Bagian Sebelas
Seperti biasanya, malam selalu gelap. Kalo pun gue dan dua temen gue, yakni Rizal 1 dan Rizal 2 sedang asyik ngobrol di bawah lampu neon dan dibawah bulan tidak purnama. Tetap aja, malam tidak seterang siang. Kebetulan sekali di malam yang gelap ini, gue dan dua Rijal kebagian jadwal ngeronda.
“Baru pukul 12….” Rizal 1
“Na’am….bin iya” Rizal 2
“Sssyuuttt… lihat! Siapa itu yang mondar mandir?”
“laa adri…” Rizal 2
“I dont’t khow” Rizal 1
Gue dan dua Rizal diam memaku memperhatikan seorang santri mondar-mandir. Rizal 1 mengerutkan dahinya mencoba mengenali. Rizal 2 matanya melotot, coba mengenalinya juga. Gue, juga melotot, mencoba mengenali. Mengenali wanita yang sedang duduk manis di atas batang pohon di majalah an-Nisa.
“Double Rizal. Lihat!”
Gue mengangkat majalah an-Nisa sedikit. Kedua Rizal pun ikut melotot memperhatikan gambad di majalah gue. Sementara mereka mencoba membolak balik majalah an-Nisa. Gue berjalan satu langkah memperhatikan santri tadi. Ternyata itu Hilman. Sepertinya, mondar-mandirnya Hilam menahan rasa geli di pantatnya. Mungkin ada sesuatu yang mendorong-dorongnya agar liang yang mengkerut di pantatnya terbuka. Dzat yang mendorong itu semacam agar-agar, warnanya agak cokelat kekuningan. “Mau Ghoit (berak) rupanya si Hilman”. Hatiku berkata.
Hilman terus mondar-mandir mencari pintu WC yang bisa dibuka. WC di pesantren ada 6. Tiga tidak berpintu, tapi juga bukan tempat berak. 3 lagi berpintu. Tapi di kunci. Kuncinya ada. Ada di saku gue. Sepertinya Hilman kesal. Pintu WC itu didobraknya, dipukul-pukul dan ditendang-tendang. Namun pintunya tetap ogah terbuka. Akhirnya Hilman lari ke kamar tidur dengan terpincang-pincang. Tangan kanannya memegang bokongnya, seakan menahan beban berat yang tak tertahankan. Agar-agar itu.
“Zal..Zal, ayo kita ikuti Hilman!”
“Bentar Kak Sam…. Tegang” dua Rizal.
“Ah, tegang…tegang.. sini!”
Gue mengambil majalah an-Nisa dengan paksa, lalu melemparkannya ke atas tanah. Gue dan dua Rizal mengikuti Hilman. Gue lihat Hilam mondar-mandir lagi di dalam kamar cari sesuatu. Kamar ia geledah. Namun belum juga ketemu apa yang dicarinya. Tiba-tiba ia menemukan sesuatu, warnanya hitam bentuknya seperti plastic endrol. Lalu, Hilman meletakkan plastik itu di lantai di bawah kakinya. Dengan sangat hati-hati matanya larak-lirik kearah sekitar. Setalah dikiranya aman. Dari belakang kami melihat ia membuka celananya. Dan. Ihhh… Black. Pantatnya hitam, juga di pipi pantatnya banyak bekas luka tutul, semacam goreng bawang gosong.
“Oh… gue tahu. Mau berak si Hilman” Rizal 1
Dari jendela belakang kamar. Kami memperhatikan gerak-gerik Hilman. Dari belakang punggungnya, gue lihat Hilman megang batang ranjang dengan erat dan sekuat tenaga. Sepertinya mencoba mengeluarkan agar-agar itu sekuatnya. Sesaat kemudian ia menghembuskan nafasnya. Dan melirik plastik hitam itu, belum ada sesuatu yang mengisinya. Kembali Hilman mengeluarkan seluruh tenaganya, ototnya mengencang. Kedua tangannya memegang kepalanya, meremas-remas rambutnya dengan kuat. Dan. Yeakh…. Agar-agar cokelat kekuningan muncul dari bokongnya…nolol dikit. Namun, Hilman kehabisan nafas. Sehingga agar-agar itu kembali masuk kesarangnya.
“Kasihan Hilman, sepertinya ia tersiksa” Rizal 2
Suara Rizal agak keras. Itu membuat Hilman terganggu dan merasakan gangguan, sekedar memastikan, Hilman berputar 180 derajat dan memandang arah kami. dia tidak menemukan apa-apa. Karena kami bersembunyi. Lalu, kami nolol lagi. Kebetulan Hilman sedang memejamkan matanya kuat-kuat, otot wajahnya dari depat terlihat jelas. Sambil mengerahkan seluruh kemampuannya mengeluarkan agar-agar itu. Hilman mengangkat kedua tangannya seperti berdoa. Kali ini, sepertinya ia hampir berhasil. Agar-agar itu keluar agak panjang dari sebelumnya. Tapi belum semuanya kelar, ia kehabisan nafas. Dan. Dengan tenaga tersisia ia memotong agar-agar itu dengan kulit anusnya. Tampaklah bongkahan agar-agar itu menjatuhi plastik.
“Tajam juga kulitnya si Hilman, bisa ngegunting tokai” gue
Saking senangnya, Hilman melirik hasil usahanya selama ini. Agaknya ia cukup senang. Namun, perjuangannya belum selesai. Karena raja bongkahan agar-agar itu belum keluar. Dan…”eeeeee…” Hilman berteriak sekuatnya, matanya terpejam. Otot tubuhnya mengencang semua. Tubuhnya bergetar. Tapi agar-agar itu hanya nongol sedikit. Hilman hampir kehabisan nafas. Kami yang menonton tegang. Gue kasihan ama Hilman.
“Mau kemana kak Sam” dua Rizal
Gue lari secepatnya berusaha menggapai daun pintu kamar Hilman. Setelah sampai, gue berteriak keras.
“Hilmaaaaaannnn…..!!!”
Semua santri yang tidur di kamar bangun. Hilman kaget, matanya melotot. Gue berteriak lagi. “Hilmaaaannn!!!!”
Hilman tambah kaget. dan alhamdulillah, karena kaget itu tokai-nya jadi keluar mengepluk menjatu plastik. Keluarnya agar-agar itu disaksikan oleh beberapa santri. Bahkan dua Rizal tepuk tangan ikut gembira, Hilman berhasil berjuang.
“Terima kasih kak… udah membantu” kata Hilman.
“Oh… sama-sama”
Dua Rizal berlari menemui Hilman. Setelah sampai ia bersalaman dan mengucapkan selamat. Hilman tersenyum manis. Sampai lupa celananya belum dipakai. Dengan tenang Hilman melangkah dan membawa plastiknya. Menjinjing agar-agar itu.
Catatan kaki:
Jangan Jail terhadap teman
Tolonglah teman, dalam hal apapun. Selama itu kebaikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar