Bagian Lima Belas
Sore itu, gue dan sohib-sohib sekelas hanya diam lesu dan bosan. Lesu belum makan dan bosan mendengarkan ustadz ceramah di kelas menjelaskan Shorof Kailani. Cecep tidak seperti biasanya. Ia kelihatan kurang bersemangat. Gue tahu penyebabnya. Mungkin ia merasa kesepian. Karena, teman duduk sebangkunya, Fadil, tidak mengaji atau belum datang. Saat ustadz sedang asyik menjelaskan. Dan kami semakin bosan mendengarkan. Tiba-tiba terdengar suara seorang santri mengucapkan salam di balik pintu.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum…….” Suaranya keras. Terus, “…salam..” suaranya pelan. Kaget.
Semua bengong, ustadz menghentikan ceramah. Semua mata menatap arah datangnya sumber suara. Di depan pintu yang terbuka berdiri seorang santriawan. Yang membuat kami heran. Santriawan ini, berbeda dengan yang lainnya. Ia memakai cadar.
“Udkhul!... masuk!” ustadz masih bengong.
Tanpa banyak cakap, santriawan yang dicadar ini. Berjalan agak canggung, ia terus diam. Cadarnya melambai-lambai terembusi angin akibat ia berjalan. Agak cantik santriawan ini. Dengan sangat gemulai, ia meletakkan pantatnya di atas bangku di samping Cecep. Cecep mengenal orang ini.
“Fadil?!... loe!...hi…hi…” Cecep kaget. terus menahan tawannya.
“hi….hi…hi…”
Semua santri menahan tawa yang ditekan agar tidak terdengar. Semua cekikian kecil. Semua mata menyorot Fadil. Fadil hanya tertunduk. Ia memain-mainkan pena sebagai penghilang kemaluannya. Para santri masih menahan tawa. Santriawati banyak yang menutup mulutnya, agar tawanya tersembunyi. Sebagai teman Fadil, gue tidak menahan tawa. Gue hanya tertawa terbahak.
“Hua…hua…hua… Fadil lucu pake cadar. Mirip Hindun Padang Pasir” gue tertawa puas. Puas banget. Sambil nunjuk-nunjuk muka Fadil.
Menyaksikan gue tertawa terbahak-bahak. Menyebabkan semua santri tidak menahan tawanya. Semuanya tertawa keras, terbahak-bahak dan memuaskan diri masing-masing dengan tawa. Ustadz juga ngikutin gue tertawa lebar.
“Fadil lucu ya?...hahaha…”
“Iya…” jawab santri
Kami terus tertawa terbahak-bahak. Tendi, saking tertawanya nikmat dan puas. Ia tidak sadar menendang-nendang meja yang ada di depannya. “Kek…kek…” itu tawa Tendi.
Setalah agak lama. Fadil berdiri. Ia sepertinya menangis. Cadarnya basah. Ia lalu berdiri tertunduk, matanya terpejam. Sedangkan kami masih tertawa. Tapi mulai reda, tidak terbahak-bahak lagi. Melihat Fadil berdiri, disaat yang lain meredakan tawanya. Gue malah semakin merasa geli. Gue tertawa terbahak-bahak lagi sambil nunjuk-nunjuk Fadil. “Fadil cantik pake cadar”
“Sudah Cukup tertawanya?...” Fadil berdiri marah.
“Belum Dil, bentar lagi….” Seorang santri jawab. Itu gue.
Fadil tunduk lagi. Gue masih tertawa lebar dan gak sadar. Saking asyiknya ketawa, gue gak sadar menghamtam punggung Herman, dan menunjuk kearah Fadil. Agar Herman ketawa lagi. Tapi gak berhasil. Semua santri sudah diam.
“Udah, Dil. Silahkan! Haduh…he. he. Cape juga ketawa” gue masih tertawa terputus-putus.
“Makasih sahabatku…Syamsudin” Fadil.
“Oh, sama-sama itu biasa” gue, masih aja tertawa terputus-putus.
Fadil tunduk lagi, matanya pejam lagi. Dan, wow! Sekarang matanya Fadil terbuka, ia melotot dan berteriak. Ia hendak berorasi.
“Ayo! Sohib. Tertawa lagi. Tertawa sampai puas…”
“ssssyyyuuuttt…!!!” Gue menengkan santri lain agar tenang.
Fadil teriak lagi.
“Ayo! Tertawa. Kenapa kalian diam. Kalian ini teman macam apa? santri macam apa kalian? kalian senang saat sohib ente-ente sedih. Kalian tahu? Kenapa aku memakai cadar?”
“Enggak….” Santri jawab kompak.
“Gue make cadar. Karena gue... karena gue… kalian bener mau tahu?...” Fadil.
“Iya…” santri kompak.
“Bener?! Mau tahu?...”
“Iya…” kompak lagi
Fadil tertunduk, matanya terpejam. Tangannya dengan sangat pelan diangkatnya diarahkan menuju cadarnya. Setelah hampir sampai.
“Bener, nih?!...” Fadil bicara agak berbisik.
“Iya…” kompak lagi. Santri.
“Jangan ketawa lagi ya”
“Iya…” kompak lagi.
“Janji?!”
“…iya” tidak kompak.
“Bismillahirrahmanirrahim…. Lihat!” Fadil membuka cadarnya.
Semua mata melotot tanpa berkedip. Ternyata kami semua ngerti. Alasan Fadil pake cadar. Di hidungnya Fadil, ada bongkahan bisul yang menggunung mini, warnanya pink…. pinky boy gitu dech. Yups, itu bikin hidung Fadil menjadi ada dua bongkah. Menyaksikan itu, gue tidak tahan menahan tawa. Akhirnya gue tertawa terbahak-bahak lagi. Dan, memukul punggung Herman sembari menunjuk Hidung Fadil. Yah, tapi sayang. Hanya gue yang tertawa. Yang laiannya loyo. Diam saja.
“Syamsudin?!” semua santri kompak berteriak.
“Bagamaina kalo ente yang bisul di hidung? Fadil.
“Amiin” semua santri.
Besoknya…..
“Assalamu’alaikum”
“wa’alaikum…..hua….hua….salam” semua santri tertawa lebar dan sangat puas. Fadil tertawanya sangat puas. Sampai punggung Cecep di pukul-pukul.
“Syamsudin… pake cadar” Kata Fadil, dendam.
Catatan kaki:
Jangan menghina aja. Oh, iya, ustadz di kisah itu jarang disebut. Anggap aja ia keluar. Tidak ada tempat sich, bahas ustadz-nya….he..he…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar