"Terimakasih Atas Kunjungannya, Semoga Anda Banyak Rezeki, Banyak Anak, Dan Masuk Surga. SALAM CINTA"
"Keringat" Guru Honorer
Oleh DASAM SYAMSUDIN
Apalah bedanya antara guru honorer dan guru PNS, keduanya sama-sama memberikan kontribusi pendidikan kepada pemerintah. Bahkan, ada kalanya guru honorer bekerja lebih keras "banting tulang" dalam menjalankan profesinya sebagai pengajar, mereka memadatkan jam tayang mengajar untuk memenuhi beban hidup. Sehingga, cucuran keringat seorang pendidik ini tak ubahnya seorang pekerja buruh, baik dalam menjalankan profesinya atau upah yang diterimanya.
REALITAS permasalahan pendidikan di Indonesia, tidak kunjung selesai atau setidaknya meredam. Dari permasalahan sekelumit peraturan dan kelembagaan pendidikan itu sendiri, para peserta didik, sampai para pendidiknya. Seperti yang di kabarkan KOMPAS (Rabu/26/11/2006), Guru honorer di Jawa Barat melakukan unjuk rasa, mereka menuntut agar pemerintah Jabar menentukan gajih minimum guru honorer yang layak, karena selama ini gaji mereka hampir sama atau dibawah gaji para buruh.
Sebagaimana Iwan Hermawan Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat FGII menuturkankan bahwa "Jusuf Kalla sendiri menegaskan, guru itu bukan buruh, melainkan profesi. Jika demikian, sudah sepantasnya mereka dapat jaminan kesejahteraan lebih dari buruh".
Sangatlah jelas bahwa guru itu sejatinya adalah profesi, maka sangat tidak wajar apabila gaji guru sama atau dibawah gaji minimum pekerja buruh biasa. Pasalnya, seseorang untuk menjadi seorang guru tidaklah mudah, ia harus mengarungi beberapa dunia pendidikan sampai kebangku perguruan tingi dengan modal yang tidak sedikit. Maka, apabila pekerjaan yang mengandalkan profesionalitas kemahiran» ini mendapat gaji yang tidak layak sangatlah memprihatinkan. Keprihatinan ini bukan saja karena keringat guru menjadi « air mata », melainkan keprihatinan terhadap pemerintah Jabar yang kurang atau tidak bisa meningkatkan tarap kesejahteraan guru secara menyeluruh, terlebih guru honorer.
Pandangan sebelah mata
Pemerintah memang telah menaikan tunjangan guru, ini berarti ia telah memperhatikan kesejahteraan guru. Namun, tentunya perhatian ini dicurahkan kepada para guru PNS dan tidak untuk mereka yang masih honorer. Damokratis dan adilkah kebijakan ini? Jika demikian adanya, pemerintah sepertinya memandang pendidikan dengan sebelah mata terlebih untuk para guru. Di satu sisi ia memperhatikan nasib guru, sedangkan di sisi lain ia mengacuhkan pandangan atau perhatiannya terhadap guru yang notabenenya masih honorer.
Jusuf kalla menegaskan bahwa guru adalah profesi, dan harus tersejahterakan profesinya jangan sampai seperti buruh. Seandainya guru adalah profesi baik guru PNS atau guru honorer. Lantas kenapa kesejahteraan guru honorer tidak terjamin? Sangat memprihatinkan pemerintah jika "mereka" memandang sebelah mata terhadap profesi guru. Jangan sampai ada kata "karena mereka guru honorer" di dalam pemerintahan Jabar khususnya, sehingga honorarium guru pun melonjak jauh dari tunjangan yang diberikan buat para guru PNS. Jika itu alasan pemerintah membedakan kesejahteraan guru, sungguh demokrasi dan keadilan pemerintah harus dipertanyakan dan ditinjau kembali?
Layaknya pemerintah memandang semua guru bukan dari PNS atau honorernya, melainkan dari kinerja dan kontribusinya. Perbedaan gaji antara guru PNS dan guru Honorer, wajar jika jumlah gaji itu tidak beda jauh. Namun, jika perbedaannya sangat jauh, itu sangat tidak wajar untuk Negara berkeadilan sosial. Nah, selayaknya pemerintah membuka mata dan melihat kinerja serta kontribusi para guru bukan dari PNS atau Honorernya.
Kerja dan kontribusi guru
Dari aksi unjuk rasa para guru honorer di depan Gedung sate, selasa (25/11), ada seorang guru, Ismai namanya, ia mengatakan bahwa, "ia mengajar selama tiga tahun di sebuah sekolah dengan mengejar jam tayang mengajar seminggu sebanyak 28 jam. Namun, gaji yang ia peroleh hanya sebesar Rp. 175.000,- perbulan". Pantas dan cukupkan gaji sebesar itu bagi seorang guru di banding dengan kinerjanya yang melebihi batas standar guru professional yaitu 24 jam/minggu?.
Bayangkan, seorang guru honorer harus betul-betul banting tulang dalan menjalankan profesinya demi sebuah kebutuhan. Karena mereka mendapat anggaran gaji yang kurang layak dan patut diberikan. Padahal sangat jelas, bahwa guru honorer telah memberikan kontribusi terhadap pemerintah dalam "mencerdaskan kehidupan bangsa".
Menurut hemat saya, jika bicara kontribusi guru. Guru honorer pun memberikan kontribusi nyata yang sangat besar bagi pemerintah. Pasalnya, mereka hanya honorer dan mendapat gaji kecil dari pemerintah. Tapi, mereka tetap semangat dan giat dalam mendidik para generasi bangsa. Bukan menyudutkan para guru PNS, guru PNS mengajar sudah barang tentu gajinya layak setidaknya labih baik dari guru honorer, dan boleh dikatakan seimbang dengan kinerjanya. Sedangkan guru honorer tidak, sehingga selebihnya atau seluruhnya keringat mereka adalah sumbangan yang sangat berharga, bagaimana tidak? Bayaran mereka tidak seimbang dengan kerjanya.
Dengan demikian, baik kinerja atau kontribusi guru terhadap Negara atau pemerintah sangat besar dan berharga. Maka, sudah selayaknya (harusnya wajib) nasib kesejahteraan guru honorer diperbaiki dan mendapat upah minimum yang layak, jangan disamakan denga buruh—jika menerima, bahwa jasa guru sangatlah mulia—dan pemerintah harus membayarnya dengan layak.**
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar