Bagian Tiga Belas
“Mana Ustadz Sem ya? Kok belum datang?” Hudaya bertanya pada Ayub.
“Au…tuh” Ayub menjawab Cuek.
“Apa sakita ya?”
“Sakit!...” Ini gue berujar. Kaget.
“Napa Sam, kaget gitu denger ustadz sakit?” Mey bertanya.
“Kaget? Siapa yang kaget. Orang kita senang….”
“Senang?! Senang gimana maksudnya?” Mey
“Ya, bagus, kalau sakit. Berarti kita gak jadi ngaji Ushul Fiqih”
“Bener Sam” Mesa mendukung
“Betul itu…” Cecep.
“Betul gimana? Ustadz sakit, kok, Senang. Gimana sich kalian?” Nani ikut-ikutan.
“Iya, seharusnya kita mendoakan..” Fitri belum selesai ngomong.
“Betul! Kita doakan semoga cepat mati” Gue nyerobot.
Semua kaget dan berkata, “Apa?! Mati!”
“Mati penyakitnya, maksud gue”
Sebelum Ustadz datang, kelas gue biasanya doyan ngobrol dibanding membuka kitab. Kebiasaan kreatif ini, gue tularkan pada santri-santri baru. Al-hamdulillah itu efektif. Efektif meningkatkan penurunan kualitas penguasaan materi sebelum mengaji.
Saat gue dan sohib-sohib sekelas asik membicarakan gosip-gosip pesantren. Dari memuji orang sampai menjelek-jelekan teman sendiri. Yah, ustadz datang. Kedatangannya sungguh sesuatu yang tidak diharapkan banget. Sebab kami sedang asyik berdiskusi. Dan sekarang sedang tidak butuh ceramah. Namun, apalah daya. Kami rakyat, dan harus terpaksa ikhlas menerima ilmu ustadz Sem… halah ngerepotin aja..nih…ustadz.
Seperti biasanya, Ustadz Sem sebelum mengajar selalu memeriksa wajah kami satu persatu. Semacam ngabsen muka. Dari yang paling ujung, tempat Hudaya duduk sampai ke ujungnya lagi, tempat Mega duduk. Sambil ngorok.
Ustadz Sem, di pesantren ini sudah terkenal keganasannya. Ketawanya menggelagar bagaikan petir. Wajahnya seram, kepalanya berambut, kumisnya membentuk huruf “U” terbalik. Jenggotnya panjang laksana kambing. Tatapan matanya tajam bagaikan Elang. Kalo ia natap kami, jarang yang perasaannya tenang. Seperti:
Yang pertama di tatap Hudaya. Saat mata ustadz menatap Hudaya, seluruh tubuh Hudaya bergetar, raut mukanya seperti orang mau nangis. Hudaya mencoba menarik-narik bibirnya agar bisa tersenyum, he…he…”Stadz’ Hudaya menganggukan kepala ke ustadz. Tanda hormat.
Sekarang mata ustadz Sem melirik Tendi. Sebelum Tendi ditatap ustadz Sem. Tendi sudah memasang senyum terbaik miliknya. Ia terus berusaha menahan senyumnya agar tetap mengembang. Saat mata ustadz beradung pandang dengan Tendi. Senyum tendi semakin memudar. Dan. Yah… Tendi tidak tahan tatapan ustad, akhirnya Tendi tertunduk, senyumnya lenyap, yang ada hanya isakan. Ia menangis sesenggukan. Gara-gara tatapan ustadz Sem.
Leher ustadz bergerak menatap Saeful. Kali ini ustadz melototi Eful. Tapi Eful cerdik. Saat ditatap, Eful memalingkan wajahnya, kepalanya menengadah keatas melihat atap. Mulutnya bersiul-siul seakan tidak ada yang menatapnya. Eful cuek. Eful terus bersiul. Ustadz Sem terus mandang. Siulan Eful memudar, matanya sesekali melirik ustadz. Lirikan terakhir. Eful pingsan. Tak tahan dipelototi.
Ditatap ustadz Sem, Cececp tersenyum lebar. Gigi kuningnya memantulkan cahaya kemata ustadz. Ustadz silau dan tersinggung. Karena tersinggung, ustadz melototi cecep dengan kejam, dan Ia bilang “Heh!”. Cecep kaget, ia langsuk sok. Tidak banyak kata. Cecep lari secepatnya tanpa melirik ustadz. Tapi, langkahnya yang ketujuh, ia jatuh tak berdaya. Nabrak pintu.
***
Semua santri di kelas ustadz Sem, sudah dilirik semua. Dan semuanya kebanyakan nangis ada juga yang pingsan. Hudaya, Tendi, Mega, Mesa, Mey mereka nangis. Saeful, Cecep, , Fitri, Nani mereka pingsan. Tinggal satu lagi yang belum di tatap. Irma.
Ustadz Sem licik. Giliran ia menatap Irma. Ia menunjukan wajah manisnya. Kalian tahu? Semanis-manisnya wajah ustadz Sem. Tetep saja itu ekspresi terseram yang pernah ada. Saat di tatap, Irma tubuhnya bergetar, jantungnya berdegup kencang. Tapi ustadz Sem tidak peduli, ia terus menatap Irma. Konyolnya lagi, ia tak tahu malu. Udah tahu Irma ketakutan ia malah mengedip-ngedipin matanya. Memberi kiss bye…mmmmuaccchhh….ihhhh.
Dalam pandangan Irma, senyum ustadz Sem sangat menakutkan. Irma menjerit saat ia melihat senyum ustadz Sem terbuka lebar. Semakin lebar, semakin mendekat. ustadz Sem terus mendekat , mulutnya terbuka lebar sekali. Sampai taring gigi-giginya terlihat menyeramkan... Irma menjerit-jerit keras. Ustadz Sem terus tertawa… hua…hua..hua… lebar sekali mulutnya terbuka. Kepalanya membesar, sepertinya hendak menelan Irma. Irma sekarang kejang-kejang, mulutnya berbusa. Namun, ustadz tidak menghentikan tatapannya, mulutnya semakin terbuka. Kedua taringnya memanjang sepertinya. Benar sekali. Ia akan menelan Irma. Irma akan di makannya.
Gue sebagai satu-satunya yang masih punya nurani tidak bisa membiarkan. Guee mencoba menolong Irma. Saat mulutnya ustadz Sem terbuka sangat lebar hendak memangsanya. Gue berteriak. “Irmaaaaaaa….Jaaangaaa…aaannn !!!!”
???......
“Sam….Syamsudin, bangun! Ustadznya sudah datang” Eful membangunkan
“Ustadz!... mana?..mana?.. hati-hati dengan ustadz” Gue kaget.
“Hati-hati?!... Tuh! Ustadz. bawa makanan.” Eful heran.
“Apa yang terjadi?”
“loe tadi mimpi…ngigau berteriak Irma”
“Hah! Mimpi?!...al-hamdulillah hanya mimpi”
“loe ada-ada saja… hehe..he…”
Sepertinya, gue tidak sadar kalo tadi hanya mimpi. Tapi, gak apa-apa gue senang. Kalo pun semua sohib menertawakan gue. Gak apa-apa?...huh…
“Ima, loe baik-baik aja”
Irma gak menjawab. Ia hanya tersenyum dan mengangguk. Tanda baik-baik aja. mungkin aneh melihat gue.
Catatan kaki:
Jangan tidur kalo ngaji atau lagi belajar. Itu aja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar