Sebelum shubuh, sekitar pukul 03.30. Sepertinya gue harus bangun. Karena Peraturan di pesantren, setiap hari Kamis harus melaksanakan puasa sunah. Nah, kebetulan Kamis itu kami sekelas kompak hendak berpuasa. Sebelum bangun, kami tidur dulu. Dan setelah bangun tentu maunya tidur lagi. Namun apalah daya, jeritan suara sumbang keamanan sangat mengganggu. Seksi keamanan dari pukul tiga nggak pernah capek membangunkan santri. Kata dia, “membangunkan santri adalah ibadah”. Yah, semoga saja apa yang ia anggap ibadah diterima di sisi Allah beserta iman-Islamnya. Amiin.
Mengingat waktu sudah setengah empat lebih. Gue bergegas membangunkan sohib-sohib. Dengan terpaksa untuk sebagian sohib yang belum bangun. Gue siram dia dengan beberapa tetes air. Hanya tetesan air saja, nggak kurang nggak lebih. Hanya satu tetes air saja cukup membangunkannya. Tapi kalo nggak bangun juga, satu tetes air itu akan disusul satu ember air yang akan tumpah ke seluruh tubuhnya.
Itu bagi yang susah. Untuk santri yang sangat susah sekali bangun. Biasanya kami sangat halus membangunkannya. Hanya dengan menyelimutinya lagi. Nah, setelah selimutnya rapat membungkus tubuh. Bareng-bareng kami menyeretnya ke kamar mandi. Nggak melakukan apa-apa. Hanya melemparkannya ke bak mandi, merendamnya beberapa menit. Itu saja cukup.
Pasca bangun. Untuk persiapan masak. Kami sibuk sendiri-sendiri. Ada yang mencari kayu bakar. Biasanya mencari ke dalam kelas. Mungkin aja ada bangku atau meja yang sudah rusak dan pantas dibakar. Ada juga yang sibuk menyalakan api. Kesibukannya nggak berat. Hanya meniup api di hawu sampai berkobar-kobar. Seksi peniup api nggak sembarang orang. Harus santri yang paling tebal bibirnya.
Kalau Saeful dan Fadli kesibukannya mencari makanan cuci mulut. Biasanya ke kebun Kiai, “sekadar jalan-jalan berhadiah buah Nangka ” katanya. Selain itu ada juga yang sibuk mencuci beras dan peralatan masak. Biasanya Agus.
Dari semua kesibukan. Yang paling sibuk adalah Hilman. Dia harus berusaha mengangkat kelopak matanya agar tetap terbuka. Dan biasanya gagal. Dan inilah yang gue maksud harus dilemparkan ke bak mandi. Tidur di atas kesibukan santri lain.
Sekitar pukul ar-rabi’ah (4). Semua beres melaksanakan tugas. Semuanya berkumpul membentuk lingkaran kecil mengelilingi api hawu. Setelah api cukup panas, barulah nasi dimasak. Biasanya nasi matang menghabiskan waktu tiga puluh menit. Sedangkan azan lima belas menit lagi. Maka, untuk mengantisipasi hal-hal yang nggak diinginkan. Agar nasi cepat matang. Kami meniup api secara berjama’ah, alias barengan. Dalam hitungan mundur dimulai…
“Tsalatsah… Tsaniyah…wahid… tiup!!!”
“Wuuuhhh….wuuuuhh…” dan
“Buzzzz….” Api berkobar menyambar wajah kami. Semua wajah menjadi hitam. Hari, karena ia berjenggot agak panjang. Jenggotnya kebakaran, apinya berkobar kecil. Kami semua menolongnya. Kami membantu memadamkan api dengan cara menggesek-gesek dagu Hari ke tanah beberapa kali, agak ditekan dikit juga. Kalo Makmun, ia hitam bukan karena ke sambar api. Emang sudah takdir!
Apinya mengecil lagi. Kami nggak menyerah. “Tiup lagi!!!...”
Kami terus meniup api itu agar terus berkobar dahsyat, supaya nasi cepat matang. Kulihat semua sohibku sangat bersemangat, awalnya. Namun, tiga menit kemudian semua lelah. Rubi karena kelelahan meniup-niup api tubuhnya jadi kempes. Mukhlis matanya melotot dan kepalanya berputar-putar. Mungkin kepusingan. Fadli tubuhnya terkulai lemas tanpa daya dan hendak muntah. Bukan karena meniup api. Tapi, karena tiupan gue mengenai tepat lubang hidung Fadli. Maklum, lupa gosok gigi...hehehe…
Kira-kira khomsah (5) menit sebelum azan. Nasi sudah matang. Agak kematangan dikit… Maksudnya gosong. Setelah itu, nasi ditumpahkan ke atas daun pisang. Kami semua nongkrongi nasi yang sudah matang. Sambil menunggu mie, lauk-pauknya. Kami agak culak colek dikit nasi itu.
Keadaan tegang, saat azan lima menit lagi. Sedangkan mie belum masak. Alhamdulillah banget, setelah peniupan berjama’ah lagi. Beberapa saat kemudian, mie matang, dan dibawa si Fadli. Namun, tiba-tiba bencana (sekali lagi bencana) mie yang dibawa Fadli….oh tidak!…semuanya tumpah, jatuh berantakan ke atas tanah. Sebagian mie berceceran di tanah. Sebagian lagi terinjak kaki Fadli.
Semua mulut ternganga. Kaget. Semua marah, semua kecewa, sampai ada yang putus asa. Bahkan Cecep menangis, hasil tiupannya sia-sia….
Aha! Melihat kondisi itu. Gue memberikan solusi alternatif. Mie, gue ambil semua plus tanah yang menempel. Sohib-sohib juga ada yang membantu. Fadli juga mengambil mie yang menempel di kakinya. Setelah terkumpul banyak. Mie dimasukan ke dalam nampan berisi air bersih, dikucek-kucek sedikit biar bersih dari noda, mirip nyuci pakaian. Setelah bersih dan suci, mie diguyur air panas lagi. Akhirnya masalah selesai. Mie kembali matang dan bersih. Kendati mie-nya mekar menjadi sebesar kelingking. Setelah disajikan, kami melahap nasi gosong dan mie yang terinjak tadi. Kami selesai makan sahur pas muazin mengumandangkan kalimat. “Laillaha illallah”.
Catatan kaki :
Jangan menyia-nyiakan makanan. Bekerja samalah dalam segala urusan. Kecuali dalam kejahatan. Waspadalah ! Waspada!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar