Cerpen SYAMSUDIN eL-FAQIRUL'ILMY
Hari ini tidak ada bedanya dengan hari kemarin, sebagaimana awan-awan putih laksana kapas lembut yang beterbangan dibaurkan keudara oleh kipas angin raksasa. Atau, seperti mentari yang setiap hari tidak pernah lelah dan bosan menghangatkan dunia. Ya, tidak pernah bosan memberi energi pada manusia-manusia serakah yang berdasi, duduk diatas jok mobil mewah, tidur di atas kasur empuk di dalam rumah megah yang mentereng. Juga, surya itu tidak pernah membela orang-orang miskin yang tidur di tepi jalan dengan kardus-kardus busuk yang dipungut dari tempat sampah.
Kenapa semuanya ia hangatkan? Jika saja kumampu, ingin kupadamkan atau kutimpakan keatas orang-orang sombong yang selalu menghina diriku karena saya atau kami—para makhluk miskin—yang menurut orang-orang serakah itu adalah sampah yang memberi kesan kotor di kota Jakarta. Tidak tanggung-tanggung, rumah jelek kami dihancurkan, diusir tanpa dipikirkan nasib kami, dimana kami akan tinggal? Bagaimana anak-anak kami akan tertawa?
Saya setiap hari selalu saja mendapat hina dan cela. Mungkinkah karena saya pengemis kotor, bau, atau menurut mereka busuk. Apa bedanya pengemis dengan orang berdasi sok berwibawa yang membawa proposal pembangunan atau kegiatan yang disodorkan pada pemerintah ? bukankah sebagian besar hasilnya mereka makan sendiri. Dan apa bedanya dengan orang pemerintah yang berjas mewah yang dibeli dari uang negara, kemudian meminta permohonan pada negara antah berantah hanya untuk mengutang, agar negaranya makmur. Mengapa mereka menghina saya habis-habisan dan bertubi-tubi, karena saya mengharapkan uang receh tanpa proposal, dasi dan jas mewah. Lantas kenapa juga mereka harus marah dan menghina. Bukankah saya tidak pernah tersinggung jika tidak diberi. Tidak puaskan kebakhilannya jika tidak ditambah hinaan ?
Sungguh saya benci bangsa sok maju ini. Mengapa hutang yang selalu mereka pinta dari negeri antah berantah hampir setiap periode kepimimpinan. Tidak pernah sampai menyentuh mulut kami yang selalu haus dan perut kami yang selalu lapar. Seandainya memang negeri ini kaya, makmur dan sejahtera mengapa kami selalu disisihkan seakan tidak ada posisi kami di negeri ini. Jika tetap seperti ini, rasanya tidak usah saya mengharapkan negara ini maju. Tidak ada bedannya bagiku. Orang-orang itu memang senang menghina kemisikinan atau membiarkannya. Sengaja, ya, sengaja membiarkan kemiskinan. Kemajuan Negara hanya untuk mereka yang sombong dan serakah.
Jika pemerintah berdoa menginginkan bangsa ini kaya. Maka, saya adalah orang pertama yang akan berdoa agar Negara ini miskin. Agar dengan kemisikinan itu keadilan tegak. Tidak usah intelektualis berdalih menjelaskan keadilan untuk saya, bosan saya mendengarnya, bosan sekali. Apapun hujaman mereka, yang harus mereka tahu bagiku adil adalah mereka meresakan kondisi seperti kami. Orang-orang miskin yang hidup di dalam kesengsaraan.
Keadilan yang katanya akan selalu ditegakkan, mengapa tidak sampai kepada kami, yang selalu berjalan setiap hari menapaki jalan hitam nan mewah di Kota Jakarta dengan kaki telanjang. Ya, berjalan setiap hari dari rumah-kerumah, rumah mewah yang anjingnya saja harus mahal makananya. Sedangkan saya, hanya untuk meminta uang receh yang tidak lebih mahal dari harga makanan anjingnya selalu mendapat hina. Mendapat hina, padahal sepeser pun mereka tidak memberi.
Tidak aneh bukan, orang-orang lemah, kere dan hina seperti kami selalu dijadikan objek oleh para politisi berdasi dengan bajunya yang licin disetrika, agar kami mendukungnya. Biasa, alasan klasik dan murahan mereka dengan menyunggingakan senyum di bibir dustanya, bahwa, "mereka akan memperbaiki sistem dan menghapuskan kemiskinan". Ah, semua itu hanya omong kosong! Saya tidak akan bosan mengatakan. Sungguh tidak ada bedanya untuk kami apakah Negara kaya atau miskin, tetap saja kami akan sengsara, semuanya hanya dirasakan oleh para pembual nan serakah itu.
Saya tidak takut meneriakan pada telinga mereka yang munafik, bahwa saya menginginkan Indonesia ini miskin, atau hancur sekalian. Tentu itu lebih baik untuk kami bukan? Kami akan berjuang kembali membela tanah air, sebagaimana orang tua kami yang sebagian dibuang kepahlawanannya oleh bangsa. Karena membela Negara hanya dengan otak tumpul dan tangan menggenggam bambu runcing. Apapun yang dibisikan para politisi itu, saya akan menyikapinya dengan menjadi diri mereka. Tidak sulit, hanya mendengarkan mereka, menganggukan kepala, menjanjikan kejijian dunia yang dibalut perak mengkilap. Setelah itu, saya akan melupakannya lebih dari itu akan menghinanya. Sebagaiman mereka, para politisi mengatakan, "dasar! pengemis bodoh dia kira saya peduli". Seperti itu pula saya akan mengatakan, "dasar! orang pintar bodoh, dia pikir dirinya pintar."
Ayo! Para orang kaya terhormat berusahalah lebih keras bekerja. Dan kalian para koruptor serakah teruslah berbohong. Di sini, dirumah kardus busuk ini saya akan berdoa dengan kedengkian yang telah kalian tanam. Dengan rasa iri yang telah kalian didik. Sehingga, kemakmuran kalian dan keberhasilan bangsa saya tak senang. Tahukah kalian, saya akan berdoa di sini, mengharapkan Indoensia hancur. Ekonominya amburadul, harga melonjak naik, koruptornya merajalela, para elitis Negara usahanya bangkrut, TNI, ABRI dan polisi saling menyerang satu sama lain saling menembak. Gedung-gedung yang kalian puja, saya harap menimpa kalian saat berkumpul dengan bersuka ria saat tangan najis kalian memegang gelas berisi anggur yang memabukan. Ya, diskotik, tentu diskotik itu saya harapkan runtuh menimpa dan mengubur mereka hidup-hidup dan membiarkannya tetap hidup dengan cacat seluruh anggota tubuhnya. Semuanya, semuanya yang telah membuang dan menghapus kemanusiaanku dari bangsa yang pernah diperjuangkan leluhurku. Semuanya kuharapkan meledak mengobrak-abrik Negara, ditenggelamkan oleh gelombang dahsyat, di banjiri lahar panas dari letusan gunung gemunung. Ha…ha… saya akan senang, bertepuk tangan siap menyambut teman baru dalam menyongsong kehinaan. Biar kupersiapkan, sudut rumah kardusku untuk mereka para elitis Negara yang menangis kehilangan harta dan keluarga. Pasti akan menyenangkan bukan? Banyak teman yang kere. Pasti semua itu akan mengharmoniskan sisi sosial kami. Oh, betapa saya rindu hal itu.
***
Haruskan saya berpikir, bukan berpikir, mengharap demikian, agar kalian mendengar jerit tangis rakyat kalian yang kere ini. Rakyat yang menangis tanahnya ditenggelamkan lumpur, lumpur sawah yang disulap menjadi batu oleh para bisnismen, rakyat yang rumah dan dagangannya di obrak-abrik, dihancurkan, digusur dengan semenak demi kenyamanan kota. Sedangkan kami diinjak-injak. Haruskan saya berdoa, mendoakan kalian dan Negara kalian yang kalian beri pada pengusaha asing agar dikuasi tanah tumpah darah kami. Haruskah saya mengharapkan kalian makmur, sedangkan kaki bersepatu kalian menginjak kepala kami. Haruskah semua itu?!
Jangan khawatir, saya tidak akan menginginkan Indonesia hancur. Bukan karena ini Negaraku. Terlalu pedih memikirkan, bahwa negaraku menyiksa rakyatnya sendiri. Saya hanya kasihan kepada anakku. Cuma itu, jika bukan karena ia terlanjur menginjak tanah ini. Kalian tidak akan ada, karena mungkin dari dulu sudah digratiskan oleh para leluluhur di berikan pada penjajah. Karena anakku, keturunanku saya tidak rela. Dan harus kalian tahu, karena anakku saya mengemis dan rela diinjak sepatu kalian. Hanya itu, alasanku. Tidak masuk akalkah? Atau memang saya sudah gila.