Oleh DASAM SYAMSUDIN
“Gak belajar?” Emakku yang cantik bertanya sambil mengerutkan jidatnya. Mungkin heran melihat aku baca bukunya terbalik.
“Oh… belajar atuh mak” aku menjawab agak kaget. Dan menunjukan buku yang ku pegang. Judulnya “Petruk dan Gareng” Karya Gultom.
“Oh…belajar ya? Ya.. udah teruskan. Dan yang bener bacanya!”emak marah kelihatannya.
Mendengar itu aku hanya senyum. Dan emak pun pergi meninggalkan ku dalam kesendirian, kesunyian dan kejenuhan juga kerinduan. Sendiri di dalam kamar yang berdinding kayu dan sempit. Sunyi jauh dari TV dan tak ada suara radio. Jenuh harus belajar setiap malam. Rindu karena teringat selalu sang teman hati dan sepermainan. Namanya Asep. Dia orang yang kurindukan. Teman sekelasku dan seumur hidupku. Lima tahun kami sekolah di SD Mekar Jaya Gantar-Indramayu. Berangkat bareng, duduk terpisah, dan rumah masing-masing.
Asep bagiku manusia, seperti aku. Cuma dia lebih besar. Namun, kami memiliki kesamaan. Yaitu, satu turunan. Emaknya Asep adalah bibinya emak aku. Kami berdua termasuk orang yang gak beruntung masalah perempuan. Sebab itulah jerawat tumbuh di wajah kami. Memang aku dan dia kelas lima SD. Tapi, keinginan kami untuk punya pacar sudah lulus sekolah. Mungkin sudah wisuda.
Bosan aku merindukan Asep. Ku rindukan lagi temanku yang harus bertanggung jawab atas jerawat yang tumbuh di wajahku. Karena jerawat ini, aku sering menutupi wajahku dengan baju. Bisa dikatakan seperti ninja. Hanya mata yang terbuka. Sedangkan area yang lainnya clouse. Orang yang kurindukan ini perempuan dan masih gadis. Sekelas juga denganku, tapi tidak sebangku. Gadis itu cantik, dan lebih muda dari emakku. Dia namanya Desi. Desi adalah wanita kelima yang menolakku. Dan sudah lima kali ia menolakku. Padahal aku hanya satu kali nembak dia—bilang cinta padanya. Desi memang gak tahu malu. Masa aku ditolak lima kali. Padahal aku Cuma nembak sekali. Kadang aneh wanita itu. Dari apa tuhan menciptakan wanita?
Dua hari yang lalu. Aku bilang padanya,
“Des, aku cinta padamu. Mau gak…”
“Gak mau! Sorry… Hmmm” kejamnya Desi. Udah motong omongan, motong juga hatiku.
“Tapi kan Des… aku cuma”
“Pokoknya gak mau!... pergi!!!!” Dia marah dan membalikan kepalanya.
“Des, inikan sepeda aku. Kamu aja yang pergi” berat aku mengatakan ini. Habis bagaimana lagi. Inikan warisan kakekku.
“Tuh, ambil! Sepeda jelekmu. Bannya aja kayak bibirmu!” Desi makin gak sopan dan memaki aku. Ku balas aja dengan kata-kata romantis.
“Eh.. lo jangan sombong. Mentang-mentang pipilu kayak buah semangka. Main hina pusaka keluarga gue aja. Lo tahu! Sepeda ini tunas teknologi harapan bangsa?” Aku gak kuat menahan emosi. Kalau aku yang dihina gak apa-apa. Ini, sepeda disamain sama orang. Kalau orang wajar kayak sepeda. Memang wanita itu tulang bengkok. Susah dilurusin kalau udah emosi.
Mendengar kata-kata ku yang extra hot. Desi lari kembali kekelas. Sepertinya mau pulang. Kulihat dia bawa kantongnya. Aku sadar telah menusuk hati dan jantungnya. Oleh karena itu, aku mengejar Desi berniat minta maaf.
Desi lari sangat cepat. Lebih cepat dari pada nenek-nenek. Dengan rasa bersalah aku mengejarnya. Diantara kejar-mengejarnya kami. Tiba-tiba hujan turun agak deras. Desi terus lari tanpa menoleh kebelakang. Karena hujan semakin lebat dan jalan licin. Aku lihat Desi sliding dan hampir jatuh. Aku sangat kasihan melihatnya. Gara-gara aku dia kehujanan. Aku juga heran. Kenapa dia lari dariku? Mungkinkah dia cinta padaku, namun malu mengungkapkannya. Ini sangat mungkin dan rasional. Kalau begitu aku harus mengejarnya. Lima meter lagi aku akan mendapatkannya. Dan langsung kunaikan kesadal sepedaku ini.
“Deeeesssssiiiii…..” aku berteriak memanggil. Dan “Allahuakbar…ADUH.. SAKIT!” Aku terjatuh saat memanggil namanya. Tiba-tiba Desi menghentikan larinya dan menatapku. Tatapan Desi disertai suara petir dan kilat. Kilat yang seolah-olah memotret kami, mengabadikan momen ini. Sepedaku hancur, kakiku luka. Tapi, tatapan Desi mengobatinya. Aku bilang padanya, “Desi… tolong aku dong! Sem sakit ni”
“Apa? Nolong kamu! Soorrrryyyy…. Weeee, makan tuh sepeda” Sungguh tidak kusangka. Desi sekejam ini. Menyesal aku mengejarnya. Ya… Tuhan aku sedih sekali.
“Sem! Kasihan deh lu!” Desi tambah bengis dan meninggalkanku dalam kesakitan luar dalam.
Hujan tambah deras. Jalan hampir tertutup air. Petir marah dan saling menembak berlomba suara siapa yang paling keras. Alam seakan ikut bersedih menyaksikan aku yang jatuh dan terbunuh perasaannya. Sakit tak ku hiraukan. Yang penting sepeda kakekku masih ada. Ku bangun dan meraih setang sepedaku yang nyungsep diselokan tempat aku jatuh. Sepeda tak bisa ku naiki. Tak ada jalan lain, sepedaku kesayangan kakekku ku seret sampai rumah. Aku tak peduli emak marah karena kabur dari sekolah. Oh… nasib…
“Sem, matikan lampu! Udah malam, tidur! Jangan menghafal terus, Nanti sekolahnya kesiangan” mendengar emakku aku kaget. Dan sadar, bahwa aku melamun. Kejadian dua hari yang lalu itu, akan ku lupakan selamanya.
one day I believe, Desi will say to me “Sem, I’m sorry the last moment. Next, I want you can be my friends for a long time or forever togheter.” My answer is “NEVER” My heart was broken with you. Kalau bahasanya salah maaf. Aku mu’alaf bahasa Inggris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar