Bagin Enam Belas
Irma adalah santriwati. Berarti ia wanita, atau rendahan dikit, ia gadis. Walapun Irma gadis. Cantik atau tidaknya itu bukan urusan gue. Gue tidak mau membahas hal yang relatif. Yang gue tahu dan rasakan saat ini adalah, gue mencintainya. Itu aja, kurang lebihnya mohon ma’af.
Dulu, Irma pacarnya Cecep. al-hamdulillah hubungan mereka rusak. Itu juga gara-gara gue. Pasca Cecep, Irma pacaran ama temen sekelasnya, adik kelas gue. Rizal Fauzi orangnya. Ia laki-laki sama kaya gue. Bedanya ia lebih ganteng. Nah, al-hamdulillah lagi, hubungan mereka juga rusak. Itu juga gue lagi penyebabnya. Emang bagi gue masalah rusak-merusak bukan urusan ruwet, itu kecil liwil-liwil. Bukannya sombong, gue bersukur punya kelebihan. Al-hamdulillah banget. Gwe gitu lho.
***
Singkatnya cerita.
Gue sudah pacaran ama Irma. Dan, sekarang lagi tahap kritits ke-12. Sebab, selama pacaran 3 tahun di pesantren. Gue belum pernah ada romantisnya. Yang ada hanya kerusakan dan kerusakan dalam hubungan. Putus nyambungnya aja udah 11 kali. Sekarang yang kedua belas juga rusak lagi. Ah…cape dech.
Minggu kemarin, gue nyatain cinta ama Irma dan janji akan setia. Asal Irma mau menandatangani surat pernyataan kesediaan menjadi pacar yang ke-12 kali. al-hamdulillah banget Irma nerima. Tapi, yah, sekarang gue nerima surat pembatalan kontrak. Pas hari ketujuh pasca penanda tanganan. Gue udah coba menggugatnya, bahwa hitam diatas putih tidak bisa batal begitu aja. Tapi ia bilang,
“Gue tidak merasa tanda tangan”
“Lantas siapa donk, yaa humaira ?”
“Nenek”
“What you say?!...” gue baru makan roti.
“Nenek gue yang tanda tangan” Irma.
“Kenapa ini terjadi Sayang…”
“Gak ada kenapa-kenapa. Udah ah, gwe males. Gwe mau tidur”
“Tunggu Dulu”
“Apa lagi?”
“Salam ama Nenek loe”
***
“Mey, beli keripiknya dua aja. uangnya nanti”
“Iya, catat ya hutangnya. Ini yang kedua belas kamu bilang nanti” Mey mendesak.
Setelah beli kripik singkong dua bungkus dari Mey (nama aslinya Marwah, gue manggilnya Mey). Gue dan Hudaya pergi ke depan kelas untuk menunggu santriawan dan santriawati kelas 1 pulang dari ngajinya. Tujuan gue menunggu santriawati, tiada lain untuk menitipkan kripik singkong agar diberikan ke Irma. Maksudnya, kripik itu sebagai alat, agar Irma sadar. Bahwa Kang Syamsudin masih perhatian. Kalo pun kripik itu pemberian pertama setelah tiga tahun pacaran. Mudah-mudahan dengan kripik itu konplik antara gue dan Irma selesai.
Ide ngasih kripik singkong, itu usulan dari Hudaya. Setelah kami agak lama mempertimbangkan antara memberi bakwan Ma Engkai, atau kripik Mey. Dan, keputusan jatuh pada kripik Mey.
Sambil menunggu, gue dan Hudaya duduk di samping kelas tidak melakukan apa-apa. Kecuali Hudaya, ia duduk sambil mencoret-coret tanah menggunakan kapur. Dan di tengah simbol hati, ia menulis “MEntari aGAma” maksudnya, MEGA. Sedangkan menurut gue, itu artinya Syamsu-diin. Selagi Hudaya mencurat-coret tanah. Gue juga menulis, “Sya’Ir” = Syamsudin Irma. Itu bisa dibaca di belakang baju kokok Hudaya.
“Sam, itu Fitria sudah keluar” kata Hudaya, kakinya menghapus coretan di tanah.
“Oh, iya. Tangkap Day!” kata gue. Tidak menghapus tulisan di baju Uday.
“Fit… Fitria!”
“Oh, Om Uday, ngagetin aja. Ada apa Om?” Fitria
“Tuh..” Hudaya menunjuk gue pake dagunya.
“Ada apa kak Sam?” Fitri mengedipkan mata. Centil.
“Ini, tolong kasiin ya, ke teh Irma. Salamin juga dari kang Syamsudin”
“Insya Allah. Biasa kak, ongkosnya. Khomsatumi’ah” Fitria
“Dasar! ni, mi’ah” Gue ngasih dia cepe. Padahal mintanya gope.
Besoknya, sekitar pukul 16.00 Sore di depan masjid
“Sam, ni! Irma ngembaliin kripiknya” kata Hudaya.
“What!” gue lagi makan roti.
Mendengar laporan itu, gue kaget. Dengan sangat emosi kripik di tangan Uday gue jambret. Lalu gue lihat dulu apakah masih utuh. Setelah yakin utuh. Gue banting keripik sekeras-kerasnya. Belum puas juga gue. Gue banting lagi, plastiknya sobek, kripiknya juga hancur berantakan. Masih belum puas gue. Gue injak itu kripik.
“Hentikan!” kata Uday.
Mendengar teriakan Hudaya. Gue langsung lari dan memeluk Hudaya tanpa tetesan air mata. “Sudah-sudah” kata Uday. Rupanya Uday tidak mau gue peluk. Gue juga sama gak mau memeluknya—gue bukan homo—Yang pada akhirnya Huday mengajak gue meninggalkan kripik itu, yang berantakan di depan masjid. Sambil melangkahkan kaki, Hudaya masih melirik kebelakang melihat kripik yang berantakan. Sedangkan gue terus aja jalan, sambil makan kripik yang nempel di kaki. Tiba-tiba Huday melirik kebelakang dan berteriak.
“Woi! Jangan ambil kripiknya…” Hudaya berteriak.
Rupanya saat kami meninggalkan kripik itu, anak kelas satu menunggu kesempatan untuk mengambil kripik. Untung aja ada Hudaya. Jadi kripik bersejarah itu tetap utuh.
Catatan Kaki:
Jangan pacaran kalo lagi ngaji. Juga, jangan ngasih kripik ke pacar.
Jangan juga membuangnya. Gak boleh! Mubadzir tau!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar