"Terimakasih Atas Kunjungannya, Semoga Anda Banyak Rezeki, Banyak Anak, Dan Masuk Surga. SALAM CINTA"

Catatan Garing 8: Misteri Hilangnya Santri

Bagian Delapan

“Bangun! bangun! sekarang sudah pukul tiga lewat lima puluh sembilan menit. Sudah saatnya bangun untuk persiapan shalat shubuh”

Itu teriak teman gue membangunkan santri yang sedang tidur lelap. Teman gue yang satu ini memang kurang kerjaan, setiap shubuh berteriak membangunkan orang. Padahal dia tahu bahwa tidur adalah salah satu kenikmatan dunia. Lantas kenapa dia harus selalu membangunkan santri? Uh! Untuk persiapan shalat lagi. Dasar, Seksi keamanan kurang kerjaan.

Yeahh…. gue berkata seperti ini karena gue salah satu santri kreatif. Suka melawan dan selalu kritis moralis. Walau kadang gue sendiri krisis moral. Biasalah manusia. Santri, kan, orang yang bertobat. Makanya gue mengaji.

Kalo kata sejarawan “Sejarah selalu terulang”. Memang itu benar. Karena, seksi Keamanan kembali kehilangan santri beberapa orang dan di antaranya gue. Gue, Saeful dan Cecep biasanya selalu absen di Masjid. Setelah bangun, mereka menghafal masjid.

Keamanan bingung, Pesantren geger karena tiga santrinya gak ada di tempat tidur. Juga di tempat lain yang pantas ditiduri. Sibuklah keamanan mencari kami.

“Tidur di mana lagi mereka?”

Kata seorang keamanan yang tadi gue sebutin sebagai teman. Mereka, para keamanan terus mencari. Kali ini, entah keberapa kali gue hilang, menurut mereka. Padahal gue dan sohib nggak hilang, hanya hijrah tidur. Kami hijrah karena nggak mau diganggu. Kami pindah tidur dari dalam kamar keluar kamar. Dari bawah ke atas. Maksudnya ke atas…. Eits! Gak akan di beritahu di mana gue tidur. Kan rahasia?

Keamanan mengerahkan seluruh personilnya mencari gue dan temen gue. Tapi belum ditemukan. Memang sulit menemukan santri kretaif seperti gue dan sohib gue… gue gitu loch!

Kali ini gue sial. Salah satu Keamanan pesantren berteriak manggil-manggil nama gue dengan microphone, hingga gue gak bisa tidur. Selama ini gue selalu selamat dari pencarian santri hilang saat belajar shubuh di masjid. Sebab letak tempat tidurnya strategis sehingga gak bisa dilacak. Setelah Keamanan bosan mencari dan lelah berteriak-teriak di microfon. Baru gue bisa memejamkan mata. Rasanya indah hidup ini gak ada yang ganggu….ahhhh!

Tiba-tiba“PSSSSSSSSHHHHH…. TUUUUUTTT….BROOT..BROOT” Itu suara kentut Saeful, yang sangat nyaring.

“Sssssssttttt….. Gak boleh berisik.Tutup semua sumber suara entar ketahuan”. Itu gue mangajarkan kepada teman tentang etika bersuara.

Walah!... Pasti karena suara kentut Saeful sangat nyaring. Jelas sekali gue dengar di dalam masjid ada keributan. Keributan itu terjadi karena santri mendengar ‘suara misteri’ dari atas masjid. Karena gak ada bukti sumber kentut itu dari pantat siapa. Maka para santri saling tuduh-menuduh, menunjuk siapa aja sekenanya. Banyak yang sakit hati dituduh. Perdebatan sengit pun terjadi. Mereka saling melontarkan tuduhan dengan dalil yang Dzon (berdasarkan sangkaan) hingga banyak santri yang bersedih karena terfitnah.

“Diam! gak usah diributkan,” keamanan mendisiplinkan para santri.

“Kayaknya keamanan yang kentut?” salah seorang santri masih belum puas menuduh orang.

“Siapa yang bilang keamanan kentut?”
***

Karena penasaran dengan suara misteri itu, dan nggak terima dituduh kentut. Keamanan mencari tangga hendak menyelidiki keadaan di atas masjid. Setelah keamanan menaiki tangga dengan hati-hati dan suara pelan. Mungkin ia takut jin atau mungkin takut jatuh. Sesampainya di atas masjid ia menatap genteng yang hampir horizontal. Sehingga kalau ditidur akan enak bak di kasur hotel.

Entah berapa menit dia mencari kami. Tak kunjung ketemu jua. Keamanan putus asa dan kembali turun. Baru menuruni anak tangga setengah. Tiba-tiba Saeful kentut lagi dan suaranya lebih nyaring dari yang pertama. Bahkan, getarannya mengguncangkan genteng. Ada juga santri yang terbangun karena kenyaringan suara kentutnya. Keributan di dalam masjid kembali terjadi ; fitnah, tuduh-menuduh, pertengkaran pun terjadi lagi.

Sedangkan di arah tangga gue denger suara orang yang jatuh dan berteriak “ADUH…” dan disusul suara “BLAK”. Gue yakin itu suara tangga dan yang jatuh adalah Keamanan. Jadi, Keamanan tertima tangga karena kaget mendengar dahsyatnya kentut si Eful.

“Hey… Siapapun loe cepat turun dari Masjid! Kalau nggak gue hukum!”

Keamanan sangat marah dan berteriak geram. Karena kami orang yang penurut maka turun dan minta maaf. Sepertinya keamanan marah besar dan langsung menunjuk kolam ikan pak Kiai. Kami bertiga dihukum berendam di kolam Kiai sampai shubuh usai. Setelah selesai ngaji disuruh membersihkan seluruh kompleks pesantren.

Akhirnya keamanan bisa memecahkan misteri hilangnya santri. Dan kali ini setiap shubuh santri lengkap berkumpul di masjid. Walau berkumpul di dalam masjid, Eful tetap nggak bisa menyekolahkan kentutnya agar tak bersuara. Akibatnya, dia diisolasi dari keramaian. Dibiarkan sendiri di kamar. Menikmati kentut sendiri.

Catatan kaki:
Jangan kentut, kalo nggak perlu. Bagi loe yang kentutnya ngebass BGT. Gunakanlah saat waktu yang tepat. Jangan membuang waktu. Juga, jangan membuat orang lain terzalimi gara-gara “kentut”. Pahamkan?!

Catatan Garing 9: Ngaji Ushul Fiqh

Bagian Semabilan

Setelah ustaz masuk kelas tanpa permisi. Memerintah kami seenak hatinya. Di suruh baca kitab…lah, di suruh nerjemahin kitab…lah, jawab soal…lah, anu…lah, ini..lah, segalanya deh. Dia suruh-suruh kelas kami seenae dewe. Kayak kurang kerjaan gitu.

Padahal, kalo pun kami datang ke kelas, itu bukan berarti mau ngaji. Ya, iseng aja….Boss! Tambah sebel aja. Lebih baik kan kumpul di kelas. Bisa ngobrol ama sohib. Bisa nuduh yang nggak-nggak sama santriwati. Pun begitu santriwati bisa meneliti wajah-wajah kami, santriwan. Sekadar menyeleksi, mungkin ada yang ganteng dan menyegarkan suasana hati mereka. Itu kan lebih asyik dari pada ngaji kitab yang tulisannya botak-botak (kitab gundul)….Nge-BeTe-in banget itu!

Yah, namun apalah daya Boss! Santri, kan, rakyat. Jadi, ya, mau gak mau harus bisa nerima otoritas ustaz. Gak apa-apalah, mungkin aja nanti ada manfaatnya. Iya, gak?! Pasti ada!

Sore ini. Bakda Ashar. Kelas gue jadwalnya ada pelajaran Ushul Fiqh. Ngaji Ushul Fiqh tempatnya di kelas tanpa bangku dan meja. Jadi, santri duduk membentuk lingkaran. Santri bersila menghadap santriwati. Santriwati duduk sepantasnya menghadap ustaz. Sambil mendengar ceramah ustaz, kadang-kadang ada santri yang berbisik-bisik, terkantuk-kantuk, gaduh dikit-dikit. Nah, kalo gue gak lakuin itu semua. Hanya membuang-buang waktu. Gue bersila tegap dengan kepala tertunduk. Nggak melihat kitab.

Tapi, beradu pandang dengan santriwati yang duduknya paling ujung. Irma namanya. Gue memandangnya. Irma mandang Cecep. Gue ngedipin Irma. Irma menjulurkan lidahnya…Wleee. Bukan sekarat. Tapi, ngejek.

“Sam, Iqro kitabaka!”

“Sssssyyyuuuttt… jangan ganggu ah!”

“Sam… silakan baca kitabnya!”

“Yeh, udah dibilangin jangan… Eh! Ustaz…sampai mana staz?” Gue kaget.

“PLAKK!…PLAKK!…” gue di tampar.

“Ampun Taz…. Ampun. Ane mohon. Ustaz kan ganteng…ya..ya.. maaf deh.”

“Hiaaattt….BUKKK!!!”

“……….?” Gue pingsan.

Catatan darurat:
PLAKK= Suara tamparan kopiah cap H. Iming
BUKK= Suara hantaman kamus al-Munawir.
Kamus al-Munawir. Adalah kamus yang sangat tebal. Kira-kira beratnya 2 kg-an. Pahamkan maksud gue?!
***

“Sam…Syamsudin… Bangun!”

“Apa yang terjadi?”

“Tadi ente pingsan. Kena tamparan kopiah cap H. Iming dan hantaman keras kamus al-Munawir” Cecep memberi tahu.

“Mana ustaznya?”

“Di belakang loe, masih megang kamus al-Munawir”

“Sam! Baca!…” ustaz belum selesai ngomong

“Bismillahhirrahmanirrahim…Al-aslu fiil amri, asal perintah itu. Lil…lil…lilll…” gue lupa

“Lilwujub” kata Mesa dengan suara di tahan. Memberitahu.

“PLAKKK!...’diam!” suara pukulan kopiah cap H. Iming. Bukan Mesa yang dipukul. Tapi Eful.

“Maaf staz…” kata Eful.

“Makasih staz…” Eful nambah kata.

“BUKKK!!!...” Eful pingsan dech!

“Sudah disuruh diam. Ngelawan. Lanjut, Sam!” kata ustaz.

“…lil-wujub. Menunjukan suatu kewajiban” Gue ngelanjutin.

“Bagus! Awas! Sekali lagi membangkang. Bukan kamus al-Munir yang akan menghantam ente”

“al-Munawir staz”

“Iya ane tahu! Al-Munawir. Salah dikit gak apa-apa. Tapi, kursi duduk ini yang akan menghantam.”

Mendengar penjelasan ustaz kami diam. Ustaz melanjutkan.

”Paham!!!...”

“Iya pak Ustaz….” Kami semua menjawab.

“Paham apa ustaz?...” Marwah membantah.

“BUKKK!!!” Tendi yang kena Hantam kamus al-Munawir di wajahnya.

“BUKKK!!!” sekarang Tendi pingsan.

Catatan kaki:
Jangan membangkang untuk mendengar kebenaran.
Catatan untuk ustaz: Jangan pilih kasih!

Catatan Garing 10: Kentut Santriawati

Bagian Sepuluh

“Nah, santriawan, santriawati yang budiman. Sebagai santri kita harus tahu sopan santun. Bagaimana sikap kita pada orang dewasa. Yang dewasa juga sama, harus sayang pada yang lebih kecil. Saat orang lain tidur pun kita tidak boleh mengganggunya. Untuk baca Quran pun Nabi melarang. Katanya ganggu.”

Itulah ceramah ustadz yang singkat tapi gak jelas di dalam Masjid, saat ada acara Mubalighin Umum. Ustadz dari tadi terus bicara tentang cara bersikap sopan. Padahal, menurut gue, ustadz sendiri tidak begitu sopan. Pasalnya, gue ngantuk banget. Sedangkan ustadz teruuuuss aja ceramah kesana-kemari gak ada ujungnya. Nah, bagaimana gue bisa tidur coba? Kalo ustadz teruuusss aja ngoceh. Pake microfhon pula? Gak sopan kan sikap seperti itu?! Apalagi dia Ustadz, sedangkan gue santri. Seharusnya dia lebih paham. Kalo ada santri yang ngantuk waktu acara ceramah. Pidatonya harus pelan. Baguslah kalo sampai berbisik-bisik doank. Lah ini! Suaranya meledak-meledak….uggghhh.

“Paham anak-anak?” kata ustadz.

“Paham…” santri menjawab.

“Ayo, siapa yang mau bertanya?”

“saya, pak ustadz!” gue berkata sambil ngacung

“Silahkan!”

“Saya, selama ini selalu patuh ama ustadz. Tapi, hari ini saya kecewa ama ustadz. Kata ustadz kita harus sopan. Tidak boleh ganggu yang tidur. Ustadz tahu tidak? ceramah ustadz itu mengganggu saya. saya gak bisa tidur!”

“Betul! ya, itu betul sekali” dukungan dari santri yang sama-sama ngantuk.

“Ayo teman-teman dukung lagi!” Gue memprovokasi massa.

“Betul..betul..betul!..bet…”

“Diiiiiaaaaammmm!!!! Grrrrrrr…..!”

“Diam semuanya! Syamsudin, kemari kamu!”

Ustadz sepertinya tidak terima di katain tidak sopan. Dia marah sekali, bahkan sampai geram….Grrrrrrhhh….

“Walah…. Bagaimana nasib gue, sepertianya bakal mendapat hukuman berat ni”

“Ayo maju…” Saeful mendorong gue kehadapan Ustadz.

Dengan langkah pelan, dan bergetar-getar. Gue maju sedikit demi sedikit. Sesaat gue melihat muka ustadz tadi…ihhh…serrreemmm banget. Matanya memerah, kedua halisnya bertemu. Kumisnya membentuk hurup “U” terbalik. Lidahnya menjulur-julur keluar..ihhh, serrem deh pokoknya. Tangannya mengepal kuat. Saat ini gue hanya bisa pasrah. Gue yakin akan menjadi tontonan dari semua santriawan dan santriawati. Gue bakal dihukum. Hukuman yang akan jadi aib seumur hidup.

Langkah semakin dekat. Sebelum gue menyerahkan diri. Gue memandang dulu santriawati idaman gue, Irma. Ia pacar orang lain, Tapi gue cinta. Tap! Langkah kaki gue berhenti di hadapan ustadz yang sedang berdiri kokoh dengan matanya yang melotot tajam. Gue pasrah betul-betul. Mata gue pejamkan sepejam-pejamnya. Tidak sanggup memandang wajah ustadz.

“Lihat! santri nakal dan provokator ini. Ini adalah contoh hukuman bagi sang pembangkang” ustadz ceramah lagi.

Mendengar ucapan ustadz, gue bergetar. Semua santri yang satu aliran dengan gue. Banyak yang tidak sanggup menyaksikan pemandangan ini. Mereka semua menangis dan saling berpelukan, tidak tega. Santriawati banyak yang menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangannya. Mereka juga tidak tega melihat gue di hukum. Kecuali Ii Karlina, ia senang gue dieksekusi.

Gue mencoba minta maaf sama pak ustadz seraya mohon sepenuh hati. Tapi itu percuma, ustadz tidak mau memaafkan secara gratis, harus ada hukaman, katanya. Nah, selagi gue memejamkan mata bersiap mendapat sabetan cambuk. Tiba-tiba ustadz diam terpaku, cambuknya jatuh. Semua santri diam membisu. Semua tegang dan penasaran. Mendengar seorang santriawati kentut nyaring.

“Tuuuu….ttt Brooooott!...brooott….!!!!” kentut santriawati. Tembakan terakhir, suara kentutnya agak halus. “Tuuuuu…ttt….. pssssshhhhh…”
***

Udah diledek ama gue, ada yang kentut pula. Maka, menggeramlah kemarahan ustadz. Lalu bersabda.

“Siapa yang kentut? Jawab!”

“……” Semua santri tidak ada yang jawab.

“Sidik yang kentut, tadz…” kata Herman sambil nunjuk Sidik.

“Bukan….bukan saya…loe kali yang kentut” Sidik kembali melontarkan tuduhan.

Akhirnya, dari perseteruan saling tuduh Herman dan Sidik. Semua santriawan pun saling memfitnah. Mereka saling tuduh menuduh, menunjuk siapa saja sekenanya. Keributan pun terjadi. Tidak sedikit santri junior yang menangis dituduh kentut. Melihat kejadian ini. Gue gak tinggal diam. Gue juga ikut nuduh siapa aja. asyyyikkk… banget loh, bisa nuduh siapa aja.

Ketika santriawan sedang ribut saling nuduh. gue bilang ama ustadz,

“Ustadz…tadz.. saya yakin. Arah kentut berasal dari sana!” gue menunjuk.

“Santriawati?!”

“Iya”

“Betul tadz, dari arah santriawati…” santriawan mendukung.

Dengan begitu, santriawan beralih melontarkan berbagai fitnah terhadap santriawati. Aih! dalam waktu singkat. Jerit tangis santriawati menggema ke udara. Gak nerima di tuduh kentut . Gue asyik aja menyaksikannya.

“Udah! Diam! Jangan saling nuduh lagi. Mungkin itu Jin” ustadz menenangkan.

“Masa Jin tadz?! Ah… jangan-jangan, ustadz yang kentut. Ayo ngaku!” Tsabit

“BUKKKK” Kamus al-Munawir dilempar pak Ustaz mengeni wajah Tsabit. Tumbanglah Tsabit.

“Udah. Sekarang lupakan masalah kentut. Kita kembali kehukuman…." Ustadz kaget, mulutnya terbungkan sendiri.
Hah! Mana Syamsudin??!! Ke mana dia ?!! Semuanya… cari Syamsudin!!!....CEPAT!!!”
Gue kabur meyelamatkan diri sambil kentut ketakutan.

Catatan kaki:
Jangan menuduh seseorang kalo gak ada bukti. Boleh fitnah orang lain selama yang difitnahnya bahagia. Kalo gak bahagia, berarti loe membunuhnya.

Catatan Garing 11: Perjuangan Hilman

Bagian Sebelas

Seperti biasanya, malam selalu gelap. Kalo pun gue dan dua temen gue, yakni Rizal 1 dan Rizal 2 sedang asyik ngobrol di bawah lampu neon dan dibawah bulan tidak purnama. Tetap aja, malam tidak seterang siang. Kebetulan sekali di malam yang gelap ini, gue dan dua Rijal kebagian jadwal ngeronda.

“Baru pukul 12….” Rizal 1

“Na’am….bin iya” Rizal 2

“Sssyuuttt… lihat! Siapa itu yang mondar mandir?”

“laa adri…” Rizal 2

“I dont’t khow” Rizal 1

Gue dan dua Rizal diam memaku memperhatikan seorang santri mondar-mandir. Rizal 1 mengerutkan dahinya mencoba mengenali. Rizal 2 matanya melotot, coba mengenalinya juga. Gue, juga melotot, mencoba mengenali. Mengenali wanita yang sedang duduk manis di atas batang pohon di majalah an-Nisa.

“Double Rizal. Lihat!”

Gue mengangkat majalah an-Nisa sedikit. Kedua Rizal pun ikut melotot memperhatikan gambad di majalah gue. Sementara mereka mencoba membolak balik majalah an-Nisa. Gue berjalan satu langkah memperhatikan santri tadi. Ternyata itu Hilman. Sepertinya, mondar-mandirnya Hilam menahan rasa geli di pantatnya. Mungkin ada sesuatu yang mendorong-dorongnya agar liang yang mengkerut di pantatnya terbuka. Dzat yang mendorong itu semacam agar-agar, warnanya agak cokelat kekuningan. “Mau Ghoit (berak) rupanya si Hilman”. Hatiku berkata.

Hilman terus mondar-mandir mencari pintu WC yang bisa dibuka. WC di pesantren ada 6. Tiga tidak berpintu, tapi juga bukan tempat berak. 3 lagi berpintu. Tapi di kunci. Kuncinya ada. Ada di saku gue. Sepertinya Hilman kesal. Pintu WC itu didobraknya, dipukul-pukul dan ditendang-tendang. Namun pintunya tetap ogah terbuka. Akhirnya Hilman lari ke kamar tidur dengan terpincang-pincang. Tangan kanannya memegang bokongnya, seakan menahan beban berat yang tak tertahankan. Agar-agar itu.

“Zal..Zal, ayo kita ikuti Hilman!”

“Bentar Kak Sam…. Tegang” dua Rizal.

“Ah, tegang…tegang.. sini!”

Gue mengambil majalah an-Nisa dengan paksa, lalu melemparkannya ke atas tanah. Gue dan dua Rizal mengikuti Hilman. Gue lihat Hilam mondar-mandir lagi di dalam kamar cari sesuatu. Kamar ia geledah. Namun belum juga ketemu apa yang dicarinya. Tiba-tiba ia menemukan sesuatu, warnanya hitam bentuknya seperti plastic endrol. Lalu, Hilman meletakkan plastik itu di lantai di bawah kakinya. Dengan sangat hati-hati matanya larak-lirik kearah sekitar. Setalah dikiranya aman. Dari belakang kami melihat ia membuka celananya. Dan. Ihhh… Black. Pantatnya hitam, juga di pipi pantatnya banyak bekas luka tutul, semacam goreng bawang gosong.

“Oh… gue tahu. Mau berak si Hilman” Rizal 1

Dari jendela belakang kamar. Kami memperhatikan gerak-gerik Hilman. Dari belakang punggungnya, gue lihat Hilman megang batang ranjang dengan erat dan sekuat tenaga. Sepertinya mencoba mengeluarkan agar-agar itu sekuatnya. Sesaat kemudian ia menghembuskan nafasnya. Dan melirik plastik hitam itu, belum ada sesuatu yang mengisinya. Kembali Hilman mengeluarkan seluruh tenaganya, ototnya mengencang. Kedua tangannya memegang kepalanya, meremas-remas rambutnya dengan kuat. Dan. Yeakh…. Agar-agar cokelat kekuningan muncul dari bokongnya…nolol dikit. Namun, Hilman kehabisan nafas. Sehingga agar-agar itu kembali masuk kesarangnya.

“Kasihan Hilman, sepertinya ia tersiksa” Rizal 2

Suara Rizal agak keras. Itu membuat Hilman terganggu dan merasakan gangguan, sekedar memastikan, Hilman berputar 180 derajat dan memandang arah kami. dia tidak menemukan apa-apa. Karena kami bersembunyi. Lalu, kami nolol lagi. Kebetulan Hilman sedang memejamkan matanya kuat-kuat, otot wajahnya dari depat terlihat jelas. Sambil mengerahkan seluruh kemampuannya mengeluarkan agar-agar itu. Hilman mengangkat kedua tangannya seperti berdoa. Kali ini, sepertinya ia hampir berhasil. Agar-agar itu keluar agak panjang dari sebelumnya. Tapi belum semuanya kelar, ia kehabisan nafas. Dan. Dengan tenaga tersisia ia memotong agar-agar itu dengan kulit anusnya. Tampaklah bongkahan agar-agar itu menjatuhi plastik.

“Tajam juga kulitnya si Hilman, bisa ngegunting tokai” gue

Saking senangnya, Hilman melirik hasil usahanya selama ini. Agaknya ia cukup senang. Namun, perjuangannya belum selesai. Karena raja bongkahan agar-agar itu belum keluar. Dan…”eeeeee…” Hilman berteriak sekuatnya, matanya terpejam. Otot tubuhnya mengencang semua. Tubuhnya bergetar. Tapi agar-agar itu hanya nongol sedikit. Hilman hampir kehabisan nafas. Kami yang menonton tegang. Gue kasihan ama Hilman.

“Mau kemana kak Sam” dua Rizal

Gue lari secepatnya berusaha menggapai daun pintu kamar Hilman. Setelah sampai, gue berteriak keras.

“Hilmaaaaaannnn…..!!!”

Semua santri yang tidur di kamar bangun. Hilman kaget, matanya melotot. Gue berteriak lagi. “Hilmaaaannn!!!!”
Hilman tambah kaget. dan alhamdulillah, karena kaget itu tokai-nya jadi keluar mengepluk menjatu plastik. Keluarnya agar-agar itu disaksikan oleh beberapa santri. Bahkan dua Rizal tepuk tangan ikut gembira, Hilman berhasil berjuang.

“Terima kasih kak… udah membantu” kata Hilman.

“Oh… sama-sama”

Dua Rizal berlari menemui Hilman. Setelah sampai ia bersalaman dan mengucapkan selamat. Hilman tersenyum manis. Sampai lupa celananya belum dipakai. Dengan tenang Hilman melangkah dan membawa plastiknya. Menjinjing agar-agar itu.

Catatan kaki:
Jangan Jail terhadap teman
Tolonglah teman, dalam hal apapun. Selama itu kebaikan.

Catatan Garing 12: Juragan Jengkol

Bagian Dua Belas

Kelas kami tadinya aman, damai, nyaman dan tidak ada pertumpahan darah. Namun, sekarang, beberapa menit lagi akan ada eksekusi besar-besaran di pesantren ini. Segenap santri dari penjuru pesantren berdatangan hanya untuk menyaksikan eksekusi itu. Kelas-kelas dikosongkan. Para ustadz menyuruh santrinya keluar. Santriawan dan santriawati pun berteriak girang. Karena pesantren libur mendadak. Bagi santri libur adalah anugerah. Sedangkan bagi orang tuanya, itu menyia-nyiakan waktu.

Para santri dan para ustadz berkumpul di aula. Kami menunggu sang eksekutor. Tiada lain pak Kiai. Ia yang akan mengeksekusi sang pidana ini. Dari raut muka santri kaga ada yang kasihan pada sang pidana. Ustadz juga sama, gak kasihan sepertinya. Gue sebaliknya. Hehe.. baru kali ini kasihan ama orang.

Melihat kondisi sang terpidana. Gue kasihan juga. pasalnya ia manusia. Padahal kesalahannya tidak begitu besar. Tapi, emang kalo diingat ulahnya pada santri dan ustadz…Grrrrr… bikin tangan geli. Maunya ngegaruk matanya. Saking kesalahannya sudah melampui batas.

Menurut keterangan saksi dari tiap kelas. Dan, dari jumlah 6 kelas itu. Di ambil 5 orang saksi yang paling jujur. Di antaranya tidak ada gue. karena, loe tahu, sejak semula gue kurang jujur pada loe-loe. Ingat! Kurang jujur, bukan tidak. Namun, dari sekian saksi, tidak ada yang bisa menjelaskan secara detil. Kecuali gue. pasalnya gue yang nulis.

Mendengar semua ocehan saksi. Gue bisa menyimpulkan, bahwa sang terdakwa melakukan kesalahan sangat besar. Yaitu, makan jengkol. Iya, makan jengkol. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya makan jengkol titik (.).

Waktu itu, setelah bubar shalat maghrib. Sang pidana…aduh…. sebutin jangan ya namanya. Sebutin aja, ah, namanya AR. Iyah, betul, nama palsunya AR. Sebelum mengaji dan sesudah shalat maghrib. AR pergi kekamarnya dulu, untuk mengambil beberapa gram jengkol mentah, diukur dari beratnya. Nah, kalo tidak salah ia membawa 3 butir jengkol. Dua jengkol di selapin di saku baju kokonya. Satu lagi ia genggam dengan tangannya.

Sambil berjalan menuju kelas. Tangan kirinya megang kitab Jurumiah tipis, sedangkan tangan kanannya megang jengkol. Jalan sambil bersiul, sesekali ia kembali menggigit jengkolnya. Kelas pesantren kami berjajar. Kelas AR yang paling ujung. Saat mendekati kelas pertama, AR terdiam dulu. Mulutnya mengunyah mentah-mentah jengkol. Setelah selesai di telan. Ia melihat telapak tangannya. Sepertinya mau ngetes dulu, apakah jengkolnya bau atau tidak. “Hah…” yeakh! setelah napas menghembus telapak tangannya, lalu ia cium. Setelah tangannya dicium ia agak sempoyongan,. Dahsyat. Bau jengkolnya dahsyat. Baru setelah itu, ia menongolkan kepalanya kedalam kelas pertama. Dan, Hah!...

Sekarang ia jalan bersiul lagi, tentunya sambil makan jengkol. Tepat di depan pintu kelas kedua, ia menghembuskan nafasnya lagi. Hah! tidak ada reaksi dari dalam kelas. Seperti itulah seterusnya. Hah…Hah…Hah. Kata AR, semua kelas kebagian porsi yang sama.

Selang beberepa menit. Anggap aja semua santri udah pada masuk kelas. Namun, belum ada reaksi apa-apa dari segenap kelas-kelas itu. Saat gue sedang mengaji al-Fiyah Ibnu Malik. Di kelas pertama, gue mendengar santri kelas wahid sudah mulai membaca kitab Jurumiyah. Gurunya ustadz Gunawan.

“… Al-kalamu…, kalam itu. Huwa…, adalah. Al-Lafdzu. Lafadz…”

Kelas satu membaca Matan Jurumiyah sangat keras dan bersemangat. Yups, saat mereka sedang berteriak-teriak riang membaca Matan Jurumiyah. Tiba-tiba mereka diam. Semua diam membisu. Dan, mereka kembali ribut. Bukan membaca Jurumiyah. Tapi mereka ribut saling bertanya satu sama lain. Bertanya tentang bau apa ini? Pertanyaan mereka berubah menjadi umpatan dan fitnah. Mereka saling memfitnah, saling nuduh. Satu menit berikutnya, sudah banyak yang berjatuhan korban. Santriawati banyak yang nangis difintah santriawan. Bahkan, ada beberapa santri di gotong keluar. Sebab pingsan. Tidak tahan dengan bau jengkol.

Keributan bukan hanya dikelas satu. Kelas dua juga sama. Mereka merasakan bau yang sama. Para santriawati menutup hidung dengan kerudungnya. Santriawan menutup hidung dengan: kopiah haji, kertas, baju koko, dan ada yang pake sarungnya sampai lupa isi sarungnya nongol. dan ada juga yang tidak menutup hidungnya. Mungkin menikmatinya.

Keributan terus merembet ke kelas berikutnya. Akhirnya semua kelas merasakan bau jengkol yang dahsyat itu. Semua santri kacau. Semua jendela kaca dibuka. Ustadz pada melarikan diri dari kelas. Santri banyak yang mengibas-ngibaskan bau itu dengan apa saja. Mungkin ada juga yang mengibas-ngibaskan dengan sarungnya. Itu gue.

Pengurus sibuk menenangkan keadaan. Ada juga pengurus yang pingsan. Pengurus bagian kesehatan sibuk membawa santri yang berjatuahan terkulai tak berdaya. Bukan tak bernyawa. Dalam tempo waktu durasi tiga menit saja telah banyak membuat santriawan-santriawati g tumbang berjatuhan. Semua akibat the jengkol. Kelas 6, santriawannya saling menuduh. Mereka mengeluarkan argument besar-besaran. Saling lontar-melontarkan dalil-dalil. Akhirnya perdebatan keras tak tertahankan. Banyak yang tersinggung. Tidak terima dituduh makan jengkol, lalu pukul-memukul pun terjadi. Pertumpahan darah akibat jengkol pun terjadi. Gue sebagai sesepuh kelas enam berusaha menjadi penengah. Maksudnya menjadi wasit. Agar pergulatan itu rapi dan teratur. Bukan menghentikan gulat.

Keributan belum juga usai, sebab bau jengkol semakin lama semakin menjadi-jadi. Menurut sie Kesehatan, data korban juragan jengkol. Begitu mereka menyebutnya. Sudah ada sekitar belasan orang. Grrrrr… di saat semua santri ribut di luar kelas. Di dalam kelas ada seorang santri yang cekikikan sendirian. Ia tertawa terbahak-bahak. Semakin lama tawanya semakin menggelegar. Aneh! Hal ini aneh. Disaat semua merasakan bau dan penderitaan, ia malah tertawa puas. Dengan begitu ia mengundang kepenasaran banyak santri. Santri-santri berlarian ke arah datangnya sumber suara. Ternyata itu AR. Semua mata santri menatap tajam AR. AR masih tertawa, matanya terpejam. Tangannya memukul-mukul meja. Mungkin baginya sangat lucu. Lalu, santri-santri mengerubunginya dan terlihat di tangan AR ada sebongkah jengkol yang tinggal sepotong. Sisa digigitnya.

Grrrrr… Ternyata ia penyebab semua keributan. Tidak bisa di sangkal, ia yang menyebarkan virus jengkol. Akhirnya semua santri kesal melihatnya. Dan, ia pun diseret ke dalam aula hendak dieksekusi. Walau tubuhnya di seret keamanan, ia masih tertawa. Santri banyak yang membencinya. Ih… dasar! juragan jengkol.
***

Setelah lama menunggu, akhirnya Kiai datang juga. Aden yang tadinya tertawa cekikian. Eh, bukan Aden, namanya AR. Aduh…. Lupa gue. ia sekarang tubuhnya bergetar, kepalanya tertunduk pasrah. Matanya terpejam, mulutnya komat-kamit. Bukan berdo’a, tapi, menghabiskan sisa-sisa jengkol yang masih nempel di giginya….ih!

“Kiai, saya nerima dihukum apa saja. Ane ngaku telah berbuat dzalim” kata Aden, memohon.

“……..???” Kiai hanya diam. Ia berjalan memutari Aden. Menatapnya tajam, sambil tangannya menutup hidung.

“Oh…. ini penjahatnya. Jelek! Jelek juga kelakuannya..” kata Kiai

Gue berharap ia juga mengatakan wajahnya yang jelek.
“Oke, hukuman yang pantas untuk dia. Yang mendidik aja. kita suruh meng-I’rab al-Quran 30 zuz” kata Kiai.

“Apa??!!!! What you say Kiai?” gue kaget, kok hukumannya ringan.

“Terima kasih Kiai… ane..??”

Aden merasa di bela Kiai. Ia berterima kasih. Namun, jarak antara wajah Kiai dan Aden sangat dekat. Hampir beradu mulut. Kiai lebih pendek. So, hidung kiai beradu sangat dekat dengan mulut Aden yang masih menganga. Maka, masuklah seluruh nafas Aden ke hidung Kiai. yups. Grrrrr….

“HUKUM!!! HUKUM DIA SEBERATNYA. ANE SERAHKAN AMA PENGURUS!”

Kiai marah besar. Ia berteriak sangat keras. Cirinya hurupnya kapital semua.

“Horreeeee…. “ semua santri tepuk tangan.

Kiai meninggalkan ruangan dengan kecewa dan mau muntah-muntah. Sedangkan pengurus berkumpul memutuskan hukuman yang pantas buat Aden. Suara pun mulai berjatuhan

“Suruh membersihakn seluruh pesantren aja” sie kebersihan.

“Membetulkan genteng bocor!” sie logistik.

“Gantung aja!!” gue yang usul.

“Menerjemahkan Jam’ul Jawami’ aja” sie lughoh.

“Denda aja, 1 juta rupiah” pasti masalah uang bendahara. Yups, betul bendahara.

“Suruh pidato aja semalaman” sie tabligh.

“Dipaksa berak aja semalaman” gue usul lagi.

“Ranjam aja” sie keamanan. zinah kali di ranjam.

“Suruh menghapal al-Fiyah aja seribu bait” sie Pendidikan.

“Jangan di beri sertifikat” Sekretaris. Udah pasti masalah ginian mah.

“Telanjangi, lalu arak keliling kampung” loe tahu siapa yang usul? Gue

“Suruh janji aja! Aden gak akan makan jengkol lagi” Sidik.

“Jangan! Jangan wahai lurah santri. Jangan di larang makan jengkol. Dari pada saya berhenti makan jengkol lebih baik saya ranjam aja” Aden memohon.

Tahu apa hukumannya? Dia di suruh tahajud selama satu bulan. Tidurnya di dalam masjid. Mungkin dengan begitu ia akan bertobat. Dan, dia diboikot makan jengkol selama 3 bulan. Makan tuh jengkol! Dasar!

Catatan kaki:
Jangan makan jengkol kalo belajar. Jangan menggunakan kekerasan di dalam pendidikan. Jangan terlalu percaya gue, walaupun ini benar adanya. Tidak separah itu. Biar gue saja yang tahu cerita sesungguhnya.

Catatan Garing 13: Lirikan Kematian Mata Ustadz

Bagian Tiga Belas

“Mana Ustadz Sem ya? Kok belum datang?” Hudaya bertanya pada Ayub.
“Au…tuh” Ayub menjawab Cuek.
“Apa sakita ya?”
“Sakit!...” Ini gue berujar. Kaget.
“Napa Sam, kaget gitu denger ustadz sakit?” Mey bertanya.
“Kaget? Siapa yang kaget. Orang kita senang….”
“Senang?! Senang gimana maksudnya?” Mey
“Ya, bagus, kalau sakit. Berarti kita gak jadi ngaji Ushul Fiqih”
“Bener Sam” Mesa mendukung
“Betul itu…” Cecep.
“Betul gimana? Ustadz sakit, kok, Senang. Gimana sich kalian?” Nani ikut-ikutan.
“Iya, seharusnya kita mendoakan..” Fitri belum selesai ngomong.
“Betul! Kita doakan semoga cepat mati” Gue nyerobot.
Semua kaget dan berkata, “Apa?! Mati!”
“Mati penyakitnya, maksud gue”

Sebelum Ustadz datang, kelas gue biasanya doyan ngobrol dibanding membuka kitab. Kebiasaan kreatif ini, gue tularkan pada santri-santri baru. Al-hamdulillah itu efektif. Efektif meningkatkan penurunan kualitas penguasaan materi sebelum mengaji.

Saat gue dan sohib-sohib sekelas asik membicarakan gosip-gosip pesantren. Dari memuji orang sampai menjelek-jelekan teman sendiri. Yah, ustadz datang. Kedatangannya sungguh sesuatu yang tidak diharapkan banget. Sebab kami sedang asyik berdiskusi. Dan sekarang sedang tidak butuh ceramah. Namun, apalah daya. Kami rakyat, dan harus terpaksa ikhlas menerima ilmu ustadz Sem… halah ngerepotin aja..nih…ustadz.

Seperti biasanya, Ustadz Sem sebelum mengajar selalu memeriksa wajah kami satu persatu. Semacam ngabsen muka. Dari yang paling ujung, tempat Hudaya duduk sampai ke ujungnya lagi, tempat Mega duduk. Sambil ngorok.

Ustadz Sem, di pesantren ini sudah terkenal keganasannya. Ketawanya menggelagar bagaikan petir. Wajahnya seram, kepalanya berambut, kumisnya membentuk huruf “U” terbalik. Jenggotnya panjang laksana kambing. Tatapan matanya tajam bagaikan Elang. Kalo ia natap kami, jarang yang perasaannya tenang. Seperti:

Yang pertama di tatap Hudaya. Saat mata ustadz menatap Hudaya, seluruh tubuh Hudaya bergetar, raut mukanya seperti orang mau nangis. Hudaya mencoba menarik-narik bibirnya agar bisa tersenyum, he…he…”Stadz’ Hudaya menganggukan kepala ke ustadz. Tanda hormat.

Sekarang mata ustadz Sem melirik Tendi. Sebelum Tendi ditatap ustadz Sem. Tendi sudah memasang senyum terbaik miliknya. Ia terus berusaha menahan senyumnya agar tetap mengembang. Saat mata ustadz beradung pandang dengan Tendi. Senyum tendi semakin memudar. Dan. Yah… Tendi tidak tahan tatapan ustad, akhirnya Tendi tertunduk, senyumnya lenyap, yang ada hanya isakan. Ia menangis sesenggukan. Gara-gara tatapan ustadz Sem.

Leher ustadz bergerak menatap Saeful. Kali ini ustadz melototi Eful. Tapi Eful cerdik. Saat ditatap, Eful memalingkan wajahnya, kepalanya menengadah keatas melihat atap. Mulutnya bersiul-siul seakan tidak ada yang menatapnya. Eful cuek. Eful terus bersiul. Ustadz Sem terus mandang. Siulan Eful memudar, matanya sesekali melirik ustadz. Lirikan terakhir. Eful pingsan. Tak tahan dipelototi.

Ditatap ustadz Sem, Cececp tersenyum lebar. Gigi kuningnya memantulkan cahaya kemata ustadz. Ustadz silau dan tersinggung. Karena tersinggung, ustadz melototi cecep dengan kejam, dan Ia bilang “Heh!”. Cecep kaget, ia langsuk sok. Tidak banyak kata. Cecep lari secepatnya tanpa melirik ustadz. Tapi, langkahnya yang ketujuh, ia jatuh tak berdaya. Nabrak pintu.
***

Semua santri di kelas ustadz Sem, sudah dilirik semua. Dan semuanya kebanyakan nangis ada juga yang pingsan. Hudaya, Tendi, Mega, Mesa, Mey mereka nangis. Saeful, Cecep, , Fitri, Nani mereka pingsan. Tinggal satu lagi yang belum di tatap. Irma.

Ustadz Sem licik. Giliran ia menatap Irma. Ia menunjukan wajah manisnya. Kalian tahu? Semanis-manisnya wajah ustadz Sem. Tetep saja itu ekspresi terseram yang pernah ada. Saat di tatap, Irma tubuhnya bergetar, jantungnya berdegup kencang. Tapi ustadz Sem tidak peduli, ia terus menatap Irma. Konyolnya lagi, ia tak tahu malu. Udah tahu Irma ketakutan ia malah mengedip-ngedipin matanya. Memberi kiss bye…mmmmuaccchhh….ihhhh.

Dalam pandangan Irma, senyum ustadz Sem sangat menakutkan. Irma menjerit saat ia melihat senyum ustadz Sem terbuka lebar. Semakin lebar, semakin mendekat. ustadz Sem terus mendekat , mulutnya terbuka lebar sekali. Sampai taring gigi-giginya terlihat menyeramkan... Irma menjerit-jerit keras. Ustadz Sem terus tertawa… hua…hua..hua… lebar sekali mulutnya terbuka. Kepalanya membesar, sepertinya hendak menelan Irma. Irma sekarang kejang-kejang, mulutnya berbusa. Namun, ustadz tidak menghentikan tatapannya, mulutnya semakin terbuka. Kedua taringnya memanjang sepertinya. Benar sekali. Ia akan menelan Irma. Irma akan di makannya.

Gue sebagai satu-satunya yang masih punya nurani tidak bisa membiarkan. Guee mencoba menolong Irma. Saat mulutnya ustadz Sem terbuka sangat lebar hendak memangsanya. Gue berteriak. “Irmaaaaaaa….Jaaangaaa…aaannn !!!!”
???......

“Sam….Syamsudin, bangun! Ustadznya sudah datang” Eful membangunkan

“Ustadz!... mana?..mana?.. hati-hati dengan ustadz” Gue kaget.

“Hati-hati?!... Tuh! Ustadz. bawa makanan.” Eful heran.

“Apa yang terjadi?”

“loe tadi mimpi…ngigau berteriak Irma”

“Hah! Mimpi?!...al-hamdulillah hanya mimpi”

“loe ada-ada saja… hehe..he…”

Sepertinya, gue tidak sadar kalo tadi hanya mimpi. Tapi, gak apa-apa gue senang. Kalo pun semua sohib menertawakan gue. Gak apa-apa?...huh…

“Ima, loe baik-baik aja”

Irma gak menjawab. Ia hanya tersenyum dan mengangguk. Tanda baik-baik aja. mungkin aneh melihat gue.

Catatan kaki:
Jangan tidur kalo ngaji atau lagi belajar. Itu aja.

Catatan garing 17: Apel ke Rumah Pacar

Saya emang santri. Saya emang anak pesantren. Tapi apakah karena itu saya gak boleh pacaran? Emang dosa ya, mencintai seseorang karena status kita santri? Ayo jawab! Saya ngeguncang-guncang tubuh Eful yang sedang tidur. Soalnya dia ngomong, “di Pesantren gak boleh pacaran!”
Saya gak peduli Eful yang lagi tidur, lagi pula ngapain mikirin dia dan argumennya tentang gak boleh pacaran. Ah, dia aja yang gak bisa pacaran. Itu, alasannya cuma satu. Gak ada cewek yang suka padanya. Tidak seperti saya, biar agak sedikit jelek dan banyak gantengnya. Saya jauh-jauh mesantren masih bisa menghasilkan seorang wanita. Cantik, matanya sipit, wajahnya bundar, bibirnya seksi, kulitnya putih, dan soleh. Anak manusia lagi.
Malam ini saya agak sedikit tegang. Pasalnya, saya nerima surat cinta dari Irma, pacar saya itu. Kemarin saya ngirim surat pada Irma. Di mana esensi surat itu saya memohon dan meronta-ronta ke pacar saya itu, agar dikasih ijin main kerumahnya. Alasan saya mau main kerumahnya antara lain: mau lihat ibunya. Al-hamdulillah banget, saya dapat ijin. Surat balasan ini buktinya. Mau tahu isi suratnya? Oh iya, saya juga nanya apakah dia mencintai saya atau tidak? Ini jawabannya.

Dear My Love
Kak Dasam
Fil-hujroh

Wa’alaikumussalam…

Ima baik-baik aja kak, Alhamdulillah sehat.
Kak…
Ima juga tahu kita sudah lama pacaran. Tapi kakak belum pernah main ke rumah. Bukannya gak boleh, kak. Tapi Ima malu.
Kak…
Ima udah bilang sama bapak, kak Dasam mau main ke rumah. Emak ngijinin. Jadi kalau mau main, main aja. Asal jangan bikin malu Ima, ya kak. Jangan lupa mandi dan gosok gigi!
Kak…
Jangan takut, Ima gak bakal ninggalin kakak. Emang Ima sampai sekarang belum bisa mencintai dan menyayangi kakak. Banyak faktor yang membuat Ima seperti ini. Tapi itu gak usah di bahas. Yang penting Ima setia sama kakak.
Udah dulu ya, kak….
Ima juga kadang-kadang kangen ama kamu.

Wassalam…
Irma Ulfah
Pacarmu yang sekarang

Itulah saudaraku, surat dari pacar saya. Kamu sudah bacakan, bagaimana dia sangat mencintai saya?
Malam ini masih malam, belum pagi. Sungguh, malam yang panjang. Saya merasa gelisah menunggu esok hari. Besok hari jum’at dan pesantren libur. Saya sepertinya insomnia, gak bisa tidur karena gelisah. Oh, Irma saya udah gak sabar mau bertemu dirimu. I miss you baby. Wait me there, baby. I will come to you, with my hard love…..
***
“Jum’at telah tibaaaaa…. yess!”
Itu saya tariak senang. Bagaimana tidak? hari ini saya mau apel ke rumah Irma.
Setelah shalat subuh, sekitar jam 07.00 saya mandi pake sabun merk Shinzui, di keramas pake shampoo merk Sunsilk, juga tentunya gosok gigi pake pasta gigi merk ABC Dent. Saya pake pakaian terbagus yang saya miliki. Sekitar lima belas menit saya berdiri di hadapan cermin. Berusaha meyakinkan bahwa saya ganteng dan manis. Semanis gula jawa.
Ya, inilah saya. Siap berangkat menuju rumah surga. Rumahnya Irma.
Hari ini begitu sejuk, matahari sinarnya sangat hangat. Perjalanan menuju rumah Irma gak butuh waktu lama. Sekitar 500 meteran dari Pesantren. Sesampainya di depan rumah Irma, saya merapihkan pakaian, mengusap-usap rambut dengan kedua tangan, lalu menarik itu rambut sekuat tenaga ke depan. Sehingga bongkahan jambul menyembul di kepala saya. Walau gak lihat di cermin, gua bisa menyimpulkan, tampang saya menarik.
Pintu rumah Irma saya ketok-ketok dan sedikit ngucapin salam. Lalu munculah sesosok tak saya harapkan. Tubuhnya besar, tangannya kekar, kumisnya baplang dan tebal, tatapan matanya tajam. Dia. Bapaknya Irma.
“Pagi, Om. Irmanya ada?...”
“HHmmmm…Grrrr…” bapak Irma menggeram. Saya kaget dan mundur satu langkah. Agar terlihat soleh, saya berusaha baik sama bapaknya.
“Oh, Om! Assalamu’alaikum, Om. Gimana kabarnya? Aduh… Om kelihatan ganteng banget. Persis seperti Irma… hehe…”
“hhmmm….” Bapak Irma gak jawab. Dia hanya nunjuk deretan sofa. Maksudnya saya boleh masuk.
“Makasih, Om”
Beberapa menit saya menunggu. Kemudian ada seseorang menyingkap tirai yang memisahkan antara ruang tamu dan ruang keluarga. Oh, my God! Itu Irma. Dia cantik banget pake baju pink, kerudung pink, dan rok panjang hitam.
Bapak Irma ngijinin saya ngobrol sama Irma, asal di temenin kedua adiknya: Fikri dan Tita. Walau agak benci dengan syarat ini, saya nerima aja. Daripada gak jadi ngobrol. Saya dan Irma duduk saling berhadapan hanya dipisah meja sepanjang 1 m. Irma duduk di temenin kedua adiknya. Sungguh, kehadiran adiknya membuat saya terganggu. Saya harus mencari akal untuk mengusirnya.
Aha! Saya punya ide. Saya rogoh saku. Saya ambil uang seribu rupiah. Lalu saya berikan sama tuh adiknya Irma. Saya suap mereka biar pergi sejauh-jauhnya. Mereka pun pergi sejauh-jauhnya. Al-hamdulillah banget, keadaan mulai mendingin saya bisa rada tenang ngobrolnya, bisa ngegombal, bisa muji-muji Irma, bisa menyatakan cinta dan bisa minta makan. Saya lapar banget. Dan, nyaris tujuan saya apel hanya buat makan enak.
Dengan penuh kasih sayang, Irma ngambil makanan berat dan makanan ringan sampai-sampai meja di hadapan saya penuh dengan makanan. Dan sebanyak apapun makanan tersaji, selalu tidak ada yang nyisa. Saya lahap semua makanan yang dia suguhkan.
Saya makan terlalu kenyang. Perut saya aja sampe buncit, mirip kodok. Mungkin karena terlalu kenyang itu, mata saya jadi sepet dan berat untuk ditahan tetap terbuka. Pandangan saya mulai memudar, Irma yang tadinya cantik serasa pudar kecantikannya bersamaan dengan hilangnya pandangan saya. Dunia mulai gelap. Saya terlelap di atas sopa. Di rumah Irma.
***
Pengalaman apel ke rumah Irma, saya bilang-bilang sama temen-temen saya yang bisa dipercaya menjaga rahasia. Curhat sama mereka. Sambil ngasih makan ringan dan berat ke temen, gua bilang ama mereka, saya sangat senang di rumah Irma, sebab ia begitu perhatian sama pacarnya ini. Irma memberi saya makanan yang sangat banyak, makanan atas nama cinta. Temen saya sampai banyak yang iri. Bukan iri dengan apelnya, tapi iri dengan makanan yang disuguhkannya.
“Kak Sam….”
Seseorang manggil nama saya. Ternyata itu Sidik, santri anak kelas 3. kedatangan Sidik mencari saya untuk memberikan sepucuk surat dari Irma. Saya tidak heran Irma ngasih saya surat. Emang seperti itulah saya pacaran sama dia, hanya melalui surat. Saya lebih sering membaca suratnya dari pada bertemu wajahnya. Pesantren itu ketat, bagaikan penjara untuk anak-anak nakal dan tidak patuh aturan.
“Tuh, apa ku bilang? Irma itu cinta ama saya. Baru aja ketemu, udah ngasih surat lagi. Cinta rupanya kau Irma sama kang Syamsudin?.....”
Itu saya bicara muji diri sendiri sama temen-temen saya di kamar. Saya bicara sambil ngacung-ngacungin surat Irma. Gak banyak kata lagi, saya langsung buka surat yang tidak dibungkus amplop itu.

Dear
Dasam Syamsudin
Di mana aja kamu adanya

Hei, Sam! kan udah saya bilang. Kamu, kalau mau main kerumah saya jangan bikin saya malu. Kamu, tahu tidak. Kemarin saya didamprat ama bapak saya. Bapak saya bilang, “Irma, Kamu punya pacar yang bener! Masa orang kayak gitu di jadiin pacar. Mau apel apa mau ngorok di rumah orang!”
Hei, Sam! kamu itu gak bisa ya, bikin saya bahagia. Kamu selalu aja bikin saya malu. Kamu ngabisin makanan gak apa-apa, tapi jangan di bawa semua ke Pesantren. Bukannya gak boleh, itu gak sopan, Sam, gak sopan! Kamu mau apel apa mau nyuri? Bapak saya juga cari rokok Drajum Cokelatnya. Kamu, kan yang ngambil. Udah gitu, kamu abis makan malah tidur, pake ngorok lagi.
Denger ya, Syamsudin!!!
Saya benci sama kamu!!! Udah ah, kita PUTUS aja. Saya stresss pacaran ama kamu. Sebetulnya putus juga gak cukup. Kamu jangan mau ketemu saya lagi, jangan berani liat-liat saya lagi. Kecuali kalau kamu lagi ngajar kelas saya. Itu boleh aja. Tapi jangan sengaja mau liat wajah saya.
Kita PUTUS. Pergi dari kehidupan saya. Pergiiiiiii!!!!!!!!!!!!.....

Irma Ulfah
Bukan Pacar kamu lagi sekarang


“huk…huk…huk….” Saya nangis!

Gak pake catatan kaki: Maaf, saya lagi sedih, diputusin.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...