Bagian sembilan Belas
“Eh, loe ingat tidak siapa yang dulu paling indah dan nyaring suaranya kalau adzan, sehingga dia jadi muadzin ternama di masa Rasulullah saw?”
“…tahu”
“Siapa?” Tanya gue.
“Gak tahu, Sam!!!...” Jawab Eful, berteriak.
“Gak usah teriak gitu donk!”
“Abis, gue udah bilang gak tahu, masih ditanya lagi”
“Ah, dasar bodoh, loe itu. Bilal. Dia yang jadi muadzin ternama di masa Rasulullah” gue menerangkan.
“Iya, gua juga itu mah …tahu”
“Terserah loe aja Ful!”
Di tengah-tengah perdebatan antara gue dan Eful membahas Bilal. Tiba-tiba datang Makmun sambil garuk-garuk kepala, menyebabkan rambutnya awut-awutan. Tanpa banyak kata dan tanpa permisi, dia langsung duduk di tengah-tengah antara gue dan Eful.
“Mun, ada apa gerangan yang terjadi? Menybebkan kepala kau itu digaruk-garuk?” Gue nanya ke itu Makmun yang semakin cepat saja menggaruk-garuk kepalanya.
“Cinta!” jawab makmun datar.
“Hah! Cinta?!” gue jawab bareng Eful.
“Ah, Amun… Amun, cinta dipikirin…” kata Eful, sambil mengambil gelas berisi kopi, lalu meminumnya.
“Gue gak mikirin cinta, gue mirikin Nova” jawab Amun.
Mendengar kata Nova Eful kaget. Sampai-sampai kopi yang akan diminumnya yang sedang bercokol di dalam mulutnya, menyembur ke wajah gue. Karena kesal, maka gue rebut itu gelas yang dipegang Eful. Lalu gue guyur kepala Eful dengan air kopi yang masih hot itu, menyebabkan Eful lari pontang-panting. Kopi yang tadi gue siram ke kepala Eful masih bersisa, dan sisanya itu gue guyurkan saja ke kepala Makmun, dan sisianya lagi gue guyurkan ke kepala gue sendiri. Biar adil.
“jadi, gimana… eh.. kenapa dengan Nova, Mun?” Gue nanya sambil menghabiskan sisa kopi yang ada di gelas tadi.
“Gue mencintainya, Sam. Gue sangat dan teramat mencintai Nova”
"Lalu, kenapa sampai kau garuk-garuk itu kepala karena cinta sama Nova?”
“Itu dia masalahnya, Sam!”
“Apa masalahnya?”
“Gue gak berani mengatakan cinta padanya…”
“Oh, itu…”
“Kok, Oh sih Sam?...”
“Emang harusnya ngapain gue ini, Mun?”
“Ya, tolonglah kasih gue saran atau kritik”
“Oke! Kalau mau saran. Sekarang turunkan itu tangan dari kepala kau yang jelek itu. Dan gak usah terlalu memikirkan Nova. sekarang tenang saja, rileks, ambil nafas dalam-dalam dan keluarkan.” Gue diam sesaat lalu mengangkat gelas yang berisi kopi tapi kopinya sudah habis, sementara Amun sedang mengambil nafas. “Cinta gak usah dipikirkan, Mun. tembak aja itu si Neng Nova…”
“Tembak!!! Kok ditembak?!”
“Iya, ditembak… tembak aja pake pistol dadanya, atau geranat saja sekalian”
“kok begitu, Sam”
“eh, loe itu bodoh ya? Maksud gue itu, loe ungkapkan saja rasa cinta itu ke Nova, ajak dia jadian sama loe. Kali aja dia mau nerima loe. Gitu, Mun”
“Oh….”
***
Malam itu, sambil menunggu Eful, gue dan Amun membicarakan banyak hal tentang cinta, dari berbicara cara mencintai Allah sampai ujung-ujungnya kembali juga bagaimana cara mengungkapkan cinta ke Nova Nurul Ulfiyah, gadis yang dicintai Amun. gue memberikan banyak saran dan metode pada Amun bagaimana dia harus bersikap dan berkata saat mengungkapkan cintanya itu ke Nova Nurul Ulfiyah. Tapi semua saran itu ditolaknya, katanya dia gak berani melakukannya. Sampai akhirnya dia menyuruh gue menulis surat buat Nova. Seperti ini suratnya.
Untuk seorang gadis
yang secara diam-diam telah saya cintai,
siapa lagi kalau bukan Nova Nurul Ulfiyah.
Nova, Assalamu’alaikum….
Nova punya kabar gimana? Mudah-mudahan baik-baik saja.
Nova, sebetulnya aku malu menuliskan surat ini. tapi demi kedamaian hatiku, aku harus menulisnya.
Nova, langsung aja ya!
Nov, kamu tahu tidak, kalau aku itu cinta sama kamu? Banyak malam telah menjadi sepi dan sunyi gara-gara aku cinta sama kamu. Tapi aku ikhlas kok Nov, mencintai kamu. Sumpah.
Nov, aku harus bagaimana kalau sudah begini. Habis, rasa ini telah menjelma menjadi geranat yang mengganjal di hatiku, yang kalau tidak diungkapkan, geranat ini akan meledak bagaikan bom. Kamu tahu kan, bom? Yang meledak dan berdentum itu. Oleh karenanya atas dasar hati yang selalu dan serasa berdetak membunyikan namamu, aku mau kamu jadi pacar aku. Aku nembak kamu, Nov.
Mau ya, jadi pacar aku! Tapi kalau kamu gak mau, aku ikhlas, aku menyerahkan lagi cinta dan nasib aku pada Tuhanku.
Nov, tolong dipikirkan baik-baik, dan bayangkan aku, rupaku dan kelakuanku, mungkin saja layak untuk kau jadikan pacar. Aku mau melakukan apa saja asal (asal jangan suruh aku musyrik) untuk mendapatkanmu.
Wassalam
Makmun Murodz
***
Tiga hari kemudian, di tempat dan masih saat meronda.
Amun berlari-lari mau menemui gue, rambutnya yang hitam tebal terlihat merumbai-rumbai.
“ada apa, Mun, Lari-lari kayak di kejar syaithon?” gue bertanya sambil melihat Eful yang sedang minum kopi.
“Surat… surat Sam. Surat balasan dari Nova”
“Siapa Mun. Nova?!!” Tanya Eful, kaget.
“Iya, Nova”
Mendengar kata Nova, Eful kaget, dan langsung menyemburkan kopi dari mulutnya kemuka gue. Tapi, sekarang gue gak kesiram lagi semburan kopi dari mulut Eful, sebab gue menahannya. Menahan dengan payung. Yang sengaja gue bawa. Dan itu menyebabkan air kopinya kembali ke wajah Eful.
“apa isi suratnya Mun?” gue bertanya lagi ke Amun.
“tulisan”
“Iya, gue tahu tulisan. Maksudnya apa katanya?”
“Oh, kalo itu gue belum tahu, kita buka sama-sama saja”
Gue tidak menjawab, dan Amun langsung duduk di samping gue, memperlihatkan surat dari Nova. Eful juga ikut nimbrung, baca bareng-bareng.
Kepada seorang lelaki yang gak punya keberanian
mengungkapkan cinta di depan gadis pujaannya.
Siapa lagi kalau bukan Makmun Murodz.
Mun, ‘alaikum salam.
Kabar aku baik-baik saja, dan untuk itu aku besrsyukur.
Mun, aku emang gak tahu kamu cinta sama aku. Malah aku kaget, kok kamu tiba-tiba banget ngungkapin cinta sama aku. Sebagai wanita baik aku berterima kasih masih ada orang yang cinta sama aku.
Mun,aku sudah ngebayangin wajah kamu, perilaku kamu, kerajinan kamu mengaji, dan kepintaran kamu juga. Dan semuanya (maaf) gak ada yang menarik, yang membuat aku harus cinta kepadamu apalagi nerima cinta kamu.
Sampai kalimat itu, Amun mengangkat kepalanya menghentikan membaca surat. Lalu tangan kananya menyeka air matanya yang menetes dari matanya yang sebelah kanan, yang sebelah kirinya gak menangis. Nangis sebelah mata.
Setelah selesai menyeka air matanya, Amun kembali tertunduk untuk membaca.
Tapi, sebagai wanita baik aku memberi kamu kesempatan. Katanya kamu mau melakukan apa saja untuk mendapatkan aku, aku hanya minta satu syarat saja. Nanti, sebelum shalat subuh, aku mau kamu yang adzannya. Aku mau kamu mengumandangkan Asma Allah.
Subuh, nanti aku menunggu suaramu.
Wassalam
Nova Nurul Ulfiyah
Membaca lanjutan suratnya, Amun kembali berseri, merasa punya harapan. Dan ia tersenyum, tersenyum sebelah bibir.
Setelah membaca surat dari Nova, Amun terus saja duduk bersila di dalam masjid sambil baca al-Quran dan sesekali melihat jam di dinding. Dari kejauhan, terdengar suara adzan samara-samar. Amun terperanjat, al-Quran ditutupnya, lalu mik dipegangnya, telinganya ditutup tangan kirinya. Dan, di belakangnya para santri yang siap menunggu waktu shalat, menutup telinganya rapat-rapat. Bukan tidak mau mendengar suara adzan, tapi tidak mau mendengar suara Amun.
“ALLAHUAKBAR…ALLAHUAKBAR…. (2 KALI)”
Mendengar adzan Amun, para santri yang ada di belakang Amun meringis-ringis, banyak yang terjengkang, dan beberapa diantaranya ada yang lari ke luar masjid menyelamatkan diri dari suara adzan yang Islami tapi tak berirama.
…..
Anggap saja adzannya sudah selesai.
Adzan Amun sungguh dahsyat. Semua santri yang tidur, karena mendengar adzannya jadi pada bangun menghambur ke luar dari asrama masing-masing. Amun merasa tenang bisa adzan, walaupun itu adzanpertamanya I pesantren. Hatinya berbunga-bunga, seolah-olah banyak bunga melati, bunga mawar, bunga ros, bunga teratai, sampai bunga bangkai menghujani dirinya, saking senangnya.
Pagi pun tiba. Di atas masjid terlihat beberapa orang santri sedang membetulkan spiker masjid yang rusak. Kata seorang santri, kerusakan spiker itu sebab suara Amun itu. Spikernya meledak, kabelnya putus-putus, kulit spiker juga meleleh, dan magnet yang ada di dalam sound itu spiker hancur. Bagaimana nasib itu siker? Tanya gue. Gak bisa diselamatkan, jawab itu santri.
Saat Amun tengah berdiri di depan masjid, ada santri yang berlari menghadapnya. Santri itu membawa selembar kertas putih. Dan kertas itu diberikan ke Amun, yang menyebabkan Amun harus membaca itu kertas.
Gak akan banyak kata.
Mun, kamu telah melaksanakan adzan syarat. Kalaupun suaramu sangat….. ya gitu lah????
Mun, aku nerima kamu. Aku juga suka ama kamu. Sekarang kau resmi jadi pacar aku.
Garut, 12 Mei 2005
Nova Nurul Ulfiyah
Amun menyeringaikan senyum kebahagiaan. Surat yang singkat itu, diciumnya oleh Amun, dibayangkan seakan Nova sedang tersenyum padanya, dan Amun juga seakan harus membalas senyumnya, dan memang ia tersenyum ke itu kertas.
Catatan kaki:
Jangan berpikir mau mendapatkan sesuatu kalau loe belum mengusahakannya, jangan berpikir orang akan mengerti loe, kalau loe tidak mengatakan sesuatu yang jujur tentang loe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar