SAAT ini, krap kita saksikan perilaku amoral yang dilakukan oleh para pelajar. Baik dari media cetak, media elektronik, media online, atau bahkan kita saksikan langsung dalam kehidupan nyata sekitar khidupan kita. Seperti tawuran antar geng, tawuran antar sekolah, mengonsumsi miras atau narkoba, pemerkosaan, seks bebas, pencabulan, dan pencurian.
Dulu—sebelum meledaknya dunia informasi—kasus-kasus di atas, jarang kita temui, apalagi dikalangan pelajar. Jika ada pelajar mempraktekan salah satu perilaku amoral tadi, maka berita ini merupakan hal yang sangat mengherankan. Apalagi, kejadian itu dipraktekan pelajar yang sekolah dikampung, bisa membuat satu kampung geger, mungkin karena hukum adat atau norma kesopanan dan kesusilaannya masih kental.
Tapi, di zaman sekarang yang konon zaman modern. Perilaku amoral pelajar sangat sering kita dengar dan saksikan, dari kekerasan sampai keromantisan, dan dari mabuk-mabukan sampai pencabulan. Dan parahnya, perilaku ini semakin hari semakin menjadi-jadi. Misalnya, kasus video adegan mesum yang dilakukan pelajar.
Sebenarnya, pelajar melakukan hal itu, pasti karena ada pemicunya (stimulus). Yang jadi persoalan, bagaimana seorang pelajar bisa melakukan perilaku amoral tersebut, yang notabenenya sebagai orang terdidik?
Media bisa jadi salah satu penyebabnya karena ada tontonan-tontonan yang tidak jadi tuntunan. Namun, media tidak sepenuhnya menjadi motif perilaku amoral pelajar, karena masih banyak tayangan lain yang bisa jadi tuntunan.
Dalam ilmu Psikologi Pendidikan, bahwa salah satu pemicu perilaku amoral pada pelajar adalah lingkungan. Lingkungan terhadap pembentukan karakteristik pelajar sangat berpengaruh. Karena pelajar, apalagi anak SMP dan SMA, menurut ilmu psikologi perkembangan adalah orang yang sedang mencari jati diri. dan pencarian itu kebanyakan mereka dapatkan dari lingkungan, interaksi dengan masyarakat sosial dan banyak pristiwa sosial yang ia amati, lama-kelamaan akan mempengaruhinya.
Banyaknya peristiwa-peristiwa baru yang ia kenal dalam lingkungan, akan mengontruksi pemikirannya dan karakteristiknya. Jika lingkungannya baik, maka pengaruhnya pun positif, tapi, jika lingkungannya buruk maka sangat berbahaya pada pemikiran dan karakteristik pelajar. Bisa-bisa ia menirunya dan mempraktekannya.
Tapi, walau bagaimanapun, menyalahkan lingkungan seratus persen pun tidak tepat. Karena, tidak semua lingkungan buruk, dan bukankah manusia yang membentuk lingkungan?
Pelaku amoral, kebanyakan dilakukan oleh para pelajar sekolah pendidikan umum. Misalnya, istilah tawuran antar madrasah itu tidak ada, yang ada tawuran antar sekolah. Juga adegan vidio mesum pelajar selalu bertema anak skolah SMU… kalau dianalisis, hal ini kemungkinan besar karena minimnya pengetahuan agama para pelajar. Kurangnya pemahaman mereka tentang arti dosa dan pahala, surga dan neraka menjadikan sesuatu yang sangat berdosa itu hal yang biasa, setidaknya penyimpangan nilai yang tidak terlalu jauh. Para pelajar yakin hal itu perilaku amoral. Tapi, karena dianggap tidak berdosa lebih jauhnya tidak apa-apa, maka mereka mempraktekan hal itu walau tahu itu penyimpangan.
Nah, disinilah harus diyakini bahwa pengetahuan agama sangat penting bagi perkembangan karaktristik siswa. Pendidikan agama lebih mementingkan praktek dari pada teori, dan lebih mementingkan budi pekerti.
Oleh karena itu, syogianya seorang pendidik atau pengajar bisa menerapkan muatan agamis yang syarat dengan budi pekerti terhadap para siswa. Siapapun gurunya dan apa pun yang diajarkannya. Jangan berpikir karena kita guru Biologi, Fisika, Matematika atau apa pun, sehingga masalah moral tidak lagi diprioritaskan.
Mendidik bukan hanya mengajar
bagi sorang pengajar, menjadikan siswanya pintar itu sudah dikatakan sukses. Tapi tidak bagi sorang pendidik. Guru disamping pengajar juga harus bisa mendidik, agar tiak hanya memperhatikan masalah IQ (intelejensi) siswa, tapi lebih memperhatikan masalah moralnya. Karna itulah kesuksesan sorang guru.
"Buat apa banyak orang pintar kalau tidak bermoral" Itu, asumsi masyarakat. Betapa mereka menuntut dan mengharapkan para anak-anaknya disamping menjadi orang pintar juga berbudi pekerti baik. Dan semua ini adalah tugas seorang pendidik. Maka dari itu, seorang pengajar harus bisa mendidik dengan sebaik-baiknya, agar melahirkan pelajar yang brintelejensi tinggi dan budi pekertinya baik.
Tidak harus guru agama yang menanamkan nilai-nilai agama atau budi pekerti yang baik. Tapi, sudah menjadi kewajiban moral bagi para guru untuk menanamkannya bahkan bertanggung jawab atasnya. Guru bukan hanya pengajar tapi juga pendidk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar