“Ha… ha… ha…” kami tertawa mendengar cerita ustadz. “Terus gimana lagi ceritanya Ustadz?” Cecep berteriak pada ustadz penasaran ingin mendengar cerita ustadz. Dan ustadz pun melanjutkan ceritanya.
“Terus, karena anak itu tidak mendengar dengan konsen pelajaran fiqh. Padahal sudah dikatakan sebelumnya bahwa istinja boleh dengan embun asal jangan di gesek-gesek. mungkin karena dia lupa. Ketika anak perempuan itu buang hajat. Di pesantren sedang krisis air dan kebetulan pagi itu banyak embun di galengan sawah. Karena keadaan madharat maka anak itu menggesekan parjinya ke galengan sawah. Maju mundur, maju mundur sampai beberapa kali sehingga….”
“Ha… ha… ha…” kami ketawa lagi. Padahal ustadz belum sempat menyelesaikan ceritanya. Tapi, kami mengerti apa yang akan ia katakana. Dasar ustadz contohnya ada-ada aja. “Sssssttttt…. Diam pak Ustadz mau melanjutkan” aku menengankan keadaan.
“Ada seorang Kiai berceramah pada pengajian ibu-ibu dan bapak-bapak. Kebetulan yang banyak hadir pada saat itu kalangan manula. Saat ustad bercerita tentang fiqh yaitu masalah wudhu. Bahwa, kalau mengusap kepala harus dengan air yang secuil. Karena diantara hadirin ada seorang kakek dan nenek yang ketiduran dan kurang jelas mendengar ucapan Kiai. Mengusap kepala dengan air secuil dikiranya mengusap kepala kecil. Nah, ketika kakek itu wudhu ia mengusap kepala yang kecil dan ia senang. Tapi neneknya berkata,
“Ki gimana ngusap kepalanya? Aku kan gak punya kepala yang kecil” gitu kata nenek. Kemudian sang kakek berkata.
“Usap aja kepala kakek yang kecil tiga kali” kakeknya menjelaskan. dan nenek pun mengusapnya. Dan kakek pun berkata, “Ni, ngusapnya biasa aja geli”.
“Ha... ha… ha…” kami tertawa lagi.
“Udah, ah. Cerita melulu entar lupa sama penjelasannya Ustadz berkata sambil menyalakan rokok Djarum Cokelat.
“Bagaimana kami faham kan ustadz belum menjelaskan,baru cerita” Kata Saepul dan kami. “Ha… ha… ha…” Menyambung ketawa tadi.
“Iya, ustadz ada-ada aja. Ha… ha… ha…”itu aku yang ngomong. Dan yang lain tidak ada yang ha… ha…ha… mungkin gak lucu kali.
“Ha… ha… ha…” Ustadz tertawa lebar. Melihat ustadz tertawa kami pun,
“Ha… ha… ha…”semua jadi tertawa.
“Diam! Jangan tertawa terus” Ustadz marah dan berusaha mendisplinkan kami. Mendengar bentakan ustadz spontan kami diam. Tapi diam kami hanya pura-pura karena ekspresi marah ustadz lucu sekali.
“Sem lihat! Wajah ustadz lucu sekali. Dia marah padahal bibirnya tetap tersenyum” Kata Fadli menggoda aku.
Hampir satu menit kami terdiam tanpa ketawa. Tiba-tiba ustadz keluar kelas. Dan jelas sekali ia tertawa terbahak-bahak tapi mulutnya ditutupi tangnnya. Melihat itu kami jadi ingin tertawa lagi dan, “Ha… ha… ha….” Kami tertawa juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar