Cibiran tirani meletup-letup mendesak langkahku. Terkadang, sebuah umpatan yang disusul dengan gelak tawa melesat dan menukik tajam menyentuh palung kesadaran. Bukan karena tersinggung atau ingin menasehati aku berkata. Hanya karena perjalanan yang belum berakhir aku mengumpulkan alasan cerdas untuk setiap langkah yang terhenti di setiap persinggahan.
Umpatan-umpatan mereka menyentuh nurani, dan aku selalu memikirkannya. Kenapa mereka harus mengumpatku, padahal perjalanan yang kulalui belum berakhir. Di tempat ini aku hanya singgah untuk sesaat, dan aku punya alasan melakukannya. Jika ujung sebuah perjalanan begitu berarti dan harus ditempuh secepatnya namun di batas akhir itu kau akan berdiri kebingungan, lebih jauh dari itu kau bisa saja tersesat padahal kau berada di akhir perjalananmu. Tidakkah itu lebih mengerikan daripada persinggahanku yang melambatkan sebuah perjalanan. Jika Darwin mengatakan, “hidup adalah sebuah kompetisi”, aku yakin pemenangnya bukanlah siapa yang tercepat, tapi yang terbaik.
Aku pernah bersedih di tengah perjalanan, bahkan tersedu sedan aku dibuatnya. Tapi, anehnya aku tidak pernah menyesal apalagi harus mengutuki diri sendiri karena harus berhenti. Momen persinggahanku mungkin salah, atau belum saatnya, namun tempat yang aku tengah duduk bersila di dalam suraunya, aku yakin itu benar. Setidaknya, untuk sebuah perjalanan singkat yang garis akhirnya kematian, tempat persinggahan itu akan menjadi akhir perjalananku di dunia. Dan untuk sebuah perjalanan hakikat, dimana kematian adalah gerbang awal dan sebuah keputusan, maka tempat itu akan menjadi permulaan dalam sebuah perjalanan.
Perjalanan ini bukan menuju tempat yang bertahta atau yang berkilauan emas permata. Dalam sebuah perjalanan yang panjang, penuh liku dan acapkali harus melewati jalan yang penuh semak belukar, rimbun, dan berduri, hanya akan menjadi sebuah kesia-siaan belaka jika itu tujuannya. Sebab harga sebuah perjalanan yang panjang ini takkan terbayar dengan emas permata, betata pun besar dan mahalnya. Untuk itu, aku menyetujui apa yang dilakukan seorang Sufi Hasan Basri yang melakukan sebuah perjalanan sebagai simbol pengabdian pada Yang Maha Kuasa dimana segala sesuatu akan kembali pada-Nya. Hasan Basri pernah berjalan di suatu hari dengan membawa obor dan seember air. Dia akan membakar surga dan memadamkan neraka.
Perjalanan ini bukanlah sebuah petualangan seperti yang dilakukan Collombus, ia mampu menjelajahi dunia tanpa peta. Ini adalah sebuah perjalanan spiritual, dimana garis horizontal adalah tangga menuju puncak garis vertikal.
Biarlah aku seperti ini, menikmati persinggahan yang menurut kalian adalah kemalasan. Aku duduk bukan tak berpikir, aku diam bukan tak bergerak, dan aku singgah bukan tak melanjutkan perjalanan. Di sini aku sekarang berada, bersinggah di dalam surau. Surau yang menjadi awal dari sebuah perjalana ini dimulai.
***
Suatu malam aku dan bapakku hanya terdiam dalam waktu yang lama. Aku yakin bapakku memikirkan diriku, dan aku juga memikirkan kemarahannya yang sebenarnya lebih tepat menyebutnya nasehat. Aku meninggalkan bapakku dalam kesendirian dengan pikirannya yang sedang kacau. Aku berjalan keluar rumah, lalu duduk di beranda rumah. Kata-kata bapakku terus terngiang ditelingaku.
“Sam, jika kau terus seperti ini. Bagaimana dengan masa depanmu. Hidupmu harus mempunyai arah. Kau harus secepatnya menyelesaikan kuliahmu. Lagipula aku tidak yakin masa depan itu benar-benar bisa diraih dengan selembar ijazah. Kau harus tetap bekerja keras dalam meraih masa depan. Jangan terlalu lama menunggu untuk memulai langkah usaha. Aku akan semakin tua dan akan menjadi lemah. Berpikirlah untuk masa depanmu dari sekarang. Aku sungguh ragu tentang jurusan kuliah yang kau ambil. Berpikirlah usaha yang lain. Rancanglah dari sekarang.”
Sebenarnya ucapan bapakku tidak persis seperti itu. Tapi, intinya seperti itu. Jika aku harus menulis sesuai dengan apa yang ia katakan, akan membuatku sakit. Sebab ada kata-kata umpatan yang terselip diantara nasihatnya. Meski aku mengakuinya, tapi rasanya aku tidak sanggup jika itu harus dikatakan bapakku.
Saat ini hidupku betul-betul kacau. Dulu aku selalu berharap, bahkan itu jadi keyakinanku, bahwa masa depan itu bisa kuraih dengan kuliahku, tepatnya dengan selembar kertas yang menjadi bukti pendidikan yang kutempuh, atau dengan gelar sarjana pendidikan yang kuraih. Namun, sekarang aku mulai ragu dengan masa depan jika harus tergantung dengan kuliah yang kutempuh. Aku selalu yakin ilmu itu bermanfaat untuk kehidupan. Seperti apa yang dikatakan Sang Rasul, “Kebahagiaan dunia akhirat akan kita raih hanya dengan ilmu.” Aku yakin akan hal itu.
Namun, untuk sebuah usaha, kurasa ilmu memang dibutuhkan, tapi tidaklah harus sesuai dengan jurusan kuliah. Ilmu itu untuk kehidupan. Dan aku akan menggunakannya, meski jalan yang kutempuh, masa depan yang kurancang tidak sesuai dengan kuliahku. Aku akan berusaha menggapai masa depan yang kurangkai dalam benakku, yang tidak aku dapatkan dari bangku sekolah atau kuliah. Aku akan mengejar kebahagiaan, pursuit of happiness, meski jalanku rumit atau berkelok-kelok, aku tidak peduli. Yang pasti selama aku menjalani dan saat aku tiba digaris akhirnya aku bahagia. Itu intinya, bahagia.
Sekarang aku bersinggah di sebuah pesantren. Di sebuah tempat yang telah membuka semua jalan kebenaran. Jalan yang seharusnya aku berjalan lurus di atas satu jalan, tapi tempat ini bagaikan sebuah perempatan yang mempunyai banyak jalan. Dan aku harus memilih satu diantara jalan itu. Hidup adalah pilihan. Dan aku sudah memilihnya. Pilihanku sangatlah aneh, yang untuk beberapa orang, bahkan kebanyakan orang pilihanku sangatlah rumit dan sulit dipahami. Aku setuju dengan mereka, pilihanku memang sangat sulit untuk dijalani, bisa jadi perjalanan yang kutempuh akan menyulitkan sampai pada tujuannya. Sebenarnya aku tidak menyukai bagian ini dalam hidupku, tapi aku tidak bisa apa sebab aku sangat merasakannya dan selalu menjalaninya. Aku termasuk seseorang yang menyukai hal-hal yang rumit. Aku kerap membuat permasalahan yang mudah menjadi sangat rumit dan berbelit-belit. Aku sadari itu, dan aku menjalaninya, atau, aku menikmatinya
Mulai saat ini, aku akan melangkahkan kaki dan aku akan menyelesaikan semua permasalahan hidupku sendiri. Aku akan melakukannya, aku bersumpah. Hidupku harus kujalani semuanya sendiri meski sulit. Semuanya kerumitan ini harus jadi pijakan pada kebahagiaanku.
Baiklah, sekarang aku menyerah dengan ikhlas. Aku akan menyerahkan semuanya pada Tuhanku. “Tuhanku yang selalu menjaga makhluk-Nya, aku akan berusaha mencintai-Mu. Maafkan jika selama ini aku melupakan-Mu. Tuhanku, jadikanlah aku hamba yang mencintai dan dicintai Dirimu. Hiasilah hidupku dengan cinta dan kebahagiaan. Tuhanku, bimbing dan berilah kemudahan dalam kehidupan yang aku jalani. Maafkan aku atas segala kesalahan. Maha suci Engkau dengan segala puji.
Mungkin doa ini langkah awal dan yang harus ada disetiap langkah dan diakhirnya.
semangattt sam,,, kamu punya harapan hidup... tujuannya adalah Alloh SWT
BalasHapus