Tuhan tentu lebih tahu, Kalam-Nya tidak akan mudah dimengerti manusia. Lalu mengutus Nabi sebagai penyampai risalah-Nya. Dan risalah-Nya tidak akan sampai kepada manusia jaman sekarang tanpa Kitab. Ayat Pertama di dalam Al-Quran perintah “membaca”, manusia tahu itu karena dari Kitab-Nya.
Buku/ kitab, mungkin hanya kumpulan kertas yang berisi tulisan. Tapi buku, merupakan kekuatan penghantar pengetahuan yang tidak pernah usang dimakan jaman. Siapa yang menyangka, kekuatan pesan yang tertulis di dalam buku, mampu membentuk sebuah revolusi. Umat Islam terus bertahan dengan etika dan cara hidupnya. Karena semua pesan Tuhan dan Nabinya termaktud di dalam Kitab (baca: buku), dan Muslim membacanya.
DASAM SYAMSUDIN
Buku mungkin bukan benda yang terlalu berharga jika dilihat dari bentuknya. Hanya kumpulan lembaran kertas yang dijilid. Namun siapa menyangka, pesan-pesan yang dituliskan atau dituangkan ke dalam buku mampu menghipnotis manusia, lalu mengkontruksi pemikirannya, sampai pada titik tertentu menjadikan prinsip hidupnya. Adolf Hitler, manusia si kumis tipis, menjadikan dirinya fasis karena dia membaca buku karya Charles Darwin.
Contoh lain tentang kekuatan buku adalah kasus al-Quran yang diinjak oleh seorang Pelajar SMA yang bernama Felix. Pemuda itu dipenjara kepolisian Bekasi karena dianggap menistakan Agama. Sebenarnya, yang dirasakan oleh umat Islam tentu bukan karena kitab itu diinjak-karena terlalu berlebihan jika Kitab, kumpulan lembaran kertas itu diidentikan dengan kesucian Tuhan-melainkan mengingat pesan kehidupan yang betul-betul telah terpatri di dalam diri segenap Muslim. Sehingga akibat pengaruhnya yang luar biasa dalam mengkontruksi pemikiran, keimanan, dan kehidupan umat Islam itu mereka begitu merasa “tersakiti” ketika Al-Quran diinjak. Sungguh pengaruh yang luar biasa dari sebuah Kitab (buku).
Sebagian umat Islam ada yang suka menyalahkan kehidupan orang lain yang tidak sejalan dengan tatacara hidupnya, itu pun diakibatkan pengaruh pesan-pesan moral dan tatacara hidup yang dipengaruhi Al-Quran, sehingga menilai orang lain yang tidak sejalan dengan pedoman keberagamannya menyalahi agama. Hal ini bisa dilihat dari realitas sosial-keberagamaan umat Muslim, Islam Liberal dan Fundamental, Muslim taat dan Muslim KTP (istilah untuk seseorang yang ngaku Islam tapi tidak melaksanakan pedoman hidupnya). Antar umat Islam itu pasti mempunyai literatur hidup yang berbeda, ada yang hanya berpedoman pada Al-Quran dan Hadits saja, ada pula yang mencampurnya dengan literatur lain seperti filsafat, sosial, budaya, sains, dll. Dan semua bacaan itu, buku, berkontrubsi dalam pembentukan karakter kehidupan yang dilakukan pembacanya.
***
Pengaruh Buku
Terlalu banyak membaca buku dalam tema yang sama, apalagi menjadikannya sebuah inspirasi, tanpa disadari sebenarnya hal itu bisa menenggalamkan dan menghanyutkan diri ke dalam pemikiran yang dituangkan buku. Hal ini terpaksa saya ceritakan. Sebab ini pengalaman pribadi.
Dulu ketika kuliah, saya jarang sekali membaca buku tentang pendidikan, nyaris tidak pernah, padahal saya mahasiswa Pendidikan Agama Islam (PAI). Saya lebih suka membaca buku-buku tentang filsafat, budaya, teknologi, sains, dan juga novel (buku fiksi, khususnya novel fantasi).
Luar biasa pengaruhnya, ketika saya memfokuskan pada bacaan filsafat, dari novel filsafat yang renyah dikonsumsi sampai pada buku filsafat yang sangat alot, ternyata buku-buku itu betul-betul menghipnotis saya. Selama enam tahun saya mengaji, dan pemikiran saya pun dalam memandang agama begitu fundamental. Tapi, karena pengaruh filsafat yang terlalu sering dan terlalu saya fokuskan akhirnya pola pikir saya berubah dalam memandang agama, dan lebih jauhnya beberapa tokoh filsafat menyeret diri seolah-olah saya dirasuki dirinya atau kepribadiannya. Novel filsafat “Dunia Shopie” karangan Jostein Gaarder dan “The Five Montain” karangan Paulo Culho, dan buku filsafat-filsafat lainnya selalu menjadi referensi akadamis saya, bahkan pemikiran saya tidak lagi fundamental. Fluralisme dan liberalisme, pernah saya bela mati-matian, hal itu bukan semata karena saya tahu. Tapi saya percaya teori itu, pada tahap tertentu saya sangat meyakininya dan menjadikan itu sebuah landasan hidup, “kebenaran” intinya. Karena itu pula pandangan keagaman dan sikap keberagamaan saya berbeda dengan santri yang lainnya. Dan, pandangan saya tentang pluralisme dan liberalisme pun tentu berbeda dengan kebanyakan orang umumnya, sebab saya sangat memegang Al-Quran dan As-Sunnah.
Yang lebih parah dari pengaruh buku yang saya rasakan adalah, saya meninggalkan kuliah. Mungkin tidak terlalu bagus mahasiswa PAI banyak membaca buku diluar ketentuan akademis. Akibatnya, pandangan akademis pun ikut terkikis, kepercayan diri pada gelar sarjana dan profesi sebagai guru lambat laun tersingkirkan dari dalam benak dan pikiran.
Pandangan saya tentang guru sebagai profesi dilabrak habis oleh buku yang saya yakini kebenaran teorinya, yang pada akhirnya saya tidak percaya diri dengan menjadi guru akan sukses. Sebab guru adalah pengabdi (tidak mengutamakan bayaran), bukan profesi, itu pandangan saya sekarang. Dan pada hal tersebut saya berpegang pada buku karangan Imam Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin. Saya sangat memegang buku itu. Dan berawal dari situ, akhirnya saya kembali mengajar di pesantren, meninggalkan kuliah.
Namun, Alhamdulillah, buku-buku yang saya baca pun tidak terlalu menjurumuskan saya ke dalam kebingungan yang sesat. Sebab, disamping suka membaca buku tentang filsafat, novel dan kitab kuning, saya sangat menyukai buku tentang teknologi, terkhusus tentang komputerisasi. Dan karena itu pula saya melenceng dari jalur hidup akademis. Sebagai alternatif usaha saya membuka kursus komputer, khususnya desain grafis dan hal ihwal tentang dunia maya.
Semua yang saya lakukan tidak pernah diajarkan di dalam kuliah, meski disinggung tidak disarankan dilakukan. Tapi, buku benar-benar telah menjadi pegangan saya dalam hidup. Akhirnya apa yang saya lakukan itu, semuanya hasil dari buku-buku yang saya baca, dengan tidak menafikan pendidikan dan pengajaran para guru.
Apakah semua buku mempengaruhi saya, tentu saja tidak. Sebab saya pun hanya mengambil yang betul-betul bermanfaat dan tidak terlalu beresiko jika dijadikan pegangan hidup. Kitab Injil saja saya pernah melahapnya, apakah saya terpengaruh. Ya, saya pun terpengaruh kitab itu. Tapi bukan artinya saya berkarakter dan berpandangan seperti apa yang termaktub di dalam Injil. Justru karena membaca Injil itu lah kebenaran akan agama saya dan agama Kristen terbuka, minimal tidak asing. Karena saya yakin, semua “agama samawi” itu itu datang dari Tuhan yang sama, dan mempunyai kebenaran universal yang sama. Hanya, karena campur tangan manusialah yang menjadikan buku itu, Kitab Tuhan itu menjadi hambar dikonsumsi. Resep makanan satu koki terkadang lebih nikmat dirasakan dari pada makanan yang terlalu banyak resep dari koki-koki. Saya berbicara konsumsi pengetahuan dari buku, dan itu analogi saya. Dan lagi-lagi, kata-kata dan pandangan saya pada hal tersebut karena saya membaca buku.
Namun sebagai Muslim, sebagai santri, dalam segala hal Al-Quran dan Hadits lah landasan kehidupan saya, meski formulasi buku lain pun saya sikat. Jadi, hati-hatilah membaca buku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar