Catatan Dua Puluh Satu
Berdirilah lima orang anak di tepi jalan yang dipenuhi lalu-lalang kendaraan. Lalu berjalanlah lima orang anak itu menyusuri trotoar jalan yang masih dipenuhi lalu-lalang kendaraan. Dan, kembali lagilah lima orang anak itu ke tempat mereka tadi berdiri di tepi jalan. Siapa lima orang anak itu? Dan apa gerangan yang mereka perbuat, sampai kok kembali lagi ke tepi jalan? Lima orang anak itu, gue, Eful, Rubi, Andri, dan Muslim. Dan kembalinya kami ke itu tepi jalan, sebab menunggu Cecep. Gue dan temen-temen lupa, kalo Cecep mau ikut. Ikut kemana? Pertanyaan itu dilontarkan Cecep saat ditemui di rumahnya tempo doeloe. Ikut ke Tasik, Cep. Itulah jawaban yang membuat Cecep harus ikut, sebab memang kami memaksanya. Karena itu pula, sekarang kami menunggu Cecep.
Pasar Limbangan pagi-pagi sangat ramai, banyak orang berjualan di situ, dan banyak pula pembeli di situ. Ada pula kuda-kuda di situ, kuda itu bukan untuk dagang atau membeli barang. Tapi kuda-kuda itu sedang menunggu pedagang atau pembeli, kali aja ada yang mau nungganginya. Pasar Limbangan siang-siang sangat ramai. Tapi udara siang di itu pasar terasa panas, gerah, berdebu dan bau tai kuda. Di saat itulah kami berdiri, berdiri di tepi jalan kawasan pasar Limbangan-Garut yang ramai, yang para tukang delmannya membiarkan kudanya berak seenaknya di tempat keramaian. Dan yang bikin gue kesel, ada kuda yang berak di hadapan gue.
“Itu Cecep!” Teriak Eful sambil nunjuk-nunjuk Cecep yang sedang berlari di arah kiri kami berdiri. Eful nunjuk arah kiri, gue lihatnya arah kanan. Yang memang bukan Cecep yang mau dilihat. Tapi wanita seksi berbaju mini dengan paduan celana jeans (baca, jin!) yang pendek banget, sehingga pahanya terlihat. Wanita itu emang seksi, tapi gue gak tertarik. Bukan karena gue orang beriman. Tapi karena emang itu perempuan sudah nenek-nenek.
***
Sebagai santri. Cecep bukanlah contoh yang baik. Apa gerangannya? Sebab Cecep memakai kaos bertuliskan “Persib”, dan memakai celana kolor pendek bergaris-garis biru. Yang cocoknya itu pakaian untuk main bola. Dan kami, sekarang ini, yang menunggu Cecep selama ini. Bukan untuk main bola, sama sekali bukan. Tapi mau menjual kalender Pesantren. Yang hasil itu penjualan untuk ditabung sebagai modal pembangunan masjid. Kami mau minta shodaqoh. Tapi kenapa Cecep memakai baju seperti itu. Kenapa? Saya bertanya sambil mengguncang-guncang tubuh Cecep. Yang menyebabkan Cecep menangis terisak-isak. Dan umbelnya keluar-masuk hidungnya.
Tapi biarlah. Mau pake baju koko atau baju apalah itu gak penitng. Yang penting kami bisa ikut membantu Pesantren, yang kenyataannya Pesantrenlah yang membantu kami mencari itu ilmu.
Waktu gue bilang ama Rubi bahwa perjalanan ke tasik untuk menjual kalender, itu tidak naik mobil. Rubi bertanya, pasti naik kereta ya Sam. Gue jawab itu pertanyaan. Bukan, bukan kita ke tasik akan naik mobil atau kereta apalagi pesawat. Tapi, kita ke tasik akan jalan kaki. Sekali lagi jalan kaki. Kata itu diulang sebagai penegas buat kawan-kawan gue. Akhirnya dari informasi itu, Rubi jadi lemas, lalu dia duduk di tepi jalan di bawah pohon Jambu. Kenapa saat yang lain setuju mau ke tasik kamu tidak mau? Itu Andri bertanya ama Rubi sambil ngusap-ngusap pipi Rubi. Rubi tidak menjawab pertanyaan Andri.
“Teman-teman, kata orang, tasik itu kota santri. Kalender kita pasti akan banyak yang beli dengan infaqnya yang lumayan Islami dan manusiawi. Nah, kalo aja kita dapat sejuta-an, sekitar sejuata-an lah, atau paling enggak di bawah dikit sejuta. Kalo dapat segitu, sebagai pemimpin yang tidak kalian pilih, maka gue bakal ngasih loe kaos. Kaos gratis! Buat loe-loe pada, jika loe mau ikut!” itu gue bicara ngasih semangat ama temen-temen yang lupa, bahwa sesungguhnya bukan gue yang bisa ngasih apa-apa, tapi Allah.
“Kalo begitu kita ikut!” kata temen-temen, gak kompak.
“Oke! Perjalanan ini, 100% bukan jalan kaki, tapi kalo ada mobil yang bisa bawa kita secara gratis, mau diculik itu mobil juga gak apa, asal numpang gratis aja, kita ikut! Oke!”
“OK!”
***
Matahari telah berdiri vertical di atas benda-benda. Membuat siang semakin panas, dan panas itu membuat kami kepanasan, kegerahan, kehausan, dan kelaparan. Mobil belum ada yang kunjung membantu. Kalo yang nawari untuk menumpangi itu banyak. Dari mobil angkot sampai mobil bus, itu selalu menawarkan jasanya. Dan tawaran itu menggiurkan. “sik….sik….sik….Tasik” teriak kondektur bus sambil kepalanya nolol ke luar jendela mobil.
Oh, Tuhan ternyata tidak membiarkan kami. Di tengah kelelahan, gerah dan lapar itu. Tuhan mengirim kami pertolongan. Ternyata masih ada orang yang dermawan dengan menyisihkan sebagian tempat di pojok mobilnya yang masih kosong untuk kami tumpangi secara gratis. Mendapat kesempatan yang memang sangat langka ini, kami langsung meloncat ke atas bak mobil truk berwarna kuning. Ternyata yang ikut numpang mobil ini bukan hanya kami saja. Tapi berbelas-belas ekor kambing juga menumpang di mobil ini. Celakanya, semua kambing itu betina.
Bercampur dengan kambing saja, itu suatu kesialan. Eh, ini si kambingnya malah nambah kesialan hari itu jadi bertubi-tubi. Sebab kambing yang ada di dalam mobil truk itu berak seenaknya aja. “Crot!” ada kambing yang berak di hadapan gue.
Gue gak henti-hentinya menutup hidung, berusaha membuang jauh-jauh itu bau tai kambing. Yang padahal tubuh gue juga hampir mirip bau kambing, belum mandi—gue mandi sehari tiga kali, untuk satu minggu.
Kalo Eful, aneh. Dia gak merasa bau atau gak nyaman dengan kambing-kambing betina ini. Eful malah asyik aja bermain dengan kambing betina berbulu cokelat tua. Ekor si kambing cokelat itu disingkap-singkapnya, seakan menengok sesuatu yang jarang dilihat. Gobloknya, Kambing betina cokelat itu mau aja di gitu-gituin.
Rubi, lain lagi. Dari awal naik mobil truk, dia gak henti-hentinya marah-marah. Sebab kambing betina berbulu tipis cokelat muda, selalu berjalan mundur ke arah Rubi. Sekali-kali ekor si kambing mengacung sendiri lalu digetar-getarkan si kambing, seolah menawarkan sesuatu. Melihat itu rubi muak, sehingga bokong si kambing ditendang-tendang, berusaha menjauhkan.
Cecep lebih parah lagi. Udah tahu kambingnya nolak diajak bermain. Cecep maksa terus si kambing agar mau bermain dengannya, sesekali dia menunggangi kambing betina yang gemuk, membayangkan seolah kambing itu seekor kuda, Karena tidak nerima dilecehkan, maka kambing itu balik nyeruduk Cecep. Membuat Cecep ngejoprak tak berdaya.
Andri, anak baik. Banyak kambing yang mengelilinginya tidak membuatnya marah. Dia malah memeluk seekor anak kambing yang lucu. Memeluknya erat, lalu tidur bersama itu anak kambing sambil menyandarkan kepalanya ke perut induk si anak kambing. Yang sekali-kali, mungkin gak sadar, Andri berebut tete kambing ama anak kambing.
Gue heran ama Muslim. Kenapa dari sekian kambing yang ada. Gak ada satu pun kambing yang mau mendekatinya. Kambing betina aja gak mau, apalagi manusia betina? Oh….