"Terimakasih Atas Kunjungannya, Semoga Anda Banyak Rezeki, Banyak Anak, Dan Masuk Surga. SALAM CINTA"

Kabayan "Mencuri" Keadilan

Oleh AMIN R ISKANDAR

“SI KABAYAN Jadi Wartawan”. Buku mungil hasil olah pikir Muhtar Ibnu Thalab (2005) tersebut mendeskripsikan keadilan dengan sederhana. Saking sederhananya, ia menguak bentuk ketidakadilan yang nyaris tak nampak di mata rakyat. Karya ini secara tidak langsung menyentil kesadaran naif, bahkan (mungkin) kesadaran magis yang menjalar pada rakyat dewasa ini.

Cerita Kabayan berawal dari kunjungan pejabat negara sebagai potret kaum borjuis yang hidup di kota, kaya raya, selalu berharap dilayani massa ke kampung imajiner Lembur Kuring sebagai potret rakyat ploretar yang tinggal di desa, kurang harta, membutuhkan perjuangan dan pelayanan dari penguasa. Disebut berharap dilayani massa karena sebelum berkunjung pejabat memesan makanan kesukaannya, pepes gurame. Rakyat pun mau-mau saja menyediakannya karena menganggap itu kehormatan. 


Kabayan yang melak lauk sedari kecil dan memeliharanya dalam waktu lama dipaksa memanen ikan yang sudah besar untuk disuguhkan kepada pejabat. Tiba masa kunjungan, pemandangan yang timpang terlihat oleh Kabayan. Kaum borjuis diagung-agung dalam panggung, kaum ploretar terlantar di emperan.
Tentu, kesadaran kritis Kabayan seketika muncul. Ia geram dan jengah. Lalu melengos meninggalkan pergumulan dan luput dari perhatian Ki Silah yang tak memahami kekesalannya. Lantas “mencuri” pepes gurame yang ia pusti-pusti sedari kecil. Daripada dirampas oleh pejabat yang kurang memerhatikan nasib rakyat, mendingan pepes gurame itu ia nikmati, pikirnya. Toh, pemilik gurame adalah dirinya (rakyat). Sesuatu yang rakyat pelihara, rakyat pula yang menikmatinya. Ini sesuai pepatah “siapa menanam, dia memanen”.

Mencegah kemungkaran
Apakah tindakan Kabayan tersebut mampu memberi penyadaran terhadap rakyat? Kabayan sendiri tentu tidak tahu karena ia sedang asik terlentang di gubuk sawah dan merasa puas setelah menikmati “keadilan” curiannya.

Aksi protes Kabayan cukup sederhana tetapi memang efektif. Dalam konteks demikian, memang bukan waktunya lagi melakukan orasi menagih keadilan sebab keadilan tetap akan bersemayam di “menara kaum berpunya” selama tidak diambil secara paksa. Bila dapat dikatakan tindakan pejabat tadi sebagai kemungkaran, Kabayan telah berhasil mencegah kemungkaran itu dengan tangannya sendiri.

Hasilnya, aksi ciamik Kabayan berhasil menggegerkan warga desa, setidaknya untuk sementara. Mulai dari pejabat RT hingga rakyat biasa berlomba-lomba mencari sang pelaku. Ini pemandangan yang lucu dan ironis lagi. Rakyat senantiasa membela pejabat yang kena petaka dengan giat dan sukarela, tidak seperti pejabat yang leha-leha membela rakyat kala tertimpa petaka. Sialnya si kucing yang ketiban fitnah sebagai pencuri. Ya, begitulah, setiap kasus selalu menyodorkan kambing hitam sebagai tumbal.

Harapan Kabayan cukup sederhana, sesederhana aksi protesnya. Ia hanya berharap penguasa melayani massa, tapi ia tidak punya akses untuk berbicara. Saya rasa, itu memang hukum yang semestinya berlaku. Sebagai pemegang kebijakan, peran pejabat sebagai penghuni kursi kekuasaan tiada lain adalah untuk memperjuangkan karaharjaan rakyat di bawahnya.

Perlu jadi catatan bahwa fungsi kunjungan ke daerah adalah untuk melihat realitas rakyat lebih dekat, bukan ajang pamer popularitas sesaat. Apalagi sengaja untuk rekreasi, mencicipi rempah-rempah rakyat, dan mencari penghormatan secara langsung tanpa memberikan secuil solusi.

Realitas kekinian
Cara protes Kabayan tentu berbeda dengan cara protes pemuda pada 40-an yang mengusir borjuis asing. Begitu juga dengan aksi mahasiswa pada 60-an dan 90-an yang melawan tirani penguasa hingga runtuhnya suatu rezim. Kabayan hanya menawarkan satu upaya pencarian keadilan dengan metode yang sesuai keadaan. Sesuatu yang diperjuangkan bukan dengan caranya adalah sia-sia, hanya menguras tenaga tanpa hasil apa-apa.

Dalam khazanah pergerakan, sebagaimana yang digagas kaum Marxisme dan pengikutnya, negasi akan kebebalan kaum borjuis itu tidak sempit dan miskin cara, tetapi seribu satu upaya dapat ditempuh untuk memerangi ketidakadilan. Bagi orang Sunda, Kabayan sendiri dipandang sebagai sosok hidup yang elastis. Dengan karakter mahiwal, ia hadir membawa solusi bagi realitas ilusif.

Lalu, kira-kira, apa yang akan dilakukan Kabayan bila melihat realitas Jabar kekinian? Tasik sulit bersinar dengan santrinya; Garut tak kunjung bankit dengan prestasinya; Bandung masih jauh dari kondisi hijau dengan banjirnya; Ciamis dengan airnya yang belum juga manis; dan Cianjur berkutat dengan lumpur.

Bila masih tertanam keyakinan bahwa Kabayan sebagai sosok hidup yang elastis, sejatinya akan selalu ada aksi protes yang efektif, sekalipun bentuknya sederhana. Protes tidak selamanya berkonotasi negatif. Dalam khazanah demokrasi, protes berarti interaksi pejabat-rakyat. Dengan demikian, pemerintahan akan selalu hidup. Maka, “curilah” keadilan dengan caranya sendiri lalu nikmati keadilan itu seperti Kabayan menikmatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...