Bukan berita aneh bukan, kalau ada orang menginjak al-Quran. Dulu, waktu aku belajar mata kuliah Filsafat. Dosennya Mr. Filsof, berkata sambil berlagak. “anak-anak, Quran itu boleh diinjak. Kitab itu kan makhluk, yah, seperti rumput boleh diinjak.” Teman-teman ada yang sedih, pastilah quran kok diinjak.
Kalu aku gak sedih, dukung aja tuh kata dosen, lumayan buat nilai A. gini cara dukungnya. “pak, quran itu boleh diinjak ya? Berarti gak berharga donk?”
Kata dosen tambah girang, “oh, boleh… boleh.. iya, gak berharga”
Ku dukung lagi, “kalau gitu, buku karangan bapak juga sama, boleh diinjak-injak!”, aku bicara gitu, sambil menginjak buku dosen itu. Puasnya aku.
kata Mr. Filsof, “apa! Buku karangan bapak diinjak! Itu gak boleh, susuah aku buatnya”
“oh, kirain boleh. Nih pak” itu aku bicara sambil ngelempar buku karangan dosen kebawah kakinya.
Melihat itu, semua mahasiswa menyeru, “pak, injak bukunya, ayo pak! Injak! Injak! Injak…injak… injak” semua mahasiswa mendukung dosen itu. Mereka berseru sambil menyanyikan, “injak..injak..injak
Karena ingin membuktikan buku itu gak berharga. Dengan tetesan air mata. Dosen itu pun akhirnya menginjak buku karangan satu-satunya yang buatnya aja 20 tahun.
Karena mahasiswa suka sama dosen itu. Mereka juga membantu Mr. Filsof menginjak-injak bukunya. Jumlah mahasiswa ada 40 Orang. Semua berebut buku itu untuk diinjak. Satu demi satu, dengan dilempar kan kesan-kemari. Menyaksikan itu. Pak dosen yang terhormat dan intelek itu menangis.. menangis, dan mengerti kenapa al-Quran susuah untuk dibolehkan diinjak.
Ya, saya kira banyak hal di dunia ini yang masuk akal dilakukan, tapi gak harus betul-betul dilakukan. Ada kalanya perasaan lebih utama dipilih daripada egoisitas pikiran semata. Bukankah perasaan yang selama ini menghidupkan kita. Dengan akalkah seorang ibu mengurus dan menyayangi kita. Hal yang tidak masuk akalpun akan dilakukan oleh seorang ibu untuk membela anaknya.
Mungkin itulah Muslim, kelemahankah atau memang itu kekuatannya?
"Terimakasih Atas Kunjungannya, Semoga Anda Banyak Rezeki, Banyak Anak, Dan Masuk Surga. SALAM CINTA"
Ayah, Maafkan Aku
Cerpen SYAMSUDIN eL-FAQIRUL’ILMY
Ayahku seorang penulis, telah banyak karyanya, termasuk Cerpen ini. Di sela-sela kebingungannya mencari ide untuk bahan tulisan. Ia sering mengajaku jalan-jalan menyusuri pantai, taman kota dan tempat-tempat indah lainnya di sekitar kota Jakarta. Aku sangat akrab dengan ayahku. Jalinan hubungan kami begitu sangat intim. Sampai-sampai terkadang terkesan romantis. Untuk ukuran keluarga itu memang wajarkan?
“Ayah sebesar apa kasih sayangmu pada Nia” aku bertanya pada ayah saat ia berdiri menikmati pemandangan pantai di Ancol. Mendengar itu, ia tersenyum dan menatapku, kemudian berkata,
“Emmm… sebesar apa ya? Mungkin seperti aku menyayangi ibumu”. Aku senang ayah berkata begitu. “tapi kenapa ia menyamakan kasih sayangnya dengan ibu?” saking senangnya, aku sampai tidak sadar memeluknya erat-erat. Entah ia kaget atau tidak? Yang pasti ia juga membalas pelukanku. Walaupun hanya sebentar.
“Kalau sayang, kenapa gak pernah cium aku?” kataku, bukan rayuan.
“Udah, malah sering. Dulu waktu kamu kecil”
“kapan? Aku gak pernah merasakan ciuman ayah” lanjutku. Tapi ayahku tidak merespon. Ia terus saja menatap lautan biru di bawah cakrawala, dimana ombak berlari saling mengejar.
“Yah, kasih sun donk! Mau tahu ciuman ayah yang dulu” Aku berkata penuh malu. Pensaran dengan ciuman ayah yang katanya pernah sering berikan. Mungkin sekitar 16 tahun yang lalu, aku sendiri lupa.
Ayah tersenyum lagi mendengar ucapanku. Walau akhirnya ia memang mengecup keningku. “kamu ada-ada saja”kata ayahku.
Setelah itu, ia mengajaku pulang. Karena mentari di Barat sudah meredup dan kehilangan kekuasannya.
***
Sekitar pukul 17.45, kami sampai di perumahan Cempaka Putih, di sana rumah kami berada. Di rumah Ku lihat ibu duduk di atas sopa ruang tamu. Duduk penuh keletihan, mungkin karena cape bekerja seharian menunggu toko. Ayah lebih dulu masuk ke rumah. Ia pun sepertinya kaget melihat ibu sudah berada di rumah. Dengan penuh kasih sayang, ayah memberi kecupan pada keningnya. Entah kenapa? Menyaksikan kebahagian ayah dan ibu hatiku serasa aneh. Tapi, perasaan itu aku buang dengan menonton Televisi.
Orang-orang di dalam layer kaca itu, tidak ada yang bisa menghiburku. Dengan penuh kekesalan dan perasaan yang tidak tentu. Aku menekan tombol remot dan memindah-mindahkan acara televisi, dan terus mengulanginya dengan emosi. Akhirnya aku lemparkan remot itu ke atas sopa. Karena bosan dengan suasana dan sekali lagi entah kenapa perasaanku begitu tidak menentu, aku memutuskan pergi ke kamar untuk tidur.
Di kamar aku membuka jendela dan menatap langit yang melebarkan selimut kegelapannya menutupi seluruh cakrawal. Ribuan tentara cahaya langit penghias gelapnya malam, belum ada yang hadir satupun. Tidak ada keindahan langit, padahal ia baru saja menutupi siang. Yang ada hanya gelap dan sorot lampu yang berjajar di pagar rumah.
Memperhatikan kegelapan angkasa. Hatiku begitu tenang. Padahal sebelumnya aku baru saja menikmati keindahan lautan. Aku terasa cocok dan nyaman dengan kegelapan ini. Di balik lamunanku, kurasakan seolah-olah ada pesan dari sang kegelapan. Entah apa pesan itu? Yang aku tahu bisikan itu tidak baik. Tadinya aku menolak, namun setelah itu aku tak berdaya. Mengalir seperti apa yang akan ia inginkan. Aku tetap kaku tak bergerak, terus merasakan pesannya. Setelah terasa, aku menolaknya lagi. Tapi kali ini aku lebih tidak berdaya. Menolaknya pun aku tidak bisa. “kau akan bahagia dan tenang” kira-kira itu bisikan yang terasa.
Malam semakin gelap. Dan bidadarinya baru saja muncul dari balik awan gelap. Sedangkan aku semakin bingung dengan kondisiku. Aku memejamkan mata, mengkerutkan kening. Dan menutupi telinga dengan kedua tanganku. Berusaha melepaskan bisikan di dalam pikiran dan hati yang terus mengganggu.
Untuk melepaskan semua itu. Aku berlari menuruni anak tangga untuk menemui ayah dan ibu, terutama ayah. Karena ia yang bisa menenangkan semua ini. Sebagaimana sebelumnya ia menenangkanku dari jeratan yang hamir setiap malam aku rasakan. bahkan, disetiap kali aku merasa sepi dan terhanyut oleh lamunan. Perasaan atau bisikan itu akan datang dan terus mengganggau.
Satu demi satu anak tangga aku pijak menurun. Dengan langkah yang cepat menuju ruang peristirahatan dimana ayah dan ibuku sedang duduk berdua. Dengan tergesa-gesa dan tanpa permisi aku meraih daun pintu dengan tenang untuk menemui mereka. Perasaan kaget, tidak percaya, dan aneh kenapa perasaanku terasa hancur. Aku memergoki ayah dan ibu bercumbu dengan sangat mesra. Entah mereka tahu atau tidak? Aku kembali ke kamar dengan berlari dan tidak sengaja menyandung guci di sisi tangga. Guci pecah menimbulkan jeritan yang aku yakin akan mengundang kepenesaran ayah dan ibu. Sebelum mereka tahu. Aku melanjutkan langkahku dan membuka daun pintu kamar dengan keras. Kemudian merebahkan tubuhku dan berusaha membuang perasaan. Yang sekali lagi aneh. Karena tidak semestinya aku seperti ini dengan perasaan ini.
Di bawah, kudengar suara langkah kaki menginjak anak tangga dengan tergesa seakan mengejar sesuatu. Mereka ayah dan ibuku.
“Apa yang terjadi sayang?” Ibuku berusaha memecahkan kepenasarannya. Sedangkan ayahku hanya berdiri saja di samping tempat tidur.
Tidak ada pertanyaan mereka yang aku jawab. Bahkan sentuhan tangan ibu yang mengusap kepalaku, aku singkirkan dengan kasar. karena kehadiran mereka, atau ibuku membuatku semakin tidak nyaman. Tidak pikir panjang aku memeluk ayah dengan erat tanpa mengatakan sepatah katapun. Melihat itu, ibuku terus berbicara menenangkanku dan berusaha memelekku. Tapi aku tidak menghiraukannya.
Sepertinya ibuku merasa heran. ia mengajak ayahku kekamar mereka. Dengan ajakannya, ayahpun melepaskan jeratan pelukanku dan tanpa seucap kata ia meninggalkanku kembali di dalam kesendirian.
Sudah kukatakan, kesepian bisa mengembalikan bisikan dan perasaan aneh itu. Kali ini, dengan emosi perasaan itu terus membisik dan merayuku sampai-sampai aku benar-benar tidak berdaya dan harus mengikutinya. Mungkin harus? Atau perasaanku hancur.
Waktu sudah sangat larut malam. Kegelapan benar-benar menguasasi dunia. Dan itu terasa di dalam diriku. Gelap dan sangat gelap aku merasakan gejolak jiwa yang terus menyerang dan mempercepat detak jantungku. Saat mencapai pada puncaknya. Dimana aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan. Yang aku tahu, perasaanku memimpin apa yang hendak akan aku perbuat ini.
Langkah kaki membawa aku ke depan pintu kamar ayah dan ibu. Sesaat aku terpaku dan berpikir, kemudian mengabaikan suara hati dan mengikuti perasaan. Tidak lama aku berdiri. Kembali melangkahkan kaki dan menuju dapur. Di sela-sela sendok dan garfu, aku melihat sebilah pisau tajam dengan warna silver bercahaya. Pisau itu aku genggam dengan erat dan penuh emosi yang menggebu. Dengan langkah pelan dan hati-hati aku berjalan menuju kamar ayah dan ibu. Kebetulan pintu kamar mereka tidak terkunci. Dengan sangat pelan dan apik aku menginjakan kakiku di lantai kamar. Di depan ranjang aku menatap mereka. Melihat ibu meletakkan tangan kirinya di atas tubuh ayah dan menjadikan dadanya yang bidang sebagai bantal.
Melihat ayah aku tersenyum. Lalu berjalan mendekatinya, berdiri di sampingnya. Dengan tangan yang masih menggenggam pisasu. Aku mengusap pipinya dan berusaha membals ciumannya tempo dulu. Saat kami di pantai Ancol. Tidak terasa aku meletakkan kepalaku di atas dada ayah. Suasanaku jadi tidak nyaman saat kepalaku beradu dengan kepala ibu. Ibu bangun dan kaget. Tapi, ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Ku lihat ibu akan mengatakan sesuatu. Terlihat dari bibirnya yang bergetar dengan sorot mata yang heran. Tidak ada kesempatan ibu untuk bicara. Semuanya telah terlambat untuk menyapa anak yang ia sayangi ini. Karena pisau yang aku genggam. Kini telah menancap, melubangi jantung kehidupannya. Pisau ku cabut kembali dengan lumuran darah segar. Kemudian aku menatap ayah yang masih terlelap dan tersenyum padanya.
Setelah puas menatap ayah. Aku kembali menatap ibu dengan darah yang masih mengalir dari dalam dalam dadanya dan melumuri selimut putih dengan darah merah yang sebetulnya aku ingin meminumnya. Mata ibuku melotot, sepertinya ia menatapku penuh emosi. Aku kesal padanya kenapa terus memandangku begitu. Dengan sangat kesal dan emosi aku kembali menusuk tubuh ibuku.
Kerasnya tusukan itu. Mencipratkan darahnya kemuka ayah dan spontan membangunkannya. Ayah sangat kaget melihat tubuh ibu yang berlumuran darah. Tidak lama ia memalingakan tatapannya dan memandangku penuh emosi dengan pisau yang masih aku genggam dan meneteskan darah. Aku membalas tatapan ayah dengan senyuman. Tapi ayah menggamparku dengan sangat keras dan melemparkan pisau jauh kelantai. Aku tersungkur. Ayah sungguh kejam padaku bahkan ia mengacuhkanku.
Ayah menangis sembari memeluk tubuh ibu dengan penuh kasih sayang dan ketidak percayaan. Aku tahu, sepertinya ia tidak suka dengan apa yang telah aku lakukan. Padahal, semua itu demi aku dan ayah. Aku tidak menyesal melakukannya. Karena aku sangat mencintainya dan mau hidup dengan tenang dengannya. Ia malah menolakku bahkan menamparku.
Ayah, maafkan aku » sungguh aku menyesal. Aku pantas hidup dalam kesendirian di Rumah Sakit Jiwa ini.[]
Ayahku seorang penulis, telah banyak karyanya, termasuk Cerpen ini. Di sela-sela kebingungannya mencari ide untuk bahan tulisan. Ia sering mengajaku jalan-jalan menyusuri pantai, taman kota dan tempat-tempat indah lainnya di sekitar kota Jakarta. Aku sangat akrab dengan ayahku. Jalinan hubungan kami begitu sangat intim. Sampai-sampai terkadang terkesan romantis. Untuk ukuran keluarga itu memang wajarkan?
“Ayah sebesar apa kasih sayangmu pada Nia” aku bertanya pada ayah saat ia berdiri menikmati pemandangan pantai di Ancol. Mendengar itu, ia tersenyum dan menatapku, kemudian berkata,
“Emmm… sebesar apa ya? Mungkin seperti aku menyayangi ibumu”. Aku senang ayah berkata begitu. “tapi kenapa ia menyamakan kasih sayangnya dengan ibu?” saking senangnya, aku sampai tidak sadar memeluknya erat-erat. Entah ia kaget atau tidak? Yang pasti ia juga membalas pelukanku. Walaupun hanya sebentar.
“Kalau sayang, kenapa gak pernah cium aku?” kataku, bukan rayuan.
“Udah, malah sering. Dulu waktu kamu kecil”
“kapan? Aku gak pernah merasakan ciuman ayah” lanjutku. Tapi ayahku tidak merespon. Ia terus saja menatap lautan biru di bawah cakrawala, dimana ombak berlari saling mengejar.
“Yah, kasih sun donk! Mau tahu ciuman ayah yang dulu” Aku berkata penuh malu. Pensaran dengan ciuman ayah yang katanya pernah sering berikan. Mungkin sekitar 16 tahun yang lalu, aku sendiri lupa.
Ayah tersenyum lagi mendengar ucapanku. Walau akhirnya ia memang mengecup keningku. “kamu ada-ada saja”kata ayahku.
Setelah itu, ia mengajaku pulang. Karena mentari di Barat sudah meredup dan kehilangan kekuasannya.
***
Sekitar pukul 17.45, kami sampai di perumahan Cempaka Putih, di sana rumah kami berada. Di rumah Ku lihat ibu duduk di atas sopa ruang tamu. Duduk penuh keletihan, mungkin karena cape bekerja seharian menunggu toko. Ayah lebih dulu masuk ke rumah. Ia pun sepertinya kaget melihat ibu sudah berada di rumah. Dengan penuh kasih sayang, ayah memberi kecupan pada keningnya. Entah kenapa? Menyaksikan kebahagian ayah dan ibu hatiku serasa aneh. Tapi, perasaan itu aku buang dengan menonton Televisi.
Orang-orang di dalam layer kaca itu, tidak ada yang bisa menghiburku. Dengan penuh kekesalan dan perasaan yang tidak tentu. Aku menekan tombol remot dan memindah-mindahkan acara televisi, dan terus mengulanginya dengan emosi. Akhirnya aku lemparkan remot itu ke atas sopa. Karena bosan dengan suasana dan sekali lagi entah kenapa perasaanku begitu tidak menentu, aku memutuskan pergi ke kamar untuk tidur.
Di kamar aku membuka jendela dan menatap langit yang melebarkan selimut kegelapannya menutupi seluruh cakrawal. Ribuan tentara cahaya langit penghias gelapnya malam, belum ada yang hadir satupun. Tidak ada keindahan langit, padahal ia baru saja menutupi siang. Yang ada hanya gelap dan sorot lampu yang berjajar di pagar rumah.
Memperhatikan kegelapan angkasa. Hatiku begitu tenang. Padahal sebelumnya aku baru saja menikmati keindahan lautan. Aku terasa cocok dan nyaman dengan kegelapan ini. Di balik lamunanku, kurasakan seolah-olah ada pesan dari sang kegelapan. Entah apa pesan itu? Yang aku tahu bisikan itu tidak baik. Tadinya aku menolak, namun setelah itu aku tak berdaya. Mengalir seperti apa yang akan ia inginkan. Aku tetap kaku tak bergerak, terus merasakan pesannya. Setelah terasa, aku menolaknya lagi. Tapi kali ini aku lebih tidak berdaya. Menolaknya pun aku tidak bisa. “kau akan bahagia dan tenang” kira-kira itu bisikan yang terasa.
Malam semakin gelap. Dan bidadarinya baru saja muncul dari balik awan gelap. Sedangkan aku semakin bingung dengan kondisiku. Aku memejamkan mata, mengkerutkan kening. Dan menutupi telinga dengan kedua tanganku. Berusaha melepaskan bisikan di dalam pikiran dan hati yang terus mengganggu.
Untuk melepaskan semua itu. Aku berlari menuruni anak tangga untuk menemui ayah dan ibu, terutama ayah. Karena ia yang bisa menenangkan semua ini. Sebagaimana sebelumnya ia menenangkanku dari jeratan yang hamir setiap malam aku rasakan. bahkan, disetiap kali aku merasa sepi dan terhanyut oleh lamunan. Perasaan atau bisikan itu akan datang dan terus mengganggau.
Satu demi satu anak tangga aku pijak menurun. Dengan langkah yang cepat menuju ruang peristirahatan dimana ayah dan ibuku sedang duduk berdua. Dengan tergesa-gesa dan tanpa permisi aku meraih daun pintu dengan tenang untuk menemui mereka. Perasaan kaget, tidak percaya, dan aneh kenapa perasaanku terasa hancur. Aku memergoki ayah dan ibu bercumbu dengan sangat mesra. Entah mereka tahu atau tidak? Aku kembali ke kamar dengan berlari dan tidak sengaja menyandung guci di sisi tangga. Guci pecah menimbulkan jeritan yang aku yakin akan mengundang kepenesaran ayah dan ibu. Sebelum mereka tahu. Aku melanjutkan langkahku dan membuka daun pintu kamar dengan keras. Kemudian merebahkan tubuhku dan berusaha membuang perasaan. Yang sekali lagi aneh. Karena tidak semestinya aku seperti ini dengan perasaan ini.
Di bawah, kudengar suara langkah kaki menginjak anak tangga dengan tergesa seakan mengejar sesuatu. Mereka ayah dan ibuku.
“Apa yang terjadi sayang?” Ibuku berusaha memecahkan kepenasarannya. Sedangkan ayahku hanya berdiri saja di samping tempat tidur.
Tidak ada pertanyaan mereka yang aku jawab. Bahkan sentuhan tangan ibu yang mengusap kepalaku, aku singkirkan dengan kasar. karena kehadiran mereka, atau ibuku membuatku semakin tidak nyaman. Tidak pikir panjang aku memeluk ayah dengan erat tanpa mengatakan sepatah katapun. Melihat itu, ibuku terus berbicara menenangkanku dan berusaha memelekku. Tapi aku tidak menghiraukannya.
Sepertinya ibuku merasa heran. ia mengajak ayahku kekamar mereka. Dengan ajakannya, ayahpun melepaskan jeratan pelukanku dan tanpa seucap kata ia meninggalkanku kembali di dalam kesendirian.
Sudah kukatakan, kesepian bisa mengembalikan bisikan dan perasaan aneh itu. Kali ini, dengan emosi perasaan itu terus membisik dan merayuku sampai-sampai aku benar-benar tidak berdaya dan harus mengikutinya. Mungkin harus? Atau perasaanku hancur.
Waktu sudah sangat larut malam. Kegelapan benar-benar menguasasi dunia. Dan itu terasa di dalam diriku. Gelap dan sangat gelap aku merasakan gejolak jiwa yang terus menyerang dan mempercepat detak jantungku. Saat mencapai pada puncaknya. Dimana aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan. Yang aku tahu, perasaanku memimpin apa yang hendak akan aku perbuat ini.
Langkah kaki membawa aku ke depan pintu kamar ayah dan ibu. Sesaat aku terpaku dan berpikir, kemudian mengabaikan suara hati dan mengikuti perasaan. Tidak lama aku berdiri. Kembali melangkahkan kaki dan menuju dapur. Di sela-sela sendok dan garfu, aku melihat sebilah pisau tajam dengan warna silver bercahaya. Pisau itu aku genggam dengan erat dan penuh emosi yang menggebu. Dengan langkah pelan dan hati-hati aku berjalan menuju kamar ayah dan ibu. Kebetulan pintu kamar mereka tidak terkunci. Dengan sangat pelan dan apik aku menginjakan kakiku di lantai kamar. Di depan ranjang aku menatap mereka. Melihat ibu meletakkan tangan kirinya di atas tubuh ayah dan menjadikan dadanya yang bidang sebagai bantal.
Melihat ayah aku tersenyum. Lalu berjalan mendekatinya, berdiri di sampingnya. Dengan tangan yang masih menggenggam pisasu. Aku mengusap pipinya dan berusaha membals ciumannya tempo dulu. Saat kami di pantai Ancol. Tidak terasa aku meletakkan kepalaku di atas dada ayah. Suasanaku jadi tidak nyaman saat kepalaku beradu dengan kepala ibu. Ibu bangun dan kaget. Tapi, ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Ku lihat ibu akan mengatakan sesuatu. Terlihat dari bibirnya yang bergetar dengan sorot mata yang heran. Tidak ada kesempatan ibu untuk bicara. Semuanya telah terlambat untuk menyapa anak yang ia sayangi ini. Karena pisau yang aku genggam. Kini telah menancap, melubangi jantung kehidupannya. Pisau ku cabut kembali dengan lumuran darah segar. Kemudian aku menatap ayah yang masih terlelap dan tersenyum padanya.
Setelah puas menatap ayah. Aku kembali menatap ibu dengan darah yang masih mengalir dari dalam dalam dadanya dan melumuri selimut putih dengan darah merah yang sebetulnya aku ingin meminumnya. Mata ibuku melotot, sepertinya ia menatapku penuh emosi. Aku kesal padanya kenapa terus memandangku begitu. Dengan sangat kesal dan emosi aku kembali menusuk tubuh ibuku.
Kerasnya tusukan itu. Mencipratkan darahnya kemuka ayah dan spontan membangunkannya. Ayah sangat kaget melihat tubuh ibu yang berlumuran darah. Tidak lama ia memalingakan tatapannya dan memandangku penuh emosi dengan pisau yang masih aku genggam dan meneteskan darah. Aku membalas tatapan ayah dengan senyuman. Tapi ayah menggamparku dengan sangat keras dan melemparkan pisau jauh kelantai. Aku tersungkur. Ayah sungguh kejam padaku bahkan ia mengacuhkanku.
Ayah menangis sembari memeluk tubuh ibu dengan penuh kasih sayang dan ketidak percayaan. Aku tahu, sepertinya ia tidak suka dengan apa yang telah aku lakukan. Padahal, semua itu demi aku dan ayah. Aku tidak menyesal melakukannya. Karena aku sangat mencintainya dan mau hidup dengan tenang dengannya. Ia malah menolakku bahkan menamparku.
Ayah, maafkan aku » sungguh aku menyesal. Aku pantas hidup dalam kesendirian di Rumah Sakit Jiwa ini.[]
Rahasia Makna “Ba” di Dalam Lafadz Bismallah…
Rahasia Makna “Ba” di Dalam Lafadz Bismallah…
Oleh DASAM SYAMSUDIN
“Setiap perbuatan yang baik, tidak diawalai dengan bacaan basmalah (sebelum melakukan aktivitas). Maka, amal perbuatan itu putus ( tidak sampai kepada Allah)—berkurang atau sedikit berkah”. (Khobar Rasulullah)
Ada banyak alasan para ulama kenapa menempatkan kalimat “Bismillahirohmanirrahim” sebagai awal pembuka dari pembahasan atau aktivitasnya. Namun dari sekian alasan itu, yang paling popular ada dua”
Pertama, mereka mengatakan bahwa, “Basmallah” harus selalu yang pertama diucapkan atau ditulis karena menghormati atau mengikuti gaya bahasa sastra di dalam al-Quran—alasan ini memang khusus dalam pengarangan kitab atau tulisan—Sebagaimana setiap surat di dalam al-Quran selalu diawali dengan basmallah kecuali surat at-Taubah [9]. Seperti menurut Ibnu ‘Aqil, “Semua itu dilakukan karena menghormati al-Quran semata” (iqtidaan lilkitabil’aziz).
Alasan kedua, karena ada khobar Rasulullah Saw yang memerintahkan agar setiap aktivitas hendaknya diawali dengan membaca basmallah. Sebagaimana kutipan hadits diatas. Yang jadi pertanyaan, bukan kenapa basmallah harus selalu diucapkan atau dibaca sebagai pembuka aktivitas. Tapi, ada apa (barangkali: rahasia) dengan basmallah, sehingga kalimat itu harus dibaca dalam memulai segala aktifitas?
“Isti’anah”
Dalam menanggapi hal ini, kiranya kita bisa sedikit membuka dan menguak “rahasia huruf ba” di dalam lafadz Basmalaah melalui pendekatan sastra bahasa al-Quran yang diantaranya “ilmu Nahwu”. Di dalam Khosyiyatul-Khudhori syarh (menjelaskan) alfiyah Ibnu Malik sebagai salah satu kitab alat—metode cara membaca tulisan arab—menerangkan, bahwa “ba” di dalam lafadz bismillahirroh-manirrahim mempunyai beberapa makna diantaranya isti’anah.
Isti’anah arti sederhananya adalah “meminta pertolongan”. Sudah barang tentu permohonan pertolongan ini ditujukan kepada Allah, karena hanya Dia yang Maha Pemberi pertolongan. Jadi, apabila kita membaca basmallah dalam mengawali segala sesuatu. Maka, sesungguhnya selama kita mengerjakan aktivitas itu, selama itu pula Allah akan menolongkan kita dengan memberikan kemudahan jika itu suatu kesukaran. Dan, Allah akan memberi pertolongan berupa jawaban atau solusi jika itu suatu persoalan.
Itulah, mengapa Rasulullah menganjurkan kepada umatnya agar selalu membaca basmallah. Bahkan—bukannya beliau keras—Rasulullah mengancam umat Islam yang tidak membaca basmallah setiap kali memulai pekerjaanya dengan mengatakan, “Setia perbuatan yang baik, tidak diawalai dengan bacaan basmalah (sebelum melakukan aktivitas). Maka, amal perbuatan itu putus—berkurang pahalanya atau sedikit berkah”.
Bayangkan, jika perbuatan ini berupa amal soleh seperti menolong orang, bersedekah, puasa, zakat atau perbuatan ihsan lainnya. Jika kita lupa atau memang tidak membaca basmallah, maka amal kita itu sedikitnya akan rugi. —dengan tidak mengatakan sia-sia—karena berkah atau pahalanya berkurang—dengan tidak mengatakan hilang.
Oleh karena itu, membiasakan diri membaca basmallah di dalam memulai segala perbuatan yang akan kita kerjakan, harus kita lakukan dari sekarang. Apa yang di anjurkan oleh Rasulullah, sudah barang tentu kebenaranya. Di samping itu, dengan membaca basmallah ketenangan, konsentrasi serta kemudahan pasti akan kita dapatkan. Sebab, Allah akan menolong kita sebagaimana alasan diatas.
Di sisi lain, membaca basmallah akan membuka kesadaran kita, bahwa segala sesuatu itu telah Allah kuasi dan tentukan. Jadi, berhasil, baik-bagusnya proses yang kita jalani senantiasa akan dikembalikan kepada Allah, dan hal ini sudah barang tentu upaya peningkatan kesadaran keimanan. Bagaimana tidak? mengingat (dzikir) kepada Allah adalah “ibadah”, kendati itu dilakukan dalam bekerja dan hanya dirasakan di dalam hati.
Terlebih lagi, membaca basmallah, berarti kita telah merealisasikan dzikir kita itu terhadap perbuatan, bukan semata ucapan dan ingatan. Maka, sangatlah efektif basmllah di baca sebelum memulai pekerjaan kita. Wallahu A’lam[]
Oleh DASAM SYAMSUDIN
“Setiap perbuatan yang baik, tidak diawalai dengan bacaan basmalah (sebelum melakukan aktivitas). Maka, amal perbuatan itu putus ( tidak sampai kepada Allah)—berkurang atau sedikit berkah”. (Khobar Rasulullah)
Ada banyak alasan para ulama kenapa menempatkan kalimat “Bismillahirohmanirrahim” sebagai awal pembuka dari pembahasan atau aktivitasnya. Namun dari sekian alasan itu, yang paling popular ada dua”
Pertama, mereka mengatakan bahwa, “Basmallah” harus selalu yang pertama diucapkan atau ditulis karena menghormati atau mengikuti gaya bahasa sastra di dalam al-Quran—alasan ini memang khusus dalam pengarangan kitab atau tulisan—Sebagaimana setiap surat di dalam al-Quran selalu diawali dengan basmallah kecuali surat at-Taubah [9]. Seperti menurut Ibnu ‘Aqil, “Semua itu dilakukan karena menghormati al-Quran semata” (iqtidaan lilkitabil’aziz).
Alasan kedua, karena ada khobar Rasulullah Saw yang memerintahkan agar setiap aktivitas hendaknya diawali dengan membaca basmallah. Sebagaimana kutipan hadits diatas. Yang jadi pertanyaan, bukan kenapa basmallah harus selalu diucapkan atau dibaca sebagai pembuka aktivitas. Tapi, ada apa (barangkali: rahasia) dengan basmallah, sehingga kalimat itu harus dibaca dalam memulai segala aktifitas?
“Isti’anah”
Dalam menanggapi hal ini, kiranya kita bisa sedikit membuka dan menguak “rahasia huruf ba” di dalam lafadz Basmalaah melalui pendekatan sastra bahasa al-Quran yang diantaranya “ilmu Nahwu”. Di dalam Khosyiyatul-Khudhori syarh (menjelaskan) alfiyah Ibnu Malik sebagai salah satu kitab alat—metode cara membaca tulisan arab—menerangkan, bahwa “ba” di dalam lafadz bismillahirroh-manirrahim mempunyai beberapa makna diantaranya isti’anah.
Isti’anah arti sederhananya adalah “meminta pertolongan”. Sudah barang tentu permohonan pertolongan ini ditujukan kepada Allah, karena hanya Dia yang Maha Pemberi pertolongan. Jadi, apabila kita membaca basmallah dalam mengawali segala sesuatu. Maka, sesungguhnya selama kita mengerjakan aktivitas itu, selama itu pula Allah akan menolongkan kita dengan memberikan kemudahan jika itu suatu kesukaran. Dan, Allah akan memberi pertolongan berupa jawaban atau solusi jika itu suatu persoalan.
Itulah, mengapa Rasulullah menganjurkan kepada umatnya agar selalu membaca basmallah. Bahkan—bukannya beliau keras—Rasulullah mengancam umat Islam yang tidak membaca basmallah setiap kali memulai pekerjaanya dengan mengatakan, “Setia perbuatan yang baik, tidak diawalai dengan bacaan basmalah (sebelum melakukan aktivitas). Maka, amal perbuatan itu putus—berkurang pahalanya atau sedikit berkah”.
Bayangkan, jika perbuatan ini berupa amal soleh seperti menolong orang, bersedekah, puasa, zakat atau perbuatan ihsan lainnya. Jika kita lupa atau memang tidak membaca basmallah, maka amal kita itu sedikitnya akan rugi. —dengan tidak mengatakan sia-sia—karena berkah atau pahalanya berkurang—dengan tidak mengatakan hilang.
Oleh karena itu, membiasakan diri membaca basmallah di dalam memulai segala perbuatan yang akan kita kerjakan, harus kita lakukan dari sekarang. Apa yang di anjurkan oleh Rasulullah, sudah barang tentu kebenaranya. Di samping itu, dengan membaca basmallah ketenangan, konsentrasi serta kemudahan pasti akan kita dapatkan. Sebab, Allah akan menolong kita sebagaimana alasan diatas.
Di sisi lain, membaca basmallah akan membuka kesadaran kita, bahwa segala sesuatu itu telah Allah kuasi dan tentukan. Jadi, berhasil, baik-bagusnya proses yang kita jalani senantiasa akan dikembalikan kepada Allah, dan hal ini sudah barang tentu upaya peningkatan kesadaran keimanan. Bagaimana tidak? mengingat (dzikir) kepada Allah adalah “ibadah”, kendati itu dilakukan dalam bekerja dan hanya dirasakan di dalam hati.
Terlebih lagi, membaca basmallah, berarti kita telah merealisasikan dzikir kita itu terhadap perbuatan, bukan semata ucapan dan ingatan. Maka, sangatlah efektif basmllah di baca sebelum memulai pekerjaan kita. Wallahu A’lam[]
Guru dan Tantangannya di Era Globalisasi
Oleh DASAM SYAMSUDIN
MASALAH guru merupakan topik yang tidak pernah habis dibahas sekurang-kurangnya selama dasawarsa terakhir. Pembahasan tentang guru tersebar diberbagai media massa, diperdebatkan di dalam diskusi-diskusi akademik, diangkat permasalahannya di dalam seminar-seminar. Membahas tentang guru selalu aktual, karena permasalahan guru sendiri dan dunia pendidikan yang menyangkutnya selalu diperbincangkan.
Misalnya, sekelumit deskripsi ketidak sukaan masyarakat pada guru bisa kita saksikan tiap akhir tahun ajaran. Tidak sedikit orang tua murid yang merasa kecewa pada guru karena anaknya tidak lulus. Mereka menuding guru tidak bisa mengajar dan mendidik. Dari masyarakat pendidikan sendiri, tidak sedikit siswa yang marah dan kecewa terhadap guru karena ia tidak berhasil lulus pada test ujian Nasional. Pemandangan seperti ini, tiap tahun kelulusan sekolah-sekolah selalu kita saksikan baik secara langsung atau melalui media massa.
Muhibbin syah, M.Ed. dalam bukunya Psikologi Pendidikan, bahkan mengatakan bahwa, "profesi guru yang dianggap "kering", dalam arti kerja keras para guru membangun sumber daya manusia (SDM) hanya sekedar untuk mempertahankan kepulan asap dapur mereka saja. Bahkan, harkat dan derajat mereka di mata masyarakat merosot, seolah-olah menjadi warga second class (kelas kedua). Kemorosotan ini terkesan hanya karena mereka berpenghasilan jauh dibawah rata-rata kalangan profesi lainnya.
Tantangan eksternal guru
Hal diatas adalah secuil dari permasalahan guru, khusunya masalah internal guru. Selain dihadapkan pada persoalan internal, guru juga mempunyai tantangan eksternal yang harus dihadapinya. Menurut Indra Djati Sidi, Ph.d. dalam bukunya menuju Masyarakat Belajar guru mempunyai dua persoalan eksternal, yaitu pertama, krisis etika dan moral anak bangsa, dan yang kedua, tantangan masyarakat global.
Persoalan etika dan moral anak bangsa, sesungguhnya bukan hanya permasalah guru. Namun, jika yang dibidiknya adalah moral pelajar, maka tidak ada alasan guru tidak dilibatkan. Guru sebagai pengajar dan pendidik, memang tidak hanya harus "membina" para murid dari segi kognitif dan psikomotoriknya demi peningkatan nilai angka. Akan tetapi, seorang guru sangat dituntut agar apa yang ia ajarkan dipraktekan oleh para muridnya dalam kehidupan.
Disamping itu, yang terpenting seorang guru harus bisa mengubah pola pikir dan perilaku para siswa agar lebih baik dan mampu menciptakan pelajar yang etis-moralis. Guru adalah orang yang bertanggung jawab atas peningkatan moral pelajar juga kemorosotannya. Dengan demikian, tugas guru tidak terbatas pada pengajaran mata pelajaran, tapi yang paling urgen adalah pencetakan karakter murid. Tantangan persoalan ini memang sangat sulit bagi para guru, keterbatasan kontroling guru pada murid kerap membuatnya kecolongan. Sehingga tidak sedikit murid didikannya yang trebawa arus perilaku amoral diluar pengetahuannya.
Persoalan pertama ini, memang selalu menjadi persoalan utama yang harus diperbaiki dan diperbaikai oleh para guru. Tantangan etika moral siswa adalah tantangan guru dari masa kemasa, mungkin karena pendidikan dipandang sebagai proses memanusiakan manusia. Maka, untuk mensukseskan proses itu guru harus lebih sibuk dan teliti dalam mengajar, mengontrol dan menjaga etika moral siswa kearah perbaikan.
Disamping masalah besar pertama tadi, guru juga harus menghadapi permasalahan lainnya yaitu tantangan masyarakat global. Di era globalisasi, guru sangat dituntut meningkatkan profesionalitasnya sebagai pengajar dan pendidik. Disamping profesionalitas, guru juga harus menghadapi beberapa kata kunci dunia pendidikan yaitu, kompetisi, transparansi, efisiensi, dan kualitas tinggi. Dari segi sosial, masayarakat global akan menjadi sangat peka dan peduli terhadap masalah-masalah demokrasi, hak asasi manusia, dan isu lingkungan hidup.
Kendala tersebut harus dihadapi guru dengan sangat arif. Maka tidak heran jika pemerintah mengadakan sertifikasi guru, agar profesionalitas guru terwujud. Perhatian pemerintah memberi solusi terhadap persoalan dunia pendidikan khsusunya guru, di implementasikannya dengan sertifikasai guru dan meningkatkan kesejahteraanya dengan peningkatan tunjangan pendidikan. Dengan demikian, kulaitias mutu pendidikan harus sangat diperhatikan bagi para guru untuk menyelamatkan profesinya.
Menanggapi persoalan tersebut, dalam peningkatan kualiatas pengajaran, guru harus bisa mengembangkan tiga intelejensi dasar siswa. Yaitu, intelektual, emosional dan moral. Tiga unsur itu harus ditanamkan pada diri murid sekuat-kuatnya agar terpatri didalam dirinya. Hal lain yang harus diperhatikan guru adalah dimensi spiritual siswa.
Intelektual murid harus luas, agar ia bisa menghadapi era globalisasi dan tidak ketinggalan zaman apalagi sampai terbawa arus. Selain itu, dimensi emosional dan spiritual pelajar harus terdidik dengan baik, agar bisa melahirkan perilaku yang baik dan murid bisa bertahan di antara tarik-ulur pengaruh demoralisasi diera globalisasi dengan prinsip spiritualnya.
Disamping itu, untuk mempertahankan profesinya, guru juga harus memiliki kualifikasi pendidikan profesi yang memadai, memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan bidang yang ditekuninya, mampu berkomunikasi baik dengan anak didiknya, mempunyai jiwa kreatif dan produktif, dan mempunyai etos kerja dan komitmen tinggi terhadap profesinya. Dengan demikian, tantangan guru di era glbalisasi tidak akan menggusurnya pada posisi yang tidak baik, sebagaimana diatas.
MASALAH guru merupakan topik yang tidak pernah habis dibahas sekurang-kurangnya selama dasawarsa terakhir. Pembahasan tentang guru tersebar diberbagai media massa, diperdebatkan di dalam diskusi-diskusi akademik, diangkat permasalahannya di dalam seminar-seminar. Membahas tentang guru selalu aktual, karena permasalahan guru sendiri dan dunia pendidikan yang menyangkutnya selalu diperbincangkan.
Misalnya, sekelumit deskripsi ketidak sukaan masyarakat pada guru bisa kita saksikan tiap akhir tahun ajaran. Tidak sedikit orang tua murid yang merasa kecewa pada guru karena anaknya tidak lulus. Mereka menuding guru tidak bisa mengajar dan mendidik. Dari masyarakat pendidikan sendiri, tidak sedikit siswa yang marah dan kecewa terhadap guru karena ia tidak berhasil lulus pada test ujian Nasional. Pemandangan seperti ini, tiap tahun kelulusan sekolah-sekolah selalu kita saksikan baik secara langsung atau melalui media massa.
Muhibbin syah, M.Ed. dalam bukunya Psikologi Pendidikan, bahkan mengatakan bahwa, "profesi guru yang dianggap "kering", dalam arti kerja keras para guru membangun sumber daya manusia (SDM) hanya sekedar untuk mempertahankan kepulan asap dapur mereka saja. Bahkan, harkat dan derajat mereka di mata masyarakat merosot, seolah-olah menjadi warga second class (kelas kedua). Kemorosotan ini terkesan hanya karena mereka berpenghasilan jauh dibawah rata-rata kalangan profesi lainnya.
Tantangan eksternal guru
Hal diatas adalah secuil dari permasalahan guru, khusunya masalah internal guru. Selain dihadapkan pada persoalan internal, guru juga mempunyai tantangan eksternal yang harus dihadapinya. Menurut Indra Djati Sidi, Ph.d. dalam bukunya menuju Masyarakat Belajar guru mempunyai dua persoalan eksternal, yaitu pertama, krisis etika dan moral anak bangsa, dan yang kedua, tantangan masyarakat global.
Persoalan etika dan moral anak bangsa, sesungguhnya bukan hanya permasalah guru. Namun, jika yang dibidiknya adalah moral pelajar, maka tidak ada alasan guru tidak dilibatkan. Guru sebagai pengajar dan pendidik, memang tidak hanya harus "membina" para murid dari segi kognitif dan psikomotoriknya demi peningkatan nilai angka. Akan tetapi, seorang guru sangat dituntut agar apa yang ia ajarkan dipraktekan oleh para muridnya dalam kehidupan.
Disamping itu, yang terpenting seorang guru harus bisa mengubah pola pikir dan perilaku para siswa agar lebih baik dan mampu menciptakan pelajar yang etis-moralis. Guru adalah orang yang bertanggung jawab atas peningkatan moral pelajar juga kemorosotannya. Dengan demikian, tugas guru tidak terbatas pada pengajaran mata pelajaran, tapi yang paling urgen adalah pencetakan karakter murid. Tantangan persoalan ini memang sangat sulit bagi para guru, keterbatasan kontroling guru pada murid kerap membuatnya kecolongan. Sehingga tidak sedikit murid didikannya yang trebawa arus perilaku amoral diluar pengetahuannya.
Persoalan pertama ini, memang selalu menjadi persoalan utama yang harus diperbaiki dan diperbaikai oleh para guru. Tantangan etika moral siswa adalah tantangan guru dari masa kemasa, mungkin karena pendidikan dipandang sebagai proses memanusiakan manusia. Maka, untuk mensukseskan proses itu guru harus lebih sibuk dan teliti dalam mengajar, mengontrol dan menjaga etika moral siswa kearah perbaikan.
Disamping masalah besar pertama tadi, guru juga harus menghadapi permasalahan lainnya yaitu tantangan masyarakat global. Di era globalisasi, guru sangat dituntut meningkatkan profesionalitasnya sebagai pengajar dan pendidik. Disamping profesionalitas, guru juga harus menghadapi beberapa kata kunci dunia pendidikan yaitu, kompetisi, transparansi, efisiensi, dan kualitas tinggi. Dari segi sosial, masayarakat global akan menjadi sangat peka dan peduli terhadap masalah-masalah demokrasi, hak asasi manusia, dan isu lingkungan hidup.
Kendala tersebut harus dihadapi guru dengan sangat arif. Maka tidak heran jika pemerintah mengadakan sertifikasi guru, agar profesionalitas guru terwujud. Perhatian pemerintah memberi solusi terhadap persoalan dunia pendidikan khsusunya guru, di implementasikannya dengan sertifikasai guru dan meningkatkan kesejahteraanya dengan peningkatan tunjangan pendidikan. Dengan demikian, kulaitias mutu pendidikan harus sangat diperhatikan bagi para guru untuk menyelamatkan profesinya.
Menanggapi persoalan tersebut, dalam peningkatan kualiatas pengajaran, guru harus bisa mengembangkan tiga intelejensi dasar siswa. Yaitu, intelektual, emosional dan moral. Tiga unsur itu harus ditanamkan pada diri murid sekuat-kuatnya agar terpatri didalam dirinya. Hal lain yang harus diperhatikan guru adalah dimensi spiritual siswa.
Intelektual murid harus luas, agar ia bisa menghadapi era globalisasi dan tidak ketinggalan zaman apalagi sampai terbawa arus. Selain itu, dimensi emosional dan spiritual pelajar harus terdidik dengan baik, agar bisa melahirkan perilaku yang baik dan murid bisa bertahan di antara tarik-ulur pengaruh demoralisasi diera globalisasi dengan prinsip spiritualnya.
Disamping itu, untuk mempertahankan profesinya, guru juga harus memiliki kualifikasi pendidikan profesi yang memadai, memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan bidang yang ditekuninya, mampu berkomunikasi baik dengan anak didiknya, mempunyai jiwa kreatif dan produktif, dan mempunyai etos kerja dan komitmen tinggi terhadap profesinya. Dengan demikian, tantangan guru di era glbalisasi tidak akan menggusurnya pada posisi yang tidak baik, sebagaimana diatas.
Pesan Seorang Mujahid
Cerpen DASAM SYAMSUDIN
Langit telah menyembunyikan dirinya, malam telah menyelimuti sisa cahaya surya yang hamper pudar. Aku, ibu dan ayah duduk diruang tamu. Menonton siaran televisi. Sedangkan aku, berusaha menjawab pertanyaan ayah, tentang kondisi dan hasil yang aku dapatkan selama kuliah. Setelah ujian akhir semester, aku memang tidak tinggal di Cairo. Memutuskan menghabiskan masa libur dengan Orangtua.
Malam itu, disela-sela keharmonisan kami. Seorang utusan mujahid Hamas, memberikan surat pada ayahku. Aku tidak mengenal orang itu, tapi aku ingat betul apa yang diucapkannya,
“tentara zionis telah memasuki Gaza. Mereka telah membunuh banyak penduduk, menganiaya dan menawan anak-anak kecil”.
Aku mengerti maksud ucapan itu, dan tahu isi suratnya. Karena itulah aku memaksa ayahku agar mengizinkanku pergii berperang. Kami berdialog cukup lama, ibu meninggalkan kami masuk kamar. Sedangkan aku terus maksa ayah.
“Ayah, biarkan aku saja yang pergi”
“Gak Usah, selesaikan saja kuliahmu!” Kata-kata terakhir ayahku, menutup percakapan kami, sebelum ia masuk kamar menemui bunda.
Namun, ayahku tidak menghiraukan ucapanku. Dia bahkan menyuruhku kembali ke Kairo, untuk menyelesaikan kuliah. Sungguh aku tidak mengerti apa yang ia katakana. Kebingungan it uterus aku pikirkan sampai aku tertidur.
“Ahmad, bangun! Ayahmu akan pergi” ibuku membangunkan.
“Mana ayah?” Aku penasaran, apakah dia benar-benar akan pergi.
“Sudah masuk mobil jemputan mujahid” ibuku menjelaskan
Mendengar itu, aku bangun dan berlari menemui ayahku yang sudah masuk mobil. Baru saja aku membuka pintu rumah. Ayah menatapku dan melambaikan tangannya dihiasi dengan senyuman. Senyuman yang penuh getir, karena meninggalkan keluarga. Tidak ada kehawatiran pergi ke medan perang bagi dirinya. “Tapi, kalianlah yang aku kawatirkan”, ucapannya, dalam percakapan kami malam tadi.
Tak ada pesan yang dia ucapkan, bahkan salam dan sentuhan tangannya pun tidak aku rasakan. Tetesan air mata, membasahi lantai yang aku pijak. Sedang ibu, menangis semabari menutup wajahnya diatas sopa. Aku dan ibu tahu betul apa yang akan terjadi di medan perang. Banyak mujahid dari kampungku yang tidak kembali. Meninggalkan anak yatim yang harus diurus oleh seorang janda.
“Bu, jangan menangis terus. Ayah pasti kembali” aku menyapa ibu, menenangkannya dari kesedihan.
“bukan ayahmu yang aku kawatirkan. Tapi kuliahmu. Ayahmu ingin kau jadi ulama pintar, agar bisa membimbing orang-orang” Ibuku menasehatiku.
Aku tidak mengerti. Kenapa ibu lebih menghawatirkan aku. Padahal ia jelas mengetahui kejamnya dan penderitaan perang.
Setelah aku selesai shalat subuh, yang belum sempat aku kerjakan karena mengejar ayah. Aku menemui ibu yang belum berhenti meneteskan air mata, “bu, kenapa ibu dan ayah menghatirkan kuliah?”
“Dulu, ibu dan ayah pernah mengalami betapa kejamnya perang. Bahkan, saudara kandung ayahmu meninggal di depan matanya. Kami sangat menderita, mayat dimana-mana, anak-anak banyak yang jadi yatim, ibunya menjadi janda, dan ulama banyak yang meninggal. Mengalami semua itu, ayahmu berjanji akan menyekolahkanmu sampai jadi ulama. Ia tidak menginginkan apa yang ibu dan ayahmy alami terjadi padamu”
Menjeleaskan itu, ibu mengusap kedua airmatanya. Dan mengelus kepalaku. Seakan-akan ia menyimpan sebuah harapan.
Sekarang aku mengerti apa yang dikawatirkan mereka. Ia tidak hanya menghawatirkanku. Tapi, umat, masyarakat kampung ini dan kampung lainnya yang telah kehilangan banyak ulama. Aku mengerti pesan mujahid—ayahku, berjihad bukan hanya berperang. Melainkan mencari ilmu yang bermanfaatpun adalah jihad. Terlalu banyak umat masa kini yang membutukan ulama yang solih. Itulah pesan sang mujahid.
Langit telah menyembunyikan dirinya, malam telah menyelimuti sisa cahaya surya yang hamper pudar. Aku, ibu dan ayah duduk diruang tamu. Menonton siaran televisi. Sedangkan aku, berusaha menjawab pertanyaan ayah, tentang kondisi dan hasil yang aku dapatkan selama kuliah. Setelah ujian akhir semester, aku memang tidak tinggal di Cairo. Memutuskan menghabiskan masa libur dengan Orangtua.
Malam itu, disela-sela keharmonisan kami. Seorang utusan mujahid Hamas, memberikan surat pada ayahku. Aku tidak mengenal orang itu, tapi aku ingat betul apa yang diucapkannya,
“tentara zionis telah memasuki Gaza. Mereka telah membunuh banyak penduduk, menganiaya dan menawan anak-anak kecil”.
Aku mengerti maksud ucapan itu, dan tahu isi suratnya. Karena itulah aku memaksa ayahku agar mengizinkanku pergii berperang. Kami berdialog cukup lama, ibu meninggalkan kami masuk kamar. Sedangkan aku terus maksa ayah.
“Ayah, biarkan aku saja yang pergi”
“Gak Usah, selesaikan saja kuliahmu!” Kata-kata terakhir ayahku, menutup percakapan kami, sebelum ia masuk kamar menemui bunda.
Namun, ayahku tidak menghiraukan ucapanku. Dia bahkan menyuruhku kembali ke Kairo, untuk menyelesaikan kuliah. Sungguh aku tidak mengerti apa yang ia katakana. Kebingungan it uterus aku pikirkan sampai aku tertidur.
“Ahmad, bangun! Ayahmu akan pergi” ibuku membangunkan.
“Mana ayah?” Aku penasaran, apakah dia benar-benar akan pergi.
“Sudah masuk mobil jemputan mujahid” ibuku menjelaskan
Mendengar itu, aku bangun dan berlari menemui ayahku yang sudah masuk mobil. Baru saja aku membuka pintu rumah. Ayah menatapku dan melambaikan tangannya dihiasi dengan senyuman. Senyuman yang penuh getir, karena meninggalkan keluarga. Tidak ada kehawatiran pergi ke medan perang bagi dirinya. “Tapi, kalianlah yang aku kawatirkan”, ucapannya, dalam percakapan kami malam tadi.
Tak ada pesan yang dia ucapkan, bahkan salam dan sentuhan tangannya pun tidak aku rasakan. Tetesan air mata, membasahi lantai yang aku pijak. Sedang ibu, menangis semabari menutup wajahnya diatas sopa. Aku dan ibu tahu betul apa yang akan terjadi di medan perang. Banyak mujahid dari kampungku yang tidak kembali. Meninggalkan anak yatim yang harus diurus oleh seorang janda.
“Bu, jangan menangis terus. Ayah pasti kembali” aku menyapa ibu, menenangkannya dari kesedihan.
“bukan ayahmu yang aku kawatirkan. Tapi kuliahmu. Ayahmu ingin kau jadi ulama pintar, agar bisa membimbing orang-orang” Ibuku menasehatiku.
Aku tidak mengerti. Kenapa ibu lebih menghawatirkan aku. Padahal ia jelas mengetahui kejamnya dan penderitaan perang.
Setelah aku selesai shalat subuh, yang belum sempat aku kerjakan karena mengejar ayah. Aku menemui ibu yang belum berhenti meneteskan air mata, “bu, kenapa ibu dan ayah menghatirkan kuliah?”
“Dulu, ibu dan ayah pernah mengalami betapa kejamnya perang. Bahkan, saudara kandung ayahmu meninggal di depan matanya. Kami sangat menderita, mayat dimana-mana, anak-anak banyak yang jadi yatim, ibunya menjadi janda, dan ulama banyak yang meninggal. Mengalami semua itu, ayahmu berjanji akan menyekolahkanmu sampai jadi ulama. Ia tidak menginginkan apa yang ibu dan ayahmy alami terjadi padamu”
Menjeleaskan itu, ibu mengusap kedua airmatanya. Dan mengelus kepalaku. Seakan-akan ia menyimpan sebuah harapan.
Sekarang aku mengerti apa yang dikawatirkan mereka. Ia tidak hanya menghawatirkanku. Tapi, umat, masyarakat kampung ini dan kampung lainnya yang telah kehilangan banyak ulama. Aku mengerti pesan mujahid—ayahku, berjihad bukan hanya berperang. Melainkan mencari ilmu yang bermanfaatpun adalah jihad. Terlalu banyak umat masa kini yang membutukan ulama yang solih. Itulah pesan sang mujahid.
Gak Ada Cewek Yang Lebih Baik Dari Emak
“Mak, usia Sem sudah twentyone, mau mengarungi dunia kasih dulu” itu aku bicara pada emak“Jig, sing kenging nu beunghar!” emak matrealistis juga
“Yes, mak. Sem pergi dulu”
“Jig, sing Samalet, eh salamet” emak
“Mak, Tong ceurik, Salam ka bapak, Assalamu’alaikum’”
Sebagai anak lelaki pertama emak. Aku selalu berusaha mengimplementasi harapannya mendapatkan wanita beunghar. Garut sudah habis kusebrangi , kudaki, dan kukelilingi. Tak ada wanita yang cocok untukku. Dari 50,35 cewek yang aku tembak—ajak jadi pacar—yang kena hanya berkisar 2,5%. Ironis. Bukanya wanita itu gak mau padaku. Tapi, semua orang gak mau wanita itu jadi pacarku. Jangankan kamu aku juga gak ngerti?Sebeleum tahun masehi, Garut, tepatnya daerah Cibiuk hampir disinyalir akan tenggelam oleh air mata para gadisnya. Kehilangan keperawanankah? Hampir, namun jawabannya kurang tepat. Karena gak ada bukti nuduh aku gitu-gitu-an. Kesedihan ditinggalkan kekasih, kira-kira itu jawabanya. Yah, dengan terpaksa aku harus meninggalkan semua gadisku, dari balita sampai manula (manusia lanjuta usia—aki-aki dan nini-nini). Dalam pencarian wanita beunghar, aku tidak pandang bulu. Dari yang berbulu sampai tidak, dari yang kriting sampai yang dirimboding. Dan dari yang pirang sampai yang hitam berkilau—penteen.
Ketidak pandang buluku tiada lain demi mewujudkan kesetaraan sosial. Kan, kalau hanya gadis belasan kurang adil. Bagaimana nasib mereka yang janda, yatim piatu. Kendati jadi yatimnya sudah usia 70-an. Disinilah mesti ditegakkan kepedulian sosial.
Awal memasuki tahun masehi—sebelum fir’aun lelengohan—aku memasuki kawasan Bandung. Disana, aku mulai berpetualang mencari cinta. Cinta dari kaum hawa yang cantik, baik hati juga tidak sombong. Satu lagi, suka minum susu. Mengarungi sungai kasih di Bandung. Hanya, sekitar 6,7 tahun. Massa yang terlalu lama. Nasib ku, di Bandung tak seindah di Garut. Di Bandung banyak wanita beunghar, cantik berpendidikan. Tapi sayang, mereka banyak yang brengsek. Coba bayangin, baru aja aku pacaran satu hari. Ehh, si dia mau dicium? jahat gak cewek itu? Main kasih pipi aja ama anak orang. Ya Tuhan ampuni mereka.
Berhubung aku lelaki kuat iman. Ribuan pipi, bibir, mata, telinga semua aku hiraukan. Aku gak ingin merampas harta wanita. Hanya satu harapanku. Para gadis itu mau memberi anu…nya. Hatinya agar mencintaiku lebih baik dari emak. Bukan sekedar ngasih tubuh yang gak penting. Tapi, kasing sayang.
Sekitar 70 wanita ku kantongi di kota kembang ini. Namun, gak ada wanita yang lebih baik dari emak. Aku menyesal pada diriku. Tidak bisa memenuhi harapan emak mendapatkan wanita beunghar. Semenjak itu kuputuskan pulang kampung. Menemui emak dan menyampaikan kabar buruk ini.
Setelah aku sampai dirumah. Sepertianya emakku berubah menjadi muda lagi. Bahkan, lebih muda dariku.
“mak, ni Sem. Anakmu. Wah emak cantik juga sekarang?” aneh emak kok diam aja, apa dia…..
“EMAKKKKK!!!!.....” aku teriak
“SEMMMM… PLAK..PLAK”emak menjerit dan mukul aku dengan sapu lidi segede pohon kelapa jaman purba.
“Gandeng, emak ge teu budge, ni gogorowokan” ema marah nie
“Emak ie saha?” aku
“Aisya, mahasiswa Jerman” emak
“Naha tidak pakai cadar? Kaya, ninja gitu” aku lagi
“teuing ah… ngelekeb meurreun.”
Setelah itu, diperkenalkan aku dengan Aisya tak bercadar. Satu hari kamu ta’aruf. Dalam sehari aku kenal siapa dia, seluruhnya aku tahu, isi dan luarnya aku tahu. Besoknya kami dikawinkan. Kendati sedikit memaksa Aisya, karena ia masih 20-an. Katanya dijerman kurang pas, nikah usia segitu. Satu bulan kemudian, aku menikah lagi dengan Maria Muslimah anak sungai NIL dari Mesir.
Setelah aku dipenjara. Karena dituduh mencabuli kambing perawan. Aku dipaksa nikah dengan kambing katanya sebagai pertanggung jawaban. Aisya setuju, Maria juga setuju. Tapi, emak enggak. Bahkan kambing yang terfitnah itu. Di beli emak. Kemudian disembelih dan dimakan, sisanya kira-kira 20 kg-an dibagikan keorang-orang miskin.
Emak menyelamatkan hidupku. Sedangkan kedua istriku hampir menjerumuskan. Memang di dunia ini gak ada wanita yang lebih baik dari emak.
“Yes, mak. Sem pergi dulu”
“Jig, sing Samalet, eh salamet” emak
“Mak, Tong ceurik, Salam ka bapak, Assalamu’alaikum’”
Sebagai anak lelaki pertama emak. Aku selalu berusaha mengimplementasi harapannya mendapatkan wanita beunghar. Garut sudah habis kusebrangi , kudaki, dan kukelilingi. Tak ada wanita yang cocok untukku. Dari 50,35 cewek yang aku tembak—ajak jadi pacar—yang kena hanya berkisar 2,5%. Ironis. Bukanya wanita itu gak mau padaku. Tapi, semua orang gak mau wanita itu jadi pacarku. Jangankan kamu aku juga gak ngerti?Sebeleum tahun masehi, Garut, tepatnya daerah Cibiuk hampir disinyalir akan tenggelam oleh air mata para gadisnya. Kehilangan keperawanankah? Hampir, namun jawabannya kurang tepat. Karena gak ada bukti nuduh aku gitu-gitu-an. Kesedihan ditinggalkan kekasih, kira-kira itu jawabanya. Yah, dengan terpaksa aku harus meninggalkan semua gadisku, dari balita sampai manula (manusia lanjuta usia—aki-aki dan nini-nini). Dalam pencarian wanita beunghar, aku tidak pandang bulu. Dari yang berbulu sampai tidak, dari yang kriting sampai yang dirimboding. Dan dari yang pirang sampai yang hitam berkilau—penteen.
Ketidak pandang buluku tiada lain demi mewujudkan kesetaraan sosial. Kan, kalau hanya gadis belasan kurang adil. Bagaimana nasib mereka yang janda, yatim piatu. Kendati jadi yatimnya sudah usia 70-an. Disinilah mesti ditegakkan kepedulian sosial.
Awal memasuki tahun masehi—sebelum fir’aun lelengohan—aku memasuki kawasan Bandung. Disana, aku mulai berpetualang mencari cinta. Cinta dari kaum hawa yang cantik, baik hati juga tidak sombong. Satu lagi, suka minum susu. Mengarungi sungai kasih di Bandung. Hanya, sekitar 6,7 tahun. Massa yang terlalu lama. Nasib ku, di Bandung tak seindah di Garut. Di Bandung banyak wanita beunghar, cantik berpendidikan. Tapi sayang, mereka banyak yang brengsek. Coba bayangin, baru aja aku pacaran satu hari. Ehh, si dia mau dicium? jahat gak cewek itu? Main kasih pipi aja ama anak orang. Ya Tuhan ampuni mereka.
Berhubung aku lelaki kuat iman. Ribuan pipi, bibir, mata, telinga semua aku hiraukan. Aku gak ingin merampas harta wanita. Hanya satu harapanku. Para gadis itu mau memberi anu…nya. Hatinya agar mencintaiku lebih baik dari emak. Bukan sekedar ngasih tubuh yang gak penting. Tapi, kasing sayang.
Sekitar 70 wanita ku kantongi di kota kembang ini. Namun, gak ada wanita yang lebih baik dari emak. Aku menyesal pada diriku. Tidak bisa memenuhi harapan emak mendapatkan wanita beunghar. Semenjak itu kuputuskan pulang kampung. Menemui emak dan menyampaikan kabar buruk ini.
Setelah aku sampai dirumah. Sepertianya emakku berubah menjadi muda lagi. Bahkan, lebih muda dariku.
“mak, ni Sem. Anakmu. Wah emak cantik juga sekarang?” aneh emak kok diam aja, apa dia…..
“EMAKKKKK!!!!.....” aku teriak
“SEMMMM… PLAK..PLAK”emak menjerit dan mukul aku dengan sapu lidi segede pohon kelapa jaman purba.
“Gandeng, emak ge teu budge, ni gogorowokan” ema marah nie
“Emak ie saha?” aku
“Aisya, mahasiswa Jerman” emak
“Naha tidak pakai cadar? Kaya, ninja gitu” aku lagi
“teuing ah… ngelekeb meurreun.”
Setelah itu, diperkenalkan aku dengan Aisya tak bercadar. Satu hari kamu ta’aruf. Dalam sehari aku kenal siapa dia, seluruhnya aku tahu, isi dan luarnya aku tahu. Besoknya kami dikawinkan. Kendati sedikit memaksa Aisya, karena ia masih 20-an. Katanya dijerman kurang pas, nikah usia segitu. Satu bulan kemudian, aku menikah lagi dengan Maria Muslimah anak sungai NIL dari Mesir.
Setelah aku dipenjara. Karena dituduh mencabuli kambing perawan. Aku dipaksa nikah dengan kambing katanya sebagai pertanggung jawaban. Aisya setuju, Maria juga setuju. Tapi, emak enggak. Bahkan kambing yang terfitnah itu. Di beli emak. Kemudian disembelih dan dimakan, sisanya kira-kira 20 kg-an dibagikan keorang-orang miskin.
Emak menyelamatkan hidupku. Sedangkan kedua istriku hampir menjerumuskan. Memang di dunia ini gak ada wanita yang lebih baik dari emak.
Antara Wanita dan Pena
Oleh DASAM SYAMSUDIN
Menurut pak anu… saya lupa namanya. Tapi, kalau gak salah bukunya yang berjudul “Sayap-sayap Patah Pemikiran Kahlil Gibran” Itu kalau gak salah. Kalau mau informasi yang akurat tanya aja ke kang Amien Rais Iskandar, dia punya bukunya.
Intinya gini. Menurut pak anu tadi dalam bukunya, ada ucapan Kahlil Gibran yang berbunyi, “Sesungguhnya nafsu seksual ku tinggi. Namun, aku mencurahkan hasyrat ku itu kedalam tulisan”. Kira-kira kalian percaya gak ucapannya? Jadi, mungkin maksud ucapan Gibran, kalau ia mau mencurahkan kebutuhan bilogisnya (seks) dicurahkannya dengan menulis. So berhubungan or bersenggema dengan pena….”maaf, kira-kira maksudnya begitu kali”. Aku gak tahu yang sebenarnya. Yang aku tahu syah aja menginterpretasi pemikiran orang lain. Dengan syarat dia gak tahu (pikiran yang ditafsirkannya)
Sekelumit kisah ramijud di atas. Bisa ditarik benang merah dan hijaunya. Pertama, Gibran adalah seorang sastrawan hebat. Bayangkan, tulisannya aja bikin kita mabuk kepayang melayang di awang-awang di pengaruhi pemikiran Gibran yang membayang. Kedua, Gibran mempunyai pilihan antara wanita atau pena. Bagi si dia, si Gibran itu. Wanita dan pena gak ada bedanya. Keduanya nampak seksi di depan matannya, dengan gemulai lekuk tubuh wanita dan gemulai goyangan pena yang ditangannya. Keduanya sama-sama menimbulkan hasyrat ingin berkarya. Wanita menghasilkan anak sebagai karya produksi kreativitas si anu….ah jujur aja! Karya penis. Sedangkan pena, menghasilkan hasyrat karya tulisan tangan hasil buah pikiran yang beranak menjadi karya sastra, syair DSB—Dasam Syamsudin Baik dech—sekarang tahu yach yang nulis ini, aku “Dasam Syamsudin”.
Ada apa dengan GIbran? Kenapa dia memilih pena ketimbang wanita? Apakah pena lebih memuaskan? Atau bahkan, pena lebih seksi dari wanita? Atau dia mandul? Atau dia…… (kalian mengerti apa yang aku maksud)?
Semua pertanyaan itu, berputar di dalam sanubariku. Mengobok-obok pemikiranku. Parahnya, telah mempengaruhiku. Jangan sangka aku seperti Gibran yang memandang pena lebih seksi dari tubuh wanita. Bukan! Bukan itu yang ku maksud. Tapi aku terpengaruh oleh pemikirannya. Dan musibah itu menjadi parah saat kang Sukron dan Kang Amien mendokrin lebih tajam. Sungguh ini kejam. Aku tak bisa bernafas lega tanpa menghasilkan sebuah tulisan yang walaupun “acak kadut”. Tapi berusaha adalah bekerja. Bekerja adalah proses. Proses adalah belajar. Dan belajar adalah ibadah. Setuju?! Enggak? Pergi! Jangan baca tulisanku! Kalau kau anggap usaha untuk bisa bukan ibadah. Pergi! Hussss….!
Kalian percaya? Percaya apa? Itu pasti pertanyaan kalian. Gini, dulu aku anggap pemikiran Gibran tentang pena lebih odep dari wanita. Itu sebuah ide gila. Memang si Gibran itu cinta sama Marry… eh Marissa… eh Marsanda apa ya.. Gak tahu ah, lupa. Pokoknya ia cinta sama wanita itu. Namun kecintaanya terhadap dunia sastra—menulis—telah menghabiskan hasyrat seksualnya terhadap wanita. Jadi, ketika ia mau gitu-gituan, yang keluar dari celananya pena. Saya kira apa yang keluar dari dalam celanannya. Pena sudara?! Gibran-Gibran.. ada-ada aja.
Nah, apa yang telah Gibran alamai. Sedikit banyak aku alami juga. Dulu, entah kapan? Aku sangat mencintai seorang wanita. Tahu apa pemicunya? Ya, karena aku normalkan? Normalkan kalau aku mau wanita. Aku kan wanita. Jadi aku mau lelaki—Maksudnya sebaliknya. Tapi saudara-saudara sebangsa dan setanah air. Setelah aku mengarungi dunia tulis menulis. Ya itu, akibat diracuni sama kedua orang yang tadi ku sebutin. Kang Sukron, dan Kang Amien. Mereka gak tahu aku selalu gelisah karena ingin menulis. Mereka gak tahu penulis telah menjadi harapanku. Mereka gak tahu nama emak dan bapakku. Mereka gak tahu aku punya pacar berapa. Yang aku tahu mereka tahu tulisanku acak-kadut. Bagus, Cuma tahu tulisan yang jelek. Kalau yang bagus. Pasti di tiru hak cipta—tulisan yang bagus masih dalam proses pracipta—gak ngerti ya? Sama!.....
Itulah sebuah kisah nyata dari Negeri sastra. Kalian tahu kenapa banyak karya patung telanjang mempraktekkan berbagai variasi cara hubungan seks? Dimana patung itu kebanyakan? Baratkan? Tahu alasannya? Tahu? Baik kita sharing aja. Konon para pembuat karya patung-patung tersebut, adalah orang-orang yang mencurahkan nafsu seksnya dengan membuat karya. Karya tersebut, patung telanjang itu. Jadi, bagi sebuah sastrawan yang telah mendarah daging, bahkan menulang mendaging. Sastra adalah sebuah kehidupan yang lebih indah dari kemolekan tubuh sang wanita pemuas……. Mereka para sastra yang aku ceritain tadi. Mendapat kepuasan tersendiri ketika mempunyai karya sastra. Sehingga, karena jarang atau bahkan tidak pernah bersenggema. Ya, akibatnya, tulisan, patung, arca dan lain sebagainya mereka gambarkan tentang apa yang ia inginkan dari wanita. Aneh ya? Atau memang tulisanku fiktif? Gak percaya cari sendiri! Hmmmmmmmmm….
Kisah sama dialami. Si Qois, pecinta sejati Laila. Siapa yang bisa membuktikan, bahwa mereka pernah berciuman secara fisik? Ayo jawab! (aku berteriak), ayo! Siapa yang bisa buktikan? Saya bisa. Siapa kamu? Dasam Syamsudin. Silahkan! Qois, mencurahkan nafsu seksnya sama gilanya dengan Gibran. Cuma beda caranya dikit-tipis. Gibran kan dikenal tulisannya. Nah, kalau Qois ini dikenal dengan syair-syairnya. Senandung kata yang tersusun dari lidah si Majnun itu gambaran dari kerinduan pada si Laila. Dengan syairnya ia ungkapkan rindu, cinta, ingin bertemu, ingin pegangan tangan, ingin mencium dan ingin…. (Kalian tahu maksudku). Sebenarnya, yang benar sampai mencium. Maaf aku terlalu ekstrem. Wajarlah, calon penulis. He!—maksudnya ketawa degan cepat—jadi he!
Dari semua itu. Pasti kalian berpikir. Kok ada lelaki yang memilih pena—istilah dunia pengetahuan (persepsiku)—ketimbang wanita? Semua orang juga bilang gitu, coy. Ada batas-batas usia, yang memang kita harus memilih pena dari pada wanita. Coba tuh adik kamu yang usianya 5,5 tahun kasih wanita. Pasti dia mau? Mau memilih belajar dalam kurung sekolah. Gak salah kan, memang seharusnya. Seorang remaja mengutamakan pena ketimbang wanita. Ya, anggap aja pena seksi sama seperti wanita. Apa susahnya. Kan di Indonesia, suatu penyimpangan norma. Jika remaja yang pada usia wajib belajar. Eh, malah menggoyangkan bokong wanita bukannya pena. gila itu.
Ada juga saat wanita harus kita pilih. Tanya aja ke kakek kalian. Pasti dia lebih tahu. Maaf. Bukannya gak adil. Aku paling males bahas wanita. Kalian cari sendiri aja ya tentang wanita dari berbagai literasi. Bukanya aku gak tahu. Aku mau pena dulu. Tapi, kalaupun kalian pilih pena, kalau saatnya harus punya wanita. Carilah wanita yang baik. Yang bisa menambah dan mendukung kita membuat karya. Gak usah harus dengan pena. Karya apa aja. Cuma, yang pasti dengan pena semua ilmu dan sastra telah kita konsumsi. Kalau gak ada pena, mungkin semua ilmu gak akan bertahan lama. Maka pantas Allah bersumpah, Demi pena. Dan apa yang dituliskan”…. Wallahu ‘Alam.
Menurut pak anu… saya lupa namanya. Tapi, kalau gak salah bukunya yang berjudul “Sayap-sayap Patah Pemikiran Kahlil Gibran” Itu kalau gak salah. Kalau mau informasi yang akurat tanya aja ke kang Amien Rais Iskandar, dia punya bukunya.
Intinya gini. Menurut pak anu tadi dalam bukunya, ada ucapan Kahlil Gibran yang berbunyi, “Sesungguhnya nafsu seksual ku tinggi. Namun, aku mencurahkan hasyrat ku itu kedalam tulisan”. Kira-kira kalian percaya gak ucapannya? Jadi, mungkin maksud ucapan Gibran, kalau ia mau mencurahkan kebutuhan bilogisnya (seks) dicurahkannya dengan menulis. So berhubungan or bersenggema dengan pena….”maaf, kira-kira maksudnya begitu kali”. Aku gak tahu yang sebenarnya. Yang aku tahu syah aja menginterpretasi pemikiran orang lain. Dengan syarat dia gak tahu (pikiran yang ditafsirkannya)
Sekelumit kisah ramijud di atas. Bisa ditarik benang merah dan hijaunya. Pertama, Gibran adalah seorang sastrawan hebat. Bayangkan, tulisannya aja bikin kita mabuk kepayang melayang di awang-awang di pengaruhi pemikiran Gibran yang membayang. Kedua, Gibran mempunyai pilihan antara wanita atau pena. Bagi si dia, si Gibran itu. Wanita dan pena gak ada bedanya. Keduanya nampak seksi di depan matannya, dengan gemulai lekuk tubuh wanita dan gemulai goyangan pena yang ditangannya. Keduanya sama-sama menimbulkan hasyrat ingin berkarya. Wanita menghasilkan anak sebagai karya produksi kreativitas si anu….ah jujur aja! Karya penis. Sedangkan pena, menghasilkan hasyrat karya tulisan tangan hasil buah pikiran yang beranak menjadi karya sastra, syair DSB—Dasam Syamsudin Baik dech—sekarang tahu yach yang nulis ini, aku “Dasam Syamsudin”.
Ada apa dengan GIbran? Kenapa dia memilih pena ketimbang wanita? Apakah pena lebih memuaskan? Atau bahkan, pena lebih seksi dari wanita? Atau dia mandul? Atau dia…… (kalian mengerti apa yang aku maksud)?
Semua pertanyaan itu, berputar di dalam sanubariku. Mengobok-obok pemikiranku. Parahnya, telah mempengaruhiku. Jangan sangka aku seperti Gibran yang memandang pena lebih seksi dari tubuh wanita. Bukan! Bukan itu yang ku maksud. Tapi aku terpengaruh oleh pemikirannya. Dan musibah itu menjadi parah saat kang Sukron dan Kang Amien mendokrin lebih tajam. Sungguh ini kejam. Aku tak bisa bernafas lega tanpa menghasilkan sebuah tulisan yang walaupun “acak kadut”. Tapi berusaha adalah bekerja. Bekerja adalah proses. Proses adalah belajar. Dan belajar adalah ibadah. Setuju?! Enggak? Pergi! Jangan baca tulisanku! Kalau kau anggap usaha untuk bisa bukan ibadah. Pergi! Hussss….!
Kalian percaya? Percaya apa? Itu pasti pertanyaan kalian. Gini, dulu aku anggap pemikiran Gibran tentang pena lebih odep dari wanita. Itu sebuah ide gila. Memang si Gibran itu cinta sama Marry… eh Marissa… eh Marsanda apa ya.. Gak tahu ah, lupa. Pokoknya ia cinta sama wanita itu. Namun kecintaanya terhadap dunia sastra—menulis—telah menghabiskan hasyrat seksualnya terhadap wanita. Jadi, ketika ia mau gitu-gituan, yang keluar dari celananya pena. Saya kira apa yang keluar dari dalam celanannya. Pena sudara?! Gibran-Gibran.. ada-ada aja.
Nah, apa yang telah Gibran alamai. Sedikit banyak aku alami juga. Dulu, entah kapan? Aku sangat mencintai seorang wanita. Tahu apa pemicunya? Ya, karena aku normalkan? Normalkan kalau aku mau wanita. Aku kan wanita. Jadi aku mau lelaki—Maksudnya sebaliknya. Tapi saudara-saudara sebangsa dan setanah air. Setelah aku mengarungi dunia tulis menulis. Ya itu, akibat diracuni sama kedua orang yang tadi ku sebutin. Kang Sukron, dan Kang Amien. Mereka gak tahu aku selalu gelisah karena ingin menulis. Mereka gak tahu penulis telah menjadi harapanku. Mereka gak tahu nama emak dan bapakku. Mereka gak tahu aku punya pacar berapa. Yang aku tahu mereka tahu tulisanku acak-kadut. Bagus, Cuma tahu tulisan yang jelek. Kalau yang bagus. Pasti di tiru hak cipta—tulisan yang bagus masih dalam proses pracipta—gak ngerti ya? Sama!.....
Itulah sebuah kisah nyata dari Negeri sastra. Kalian tahu kenapa banyak karya patung telanjang mempraktekkan berbagai variasi cara hubungan seks? Dimana patung itu kebanyakan? Baratkan? Tahu alasannya? Tahu? Baik kita sharing aja. Konon para pembuat karya patung-patung tersebut, adalah orang-orang yang mencurahkan nafsu seksnya dengan membuat karya. Karya tersebut, patung telanjang itu. Jadi, bagi sebuah sastrawan yang telah mendarah daging, bahkan menulang mendaging. Sastra adalah sebuah kehidupan yang lebih indah dari kemolekan tubuh sang wanita pemuas……. Mereka para sastra yang aku ceritain tadi. Mendapat kepuasan tersendiri ketika mempunyai karya sastra. Sehingga, karena jarang atau bahkan tidak pernah bersenggema. Ya, akibatnya, tulisan, patung, arca dan lain sebagainya mereka gambarkan tentang apa yang ia inginkan dari wanita. Aneh ya? Atau memang tulisanku fiktif? Gak percaya cari sendiri! Hmmmmmmmmm….
Kisah sama dialami. Si Qois, pecinta sejati Laila. Siapa yang bisa membuktikan, bahwa mereka pernah berciuman secara fisik? Ayo jawab! (aku berteriak), ayo! Siapa yang bisa buktikan? Saya bisa. Siapa kamu? Dasam Syamsudin. Silahkan! Qois, mencurahkan nafsu seksnya sama gilanya dengan Gibran. Cuma beda caranya dikit-tipis. Gibran kan dikenal tulisannya. Nah, kalau Qois ini dikenal dengan syair-syairnya. Senandung kata yang tersusun dari lidah si Majnun itu gambaran dari kerinduan pada si Laila. Dengan syairnya ia ungkapkan rindu, cinta, ingin bertemu, ingin pegangan tangan, ingin mencium dan ingin…. (Kalian tahu maksudku). Sebenarnya, yang benar sampai mencium. Maaf aku terlalu ekstrem. Wajarlah, calon penulis. He!—maksudnya ketawa degan cepat—jadi he!
Dari semua itu. Pasti kalian berpikir. Kok ada lelaki yang memilih pena—istilah dunia pengetahuan (persepsiku)—ketimbang wanita? Semua orang juga bilang gitu, coy. Ada batas-batas usia, yang memang kita harus memilih pena dari pada wanita. Coba tuh adik kamu yang usianya 5,5 tahun kasih wanita. Pasti dia mau? Mau memilih belajar dalam kurung sekolah. Gak salah kan, memang seharusnya. Seorang remaja mengutamakan pena ketimbang wanita. Ya, anggap aja pena seksi sama seperti wanita. Apa susahnya. Kan di Indonesia, suatu penyimpangan norma. Jika remaja yang pada usia wajib belajar. Eh, malah menggoyangkan bokong wanita bukannya pena. gila itu.
Ada juga saat wanita harus kita pilih. Tanya aja ke kakek kalian. Pasti dia lebih tahu. Maaf. Bukannya gak adil. Aku paling males bahas wanita. Kalian cari sendiri aja ya tentang wanita dari berbagai literasi. Bukanya aku gak tahu. Aku mau pena dulu. Tapi, kalaupun kalian pilih pena, kalau saatnya harus punya wanita. Carilah wanita yang baik. Yang bisa menambah dan mendukung kita membuat karya. Gak usah harus dengan pena. Karya apa aja. Cuma, yang pasti dengan pena semua ilmu dan sastra telah kita konsumsi. Kalau gak ada pena, mungkin semua ilmu gak akan bertahan lama. Maka pantas Allah bersumpah, Demi pena. Dan apa yang dituliskan”…. Wallahu ‘Alam.
Daerah Sunda dan pendidikan Bahasa Sunda
Oleh DASAM SYAMSUDIN
BANDUNG sebagai Ibu Kota Jawa Barat mempunyai bahasa daerah yang bagus, yaitu bahasa Sunda. Ciri khas bahasa urang Sunda ini mempunyai undak-usuk—tingkatan penggunaan bahasa dengan keberagamannya—sebagai cerminan dari tatkrama berbahasa yang berindikasi pada tatakesopanan perilaku.
Disamping bahasa sunda cerminan orang sunda, bahasa ini pun tidak bisa dinafikan sebagai identitas urang sunda. Keberagaman bahasa adalah identitas bagi kelompok manusia yang mendiami daerah tertentu. Maka, bahasa sebagai identitas masyarakat sunda harus dijaga dan dilestarikan. Pasalnya, bahasa ini masih sangat kental bagi masyarakat pedesaan. Namun, bagi masyarakat perkotaan yang sudah banyak terpengaruh dengan pluralitas bahasa dan budaya, penggunaan bahasa sunda sebagai alat komunikasi mulai memudar. Bahkan. Tidak sedikit masyarakat sunda khususnya yang tinggal diperkotaan tidak bisa menggunakan bahasa sunda.
Misalnya, di daerah Bandung sendiri penggunaan masyarakat kota terhadap bahasa sunda mulai memudar. Hal ini bisa kita saksikan pada tempat-tempat hiburan, mal, pasar dan apa saja di pusat keramaian kota. Identitas kesundaan tidak terkesan begitu baik tatkala menyaksikan interaksi urang sunda menggunakan bahasa indonesia, misalnya. Sehingga, cerminan bahasa yang melahirkan sifat dan sikap orang sunda tidak begitu terkesan baik.
Jika hal ini di biarkan, bisa menggerogoti bahasa daerah orang sunda berpindah kebahasa nasional. Bahasa nasional memang sangat baik karena itu bahasa persatuan. Namun, jika urang sunda menggunakan bahasa tersebut di daerah sundanya sendiri hal ini tidak baik. Sejatinya, bahasa sunda sebagai identitas media komunikasi sunda cerminan sikap dan perilaku itu. Suatu saat akan berubah dan akan mempengaruhi ciri khas dari etnik sekolompok masyarakat yang tinggal daerah sunda.
Kelunturan lisan sunda akan mempengaruhi kelestarian sastra dan budaya sunda. Misalnya, kesenian Jaipong, beluk di Sumedang, wayang golek dan budaya-budaya sunda lainnya, kalah dengan musik yang kurang mempunyai nilai kearifan lokal. Sisindiran sebagai sastra urang sunda sudah jarang terdengar di daerah sunda. Hal ini disebabkan karena pengguna bahasa sunda sudah banyak yang kurang memaknai akan kearifannya karena lisan sunda kurang difahami.
Pendidikan bahasa sunda
Untuk mencegah hal itu agar tidak terjadi, maka bahasa sunda harus dilestarikan dikalangan masyarakat sunda. Cara ini bisa dilakukan secara efektif melalui jalur pendidikan. Setiap sekolah yang ada di daerah sunda, seyogianya memuat pelajar MULOK (muatan lokal) dengan bahasa sunda, baik negeri mapun swasta. Lebih baik lagi apabila pelajaran bahasa Sunda dijadikan sebagai pelajaran wajib bagi masyarakat sunda sebagaiamana bahasa Indonesia.
Pengukuhan bahasa sunda harus digarap dengan serius oleh lembaga pendidikan. Karena, sekolah atau lembaga pendidikan mempunyai peran khusus di masyarakat yang diakui eksistensinya. Sistem pengajarannya jangan hanya menyentuh sisi kognitif siswa saja, tapi dari segi psikomotor dan apektifnya harus bisa dijamin. Dengan demikian, para murid bisa mempraktikan pelajaran bahasa sunda tersebut kedalam kehidupan sehari-hari.
Pentingnya Pengukuhan pendidikan bahasa sunda karena tidak sedikit sekolmpok masyarakat yang meninggalkan bahasa sunda. Khususnya masyarakat perkotaan. Pendidikan ini harus ditanamkan sejak dini kepada anak-anak agar ia mencintai bahasa daerahnya dan memahami kearifannya.
Sekolah-sekolah yang ada di daerah sunda, sudah seharusnya menyajikan muatan lokal bahasa sunda. Apapun sekolahnya baik itu sekolah umum atau agama, bahkan dari tingkat SD sampai SMA harus memuat pelajaran ini, agar mereka berkomunikasi dengan bahasa sunda yang baik. Bahkan, pelatihan-pelatihan bahasa sunda harus sering diadakan pada lembaga pendidikan baik formal ataupun informal. Dengan demikian, masyarakat sunda akan berkomunikasi dengan keluarga, tetangga atau masyarakat lainya dengan bahasa daerahnya sendiri.
Fungsi bahasa sunda
Penggunaan bahasa sunda disamping sebagai alat komunikasi juga sebagai pelestari sastra, tradisi, budaya dan cerminan perilaku urang sunda. Jika masyarakatnya sudah mencintai bahasa daerahnya sendiri, maka apa-apa yang lahir darinya akan ia cintai dan dilestarikannya. Sastra sunda yang mulai luntur, kearifan budaya sunda yang mulai terlupakan akan terjaga.
Sastra-sastra sunda seperti pantun, sisindiran, tembang sunda, babad karajaan, jangjawokan, wawasanglan, dan sastra-sastra lainnya pasti akan menghiasi lisan dan tulisan masyarakat sunda. Jika pendidikan bahasa sunda secara efektit diterapkan. Semua sastra itu mengandung pesan kearifan disamping sebagai hiburan.
Dari segi budaya, bahasa lisan sunda akan mampu melestarikan kembali atau mempertahankannya kendati dideru pengaruh budaya-budaya lainnya seperti budaya barat. Misalnya, kesenian wayang golek, kuda ronggeng, singa depok, Jaipongan, mufusti perkakas kerajaan kuno sunda, tradisi adu domba di garut—pemicu peningkatan kualitas peternakan domba—dan lain sebagainya.
Di samping semua itu, bahasa sunda sebagaimana telah disinggung diatas adalah cerminan dari tatakesopanan urang sunda. Berawal dari pendidikan bahasa sunda yang penuh undak-usuk jika hal ini mampu diterapkan pada siswa maka kearifan moral masyarakat sunda akan tercipta. Norma berbahasa adalah indikator pertama dari sifat dan sikap seseorang. Oleh karena itu, pendidikan bahasa sunda merupakan kewajiban moral bagi masyarakat sunda baik secara lembaga atau indvidual.
Secara individual, pendidikan bahasa sunda bisa diterapkan pada anak-anak dengan lingkungan keluarga. Mendidik anak adalah kewajiban orang tua, dan bagi masyarakat sunda mendidik anaknya melatih berbahasa sunda adalah kewajiban moral agar melahirkan sikap normatif dalam lingkungannya. Tidak sepatutnya sepuh urang sunda mendidik anaknya dengan bahasa di luar daerahnya yang mengakibatkan seoarng putra sunda tidak bisa berdialog dengan bahasa daerahnya sendiri.
Dengan demikian, peningkatan pendidikan bahasa sunda harus ditanamkan pada generasi keluarga. Disamping orang tua menanmkan bahasa sunda, lembaga pendidikan yang ada didaerah sunda harus benar-benar menyajikan pelajaran bahasa sunda. Agar kelestarian bahasa sunda dan yang lahir darinya seperti sastra budaya dan tatakesopanan bisa terjaga.
POTRET MASYARAKAT INDRAMAYU YANG MEMBUTHKAN PAHLAWAN
Oleh DASAM SYAMSUDIN
"yang penting usaha, pendidikan itu hanya menghabiskan biaya/ harta" ucapan itu saya dengar sendiri dari sebagian penduduk kecamatan Gantar ketika saya akan masuk kuliah. Karena, saya memang penduduk Gantar.
BARU-baru ini media massa seperti surat kabar dan televiss sering memberitakan kondisi Indrmayau. Mayoritas kabar yang disebarkan dari kabupaten ini tiada lain tentang kondisi penduduknya yang selalu dilanda berbagai permasalahan. Misalnya, kasus kematian pemudanya yang diakibatkan pengaruh minuman keras dan kondisi perekonomiannya yang berada dibawah garis kemiskinan.
Hampir semua media pernah meliput tentang tragedi kecamatan Losarang, pada bulan Ramadhan kemarin misalnya, tentang kemtian pemuda yang kurang lebih jumlahnya sekitar dua puluh-an akibat mengoplos minuman beralkohol dengan autan. Dan sampai sekarang hal itu masih kerap terjadi.
Dalam segi ekonomi, mayoritas penduduk Indramayu petani dan nelayan sederhana—bukan petani atau nelayan bermodal besar. Sehingga penghasilannya dari penggarapan sawah dan hasil pencarian ikan sulit merubah hidupnya kearah yang lebih baik. Akibat hal ini, banyak penduduk Indramayu yang menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) atau TKW (Tenaga Kerja Wanita). Bahkan di jakarta ada Kampung Pengemis yang mayoritasnya orang Indramayu. Seperti dikutip dari "keadilansosial.wordpress.com"
"Selain bekerja di kampung sendiri, banyak petani yang gagal panen mengadu nasib ke Jakarta. Menurut Catu, kebanyakan warga dari Losarang yang mengemis di jalan-jalan besar ibu kota berdomisili di Depok dan Manggarai. "Banyak orang Indramayu, dari Kecamatan Jatibarang hingga Patrol, yang menjadi pengemis di Jakarta, terutama saat paceklik atau gagal panen," ujarnya."
Potret kehidupan Indramayu di lihat dari dua sudut tersebut mengindikasikan, bahwa kondisi tersebut diakibatkan masih banyaknya penduduk yang tarap pendidikannya rendah. Sebagian masyarakatnya memang menganggap bahwa pendidikan itu tidak penting. "yang penting usaha, pendidikan itu hanya menghabiskan biaya/ harta" ucapan itu saya dengar sendiri dari sebagian penduduk kecamatan Gantar ketika saya akan masuk kuliah. Karena, saya memang penduduk Gantar.
Pemerintah adalah pahlawan?
Pemerintah Indramayu sepertinya sekarang mempunyai tugas yang berat. Tugas itu tiada lain adalah peningkatan tarap hidup penduduk dalam segi ekonomi, pendidikan, juga moralitas. Sudah saatnya pemerintah menunjukan kepahlawanannya, perhatiannya dan kepeduliannya terhadap Indramayu. Baik itu pemerintah Daerahnya sendiri, Propinsi, bahkan Pemerintah pusat.
Kondisi tersebut tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, karena jika dibiarkan nasib Indramayu akan menjadi kabupaten terpuruk. Dan hal ini sangat tidak inginkan, bahkan sangat mengerikan jika memang terjadi. Walau bagaimanapun Indramayu adalah Kabupaten yang berada di Jawa Barat. Seyogianya pemerintah Jabar lebih mencurahkan perhatiannya.
Dalam konteks Hari Pahlawan 10 November, Pemerintah Daerah Indramayu tidak usah berpikir tentang perang atau berjuang dengan penjajah. Tapi, berpikirlah berjuang dan buktikan kepahlawannya dengan memperhatikan nasib wong cilik penduduknya dari tiga sudut tersebut dulu. Memang ini tugas yang berat, apalagi dalam memberikan solusi alternatif kesenjangan ekonomi. Namun, bukankah sudah menjadi kewajiban pemerintah manapun dan tingkat apapun dalam meningkatkan pemerintahannya kearah yang lebih maju?
Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan di Indramayu harus lebih digalakan. Jangan hanya mengarahkan kuantitasnya tapi kualitasnya pun harus diperhatikan. Degradasi moral, tersebarnya pengangguran adalah bukti kurangnya pengetehuan dalam segi pendidikan. Minimal dengan pendidikan jumlah pengangguran tidak banyak , labih dari itu penduduk bisa kerja pada tarap yang lebih menjamin, jangan sampai menjadi pengemis. Peningkatan mutu pendidikan pun bisa meminimalisir perilaku amoral terlebih pendidikan agama/ moral.
Fungsi sosial masyarakat
Disamping sektor pemerintah yang menggalakan perhatiannya, juga fungsi masyarakat sebagi penduduk sosial harus lebih arif dalam menyikapi permasalahan yang terjadi pada dirinya saudaranya. Jangan sampai permasalahan sosial yang menderu daerahnya hanya bersikap acuh tak acuh, seakan kondisi seperti itu biasa. Kesadaran diri harus ditumbuhkan, jiwa pahlawan harus digugah agar kita peka memperhatikan realitas sosial disekitar kita. Saudarakah jika ia membiarkan tetangganya menderita di depan matanya?
Konteks pahlawan bisa pada siapa saja, bahkan pada kita yang tidak memikul senjata melawan penjajah bisa di katakan pahlawan. Asalkan kita bisa merealisasikan makna pehlawan sebagai pembela dan pejuang gagah berani. Tidak usah yang jauh-jauh, hidupkan budaya saling menolong, gotong royong dalam memperbaiki situasi sosial kearah lebih baik entah itu sisi ekonomi, moral atau pendidikan semuanya harus kita galang bersama. Agar tercipta sosial masyarakat yang aman, tentram dan terpelajar dan tentu sejahtera.
"yang penting usaha, pendidikan itu hanya menghabiskan biaya/ harta" ucapan itu saya dengar sendiri dari sebagian penduduk kecamatan Gantar ketika saya akan masuk kuliah. Karena, saya memang penduduk Gantar.
BARU-baru ini media massa seperti surat kabar dan televiss sering memberitakan kondisi Indrmayau. Mayoritas kabar yang disebarkan dari kabupaten ini tiada lain tentang kondisi penduduknya yang selalu dilanda berbagai permasalahan. Misalnya, kasus kematian pemudanya yang diakibatkan pengaruh minuman keras dan kondisi perekonomiannya yang berada dibawah garis kemiskinan.
Hampir semua media pernah meliput tentang tragedi kecamatan Losarang, pada bulan Ramadhan kemarin misalnya, tentang kemtian pemuda yang kurang lebih jumlahnya sekitar dua puluh-an akibat mengoplos minuman beralkohol dengan autan. Dan sampai sekarang hal itu masih kerap terjadi.
Dalam segi ekonomi, mayoritas penduduk Indramayu petani dan nelayan sederhana—bukan petani atau nelayan bermodal besar. Sehingga penghasilannya dari penggarapan sawah dan hasil pencarian ikan sulit merubah hidupnya kearah yang lebih baik. Akibat hal ini, banyak penduduk Indramayu yang menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) atau TKW (Tenaga Kerja Wanita). Bahkan di jakarta ada Kampung Pengemis yang mayoritasnya orang Indramayu. Seperti dikutip dari "keadilansosial.wordpress.com"
"Selain bekerja di kampung sendiri, banyak petani yang gagal panen mengadu nasib ke Jakarta. Menurut Catu, kebanyakan warga dari Losarang yang mengemis di jalan-jalan besar ibu kota berdomisili di Depok dan Manggarai. "Banyak orang Indramayu, dari Kecamatan Jatibarang hingga Patrol, yang menjadi pengemis di Jakarta, terutama saat paceklik atau gagal panen," ujarnya."
Potret kehidupan Indramayu di lihat dari dua sudut tersebut mengindikasikan, bahwa kondisi tersebut diakibatkan masih banyaknya penduduk yang tarap pendidikannya rendah. Sebagian masyarakatnya memang menganggap bahwa pendidikan itu tidak penting. "yang penting usaha, pendidikan itu hanya menghabiskan biaya/ harta" ucapan itu saya dengar sendiri dari sebagian penduduk kecamatan Gantar ketika saya akan masuk kuliah. Karena, saya memang penduduk Gantar.
Pemerintah adalah pahlawan?
Pemerintah Indramayu sepertinya sekarang mempunyai tugas yang berat. Tugas itu tiada lain adalah peningkatan tarap hidup penduduk dalam segi ekonomi, pendidikan, juga moralitas. Sudah saatnya pemerintah menunjukan kepahlawanannya, perhatiannya dan kepeduliannya terhadap Indramayu. Baik itu pemerintah Daerahnya sendiri, Propinsi, bahkan Pemerintah pusat.
Kondisi tersebut tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, karena jika dibiarkan nasib Indramayu akan menjadi kabupaten terpuruk. Dan hal ini sangat tidak inginkan, bahkan sangat mengerikan jika memang terjadi. Walau bagaimanapun Indramayu adalah Kabupaten yang berada di Jawa Barat. Seyogianya pemerintah Jabar lebih mencurahkan perhatiannya.
Dalam konteks Hari Pahlawan 10 November, Pemerintah Daerah Indramayu tidak usah berpikir tentang perang atau berjuang dengan penjajah. Tapi, berpikirlah berjuang dan buktikan kepahlawannya dengan memperhatikan nasib wong cilik penduduknya dari tiga sudut tersebut dulu. Memang ini tugas yang berat, apalagi dalam memberikan solusi alternatif kesenjangan ekonomi. Namun, bukankah sudah menjadi kewajiban pemerintah manapun dan tingkat apapun dalam meningkatkan pemerintahannya kearah yang lebih maju?
Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan di Indramayu harus lebih digalakan. Jangan hanya mengarahkan kuantitasnya tapi kualitasnya pun harus diperhatikan. Degradasi moral, tersebarnya pengangguran adalah bukti kurangnya pengetehuan dalam segi pendidikan. Minimal dengan pendidikan jumlah pengangguran tidak banyak , labih dari itu penduduk bisa kerja pada tarap yang lebih menjamin, jangan sampai menjadi pengemis. Peningkatan mutu pendidikan pun bisa meminimalisir perilaku amoral terlebih pendidikan agama/ moral.
Fungsi sosial masyarakat
Disamping sektor pemerintah yang menggalakan perhatiannya, juga fungsi masyarakat sebagi penduduk sosial harus lebih arif dalam menyikapi permasalahan yang terjadi pada dirinya saudaranya. Jangan sampai permasalahan sosial yang menderu daerahnya hanya bersikap acuh tak acuh, seakan kondisi seperti itu biasa. Kesadaran diri harus ditumbuhkan, jiwa pahlawan harus digugah agar kita peka memperhatikan realitas sosial disekitar kita. Saudarakah jika ia membiarkan tetangganya menderita di depan matanya?
Konteks pahlawan bisa pada siapa saja, bahkan pada kita yang tidak memikul senjata melawan penjajah bisa di katakan pahlawan. Asalkan kita bisa merealisasikan makna pehlawan sebagai pembela dan pejuang gagah berani. Tidak usah yang jauh-jauh, hidupkan budaya saling menolong, gotong royong dalam memperbaiki situasi sosial kearah lebih baik entah itu sisi ekonomi, moral atau pendidikan semuanya harus kita galang bersama. Agar tercipta sosial masyarakat yang aman, tentram dan terpelajar dan tentu sejahtera.
Media Massa Media Pendidikan
BERKEMBANGNYA arus komunikasi dan informasi yang pesat dan daya jangkaunya yang luas di era modern. Seperti internet, televisi, radio, surat kabar, majalah, dan media-media lainnya yang sekarang berkembang dan menyebar. Sebagian masyarakat berasumsi, bahwa realita tersebut, telah membuka peluang yang lebar terhadap ancaman demoralisasi, karena ada tayangan atau sajian yang mempengaruhi pada penyimpangan perilaku masyarakat secara normatif atau kurang mendidik.
Asumsi itu, di dasarkan pada realita objektif, misalnya, pada media online –internet banyak situs-situs yang menyajikan grafi, atau audio-visual yang kurang baik, situs forno misalnya. Juga televisi yang sering menayangkan acara seperti film dan sinetron atau tayangan lainnya yang bisa mempengaruhi perkembangan remaja kearah dekadensi moral. Misalnya, pacaran terlalu bebas, kekerasan, dunia glamour dan lain-lain.
Menanggapi asumsi mayoritas masyarakat tersebut, yang sepertinya menghakimi dan menuduh media massa sebagai indikator utama dari dampak demoralisasi atau rusaknya perilaku masyarakat. Sepertinya kurang tepat dan akurat. Karena, tidak semua media menayangkan hal yang dapat mengubah perilaku masyarakat kearah yang tidak benar.
Apalagi, kalau kita meninjau fungsi dari media massa. Sepertinya tuduhan tersebut kurang beralasan. Kendati ada sajian atau tayangan yang memang menyajikannya. Akan tetapi, tayangan atau sajian dari media baik media cetak, elektronik dan online pada dasarnya hanya tawaran. Mau atau tidaknya kita mengkonsumsi sajian tersebut terserah kita. Lagi pula, media adalah alat sedangkan kita (konsumen media massa) adalah subjek. Maka, jika ada tayangan yang tidak mengindahkan sisi etis-moralis, kita bisa mencegahnya dengan tidak mengkonsumsinya.
Memang, idealisnya dan seharusnya media massa bisa menyajikan tayangan yang mendidik dan mempengaruhi pemikiran kearah kemajuan—kritik konstruktif dan moralis. Karena, bagaimanapun tayangan yang disajikan sangat menentukan dampak yang akan diakibatkannya.
Disini pun media massa harus bisa mengemas jangan sampai tontonan hanya hiburan semata, tapi harus menjadi tuntunan juga. Karena salah satu fungsinya adalah edutainment—mendidik dan menghibur. Peran media massa sesungguhnya sangat besar. Sedikit kita membuka lembaran sejarah tatkala awal lahirnya TVRI—Televisi Republik Indonesia—(24 Agustus 1962). Melalui media televisi masyarakat Indonesia benar-benar mulai tersatukan sebagai sebuah bangsa (Lubang Hitam Kebudayaan, hal. 168). Disamping hadirnya TVRI menghibur rakyat karena hal itu masih terasa aneh, juga kehadirannya menjadi media yang mendidik masyarakat. Karena, dengan kemewahan televisi semua lapisan masyarakat bisa mengkonsumsi esensi dari tayangannya. Berbeda halnya dengan media cetak, yang hanya bisa dikonsumsi oleh masyarakat yang mengenal dunia baca tulis.
Contoh lain yang membuktian media massa sebagai media pendidikan adalah kisah Lintang dalam film Laskar Pelangi. Lintang adalah seorang anak lelaki pesisir yang cerdas dan pintar, ia bisa menerangkan pengetahuannya kepada teman-temannya seperti profil buaya dan sebab tercipta warna pelangi secara ilmiah, karena Lintang sering membaca Koran Sinar Harapan. Padahal ia tidak mendapatkan pengetahuan itu di kelas. Dan dengan membaca surat kabat ia menjadi terdidik. Bukankah kita mengetahui kisah dunia pendidikan ini (Laskar Pelangi) karena media?
Kegunaan lain media massa yang sangat berguna di era sekarang adalah media online—internet. Dengna media online, masyarakat bisa belajar atau mencari referensi, literatur dan informasi dengan cepat. Di sisi lain dengan internet kita bisa berbagi informasi dengan leluasa, dan hal ini sangat membantu terhadap proses pendidikan dan pembelajaran.
Bila kita perhatikan usul Laclere dalam Panitia Undang-Undang Dasar Belanda 1815 pun sama, bahkan sudah memberikan bukti dan memperkuat betapa pentingnya media massa dalam pendidikan. Dalam hal ini Laclere menyatakan bahwa media massa itu berfaedah. Sebab dengan menyebar luaskan pengetahuan tentang kemajuan banyak bidang, akan membawa peningkatan pikiran dan perasaan pada pembaca (surat kabar), pendengar (radio), dan penonton (televisi). (Kustadi Suhandang; Pengantar Jurnalistik, hal. 96).
Masyarakat awan yang sulit mencari informasi melalui literasi, dengan media massa ia akan mudah mendapatkannya dan pola pikirnya akan berkembang. Misalnya dengan media televisi, karena media ini yang sangat mudah dikonsumsi masyarakat.
Oleh karena itu, menyalahkan media massa sepenuhnya terhadap perubahan perilaku masyarakat kearah degradasi moral tidak sepenuhnya benar. Juga media massa jangan sengaja dan seenaknya menayangkan hal yang banyak negatifnya. Namun, keduanya harus bekerja sama. Media massa memberi tayangan yang baik sebagai kontribusi pendidikan, dan masyarakat pun harus bisa memanfaatkannya kearah kemajuan pola pikir dan perilaku.
Asumsi itu, di dasarkan pada realita objektif, misalnya, pada media online –internet banyak situs-situs yang menyajikan grafi, atau audio-visual yang kurang baik, situs forno misalnya. Juga televisi yang sering menayangkan acara seperti film dan sinetron atau tayangan lainnya yang bisa mempengaruhi perkembangan remaja kearah dekadensi moral. Misalnya, pacaran terlalu bebas, kekerasan, dunia glamour dan lain-lain.
Menanggapi asumsi mayoritas masyarakat tersebut, yang sepertinya menghakimi dan menuduh media massa sebagai indikator utama dari dampak demoralisasi atau rusaknya perilaku masyarakat. Sepertinya kurang tepat dan akurat. Karena, tidak semua media menayangkan hal yang dapat mengubah perilaku masyarakat kearah yang tidak benar.
Apalagi, kalau kita meninjau fungsi dari media massa. Sepertinya tuduhan tersebut kurang beralasan. Kendati ada sajian atau tayangan yang memang menyajikannya. Akan tetapi, tayangan atau sajian dari media baik media cetak, elektronik dan online pada dasarnya hanya tawaran. Mau atau tidaknya kita mengkonsumsi sajian tersebut terserah kita. Lagi pula, media adalah alat sedangkan kita (konsumen media massa) adalah subjek. Maka, jika ada tayangan yang tidak mengindahkan sisi etis-moralis, kita bisa mencegahnya dengan tidak mengkonsumsinya.
Memang, idealisnya dan seharusnya media massa bisa menyajikan tayangan yang mendidik dan mempengaruhi pemikiran kearah kemajuan—kritik konstruktif dan moralis. Karena, bagaimanapun tayangan yang disajikan sangat menentukan dampak yang akan diakibatkannya.
Disini pun media massa harus bisa mengemas jangan sampai tontonan hanya hiburan semata, tapi harus menjadi tuntunan juga. Karena salah satu fungsinya adalah edutainment—mendidik dan menghibur. Peran media massa sesungguhnya sangat besar. Sedikit kita membuka lembaran sejarah tatkala awal lahirnya TVRI—Televisi Republik Indonesia—(24 Agustus 1962). Melalui media televisi masyarakat Indonesia benar-benar mulai tersatukan sebagai sebuah bangsa (Lubang Hitam Kebudayaan, hal. 168). Disamping hadirnya TVRI menghibur rakyat karena hal itu masih terasa aneh, juga kehadirannya menjadi media yang mendidik masyarakat. Karena, dengan kemewahan televisi semua lapisan masyarakat bisa mengkonsumsi esensi dari tayangannya. Berbeda halnya dengan media cetak, yang hanya bisa dikonsumsi oleh masyarakat yang mengenal dunia baca tulis.
Contoh lain yang membuktian media massa sebagai media pendidikan adalah kisah Lintang dalam film Laskar Pelangi. Lintang adalah seorang anak lelaki pesisir yang cerdas dan pintar, ia bisa menerangkan pengetahuannya kepada teman-temannya seperti profil buaya dan sebab tercipta warna pelangi secara ilmiah, karena Lintang sering membaca Koran Sinar Harapan. Padahal ia tidak mendapatkan pengetahuan itu di kelas. Dan dengan membaca surat kabat ia menjadi terdidik. Bukankah kita mengetahui kisah dunia pendidikan ini (Laskar Pelangi) karena media?
Kegunaan lain media massa yang sangat berguna di era sekarang adalah media online—internet. Dengna media online, masyarakat bisa belajar atau mencari referensi, literatur dan informasi dengan cepat. Di sisi lain dengan internet kita bisa berbagi informasi dengan leluasa, dan hal ini sangat membantu terhadap proses pendidikan dan pembelajaran.
Bila kita perhatikan usul Laclere dalam Panitia Undang-Undang Dasar Belanda 1815 pun sama, bahkan sudah memberikan bukti dan memperkuat betapa pentingnya media massa dalam pendidikan. Dalam hal ini Laclere menyatakan bahwa media massa itu berfaedah. Sebab dengan menyebar luaskan pengetahuan tentang kemajuan banyak bidang, akan membawa peningkatan pikiran dan perasaan pada pembaca (surat kabar), pendengar (radio), dan penonton (televisi). (Kustadi Suhandang; Pengantar Jurnalistik, hal. 96).
Masyarakat awan yang sulit mencari informasi melalui literasi, dengan media massa ia akan mudah mendapatkannya dan pola pikirnya akan berkembang. Misalnya dengan media televisi, karena media ini yang sangat mudah dikonsumsi masyarakat.
Oleh karena itu, menyalahkan media massa sepenuhnya terhadap perubahan perilaku masyarakat kearah degradasi moral tidak sepenuhnya benar. Juga media massa jangan sengaja dan seenaknya menayangkan hal yang banyak negatifnya. Namun, keduanya harus bekerja sama. Media massa memberi tayangan yang baik sebagai kontribusi pendidikan, dan masyarakat pun harus bisa memanfaatkannya kearah kemajuan pola pikir dan perilaku.
Mom, I Can Do It!
“Mom, I can do it” kamu tahu siapa yang mengatakan itu? Tidak! Baik aku kasih tahu. Pelakukanya adalah anak kecil. Anak yang belum bisa baca. Anak yang belum berakal. Anak yang sekarang aku sanjung. “good for you baby”. Yah, itu pujian terhebat untukmu. Tapi, kalau udah besar jangan mau dipuji yah sayang! Karena puji itu milik? Milik siapa? Allah! Pinter. Jangan ge er aku tidak bicara denganmu. Aku bicara dengan anak kecil yang akan aku ceritakan. You ready? Go!!!!!!!
Jaman dahulu kala. Jaman sekaranmg kala. Yang akan datang jangan pernah ada kala. Ada seorang. Dua orang. Bukan, tiga orang. Mereka Umm, Abb, dan sobiy-nya. Konkretnya, ayah, ibu dan balitanya. Astaghfirullah, hiji deui Kakeknya. Kakek dari anaknya. Bapak dari mereka berdua.
Sekarang aku akan jelaskan “bio-sedih” kakkkkeeeek.... bapak mereka aja ach. Bapak mereka sudah tua juga sudah yatim piatu. Menurutku aja bapaknya. Kalau menurut mereka mungkin tingkatan pembantu. Bahkan, bisa lebih down dari itu. Mau bukti? Dikatakan pembantu. Karena letak kamarnya gak sepantasnya ditempati oleh seorang yang kaya raya. Jangan salah faham. Bapaknya yang kaya bukan anaknya. Tapi, karena itu si bapak sudah tua. Jadi, me-re-ka me-nem-pat-kan-nya di ka-mar pem-ban-tu-nya titik lebih sadis bin kejam. Mereka juga memperlakukannya seakan-olah seperti budak alias hamba sahaya. Kenapa? Why?limadza?paraghraf dua aja yach jawabannya. Kan ada oven ending! He... he.... santai aja broh.TAPI SERIUS!!! Tegas. Ingat ini kalimat tegas. Yang gede itu.
Mereka menganggap sudah tidak butuh lagi bapaknya. Kenapanya udah diatas langsung jawabannya aja. Karena bapaknya sudah tidak produktif. Tidak manfa’at. Tidak memberikan sesuatu yang memuaskan mereka. Itu menurut mereka.So,waktu makan aja. Mereka menempatkannya di tempat lain. Tempat yang serba kotor. Mejanya jelek. Orangnya udah pasti. Eith!!! Jangan su’udzon aku mau katain jelek. Orangnya emang tua dan udah bau tanah. Tapi kalau bapaknya? Kenapa mereka memberi makan yang serba kurang bergizi. Sadisnya lagi. Saat bapaknya gak disiplin. Memecahkan seekor piring. Maksudnya sebunder. Tapi piring juga manusia. Manusia yang gak menggunakan akalnya it is piring. Dia langsung marah. Di bentak, di caci, di bego-bego-in. Pokoknya murka abis. “Bapak, tua banget sih! Udah tahu piring di pecahin. Mahal itu pak!”. Ia mahal. Mahal bagi orang yang makan uang bapaknya sendiri. Udah keringatnya dimakan. “disedoooooooooot....” pula darahnya. Bajingan kau nak! Ma’af aku gak bisa membiarkan orang tua di aniaya.
“Mas, jangan kasar ih. Itukan bapak mu. Emang dia bego. Betul dia pikun. Juga” juga apa nyonya fuck you? Nyonya it (kembalinya ke fuck You) lanjutin ucapannya yang halus“...juga udah mau mati, biarin aja makan. Pake itu tuh. Pake kayu. Kan enggak pecah. Pantas lagi buat dia” oh... juga gitu yach. Sama bejadnya dong sama si bapak.
Sibapaknya makan pake kayu. Kuperjelas tindakannya dengan tulisan yang gede. Istri dan suami tak beragama itu makan dengan enak pakai piring beling. Dengan makanan yang enak-enak. Sedangkan kakek anaknya. Dihina bak pengemis. Ada yang tahu gak dimana anaknya? Si balita itu? Ada! Dia makan bersama orang tuanya, jelas dia menyaksikan kebiadaban yang dilakukan orang tuanya pada kakeknya. “Mas anak kita dimana? Kata istrinya” menjawablah suaminya “gak tahu mam”. Tuh kan, orang tua teledor anak aja gak tahu. Ssssssuuutttt! Jangan bilang anaknya dimana. Biarin biar nyariin. Anaknya ada. Ada diimajinasiku. He... he....
Anaknya lagi bikin piring dari kayu buat bapaknya dan mamanya. Inilah yang dikatakan the nature of law.
“Sayang lagi ngapain kamu” kata mamanya. Ketemu juga anaknya
“Lagi bikin piring kayu” kata anaknya itu.
“Buat apa sayang. Itukan kotor!” maksudnya melarang. Jangan- jangan pura – pura gak tahu tanda seru dech.
“Buat mama dan papa. Nanti kalau mama dan papa udah tua. Makannya pake ini” mantepnya anak ini. This is senjata makan tuan. “Lebok piring ma... paa” ma’ap aku ikut campur. Ini adalah kewajibanku sebagai.... gak penting.
Kaget bukan kepalang orang tuanya. Udah ach cape ngetik. Singkatnya mereka taubat dan sadar. Bagus nak, jadilah anak yang berguna bagi agama. Semua akan kau dapatkan dengan agama.
Ma’af banget. Neneknya gak di ceritakan. Samakan saja kondisinya dengan kakeknya si anak itu. Biasa zaman sekarang. Orang tua ada diabstrakin sama anaknya.
“Mom, I can do it” kata anaknya. Maksudnya cari aja di kamus. Pokoknya yang serba Inggris cari yach maksudnya. Zaman sekarang gak ngerti Inggris. Bahasanya maksudnya. Nambah repot biaya sekolah aja. Jadi, so, for you all. Do the best for your parents. Dont forget!!!!!Promise in the name of our god the benificvent and the marcifule.
Jaman dahulu kala. Jaman sekaranmg kala. Yang akan datang jangan pernah ada kala. Ada seorang. Dua orang. Bukan, tiga orang. Mereka Umm, Abb, dan sobiy-nya. Konkretnya, ayah, ibu dan balitanya. Astaghfirullah, hiji deui Kakeknya. Kakek dari anaknya. Bapak dari mereka berdua.
Sekarang aku akan jelaskan “bio-sedih” kakkkkeeeek.... bapak mereka aja ach. Bapak mereka sudah tua juga sudah yatim piatu. Menurutku aja bapaknya. Kalau menurut mereka mungkin tingkatan pembantu. Bahkan, bisa lebih down dari itu. Mau bukti? Dikatakan pembantu. Karena letak kamarnya gak sepantasnya ditempati oleh seorang yang kaya raya. Jangan salah faham. Bapaknya yang kaya bukan anaknya. Tapi, karena itu si bapak sudah tua. Jadi, me-re-ka me-nem-pat-kan-nya di ka-mar pem-ban-tu-nya titik lebih sadis bin kejam. Mereka juga memperlakukannya seakan-olah seperti budak alias hamba sahaya. Kenapa? Why?limadza?paraghraf dua aja yach jawabannya. Kan ada oven ending! He... he.... santai aja broh.TAPI SERIUS!!! Tegas. Ingat ini kalimat tegas. Yang gede itu.
Mereka menganggap sudah tidak butuh lagi bapaknya. Kenapanya udah diatas langsung jawabannya aja. Karena bapaknya sudah tidak produktif. Tidak manfa’at. Tidak memberikan sesuatu yang memuaskan mereka. Itu menurut mereka.So,waktu makan aja. Mereka menempatkannya di tempat lain. Tempat yang serba kotor. Mejanya jelek. Orangnya udah pasti. Eith!!! Jangan su’udzon aku mau katain jelek. Orangnya emang tua dan udah bau tanah. Tapi kalau bapaknya? Kenapa mereka memberi makan yang serba kurang bergizi. Sadisnya lagi. Saat bapaknya gak disiplin. Memecahkan seekor piring. Maksudnya sebunder. Tapi piring juga manusia. Manusia yang gak menggunakan akalnya it is piring. Dia langsung marah. Di bentak, di caci, di bego-bego-in. Pokoknya murka abis. “Bapak, tua banget sih! Udah tahu piring di pecahin. Mahal itu pak!”. Ia mahal. Mahal bagi orang yang makan uang bapaknya sendiri. Udah keringatnya dimakan. “disedoooooooooot....” pula darahnya. Bajingan kau nak! Ma’af aku gak bisa membiarkan orang tua di aniaya.
“Mas, jangan kasar ih. Itukan bapak mu. Emang dia bego. Betul dia pikun. Juga” juga apa nyonya fuck you? Nyonya it (kembalinya ke fuck You) lanjutin ucapannya yang halus“...juga udah mau mati, biarin aja makan. Pake itu tuh. Pake kayu. Kan enggak pecah. Pantas lagi buat dia” oh... juga gitu yach. Sama bejadnya dong sama si bapak.
Sibapaknya makan pake kayu. Kuperjelas tindakannya dengan tulisan yang gede. Istri dan suami tak beragama itu makan dengan enak pakai piring beling. Dengan makanan yang enak-enak. Sedangkan kakek anaknya. Dihina bak pengemis. Ada yang tahu gak dimana anaknya? Si balita itu? Ada! Dia makan bersama orang tuanya, jelas dia menyaksikan kebiadaban yang dilakukan orang tuanya pada kakeknya. “Mas anak kita dimana? Kata istrinya” menjawablah suaminya “gak tahu mam”. Tuh kan, orang tua teledor anak aja gak tahu. Ssssssuuutttt! Jangan bilang anaknya dimana. Biarin biar nyariin. Anaknya ada. Ada diimajinasiku. He... he....
Anaknya lagi bikin piring dari kayu buat bapaknya dan mamanya. Inilah yang dikatakan the nature of law.
“Sayang lagi ngapain kamu” kata mamanya. Ketemu juga anaknya
“Lagi bikin piring kayu” kata anaknya itu.
“Buat apa sayang. Itukan kotor!” maksudnya melarang. Jangan- jangan pura – pura gak tahu tanda seru dech.
“Buat mama dan papa. Nanti kalau mama dan papa udah tua. Makannya pake ini” mantepnya anak ini. This is senjata makan tuan. “Lebok piring ma... paa” ma’ap aku ikut campur. Ini adalah kewajibanku sebagai.... gak penting.
Kaget bukan kepalang orang tuanya. Udah ach cape ngetik. Singkatnya mereka taubat dan sadar. Bagus nak, jadilah anak yang berguna bagi agama. Semua akan kau dapatkan dengan agama.
Ma’af banget. Neneknya gak di ceritakan. Samakan saja kondisinya dengan kakeknya si anak itu. Biasa zaman sekarang. Orang tua ada diabstrakin sama anaknya.
“Mom, I can do it” kata anaknya. Maksudnya cari aja di kamus. Pokoknya yang serba Inggris cari yach maksudnya. Zaman sekarang gak ngerti Inggris. Bahasanya maksudnya. Nambah repot biaya sekolah aja. Jadi, so, for you all. Do the best for your parents. Dont forget!!!!!Promise in the name of our god the benificvent and the marcifule.
Rekonstruksi Pemikiran KH Ahmad Dahlan
Muhammadiyah merupakan gerakan umat Islam yang lahir di Yogyakarta 18 Nopember 1912. Yang perkembangannya, terutama sejak paruh kedua tahun 1920-an menunjukkan grafik meningkat. Disaat gerakan umat Islam seangkatannya justru dilanda perpecahan dan perlahan menunjukkan grafik penurunan, yaitu Sarekat Islam (SI). Yang saat itu SI pecah karena infiltrasi komunis, sehingga muncul SI “Merah” yang jadi onderbow PKI (1920).
Dengan melihat perkembangan Muhammadiyah ini ada sebagian yang menyebutkan sejarah Indonesia 1925-1945 adalah sejarah Muhammadiyah. Mungkin ini tidak berlebihan. Pernyataan ini menyiratkan betapa besar peranan gerakan Muhammadiyah atau kader-kader Muhammadiyah dalam dinamika sejarah umat dan bangsa ini. Sejarah mencatat, KH Mansur penggerak MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) dan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) zaman Jepang adalah pimpinan pusat Muhammadiyah. Ki Bagus Hadikusumo, adalah pimpinan pusat Muhammadiyah yang turut merumuskan Piagam Jakarta dan berperan dalam sidang-sidang persiapan kemerdekaan. Mr.Kasman Singodimejo pun politisi yang berasal dari Muhammadiyah. Bung Karno, Ir.Juanda, Sudirman, dll tokoh bangsa ini tidak sedikit merupakan kader lulusan pendidikan Muhammadiyah.
Dalam aspek sosial gerakan Muhammadiyah pun banyak memberikan kontribusi pengembangan umat dan bangsa. Misalnya Muhammadiyah memelopori pendirian Panti Asuhan dan Rumah Sakit. Bahkan Lembaga Haji (Badan Penolong Haji) pun dirintis murid KH Ahmad Dahlan, Haji Sujak yang mengusahakan usaha perkapalan untuk jemaah haji pada tahun 1921. Bidang pendidikan itu lebih jelas lagi. Karena strategi gerakan Muhammadiyah diawali dengan perintisan dan pengembangan kader lewat jalur pendidikan formal dan non formal.
Dilihat aspek pengembangan pemikiran keagamaan, Muhammadiyah pun berada di garda depan. Di zaman Belanda Muhammadiyah berhasil upaya de-mistifikasi (penghancuran berpikir mistik) dengan gerakan rasionalisasinya, tetap tetap berpijak pada konsep Al-Qur’an dan As-Sunnah. Muhammadiyah pun mendobrak ketaklidan yang membabi buta, berpikir feodal seperti pengkultusan individu yang bisa mematikan ijtihad dan keterbukaan pikir. Muhammadiyah turut pula mendobrak kefeodalan dengan mengubah kebiasaan kurang baik, dalam proses pembelajaran al-Qur’an. Misalnya turut memelopori usaha penerjemahan Al-Qur’an, yang di zaman Belanda itu diharamkan. Muhammadiyah pun yang memelopori ibadah hari raya di lapangan pada tahun 1930-an, yang menggemparkan. Bahkan Belanda khawatir akan bergeser pada aksi massa.
Dengan pola pikir yang rasional tetapi tetap mengedepankan jiwa kemanusiaan (kecerdasan emosional), Muhammadiyah berhasil membawa umat sedikit demi sedikit untuk mempergunakan nalar rasional dengan inspirasi ajaran Qur’an dan Sunah. Dari pola pemikiran rasional tsb gerakan Muhammadiyah telah “membangunkan” kesadaran umat Islam yang sebelumnya lebih terkesan tertinggal dan menjauhi kemajuan modern dalam pengembangan sains dan teknologi. Sehingga perlahan Muhammadiyah bisa membawa umat dan bangsa untuk mensejajarkan umat dan bangsa ini dengan umat dan bangsa lainnya.
Bahkan peranan Muhammadiyah sampai kini tetap menjadi harapan umat dan bangsa, selain ormas Islam lainnya seperti NU, Persis, SI dan lain-lain. Terlebih dalam menyikapi isu-isu nasionaol dan internasional selalu tampil di depan sebagai pelopornya. Baik secara kelembagaan ataupun yang diperankan individu kader-kadernya. Pengamat politik asing seperti Samuel P Huntington dalam bukunya Benturan Peradaban menyebutkan Muhammadiyah sebagai “motor kebangkitan Islam” di Indonesia.
Analisis Huntington tersebut wajar. Sebab dalam rentang usianya mendekati satu abad, Muhammadiyah telah, sedang dan akan terus mengahasilkan kader-kader intelektual bagi umat dan bangsa. Bahkan perkembangan berikutnya tampak Muhammadiyah sedang melebarkan sayapnya menjadi gerakan internasional dengan sudah membuka cabang-cabangnya di luar negeri. Seperti di Berlin, Cairo, Teheran, Singapura, Kuala Lumpur, Bangkok, Australia, Amerika dst.
Dari latar belakang tersebut di atas, bila meminjam teori Hero (Tokoh) nya Thomas Carlyle bahwa pemimpin besar (The Great Man) sebagai penggerak idea akan terjadi perubahan sejarah. Bahwa idea dapat membangkitkan gerak sejarah suatu bangsa, jika ada penggeraknya yaitu pemimpin besar. Seperti halnya ajaran Islam, tidak akan berkembang tanpa kehadiran dan peranan pemimpin besarnya, nabi Muhammad saw. Dengan memakai pendekatan teori sejarah ini, maka gerakan Muhammadiyah tidak akan berkembang dan berpengaruh besar sampai kini jika tanpa kehadiran ideolog dan penggerak awalnya KH Ahmad Dahlan.
Karena itu mencermati dan melakukan studi atas pemikiran KH Ahmad Dahlan menjadi penting dilakukan. Ini akan berguna untuk memahami dinamika perkembangan Muhammadiyah khususnya, dan dinamika umat Islam dan bangsa Indonesia.
Latar belakang Keluarga KH Ahmad Dahlan
KH Ahmad Dahlan terlahir 1868 dengan nama kecil Muhammad Darwis. Ayahnya Barulah sepulang menunaikan ibadah haji namanya berganti menjadi Ahmad Dahlan. Kauman, kampung kelahirannya unik karena nilai historisnya. Sebagaimana area kauman di kota-kota di Jawa Tengah, kampung Kauman di Yogyakarta juga terletak di sekitar Masjid Besar Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Tepatnya di sisi Barat Alun-alun Utara. KH Ahmad Dahlan dilahirkan dari ibu bernama Siti Aminah dan ayahya KH Abu Bakar. Ayahnya adalah pejabat agama Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yaitu sebagai Imam dan Khatib Masjid Besar Kraton.
Dari Garis ibu, KH Ahmad Dahlan adalah cucu Penghulu Kraton yaitu KH Ibrahim. Sementara dari garis ayahnya, KH Ahmad Dahlan masih memiliki hubungan darah dengan Syekh Maulana Malik Ibrahim (penyebar Islam di Gresik pada abad ke 15) sebagai turunan ke-11.
KH Ahmad Dahlan naik haji pertama kali tahun 1890, dalam usia 22 tahun. Tiga belas tahun kemudian (1903) naik haji kedua kalinya bersama putra laki-lakinya, Siraj Dahlan yang kadang dipanggil Djumhan. Sepulang ibadah haji tahun 1904-1905, beliau mendirikan pondok untuk menampung para pelajar dari luar daerah yang belajar di Yogyakarta.
Setelah berumur 24 tahun, Kiai Dahlan menikahi Siti Walidah, sepupunya sendiri yang kemudian dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan. Dari pernikahannya dikaruniai 6 anak, yaitu: Siti Johannah (lahir 1890), Siraj Dahlan (lahir 1898), Siti Bsyro (lahir 1903), Siti Aisyah (lahir 1905), Irfan Dahlan dan Siti Aisyah (lahir kembar), dan Siti Zuharoh (lahir 1908).
KH Ahmad Dahlan tidak pernah menjalani pendidikan formal dengan memasuki sekolah tertentu. Namun ia menguasai beragam ilmu yang diperoleh secara otodidak baik berguru kepada ulama atau seorang ahli, atau dengan memebaca buku atau kitab-kitab. Ilmu-ilmu yang dikuasainya atau pernah dipelajarinya yaitu: Nahwu (tata bahasa Arab), Ilmu Fiqih, Ilmu Falaq, Ilmu Hadits, Qiroatul Qur’an, Ilmu Pengobatan dan Racun, serta Tasawuf.
Guru-guru Kiai Ahmad Dahlan sebagaian dari dalam negeri dan lainnya dari luar negeri khususnya Saudi Arabia. Guru-gurunya antara lain: ayahnya sendiri (KH Abu Bakar), KH Mohammad Shaleh (Kakak iparnya), untuk ilmu Fiqih, KH Muchsin dan KH Abdul Hamid untuk ilmu Nahwu, KH Raden Dahlan (Pesantren Termas), untuk ilmu falaq, Kiai Machfud (Pesantren Termas) untuk ilmu Fiqih dan Hadits, Syekh Khayyat untuk ilmu Hadits, Syekh Amin dan Sayyid Bakri Satock untuk Qiroatul Qur’an, Syekh Hasan untuk ilmu Pengobatan da Racun, Sayyid Ba-bussijjil untuk ilmu Hadits, Mufti Syafi’i untuk ilmu Hadits, Kiai Asy’ari Baceyan dan Sykeh Misri Makkah untuk Qiroatul Qur’an dan ilmu Falaq.
Kiai Ahmad Dahlan pernah bertemu dan berdialog dengan ulama-ulama luar negeri, terutama ketika bermukim di Makkah. Antara lain: Syekh Muhammad Khatib Minangkabau, Kiai Nawawi Al-Bantani, Kiai Mas Abdullah Surabaya, Kiai Faqih (Pondok Mas Kumambang) Gresik. Buku-buku dan kitab karya ulama besar yang dipelajarinya secara mandiri antara lain karya-karya: Imam Syafi’i, Imam Al-Ghazali, IbnuTaimiyah, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha.
Jalan Hidup Kiai Ahmad Dahlan
Sebelum Muhammadiyah berdiri, Kiai Ahmad Dahlan telah melakukan berbagai kegiatan keagamaan dan dakwah. Tahun 1906, Kiai diangkat sebagai khatib Masjid Besar Yogyakarta dengan gelar Ketib Amin. Satu tahun kemudian (1907) Kiai memelopori Musyawarah Alim Ulama. Dalam rapat pertama beliau menyampaikan arah kiblat Masjid Besar kurang tepat.
Tahun 1922 Kiai membentuk Badan Musyawarah Ulama. Tujuan badan itu ialah mempersatukan ulama di seluruh Hindia Belanda dan merumuskan berbagai kaidah hukum Islam sebagai pedoman pengamalan Islam khususnya bagi warga Muhammadiyah. Badan Musyawarah ini diketuai RH Moehammad Kamaludiningrat, penghulu Kraton. Meskipun pernah berbeda pendapat, Moehammad Kamaludiningrat ini yang mendorong para pimpinan Muhammadiyah kemudian membentuk Majelis Tarjih (1927). Majelis ini diketuai Kiai Mas Mansur. Dengan tujuan dakwah agar manusia berfikir dan tertarik pada kebagusan Islam melalui pembuktian jalan kepandaian dan ilmu.
Tahun 1909, Kiai Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo. Tujuannya selain sebagai wadah semangat kebangsaan, juga untuk memperlancar aktivitas dakwah dan pendidikan Islam yang dilakukannya. Ketika Muhammadiyah terbentuk, bahkan 7 orang pengurusnya menyusul bergabung dengan Boedi Oetomo. Hubungan Muhammadiyah dengan Boedi Oetomo sangat erat, sehingga Kongres Boedi Oetomo tahun 1917 diselenggarakan di rumah Kiai Ahmad Dahlan.
Di sisi lain Dr.Soetomo—pendiri Boedi Oetomo—juga banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan Muhammadiyah dan menjadi Penasehat (Adviseur Besar) Muhammadiyah. Dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 (Surabaya), Dr.Soetomo memberikan ceramah (khutbah) dengan tema Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Khutbah ini yang mendorong lahirnya PKO dengan rumah sakit dan panti asuhannya kemudian. Dr.Soetomo pun membantu memperlancar pengesahan berdirinya Muhammadiyah, tiga tahun setelah berdirinya.
Keanggotaannya di Boedi Oetomo memberikan kesempatan luas berdakwah kepada para anggota Muhammadiyah dengan mengajar agama Islam kepada siswa-siswa yang belajar di sekolah Belanda. Antara lain Kweeck School di Jetis. OSVIA (Opleiding School Voor Indlandsch Amtenaren), Sekolah Pamong Praja (Magelang). Selain dakwah yang diadakan di rumahnya di Kauman.
Tahun 1908-1909, Kiai Dahlan mendirikan sekolah yang pertama yaitu Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah (setingkat SD). Kegiatan belajar mengajarnya diadakan di ruang tamu rumahnya yang berukuran 2,5 x 6 meter. Meskipun demikian sudah dikelola secara modern dengan menggunakan metode dan kurikulum. Dengan menggunakan papan tulis, meja, dan kursi. Sistem pengajarannya secara klasikal. Waktu merupakan sesuatu yang sangat asing bagi sekolah pribumi. Untuk pertama kali muridnya hanya 6 orang. Dan setengah tahun kemudian meningkat menjadi 20 orang.
Ketika besluit pengakuan sah Muhammadiyah keluar dari pemerintah Belanda tahun 1914, Kiai Ahmad Dahlan pun mendirikan perkumpulan kaum ibu yaitu Sapatresna. Yang tahun 1920, kemudian diubah namanya jadi Aisiyah. Tugas pokoknya mengadakan pengajian khusus bagi kaum wanita. Dengan ciri khusus peserta pengajian Sapatresna diwajibkan memakai kerudung dari kain sorban berwarna putih. Perkumpulan ini pertama kali dipimpin Nyai Ahmad Dahlan.
Tahun 1920 didirikan Panti Asuhan Yatim Piatu Muhammadiyah. Dan tahun 1922 didirikan Nasyiatul Asiyiyah (NA), yang semula bagian dari Aisiyyah kalangan muda. Sedangkan tahun 1918 didirikan kepanduan Hizwul Wathan (HW) bagi kalangan angkatan muda. Diketuai Haji Muhtar. Diantara alumni HW (yang juga berkembang di Banyumas) adalah Jenderal Sudirman. Tahun 1917 Kiai Ahmad Dahlan mendirikan pengajian Malam Jum’at sebagai forum dialog dan tukar pikiran warga Muhammadiyah dan masyarakat simpatisan. Dari forum ini kemudian lahir Korps Mubaligh keliling, yang bertugas menyantuni dan memperbaiki kehidupan yatim piatu, fakir miskin, dan yang sedang dilanda musibah.
Tahun 1918 didirikan sekolah Al Qism Al Arqa, yang dua tahun kemudian menjadi Pondok Muhammadiyah di Kauman. Tahun 1921 berdiri badan yang membantu kemudahan pelaksanaan ibadah haji bagi orang Indonesia, yakni Penolong Haji. Selain itu mendirikan pula mushala kaum wanita, sebagai yang pertama di Indonesia.
Untuk mendukung aktivitasnya, Kiai Dahlan menyerahkan harta benda dan kekayaannya sebagai modal bagi perjuangan dan gerak langkah Muhammadiyah. Kiai seringkali melelang perabot rumah tangganya untuk mencukupi keperluan dana bagi gerakan Muhammadiyah.
Tahun 1922 Muhammadiyah sudah memiliki 9 sekolah dengan 73 orang guru dan 1019 siswa. Yaitu Opleiding School di Magelang, Kweeck School (Magelang), Kweeck School (Purworejo), Normal School (Blitar), NBS (Bandung), Algemeene Midelbare School (Surabaya), Hoogers Kweeck School (Purworejo).
Pada tahun 1921 Muhammadiyah sudah memiliki 5 cabang yaitu: Srandakan (Yogyakarta), Imogiri (Yogyakarta), Blora (Jawa Tengah), Surakarta (Jawa Tengah), Kepanjen, Malang (Jawa Timur). Tahun 1922 menyusul berdiri cabang Muhammadiyah di: Solo, Purwokerta, Pekalongan, Pekajangan, Jakarta, Garut (Jawa Barat), dan Sungai Liat (Bangka).
Selain itu Muhammadiyah sudah menerbitkan majalah yaitu Suara Muhammadiyah (SM) sejak tahun 1914. dan Kiai Ahmad Dahlan duduk sebagai Staf Redaksi. Kemudian Muhammadiyah pun mendirikan Perpustakaan pada tahun 1922, untuk para anggota dan Umat Islam pada umumnya.
Hubungan pergaulan Kiai Ahmad Dahlan sangat luas. Selain di Muhammadiyah dan Boedi Oetomo, Kiai Dahlan merupakan komisariat Central Sarekat Islam (SI) dan Adviseur (Penasehat Pusat) SI. Sekaligus ahli propaganda dari aspek dakwah bagi SI. Bahkan kiai ini termasuk rombongan yang mewakili pengurusan pengeshan Badan Hukum Sarekat Islam, bersama Cokroaminoto. Aktivitasnya di SI sejak tahun 1913. Selain di SI, Muhammadiyah, dan Boedi Oetomo, jauh sebelum mendirikan Muhammadiyah Kiai Ahmad Dahlan pun menjadi anggota perkumpulan Jami’atul Khair (1905) dari kalangan pribumi, bersama Husein Jayadiningtrat. Luasnya hubungan Kiai Ahmad Dahlan bisa dilihat dari donatur Muhammadiyah yang terdiri dari bermacam kalangan. Antara lain para pemimpin SI, organisasi Islam di pulau Jawa dan luar Jawa. Juga para politisi dan Birokrat seperti Pegawai Jawata Kereta Api dan Irigasi.
Itulah amal perjuangan KH Ahmad Dahlan. Yang banyak melakukan rintisan amal sosial. Sehingga dakwah Islam yang digerakan Muhammadiyah bukan berputar-putar sekedar pada wacana, tapi aksi sosial. Tapi setiap wacana harus dijalankan dalam konteks sosial. Melihat perilaku gerakan KH Ahmad Dahlan tampak jelas KH Ahmad Dahlan merupakan sosok manusia amal (man of action). Namun demikian bukan berarti beliau tidak mampu berpropaganda atau menulis, tapi Kiai Ahmad Dahlan membuktikan dirinya sebagai manusia yang memiliki integritas sebagai muslim. Yaitu adanya kesatuan antara pemikiran, ucapan, dan perbuatan. Meskipun bagi generasi selanjutnya lebih tampak Kiai ini dari sisi aksi sosialnya. Atau kesulitan menangkap pemikiran atau ide-idenya, baik terucapkan atau tertulis. Karena memang Kiai yang satu ini tidak banyak menulis, meskipun bisa menulis. Ide-ide dan pemikirannya itu terwujudkan dalam hasil karya gerakan sosial. Maka untuk menangkap sejauh mana pemikiran atau ide kiai Dahlan kita harus berusaha menangkap esensi dari amal sosial keagamaan Muhammadiyah seperti disebutkan di atas. Yang kemudian dikembangkan murid-murid dan pengikutnya.
Pemikiran dan Cita-cita KH Ahmad Dahlan
Pemikiran beliau yang bisa ditemukan secara tertulis sangat minim. Satu diantaranya tulisannya tentang pengajaran agama dalam Suara Muhammadiyah no.2 tahun 1915. Dan pidatonya dalam acara Kongres Al-Islam ke-1 di Cirebon (31 Oktober-3 Nopember 1922). Dan pidato KH Dahlan ini merupakan pemikiran seorang ulama yang bervisi jauh ke depan dalam menatap nasib generasi. Pidatonya ini berjudul “Tali Pengikat Hidup Manusia” yang isinya al: orang itu mesti beragama, dan agama itu pada mulanya bercahaya tapi makin lama makin suram. Padahal yang suram itu bukan agamanya, akan tetapi manusianya. Dalam tulisan berjudul Al-Islam dan Al-Qur’an—yang merupakan satu-satunya tulisan Dahlan yang dipublikasikan—dinyatakan adanya kekalutan dikalangan umat. Mereka pecah belah dan tidak pernah bersatu. Menurutnya, yang menyebabkan perpecahan itu adalah para pemimpin umat itu dangkal ilmunya, sehingga kalau bermusyawarah mereka selalu bersandar pada hawa nafsu dan tidak dengan ilmu. Dan para pemimpin yang berilmu tidak mengamalkan ilmunya hanya untuk bersombong dan untuk kepentingan sendiri. Bila menangkap isi ceramahnya yang dikumpulkan muridnya, HR Hadjid, tampak Kiai Dahlan itu ingin membangun masyarakat yang berjiwa sosial, yang senang berkorban untuk umat manusia. Dalam tafsir 17 Kelompok Ayat Dahlan tampak, bahwa KH Ahmad Dahlan sangat kukuh berpegang pada prinsip tauhid sebagai pijakan amal gerakannya. Namun kesalehan manusia (umat Islam) ini menurut KH Dahlan tidak berhenti pada kesalehan ibadah ritual, seperti menjalankan ibadah mahdah. Tapi harus utuh menjadi amal sosial. Itulah yang dimaksud amal saleh. Dengan merujuk antara lain, surat Al-Ma’un, KH Ahmad Dahlan berpandangan bahwa orang yang sekedar salat—secara ritual—tapi mengabaikan kepedulian sosial (antara lain ditunjukan terhadap anak yatim dan faqir miskin) itulah hakekat orang yang “lalai” (sahun) dalam salatnya. Sehingga masih terancam dengan neraka wail. Itulah pendusta agama—pembohong terhadap Allah—pura-pura saleh.
Dari tulisan KH Ahmad Dahlan dan pengungkapan HR Hadjid tentang KH Ahmad Dahlan, kita dapat menarik kesimpulan bahwa yang dalam menggerakan masyarakat untuk beramal dan berorganisasi KH Ahmad Dahlan berpegang pada beberapa prinsip yaitu: senantiasa mempertanggungjawabkan tindakan kepada Allah, perlu adanya ikatan persaudaraan berdasarkan kebenaran sejati, perlunya setiap pemimpin menambah terus ilmu sehingga bijaksana dalam mengambil keputusan, ilmu harus diamalkan, perlunya dilakukan perubahan untuk menuju keadaan lebih baik, dan mencontohkan jiwa berkorban. Jadi yang dikembangkan KH Ahmad Dahlan bukanlah sistem, tapi etos.
Dengan demikian cita-cita KH Ahmad Dahlan adalah ingin menumbuhkan masyarakat Islam. Maksud masyarakat Islam ini, masyarakat yang berkarakter Islam dengan pola sunah Muhammad saw. Yang menjadi ciri khas gerakan sunah Muhammad saw ini adalah membangun dan memberdayakan masyarakat. Mendidik masyarakat supaya terjadi perubahan perilaku menjadi berkarakter Islam dengan kesadaran dan ilmu, bukan dengan paksaan atau kekerasan. Sebagaimana yang dijalankan Muhammad saw (Sunnah). Sehingga ajaran Islam itu bisa dirasakan terasa simpatik, menyenangkan, dan menggembirakan, bukan menimbulkan anti pati, menyusahkan dan menakutkan masyarakat yang belum faham. Karena itulah usaha yang dijalankan KH Ahmad Dahlan bukanlah diartikan organisasi, tapi sebagai Gerakan bernama Persyarekatan Muhammadiyah. Muhammadiyah itu sebagai Gerakan Islam artinya yang mendukung pikiran dan ide Muhammadiyah itu sekedar orang-orang yang jadi anggota Muhammadiyah—lazimnya organisasi. Tapi yang mendukung gerakan Muhammadiyah adalah selain anggota, juga yang bukan anggota organisasi Muhammadiyah. Inilah rahasianya kenapa Muhammadiyah itu ide dan amalannya lebih besar dari organisasi Muhammadiyah atau jumlah anggotanya itu sendiri—yang menurut catatan resmi tahun 2000, tercatat sekitar 700 ribu orang.
Gagasan KH Ahmad Dahlan yang terpenting adalah terbentuknya jama’ah Islam, untuk bersama-sama berikhtiar mengamalkan ayat-ayat Al-Qur’an. Menurut pendapatnya fungsi Al-Qur’an sebagai kitab suci tidak hanya untuk dipelajari, apalagi sekedar untuk membaca dan dihafalkan. Oleh karena itu Ahmad Dahlan menjadikan Muhammadiyah sebagai organisasi yang diefektifkan untuk mengkaji al-Qur’an, sekaligus menjadi tempat bermusyawarah guna menyepakati pengamalannya. Oleh karenannya gerak Muhammadiyah tidak pernah lepas dari tiga amalan tersebut, ialah: pengkajian Al-Qur’an, Musyawarah, dan amal.
AKU BUKAN OFORTUNIS
“Sayang, kamu dari mana? Katanya mau jenguk aku pasca dzuhur” itu pacarku yang bicara. Dia sakit. Sakit gak parah, Cuma kangker payudara. Sumpah! Bukan aku pelakunya. Itu sudah taqdir Allah. Kamu yakin akan taqdir Tuhan. Yah, itu contohnya. Enaknya dia, sekarang nginap di Rumah Sakit Al-Islam Bandung.
“Aku baru pulang kuliah. Tadi sedikit membahas tugas di perpus sama teman” nah, ini baru aku yang bicara. Kamu tahu kan, aku salah satu mahasiswa tauladan di UIN SGD Bandung. Pacarku sama kuliah di sana.
“Oh, kirain main dulu”pacarku curiga.
“Enggak, masa main. Kan pacarku sakit mana sempet aku berbuat hal yang melalaikan menurut Allah” Jangan kau anggap aku menasehati kalian. Tapi, aku memang mahasiswa ber-religi. Ma’af maksudnya beragama.
“Sayang, duduk dongk! Kayaknya gak mau nemanin pacar yang sedang sakit” dasar wanita gombal. Bisanya merayu keimanan lelaki. Sial aku punya pacar. Udah manja, penyakitan lagi. Emang cantik, tapi, kalo penyakitan? Gak tahu ah!
“Sayang, kok diam aja” Astaghfirullah pacarku marah.
“Eh, iya. Lupa, he… he…” sedikit ketawa biar menghibur.
“Ma’af ayang, aku agak ngantuk” paling be te nich, kalau sudah datang si ngantuk. Ngerubetin juga cewek ini. Orang ngantuk diganggu.
“Sayang, kalau aku sembuh kamu mau ngasih apa?” Pacarku coba ngarayu aku dengan kata – kata yang tidak sepantasnya diucapkan oleh wanita. Seharusnya gini, “Sayang kalau aku sembuh, aku mau kasih kamu kejutan” Nah, kalau gitu aku akan doakan dia biar sembuh. Penasaran dengan kejutannya. Kalau dia ngomong gitu. Mana mau aku doain dia biar cepat sembuh. Aku aja lagi kanker (kantong kering). Ini jawabanku.
“Kalau, Ayang sembuh. Aku mau ngasih kejutan”
“Apa kejutannya?” Pacarku penasaran. Maklum wanita suka yang mengejutkan. Ma’af bukan maklum. “Dasar wanita! Maunya gitu melulu.
“Gak mau bilang ah. Namanya juga kejutan” Yah, sayang kalau kau sembuh aku akan beri kejutan. Kejutan yang dahsyat. Yakni bin yaitu, aku akan putuskan kau. Mana mau aku punya pacar penyakitan. Ihhh.... enggak deh.
“Ah, Ayang. Ada-ada aja?” Ih! “Ada-ada aja” dia bilang. Ada sayang,aku punya kejutan yang akan buat kamu lama di Rumah Sakit yang kamu impikan ini. Kami, bukan orang kaya. Makanya pacarku dulu pernah bilang, kalau sakit mau di bawa kerumah sakit. Katanya enak, ada kasur empuk dan gedungnya tinggi. Aneh emang pacar aku itu?
Aku bosan dialog dengannya. Udah aku rayu aja dia biar mau tidur.
“Santai aja Sayang. Aku pasti akan memberi kamu sesuatu yang sangat berharga. Yah, sangat... udah sekarang jangan mikir apa-apa lagi. Sekarang Ayang tidur aja. Istirahat yang tenang.”
“Iya, aku juga dah ngantuk. Tapi, cium dulu yach” Dahsyat bener rayuannya. Pake mau dicium segala. Tak adakah di dalam diri wanita rasa takut pada api neraka. Gak pernah baca apa, kalau neraka doyan wanita. Tapi, tumben Cuma minta dicium biasanya lebih menyesatkan.
“Just For you, aku tidak mau, Haram hukumnya” aku pasti menyinggungnya. Habis, bagaimana lagi, aku gak mau masuk neraka gara-gara wanita, kurang keren, mendingan nahan aja. Kali aja dapat surga, shaum.
“’Gak apa, gak mau juga. Makasih Sayang sudah perhatiin aku, I lvoe you” Itulah kata-kata terakhirnya. Sekarang dia tenang di alam lain. Bukan alam akhirat. Alam mimpi.
“I love you to honey” ini juga kata – kata terakhirku padanya. Mungkin dia akan sembuh. Dan saat itu aku akan meninggalkannya. Aku sangat mencintainya. Dan aku tak ingin menyakiti diriku. Dia cantik juga perhatian. Dan selamanya aku akan mengenangnya. Satu hal, yang tidak bisa aku berikan kepadanya. Kesetiaanku. Sayang aku bukan oportunis. Walau sekarang aku memilih diriku, daripada dirimu. Terlalu aku menginginkanmu. Lebih dari itu, aku ingin tubuhmu. Namun aku gak mau oportunis. Kata nenekku, pacaran itu kurang baik kalau jauh dari pernikahan.
“Aku baru pulang kuliah. Tadi sedikit membahas tugas di perpus sama teman” nah, ini baru aku yang bicara. Kamu tahu kan, aku salah satu mahasiswa tauladan di UIN SGD Bandung. Pacarku sama kuliah di sana.
“Oh, kirain main dulu”pacarku curiga.
“Enggak, masa main. Kan pacarku sakit mana sempet aku berbuat hal yang melalaikan menurut Allah” Jangan kau anggap aku menasehati kalian. Tapi, aku memang mahasiswa ber-religi. Ma’af maksudnya beragama.
“Sayang, duduk dongk! Kayaknya gak mau nemanin pacar yang sedang sakit” dasar wanita gombal. Bisanya merayu keimanan lelaki. Sial aku punya pacar. Udah manja, penyakitan lagi. Emang cantik, tapi, kalo penyakitan? Gak tahu ah!
“Sayang, kok diam aja” Astaghfirullah pacarku marah.
“Eh, iya. Lupa, he… he…” sedikit ketawa biar menghibur.
“Ma’af ayang, aku agak ngantuk” paling be te nich, kalau sudah datang si ngantuk. Ngerubetin juga cewek ini. Orang ngantuk diganggu.
“Sayang, kalau aku sembuh kamu mau ngasih apa?” Pacarku coba ngarayu aku dengan kata – kata yang tidak sepantasnya diucapkan oleh wanita. Seharusnya gini, “Sayang kalau aku sembuh, aku mau kasih kamu kejutan” Nah, kalau gitu aku akan doakan dia biar sembuh. Penasaran dengan kejutannya. Kalau dia ngomong gitu. Mana mau aku doain dia biar cepat sembuh. Aku aja lagi kanker (kantong kering). Ini jawabanku.
“Kalau, Ayang sembuh. Aku mau ngasih kejutan”
“Apa kejutannya?” Pacarku penasaran. Maklum wanita suka yang mengejutkan. Ma’af bukan maklum. “Dasar wanita! Maunya gitu melulu.
“Gak mau bilang ah. Namanya juga kejutan” Yah, sayang kalau kau sembuh aku akan beri kejutan. Kejutan yang dahsyat. Yakni bin yaitu, aku akan putuskan kau. Mana mau aku punya pacar penyakitan. Ihhh.... enggak deh.
“Ah, Ayang. Ada-ada aja?” Ih! “Ada-ada aja” dia bilang. Ada sayang,aku punya kejutan yang akan buat kamu lama di Rumah Sakit yang kamu impikan ini. Kami, bukan orang kaya. Makanya pacarku dulu pernah bilang, kalau sakit mau di bawa kerumah sakit. Katanya enak, ada kasur empuk dan gedungnya tinggi. Aneh emang pacar aku itu?
Aku bosan dialog dengannya. Udah aku rayu aja dia biar mau tidur.
“Santai aja Sayang. Aku pasti akan memberi kamu sesuatu yang sangat berharga. Yah, sangat... udah sekarang jangan mikir apa-apa lagi. Sekarang Ayang tidur aja. Istirahat yang tenang.”
“Iya, aku juga dah ngantuk. Tapi, cium dulu yach” Dahsyat bener rayuannya. Pake mau dicium segala. Tak adakah di dalam diri wanita rasa takut pada api neraka. Gak pernah baca apa, kalau neraka doyan wanita. Tapi, tumben Cuma minta dicium biasanya lebih menyesatkan.
“Just For you, aku tidak mau, Haram hukumnya” aku pasti menyinggungnya. Habis, bagaimana lagi, aku gak mau masuk neraka gara-gara wanita, kurang keren, mendingan nahan aja. Kali aja dapat surga, shaum.
“’Gak apa, gak mau juga. Makasih Sayang sudah perhatiin aku, I lvoe you” Itulah kata-kata terakhirnya. Sekarang dia tenang di alam lain. Bukan alam akhirat. Alam mimpi.
“I love you to honey” ini juga kata – kata terakhirku padanya. Mungkin dia akan sembuh. Dan saat itu aku akan meninggalkannya. Aku sangat mencintainya. Dan aku tak ingin menyakiti diriku. Dia cantik juga perhatian. Dan selamanya aku akan mengenangnya. Satu hal, yang tidak bisa aku berikan kepadanya. Kesetiaanku. Sayang aku bukan oportunis. Walau sekarang aku memilih diriku, daripada dirimu. Terlalu aku menginginkanmu. Lebih dari itu, aku ingin tubuhmu. Namun aku gak mau oportunis. Kata nenekku, pacaran itu kurang baik kalau jauh dari pernikahan.
Don’t Cry
Aku pernah jalan - jalan di dunia imajinasi. Di sana ku temui seorang bocah laki – laki. Anak itu mukanya pucat. Air matanya mengalir. Menambah jelek raut wajahnya. Dia hitam, kucel dan bajunya compang camping. Tak bercelana, hanya Koran perisai bagian tubuhnya.. Sebagai orang baik aku sapa dia.
“Nak, kamu menangis jelek sekali”Mendengar itu, dia kaget. Spontan nangisnya berhenti. Mungkin ucapanku menghiburnya.
“Huk… huk… huk..” Tidak! Aku salah faham. Anak itu sekarang menangis dengan sedu sedan. Pokoknya dahsyat abis. Ma’af, next wajahnya lebih buruk dari manusia buruk rupa akibat tangisannya. Aku tahu ini salahku. Ucapanku telah menyinggungnya. Baik, sekarang kurubah pertanyaanku agar lebih manusiawi.
“Wahai seorang anak yang kesepian. Apa gerangan yang membuat engkau menangis tersedu sedan?” Sekarang dia pasti akan menjawab. Betapa manisnya pertanyaanku.
“Kamu! Kamu yang buat aku tambah sedih” What! Apa! Masya Allaht. Kok dia nyalahin aku. Jujur, aku tersinggung. Kudebat aja tuduhannya.
“Aku! Kurang ajar… Kok kamu nyalahin aku” Sekarang aku kesal pada anak itu. Dasar anak manusia. Gak sopan pada wong tua. Apa dia tidak berpendidikan.
“Iya, kamu. Udah tahu lagi sedih. Malah di bilang jelek.” Bicara sambil nangis dia. Menambah jelek wajahnya.
“Eh… kamu ini gimana sih. Masa aku harus bohong. Kamu itu memang jelek. Huk… huk….” Anak gak beragama. Masa mau menjadikan dirinya fitnah. Kalau udah jelek, ya jelek aja. Kejujuran malah di fitnah. Dasar zaman edan.
“Kamu! Orang tua tidak berperasaan. Huak… huak…huak…”Eh, nangisnya malah nambah kencang aja. Ya Tuhanku. Aku harus bagaimana? Haruskan aku bohong padanya. Bahwa ia wajahnya genteng. Terima kasih Tuhan. Sekarang aku tahu solusinya.
“Wahai anak yang cakep. Putih dan baik. Kalau kamu nangis terus. Kamu akan tambah jelek. Bisa muntah aku dibuatynya. Coba kamu berhenti nangis. Kemudian senyum, pasti akan lebih ganteng.”Tuhan ma’afkan aku. Jelas, aku telah memfitnahnya.
“Masa! Aku ganteng? He… he…”Dia tersenyum gembira. “Duh! Betapa sial nasib anak ini. Tak ada perubahan padanya. Dia memang jelek.” Tuhan ma’afkan aku telah mengungkapkannya.
“Nah, kalau senyum kan. Ehm…. Kamu jadi ehm… jel…”
“Jel… apa Om?” anak itu penasaran.
“Jel… jelas gantengnya” Dia kira siapa dirinya. Mau dikatakan ganteng.
“Eh, kenapa sih kamu nangis?”Aku interogasi dia. Penasaran.
“Ini Om. Aku belum makan. Ngamen gak ada yang ngasih” Dia curhat padaku. Sok kenal banget anak ini.
“Emang orang Tuamu kemana?” Aku nanya dia. Aku kan orang baik.
“Gak tahu. Udah mati kali. Biasa Om. Yatim. Nyumbang dong Om.” Anak itu coba ngerayu aku. Jangan harap kau bisa menggodaku nak.
“Beruntung kau gak punya orang Tua. Lumayan tuh, ada tempat khusus di Surga. Sebelas-dua belas dengan Nabi.” Ingin rasanya aku seperti dia. Disurganya, bukan yatimnya.
“Om, Surga makanan apa ya? Atau apa Om?”Anak malang. Surga gak kenal.
“Surga itu gehu! Surga itu, tempat yang indah di akhirat nanti. Kalau kau jadi anak baik dan soleh. Kau akan masuk sana. Juga wajahmu gak jelek lagi.” seperti ulama juga aku. Bisa ceramah.
“Betul gitu Om. Nyumbang donk Om biar Om masuk surga.” Sekarang aku kena rayuan anak ini.
“Yah, baru sekarang aku termakan omongan sendiri. Ok. Nih gocap” Jujur, aku ikhlas ngasih anak ini. Karena aku buka orang pendusta agama.
“Makasih Om. Dadah Om.” Dasar anak jelek. Udah dapat nipu orang, lari.
Itulah perjalanan imajinasiku. Menyedihkan.
Dasam Syamsudin
Aktivis IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah)
“Nak, kamu menangis jelek sekali”Mendengar itu, dia kaget. Spontan nangisnya berhenti. Mungkin ucapanku menghiburnya.
“Huk… huk… huk..” Tidak! Aku salah faham. Anak itu sekarang menangis dengan sedu sedan. Pokoknya dahsyat abis. Ma’af, next wajahnya lebih buruk dari manusia buruk rupa akibat tangisannya. Aku tahu ini salahku. Ucapanku telah menyinggungnya. Baik, sekarang kurubah pertanyaanku agar lebih manusiawi.
“Wahai seorang anak yang kesepian. Apa gerangan yang membuat engkau menangis tersedu sedan?” Sekarang dia pasti akan menjawab. Betapa manisnya pertanyaanku.
“Kamu! Kamu yang buat aku tambah sedih” What! Apa! Masya Allaht. Kok dia nyalahin aku. Jujur, aku tersinggung. Kudebat aja tuduhannya.
“Aku! Kurang ajar… Kok kamu nyalahin aku” Sekarang aku kesal pada anak itu. Dasar anak manusia. Gak sopan pada wong tua. Apa dia tidak berpendidikan.
“Iya, kamu. Udah tahu lagi sedih. Malah di bilang jelek.” Bicara sambil nangis dia. Menambah jelek wajahnya.
“Eh… kamu ini gimana sih. Masa aku harus bohong. Kamu itu memang jelek. Huk… huk….” Anak gak beragama. Masa mau menjadikan dirinya fitnah. Kalau udah jelek, ya jelek aja. Kejujuran malah di fitnah. Dasar zaman edan.
“Kamu! Orang tua tidak berperasaan. Huak… huak…huak…”Eh, nangisnya malah nambah kencang aja. Ya Tuhanku. Aku harus bagaimana? Haruskan aku bohong padanya. Bahwa ia wajahnya genteng. Terima kasih Tuhan. Sekarang aku tahu solusinya.
“Wahai anak yang cakep. Putih dan baik. Kalau kamu nangis terus. Kamu akan tambah jelek. Bisa muntah aku dibuatynya. Coba kamu berhenti nangis. Kemudian senyum, pasti akan lebih ganteng.”Tuhan ma’afkan aku. Jelas, aku telah memfitnahnya.
“Masa! Aku ganteng? He… he…”Dia tersenyum gembira. “Duh! Betapa sial nasib anak ini. Tak ada perubahan padanya. Dia memang jelek.” Tuhan ma’afkan aku telah mengungkapkannya.
“Nah, kalau senyum kan. Ehm…. Kamu jadi ehm… jel…”
“Jel… apa Om?” anak itu penasaran.
“Jel… jelas gantengnya” Dia kira siapa dirinya. Mau dikatakan ganteng.
“Eh, kenapa sih kamu nangis?”Aku interogasi dia. Penasaran.
“Ini Om. Aku belum makan. Ngamen gak ada yang ngasih” Dia curhat padaku. Sok kenal banget anak ini.
“Emang orang Tuamu kemana?” Aku nanya dia. Aku kan orang baik.
“Gak tahu. Udah mati kali. Biasa Om. Yatim. Nyumbang dong Om.” Anak itu coba ngerayu aku. Jangan harap kau bisa menggodaku nak.
“Beruntung kau gak punya orang Tua. Lumayan tuh, ada tempat khusus di Surga. Sebelas-dua belas dengan Nabi.” Ingin rasanya aku seperti dia. Disurganya, bukan yatimnya.
“Om, Surga makanan apa ya? Atau apa Om?”Anak malang. Surga gak kenal.
“Surga itu gehu! Surga itu, tempat yang indah di akhirat nanti. Kalau kau jadi anak baik dan soleh. Kau akan masuk sana. Juga wajahmu gak jelek lagi.” seperti ulama juga aku. Bisa ceramah.
“Betul gitu Om. Nyumbang donk Om biar Om masuk surga.” Sekarang aku kena rayuan anak ini.
“Yah, baru sekarang aku termakan omongan sendiri. Ok. Nih gocap” Jujur, aku ikhlas ngasih anak ini. Karena aku buka orang pendusta agama.
“Makasih Om. Dadah Om.” Dasar anak jelek. Udah dapat nipu orang, lari.
Itulah perjalanan imajinasiku. Menyedihkan.
Dasam Syamsudin
Aktivis IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah)
Al-Kalapa
Malam ini aku dan dua temanku yaitu Sidik dan Ayub kebagian jadwal meronda. Setelah kami menghafal. Bukan kami tapi Sidik dan Ayub bosan menghafal, mereka menemuiku yang sedang mengamati keindahan alam.
“Kak lagi lihat apa?” kata ayub ikut campur urusan orang.
“Alam Allah. Lihat! Pohon kelapa itu buahnya lebat dan hijau” dari tadi aku memang memandang buah kelapa. Aku bertafakur tentang ciptaan Allah yang satu ini. Kayaknya seger kalau ku minum airnya.
“Yub, Dik, nanti malam kita beraksi ya” aku bertanya pada mereka dan mata masih melihat kelapa.
“Siap! Eh… beraksi apa Kak?” Sidik balik nanya
“Ada aja” kataku sambil tersenyum dan memandang kelapa
Sidik dan Ayub heran melihat aku yang dari tadi memandang kelapa. Mereka pun saling beradu pandang mungkin heran. Setelah itu mereka juga memandang kelapa. Jadi, kami bertiga memandang kelapa. Tak selang beberapa detik mereka ikut tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepala dan memandang kelapa. Aku, Sidik dan Ayub tersenyum memandang kelapa. Dan bukannya sombong, senyum aku lebih bagus dari mereka. Aku tahu mereka tersenyum karena mengerti niatku. Aku bangga pada mereka. Mereka ngerti apa yang aku mau tanpa harus berkata.
Jam sepuluh masjid sudah tak ada siapa-siapa. Yang tadinya ramai menjadi sepi karena para santri sudah kekamar dan pada mau tidur.
“Siapa yang meronda Sem?” kata keamana yang lewat memandang aku.
“Kelapa. Eh… saya, Sidik dan Ayub” mendengar jawabanku keamanan kaget.
Keamanan heran kenapa kami bertiga bengong seakan lagi bertafakur. Keheranan keamanan terpecahkan setelah memandang arah yang sedag kami lihat. Keamanan melihat kelapa yang kami pandang. Dan tiba-tiba ia juga tersenyum dan menganggukan kepalanya sambil memandang kelapa. Karena senyum keamanan kami bubar. Entah kenapa keamanan terus mendang kelapa dan tersenyum terus sambil mengangguk-anggukan kepala dan terkadang menggelengkannya.
“Yub, Dik. Kita kewarung ma Engkai yu! Belanja buat malam” aku mengajak temanku dan meninggalkan keamanan yang memandang kelapa.
“Ayo” kata Sidik dan Ayub kompak.
Setelah kami kembali dengan membawa mie, ikan asin dan bahan sambal. Kami duduk di depan masjid sambil ngobrol.
“Baru jam sebelas, masak tiga jam lagi” gerutu Sidik sambil cemberut.
“Iya, aku juga lapar. Apalagi kerongkonganku belum disiram air” kata Ayub bersedih
Mendengar gerutu temanku yang kurang suka dengan kondisi ini. Aku memandang kelapa dan tersenyum.
“Dik, Yub!” aku memanggil mereka dan mengangkat daguku menunjukan kelapa yang hijau. Dengan isyarat ini mereka paham dibalik kehausan kami ada solusinya.
“Yub kamu aja” kata Sidik sambil meletakan bungkus ikan asin.
“Emang gak apa –apa kak ngam…” Ayub penasaran dan langsung ku potong ucapannya.
“Engak… gak apa-apa. Itukan miliki pesantren kita semua” aku meyakinkan Ayub.
“Ok! Kalau begitu malam ini kita party kelapa” kata Ayub semangat sambil membuka sarungnya dan baju ngajinya.
Kami bertiga pergi kearah pohon kelapa yang ada di kebun Kiai. Kulihat ayub sangat bersemangat dan menggerakan tubuhnya kekiri dan kekanan sebagai pemanasan.
“Yub, hati-hati” aku berkata padanya dengan suara pelan
“Tenang Kak. Aku kan juara panjat pinang 3 kali berturut-turut”
“Kak! Kayaknya ada orang menuju kearah sini?” kata Sidik sambil berbisik ditelingaku, dan menunjukan arah orang yang sedang berjalan terendap-endap.
“Iya… kayak Keamanan Pesantren” itu aku yang bicara sambil melihat arah datangnya orang asing itu.
“Iya Kak, ayo kita sembunyi” Sidik mengajaku sembunyi dan menarik kedua tanganku masuk kedalam semak-semak.
Sementara aku dan Sidik bersembunyi. Kulihat Ayub sudah sampai kepuncak pohon kelapa dan menepuk buah kelapa. Ayub terus memilih buah kelapa yang tepat tanpa menyadari ada keamana yang sedang patroli atau mungkin…… mau mencuri kelapa? Jelas. Akurat! Keamanan itu melihat kekiri dan kanan memperhatikan lingkungan sekitar. Kemudian dia membuka sarungnya dan mulai memanjat untuk meraih cita-citanya meminum air kelapa.
Keadaan sangat genting. Ayub sungguh dideru masalah yang sangat besar. Hanya ada dua pilihan baginya hidup atau mati. Seandianya aku bisa memberitahukannya aku akan menyarankan padanya agar lompat dari pohon kelapa yang tingginya 14 m. Karena, menurutku lebih baik melompat dari pada ketahuan keamanan dan menanggung aib seumur hidup. Tapi pilihan Ayub salah ia tetap diam dan sembunyi diantara daun kelapa yang rimbun.
Keamanan sudah mencapai dahan kelapa. dan mulai duduk di dahan yang berbeda dengan Ayub. Keamanan mencari kelapa segar dan berputar dipohon kelapa. Ayub pun sama berputar menyembunyikan dirinya dengan arah yang berlawanan. Dan akhirnya,
“AAAAWWWWW….. Allahuakbar…. “ Keduanya menjerit karena saling memandang kaget. Jeritannya sangat keras dan memecahkan keheningan malam. Sampai banyak yang bangun termasuk Kiai dan para Ustadz. Mereka berlari kencang, tegang dan penasaran ada apa yang terjadi. Sesampainya di TKP (tempat kejadian perkara). Ustadz Toni menyorotkan lampu dan jelas sekali mereka ketangkap basah.
Melihat kejadian itu semua santri tertawa senang dan ada yang senyum pelit hanya mengangkat sedikit bibirnya. Semua santri sepertinya gembira melihat dua santri itu susah. Bahkan, ada yang lebih senang dan tertawa lebar sekali melihat kejadian itu, yaitu aku.
Esoknya, Ayub dan keamanan tidak dihukum apa-apa. Hanya saja mereka ditertawakan santri. Mungkin lucu melihat Ayub dan keamanan diberi hadiah oleh Kiai yaitu kalung. Mereka sepertinya sedih memakai kalung yang disusun dari sepuluh buah kelapa. Al-hamdulillah aku dan Sidik selamat. Sekarang aku yakin bahwa Allah sayang padaku. Itulah aku. Aku yang merencanakan Ayub yang sial. Ha…. Ha…. Senangnya.
“Kak lagi lihat apa?” kata ayub ikut campur urusan orang.
“Alam Allah. Lihat! Pohon kelapa itu buahnya lebat dan hijau” dari tadi aku memang memandang buah kelapa. Aku bertafakur tentang ciptaan Allah yang satu ini. Kayaknya seger kalau ku minum airnya.
“Yub, Dik, nanti malam kita beraksi ya” aku bertanya pada mereka dan mata masih melihat kelapa.
“Siap! Eh… beraksi apa Kak?” Sidik balik nanya
“Ada aja” kataku sambil tersenyum dan memandang kelapa
Sidik dan Ayub heran melihat aku yang dari tadi memandang kelapa. Mereka pun saling beradu pandang mungkin heran. Setelah itu mereka juga memandang kelapa. Jadi, kami bertiga memandang kelapa. Tak selang beberapa detik mereka ikut tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepala dan memandang kelapa. Aku, Sidik dan Ayub tersenyum memandang kelapa. Dan bukannya sombong, senyum aku lebih bagus dari mereka. Aku tahu mereka tersenyum karena mengerti niatku. Aku bangga pada mereka. Mereka ngerti apa yang aku mau tanpa harus berkata.
Jam sepuluh masjid sudah tak ada siapa-siapa. Yang tadinya ramai menjadi sepi karena para santri sudah kekamar dan pada mau tidur.
“Siapa yang meronda Sem?” kata keamana yang lewat memandang aku.
“Kelapa. Eh… saya, Sidik dan Ayub” mendengar jawabanku keamanan kaget.
Keamanan heran kenapa kami bertiga bengong seakan lagi bertafakur. Keheranan keamanan terpecahkan setelah memandang arah yang sedag kami lihat. Keamanan melihat kelapa yang kami pandang. Dan tiba-tiba ia juga tersenyum dan menganggukan kepalanya sambil memandang kelapa. Karena senyum keamanan kami bubar. Entah kenapa keamanan terus mendang kelapa dan tersenyum terus sambil mengangguk-anggukan kepala dan terkadang menggelengkannya.
“Yub, Dik. Kita kewarung ma Engkai yu! Belanja buat malam” aku mengajak temanku dan meninggalkan keamanan yang memandang kelapa.
“Ayo” kata Sidik dan Ayub kompak.
Setelah kami kembali dengan membawa mie, ikan asin dan bahan sambal. Kami duduk di depan masjid sambil ngobrol.
“Baru jam sebelas, masak tiga jam lagi” gerutu Sidik sambil cemberut.
“Iya, aku juga lapar. Apalagi kerongkonganku belum disiram air” kata Ayub bersedih
Mendengar gerutu temanku yang kurang suka dengan kondisi ini. Aku memandang kelapa dan tersenyum.
“Dik, Yub!” aku memanggil mereka dan mengangkat daguku menunjukan kelapa yang hijau. Dengan isyarat ini mereka paham dibalik kehausan kami ada solusinya.
“Yub kamu aja” kata Sidik sambil meletakan bungkus ikan asin.
“Emang gak apa –apa kak ngam…” Ayub penasaran dan langsung ku potong ucapannya.
“Engak… gak apa-apa. Itukan miliki pesantren kita semua” aku meyakinkan Ayub.
“Ok! Kalau begitu malam ini kita party kelapa” kata Ayub semangat sambil membuka sarungnya dan baju ngajinya.
Kami bertiga pergi kearah pohon kelapa yang ada di kebun Kiai. Kulihat ayub sangat bersemangat dan menggerakan tubuhnya kekiri dan kekanan sebagai pemanasan.
“Yub, hati-hati” aku berkata padanya dengan suara pelan
“Tenang Kak. Aku kan juara panjat pinang 3 kali berturut-turut”
“Kak! Kayaknya ada orang menuju kearah sini?” kata Sidik sambil berbisik ditelingaku, dan menunjukan arah orang yang sedang berjalan terendap-endap.
“Iya… kayak Keamanan Pesantren” itu aku yang bicara sambil melihat arah datangnya orang asing itu.
“Iya Kak, ayo kita sembunyi” Sidik mengajaku sembunyi dan menarik kedua tanganku masuk kedalam semak-semak.
Sementara aku dan Sidik bersembunyi. Kulihat Ayub sudah sampai kepuncak pohon kelapa dan menepuk buah kelapa. Ayub terus memilih buah kelapa yang tepat tanpa menyadari ada keamana yang sedang patroli atau mungkin…… mau mencuri kelapa? Jelas. Akurat! Keamanan itu melihat kekiri dan kanan memperhatikan lingkungan sekitar. Kemudian dia membuka sarungnya dan mulai memanjat untuk meraih cita-citanya meminum air kelapa.
Keadaan sangat genting. Ayub sungguh dideru masalah yang sangat besar. Hanya ada dua pilihan baginya hidup atau mati. Seandianya aku bisa memberitahukannya aku akan menyarankan padanya agar lompat dari pohon kelapa yang tingginya 14 m. Karena, menurutku lebih baik melompat dari pada ketahuan keamanan dan menanggung aib seumur hidup. Tapi pilihan Ayub salah ia tetap diam dan sembunyi diantara daun kelapa yang rimbun.
Keamanan sudah mencapai dahan kelapa. dan mulai duduk di dahan yang berbeda dengan Ayub. Keamanan mencari kelapa segar dan berputar dipohon kelapa. Ayub pun sama berputar menyembunyikan dirinya dengan arah yang berlawanan. Dan akhirnya,
“AAAAWWWWW….. Allahuakbar…. “ Keduanya menjerit karena saling memandang kaget. Jeritannya sangat keras dan memecahkan keheningan malam. Sampai banyak yang bangun termasuk Kiai dan para Ustadz. Mereka berlari kencang, tegang dan penasaran ada apa yang terjadi. Sesampainya di TKP (tempat kejadian perkara). Ustadz Toni menyorotkan lampu dan jelas sekali mereka ketangkap basah.
Melihat kejadian itu semua santri tertawa senang dan ada yang senyum pelit hanya mengangkat sedikit bibirnya. Semua santri sepertinya gembira melihat dua santri itu susah. Bahkan, ada yang lebih senang dan tertawa lebar sekali melihat kejadian itu, yaitu aku.
Esoknya, Ayub dan keamanan tidak dihukum apa-apa. Hanya saja mereka ditertawakan santri. Mungkin lucu melihat Ayub dan keamanan diberi hadiah oleh Kiai yaitu kalung. Mereka sepertinya sedih memakai kalung yang disusun dari sepuluh buah kelapa. Al-hamdulillah aku dan Sidik selamat. Sekarang aku yakin bahwa Allah sayang padaku. Itulah aku. Aku yang merencanakan Ayub yang sial. Ha…. Ha…. Senangnya.
Ustadz Berkata Kami Ha… Ha… Ha…
“Ha… ha… ha…” kami tertawa mendengar cerita ustadz. “Terus gimana lagi ceritanya Ustadz?” Cecep berteriak pada ustadz penasaran ingin mendengar cerita ustadz. Dan ustadz pun melanjutkan ceritanya.
“Terus, karena anak itu tidak mendengar dengan konsen pelajaran fiqh. Padahal sudah dikatakan sebelumnya bahwa istinja boleh dengan embun asal jangan di gesek-gesek. mungkin karena dia lupa. Ketika anak perempuan itu buang hajat. Di pesantren sedang krisis air dan kebetulan pagi itu banyak embun di galengan sawah. Karena keadaan madharat maka anak itu menggesekan parjinya ke galengan sawah. Maju mundur, maju mundur sampai beberapa kali sehingga….”
“Ha… ha… ha…” kami ketawa lagi. Padahal ustadz belum sempat menyelesaikan ceritanya. Tapi, kami mengerti apa yang akan ia katakana. Dasar ustadz contohnya ada-ada aja. “Sssssttttt…. Diam pak Ustadz mau melanjutkan” aku menengankan keadaan.
“Ada seorang Kiai berceramah pada pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak. Kebetulan yang banyak hadir pada saat itu kalangan manula. Saat ustad bercerita tentang fiqh yaitu masalah wudhu. Bahwa, kalau mengusap kepala harus dengan air yang secuil. Karena diantara hadirin ada seorang kakek dan nenek yang ketiduran dan kurang jelas mendengar ucapan Kiai. Mengusap kepala dengan air secuil dikiranya mengusap kepala kecil. Nah, ketika kakek itu wudhu ia mengusap kepala yang kecil dan ia senang. Tapi neneknya berkata,
“Ki gimana ngusap kepalanya? Aku kan gak punya kepala yang kecil” gitu kata nenek. Kemudian sang kakek berkata.
“Usap aja kepala kakek yang kecil tiga kali” kakeknya menjelaskan. dan nenek pun mengusapnya. Dan kakek pun berkata, “Ni, ngusapnya biasa aja geli”.
“Ha... ha… ha…” kami tertawa lagi.
“Udah, ah. Cerita melulu entar lupa sama penjelasannya Ustadz berkata sambil menyalakan rokok Djarum Cokelat.
“Bagaimana kami faham kan ustadz belum menjelaskan,baru cerita” Kata Saepul dan kami. “Ha… ha… ha…” Menyambung ketawa tadi.
“Iya, ustadz ada-ada aja. Ha… ha… ha…”itu aku yang ngomong. Dan yang lain tidak ada yang ha… ha…ha… mungkin gak lucu kali.
“Ha… ha… ha…” Ustadz tertawa lebar. Melihat ustadz tertawa kami pun,
“Ha… ha… ha…”semua jadi tertawa.
“Diam! Jangan tertawa terus” Ustadz marah dan berusaha mendisplinkan kami. Mendengar bentakan ustadz spontan kami diam. Tapi diam kami hanya pura-pura karena ekspresi marah ustadz lucu sekali.
“Sem lihat! Wajah ustadz lucu sekali. Dia marah padahal bibirnya tetap tersenyum” Kata Fadli menggoda aku.
Hampir satu menit kami terdiam tanpa ketawa. Tiba-tiba ustadz keluar kelas. Dan jelas sekali ia tertawa terbahak-bahak tapi mulutnya ditutupi tangnnya. Melihat itu kami jadi ingin tertawa lagi dan, “Ha… ha… ha….” Kami tertawa juga.
“Terus, karena anak itu tidak mendengar dengan konsen pelajaran fiqh. Padahal sudah dikatakan sebelumnya bahwa istinja boleh dengan embun asal jangan di gesek-gesek. mungkin karena dia lupa. Ketika anak perempuan itu buang hajat. Di pesantren sedang krisis air dan kebetulan pagi itu banyak embun di galengan sawah. Karena keadaan madharat maka anak itu menggesekan parjinya ke galengan sawah. Maju mundur, maju mundur sampai beberapa kali sehingga….”
“Ha… ha… ha…” kami ketawa lagi. Padahal ustadz belum sempat menyelesaikan ceritanya. Tapi, kami mengerti apa yang akan ia katakana. Dasar ustadz contohnya ada-ada aja. “Sssssttttt…. Diam pak Ustadz mau melanjutkan” aku menengankan keadaan.
“Ada seorang Kiai berceramah pada pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak. Kebetulan yang banyak hadir pada saat itu kalangan manula. Saat ustad bercerita tentang fiqh yaitu masalah wudhu. Bahwa, kalau mengusap kepala harus dengan air yang secuil. Karena diantara hadirin ada seorang kakek dan nenek yang ketiduran dan kurang jelas mendengar ucapan Kiai. Mengusap kepala dengan air secuil dikiranya mengusap kepala kecil. Nah, ketika kakek itu wudhu ia mengusap kepala yang kecil dan ia senang. Tapi neneknya berkata,
“Ki gimana ngusap kepalanya? Aku kan gak punya kepala yang kecil” gitu kata nenek. Kemudian sang kakek berkata.
“Usap aja kepala kakek yang kecil tiga kali” kakeknya menjelaskan. dan nenek pun mengusapnya. Dan kakek pun berkata, “Ni, ngusapnya biasa aja geli”.
“Ha... ha… ha…” kami tertawa lagi.
“Udah, ah. Cerita melulu entar lupa sama penjelasannya Ustadz berkata sambil menyalakan rokok Djarum Cokelat.
“Bagaimana kami faham kan ustadz belum menjelaskan,baru cerita” Kata Saepul dan kami. “Ha… ha… ha…” Menyambung ketawa tadi.
“Iya, ustadz ada-ada aja. Ha… ha… ha…”itu aku yang ngomong. Dan yang lain tidak ada yang ha… ha…ha… mungkin gak lucu kali.
“Ha… ha… ha…” Ustadz tertawa lebar. Melihat ustadz tertawa kami pun,
“Ha… ha… ha…”semua jadi tertawa.
“Diam! Jangan tertawa terus” Ustadz marah dan berusaha mendisplinkan kami. Mendengar bentakan ustadz spontan kami diam. Tapi diam kami hanya pura-pura karena ekspresi marah ustadz lucu sekali.
“Sem lihat! Wajah ustadz lucu sekali. Dia marah padahal bibirnya tetap tersenyum” Kata Fadli menggoda aku.
Hampir satu menit kami terdiam tanpa ketawa. Tiba-tiba ustadz keluar kelas. Dan jelas sekali ia tertawa terbahak-bahak tapi mulutnya ditutupi tangnnya. Melihat itu kami jadi ingin tertawa lagi dan, “Ha… ha… ha….” Kami tertawa juga.
TV dan Media Pendidikan
KENDATI televisi bukan media massa yang pertama kali ada, namun perkembangannya dari masa kemasa sangat cepat. Usia televisi di Indonesia, baru berumur 45 tahun. Akan tetapi, dengan kurun yang relative singkat itu, televisi terus mengalami perkembangan. Dari fitur layer hitam putih, sampai televisi corak warna. Tadinya hanya ada satu chanel, kini terdapat banyak chanel. Mungkin di Indoensia sendiri terdapat puluhan chanel. Dari perusahan penyiaran televisi raksasa sampai yang local. Sebenarnya, keberadaan televisi di Indonesia, karena pemerintah pada tahun 1961 mendapat proyek Asean Games. Acara ini ingin disiarkannya kedaerah yang terjangkau oleh satelit televisi yang waktu itu masih sangat bersifat lokal. Maka diputuskanlah menghadirkan media massa yang sarat dengan manfaat dan kemewahan ini. Kemudian di bangun Panitia Persiapan Pengembangan Televisi Indonesia pada tahun 1961. barulah pada tanggal 20 Oktober 1963 didirikan yayasan TVRI—Televisi Republik Indonesia—berdasarkan keputusan Menteri No. 215/ 1963. sejak itu, televisi sudah bisa dimanfaatkan (ditonton), kendati masih sangat sederhana.
Dari awal keberadaanya sampai sekarang, televisi adalah media massa yang sangat digemari masyarakat. Maka tidak heran jika televisi menjadi icon utama media massa dibanding dengan surat kabar, majalah, bahkan internet sekalipun. Dengan kemewahan ini, maka tujuan pemerintah menghadirkannya tiada lain untuk edutaitment—mendidik sekaligus menghibur. Bahkan, keberadaan yayasan TVRI (1963) pertama kali ada karena untuk mempersatukan bangsa dengan pesan-pesan pendidikan yang ditayangkannya.
Menurut Drs. Darwanto, S.S, “salah satu alas an kenapa televisi bisa dijadikan sebagai media pendidikan, karena televisi mempunyai karakteristik tersendiri. Audio visual yang lebih dirasakan perannya dalam mempengaruhi masyarakat. sehingga dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dalam menyukseskan pembangunan Negara dalam bidang pendidikan, melalui televisi sebagai sarana pendukungnya.”
Televisi era modern
Sejalan dengan arus modernitas, perkembangan, televisi bukan hanya dari hardware saja. Bahkan sekarang menjadi kebutuhan primer bukan sekunder atau tersier apalagi kebutuhan mewah. Tayangan-tayangannya pun berkembang. Memang ini sangat wajar, karena televisi selalu menayangkan perkembangan manusia dari masa kemasa. Namun, jika pertama kali kemunculannya syarat akan nilai pendidikan, sekarang dengan perkembangannya televisi cenderung menyajikan tayangan hiburan tanpa memperhatikan nilai pendidikan. Tayangan berita, dialog, potret kehidupan budaya, olahraga, drama pendidikan misalnya, cenderung lebih longgar jam tayangnya dibanding dengan sajian yang hanya mengutamakan sisi hiburan yang kurang mendidik. Memang masih ada chanel yang kental dengan tayangan pendidikanya, tapi, chanel yang menayangkan sisi hiburan lebih banyak.
Realita tayangan televisi era modern, menyudutkannya pada media pendidikan yang tidak lebih baik dari Koran, majalah pendidikan dan buletin pendidikan. Dalam kata lain nilai pendidikanya menurun. Karakteristik audio-visual televisi memang salah satu kemewahanya dan sangat kuat mempengari khalayak. Akan tetapi, jika dibidik sebagai media pendidikan zaman sekarang yang paling baik, sepertinya perlu ditinjau kembali? Antara tayangan yang mendidik dan hanya hiduran semata—yang terkadang tidak memuat nilai pendidikan sama sekali—dengan tidak mengatakan semua tayangannya amoral.
Tayangan menghibur juga mendidik
Tayangan televisi tidak terlepas dari tayangan-tayangan yang menarik dan cenderung menghibur, itu memang seharusnya untuk sebuah media massa. Tetapi, disamping menarik juga harus edukatif sebagai tontonan masyarakat umum. Jika ada satu sajian televisi yang syarat dengan nilai negatife, misalnya sinetron yang menayangkan tentang pacaran anak sekolah yang terlalu bebas. Hal ini akan mudah dicerna oleh anak-anak sekolah karena pengaruh televisi sangat kuat. Untuk itu, sejatinya orang yang berperan dibelakang layer atau perusahaan penyiaran televisi untuk tidak menayangkan hal tersebut.
Dimasyarakat yang kaya akan nilai kearifan budaya dan agama, tayangan tersebut sangat tidak baik. Bisa-bisa mengikis etis-moral masyarakat yang arif. Televisi (produksi tayangan) harus bisa memberi kontribusi pada masarakat dengan mengetengahkan nilai-nilai pendidikan. Memberi hiburan pada masyarakat, benar itu sebuah kontribusi. Namun, kalau mempengaruhi masyarakat jadi tidak beretika—sesuai dengan kearifan budaya dan agama—itu kontribusi atau racun sosial?
Tugas masyarakat sebagai konsumen televisi, harus bisa memilah dan memilih tayangan yang selayaknya ia konsumsi. Jangan sampai menyalahkan media televisi—asumsi sebagian masyarakat sekarang—sedangkan dia sendiri terpengaruhi. Ariflah dalam memilih tayangan, jadikan tontonan sebuah tuntunan, bukan hiburan semata. Belajarlah dari televisi dengan mencari tayangan yang mendidik.
Dari awal keberadaanya sampai sekarang, televisi adalah media massa yang sangat digemari masyarakat. Maka tidak heran jika televisi menjadi icon utama media massa dibanding dengan surat kabar, majalah, bahkan internet sekalipun. Dengan kemewahan ini, maka tujuan pemerintah menghadirkannya tiada lain untuk edutaitment—mendidik sekaligus menghibur. Bahkan, keberadaan yayasan TVRI (1963) pertama kali ada karena untuk mempersatukan bangsa dengan pesan-pesan pendidikan yang ditayangkannya.
Menurut Drs. Darwanto, S.S, “salah satu alas an kenapa televisi bisa dijadikan sebagai media pendidikan, karena televisi mempunyai karakteristik tersendiri. Audio visual yang lebih dirasakan perannya dalam mempengaruhi masyarakat. sehingga dapat dimanfaatkan oleh pemerintah dalam menyukseskan pembangunan Negara dalam bidang pendidikan, melalui televisi sebagai sarana pendukungnya.”
Televisi era modern
Sejalan dengan arus modernitas, perkembangan, televisi bukan hanya dari hardware saja. Bahkan sekarang menjadi kebutuhan primer bukan sekunder atau tersier apalagi kebutuhan mewah. Tayangan-tayangannya pun berkembang. Memang ini sangat wajar, karena televisi selalu menayangkan perkembangan manusia dari masa kemasa. Namun, jika pertama kali kemunculannya syarat akan nilai pendidikan, sekarang dengan perkembangannya televisi cenderung menyajikan tayangan hiburan tanpa memperhatikan nilai pendidikan. Tayangan berita, dialog, potret kehidupan budaya, olahraga, drama pendidikan misalnya, cenderung lebih longgar jam tayangnya dibanding dengan sajian yang hanya mengutamakan sisi hiburan yang kurang mendidik. Memang masih ada chanel yang kental dengan tayangan pendidikanya, tapi, chanel yang menayangkan sisi hiburan lebih banyak.
Realita tayangan televisi era modern, menyudutkannya pada media pendidikan yang tidak lebih baik dari Koran, majalah pendidikan dan buletin pendidikan. Dalam kata lain nilai pendidikanya menurun. Karakteristik audio-visual televisi memang salah satu kemewahanya dan sangat kuat mempengari khalayak. Akan tetapi, jika dibidik sebagai media pendidikan zaman sekarang yang paling baik, sepertinya perlu ditinjau kembali? Antara tayangan yang mendidik dan hanya hiduran semata—yang terkadang tidak memuat nilai pendidikan sama sekali—dengan tidak mengatakan semua tayangannya amoral.
Tayangan menghibur juga mendidik
Tayangan televisi tidak terlepas dari tayangan-tayangan yang menarik dan cenderung menghibur, itu memang seharusnya untuk sebuah media massa. Tetapi, disamping menarik juga harus edukatif sebagai tontonan masyarakat umum. Jika ada satu sajian televisi yang syarat dengan nilai negatife, misalnya sinetron yang menayangkan tentang pacaran anak sekolah yang terlalu bebas. Hal ini akan mudah dicerna oleh anak-anak sekolah karena pengaruh televisi sangat kuat. Untuk itu, sejatinya orang yang berperan dibelakang layer atau perusahaan penyiaran televisi untuk tidak menayangkan hal tersebut.
Dimasyarakat yang kaya akan nilai kearifan budaya dan agama, tayangan tersebut sangat tidak baik. Bisa-bisa mengikis etis-moral masyarakat yang arif. Televisi (produksi tayangan) harus bisa memberi kontribusi pada masarakat dengan mengetengahkan nilai-nilai pendidikan. Memberi hiburan pada masyarakat, benar itu sebuah kontribusi. Namun, kalau mempengaruhi masyarakat jadi tidak beretika—sesuai dengan kearifan budaya dan agama—itu kontribusi atau racun sosial?
Tugas masyarakat sebagai konsumen televisi, harus bisa memilah dan memilih tayangan yang selayaknya ia konsumsi. Jangan sampai menyalahkan media televisi—asumsi sebagian masyarakat sekarang—sedangkan dia sendiri terpengaruhi. Ariflah dalam memilih tayangan, jadikan tontonan sebuah tuntunan, bukan hiburan semata. Belajarlah dari televisi dengan mencari tayangan yang mendidik.
Langganan:
Postingan (Atom)