Dengan syairnya ia ungkapkan rindu, cinta, ingin bertemu, ingin pegangan tangan, ingin mencium dan ingin…. (Kalian tahu maksudku). Sebenarnya, yang benar sampai mencium. Maaf aku terlalu ekstrem. Wajarlah, calon penulis. He!—maksudnya ketawa degan cepat—jadi he!

Dari semua itu. Pasti kalian berpikir. Kok ada lelaki yang memilih pena—istilah dunia pengetahuan (persepsiku)—ketimbang wanita? Semua orang juga bilang gitu, coy. Ada batas-batas usia, yang memang kita harus memilih pena dari pada wanita. Coba tuh adik kamu yang usianya 5,5 tahun kasih wanita. Pasti dia mau? Mau memilih belajar dalam kurung sekolah. Gak salah kan, memang seharusnya. Seorang remaja mengutamakan pena ketimbang wanita. Ya, anggap aja pena seksi sama seperti wanita. Apa susahnya. Kan di Indonesia, suatu penyimpangan norma. Jika remaja yang pada usia wajib belajar. Eh, malah menggoyangkan bokong wanita bukannya pena. gila itu.

Ada juga saat wanita harus kita pilih. Tanya aja ke kakek kalian. Pasti dia lebih tahu. Maaf. Bukannya gak adil. Aku paling males bahas wanita. Kalian cari sendiri aja ya tentang wanita dari berbagai literasi. Bukanya aku gak tahu. Aku mau pena dulu. Tapi, kalaupun kalian pilih pena, kalau saatnya harus punya wanita. Carilah wanita yang baik. Yang bisa menambah dan mendukung kita membuat karya. Gak usah harus dengan pena. Karya apa aja. Cuma, yang pasti dengan pena semua ilmu dan sastra telah kita konsumsi. Kalau gak ada pena, mungkin semua ilmu gak akan bertahan lama. Maka pantas Allah bersumpah, Demi pena. Dan apa yang dituliskan”…. Wallahu ‘Alam.

Daerah Sunda dan pendidikan Bahasa Sunda


Oleh DASAM SYAMSUDIN

BANDUNG sebagai Ibu Kota Jawa Barat mempunyai bahasa daerah yang bagus, yaitu bahasa Sunda. Ciri khas bahasa urang Sunda ini mempunyai undak-usuk—tingkatan penggunaan bahasa dengan keberagamannya—sebagai cerminan dari tatkrama berbahasa yang berindikasi pada tatakesopanan perilaku.

Disamping bahasa sunda cerminan orang sunda, bahasa ini pun tidak bisa dinafikan sebagai identitas urang sunda. Keberagaman bahasa adalah identitas bagi kelompok manusia yang mendiami daerah tertentu. Maka, bahasa sebagai identitas masyarakat sunda harus dijaga dan dilestarikan. Pasalnya, bahasa ini masih sangat kental bagi masyarakat pedesaan. Namun, bagi masyarakat perkotaan yang sudah banyak terpengaruh dengan pluralitas bahasa dan budaya, penggunaan bahasa sunda sebagai alat komunikasi mulai memudar. Bahkan. Tidak sedikit masyarakat sunda khususnya yang tinggal diperkotaan tidak bisa menggunakan bahasa sunda.

Misalnya, di daerah Bandung sendiri penggunaan masyarakat kota terhadap bahasa sunda mulai memudar. Hal ini bisa kita saksikan pada tempat-tempat hiburan, mal, pasar dan apa saja di pusat keramaian kota. Identitas kesundaan tidak terkesan begitu baik tatkala menyaksikan interaksi urang sunda menggunakan bahasa indonesia, misalnya. Sehingga, cerminan bahasa yang melahirkan sifat dan sikap orang sunda tidak begitu terkesan baik.

Jika hal ini di biarkan, bisa menggerogoti bahasa daerah orang sunda berpindah kebahasa nasional. Bahasa nasional memang sangat baik karena itu bahasa persatuan. Namun, jika urang sunda menggunakan bahasa tersebut di daerah sundanya sendiri hal ini tidak baik. Sejatinya, bahasa sunda sebagai identitas media komunikasi sunda cerminan sikap dan perilaku itu. Suatu saat akan berubah dan akan mempengaruhi ciri khas dari etnik sekolompok masyarakat yang tinggal daerah sunda.

Kelunturan lisan sunda akan mempengaruhi kelestarian sastra dan budaya sunda. Misalnya, kesenian Jaipong, beluk di Sumedang, wayang golek dan budaya-budaya sunda lainnya, kalah dengan musik yang kurang mempunyai nilai kearifan lokal. Sisindiran sebagai sastra urang sunda sudah jarang terdengar di daerah sunda. Hal ini disebabkan karena pengguna bahasa sunda sudah banyak yang kurang memaknai akan kearifannya karena lisan sunda kurang difahami.

Pendidikan bahasa sunda

Untuk mencegah hal itu agar tidak terjadi, maka bahasa sunda harus dilestarikan dikalangan masyarakat sunda. Cara ini bisa dilakukan secara efektif melalui jalur pendidikan. Setiap sekolah yang ada di daerah sunda, seyogianya memuat pelajar MULOK (muatan lokal) dengan bahasa sunda, baik negeri mapun swasta. Lebih baik lagi apabila pelajaran bahasa Sunda dijadikan sebagai pelajaran wajib bagi masyarakat sunda sebagaiamana bahasa Indonesia.

Pengukuhan bahasa sunda harus digarap dengan serius oleh lembaga pendidikan. Karena, sekolah atau lembaga pendidikan mempunyai peran khusus di masyarakat yang diakui eksistensinya. Sistem pengajarannya jangan hanya menyentuh sisi kognitif siswa saja, tapi dari segi psikomotor dan apektifnya harus bisa dijamin. Dengan demikian, para murid bisa mempraktikan pelajaran bahasa sunda tersebut kedalam kehidupan sehari-hari.

Pentingnya Pengukuhan pendidikan bahasa sunda karena tidak sedikit sekolmpok masyarakat yang meninggalkan bahasa sunda. Khususnya masyarakat perkotaan. Pendidikan ini harus ditanamkan sejak dini kepada anak-anak agar ia mencintai bahasa daerahnya dan memahami kearifannya.

Sekolah-sekolah yang ada di daerah sunda, sudah seharusnya menyajikan muatan lokal bahasa sunda. Apapun sekolahnya baik itu sekolah umum atau agama, bahkan dari tingkat SD sampai SMA harus memuat pelajaran ini, agar mereka berkomunikasi dengan bahasa sunda yang baik. Bahkan, pelatihan-pelatihan bahasa sunda harus sering diadakan pada lembaga pendidikan baik formal ataupun informal. Dengan demikian, masyarakat sunda akan berkomunikasi dengan keluarga, tetangga atau masyarakat lainya dengan bahasa daerahnya sendiri.

Fungsi bahasa sunda

Penggunaan bahasa sunda disamping sebagai alat komunikasi juga sebagai pelestari sastra, tradisi, budaya dan cerminan perilaku urang sunda. Jika masyarakatnya sudah mencintai bahasa daerahnya sendiri, maka apa-apa yang lahir darinya akan ia cintai dan dilestarikannya. Sastra sunda yang mulai luntur, kearifan budaya sunda yang mulai terlupakan akan terjaga.

Sastra-sastra sunda seperti pantun, sisindiran, tembang sunda, babad karajaan, jangjawokan, wawasanglan, dan sastra-sastra lainnya pasti akan menghiasi lisan dan tulisan masyarakat sunda. Jika pendidikan bahasa sunda secara efektit diterapkan. Semua sastra itu mengandung pesan kearifan disamping sebagai hiburan.

Dari segi budaya, bahasa lisan sunda akan mampu melestarikan kembali atau mempertahankannya kendati dideru pengaruh budaya-budaya lainnya seperti budaya barat. Misalnya, kesenian wayang golek, kuda ronggeng, singa depok, Jaipongan, mufusti perkakas kerajaan kuno sunda, tradisi adu domba di garut—pemicu peningkatan kualitas peternakan domba—dan lain sebagainya.

Di samping semua itu, bahasa sunda sebagaimana telah disinggung diatas adalah cerminan dari tatakesopanan urang sunda. Berawal dari pendidikan bahasa sunda yang penuh undak-usuk jika hal ini mampu diterapkan pada siswa maka kearifan moral masyarakat sunda akan tercipta. Norma berbahasa adalah indikator pertama dari sifat dan sikap seseorang. Oleh karena itu, pendidikan bahasa sunda merupakan kewajiban moral bagi masyarakat sunda baik secara lembaga atau indvidual.

Secara individual, pendidikan bahasa sunda bisa diterapkan pada anak-anak dengan lingkungan keluarga. Mendidik anak adalah kewajiban orang tua, dan bagi masyarakat sunda mendidik anaknya melatih berbahasa sunda adalah kewajiban moral agar melahirkan sikap normatif dalam lingkungannya. Tidak sepatutnya sepuh urang sunda mendidik anaknya dengan bahasa di luar daerahnya yang mengakibatkan seoarng putra sunda tidak bisa berdialog dengan bahasa daerahnya sendiri.

Dengan demikian, peningkatan pendidikan bahasa sunda harus ditanamkan pada generasi keluarga. Disamping orang tua menanmkan bahasa sunda, lembaga pendidikan yang ada didaerah sunda harus benar-benar menyajikan pelajaran bahasa sunda. Agar kelestarian bahasa sunda dan yang lahir darinya seperti sastra budaya dan tatakesopanan bisa terjaga.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...