Cerpen DASAM SYAMSUDIN
Hutan jati yang diimpit dua pegunungan tinggi sangat terkenal keangkeran dan kebuasannya. Binatang-binatang liar tidak takut pada manusia, alih-alih menyerang manusia dengan ganas dan bengis. Penduduk yang berada di tepian hutan kerap jadi mangsa para binatang buas itu. Namun, bagi para penduduk keganasan binatang liar itu sudah jadi kewajaran hukum alam. Satu hal yang sangat ditakuti penduduk dari hutan itu adalah, sekelompok bandit perampok yang suka membunuh dengan kejam. Mereka lebih kejam dari binatang buas, bahkan binatang liar itu makanannya.
Suatu hari, para bandit menyerang karavan dagang. Semua barang yang berharga dirampoknya, dan orang-orang yang ikut rombongan dagang itu dibantai dengan keji. Hanya dua orang yang selamat. Seorang laki-laki berhasil menyelamatkan diri. Dan satu lagi seorang gadis, dia selamat. Para bandit membawanya.
***
Sebelumnya puisi indah tentang cinta kau siramkan ke dalam jiwaku, menenangkan dan membuatku tenggelam di dalam lautan asmara. Lalu, hari ini, sore tadi saat mentari memancarkan sinar keemasannya di balik tubuhmu, sehingga aku tidak begitu jelas menatap wajahmu, hanya sebuah siluet. Sambil bersandar ketepian dermaga kau menyemburkan sebuah cerita menyeramkan, cerita yang menurutku kau sedang mengisahkan wujud lain dari dirimu yang kejam, mengerikan dan selalu saja membuatku sakit. Kau tahu, siluet wajahmu membuatku tak mengenalmu seperti saat kau mengucapkan puisi cinta, yang ada hanya sebuah bayangan mengerikan. Bagiku, kau tidak lebih dari seorang penipu yang selalu saja harus kumaafkan.
Kadang, kata-katamu dan perhatianmu membuatku terasa menari diantara tetamanan bunga yang merekahkan mahkotanya di musim semi. Kadang yang membuatku benci, tiba-tiba saja dirimu berubah wujud menjadi makhluk lain yang mampu merubah surgaku jadi neraka, dan yang sangat tidak aku inginkan, kau bisa merubah kekasihku jadi seorang monster.
Aku tidak ingin mengatakan, apalagi menganggapmu seorang kekasih. Semua harus berhenti, semua harus kembali normal, aku rindu kehidupanku kembali. Kau memang pernah menciptakan kebun anggur di hatiku, dan aku memang mabuk kepayang dibuatnya. Namun, kerap kali kau membabat kebun itu, bahkan membakarnya lalu menggantinya dengan hutan rimba berduri penuh binatang buas. Itu, semua itu terlalu menyakitkan bagiku. Aku tahu, kau terlalu pintar untuk merayuku dan kau selalu saja menemukan cara untuk meluluhkan hatiku, membuatku memaafkanmu. Hanya ada satu cara untuk mengakhiri semua ini, kisah indah dan mengerikan ini, terlalu mengerikan bagiku. Aku harus meninggalkanmu. Telingaku harus tulis dari rayumu, mataku harus buta dari perhatian dan kelakuanmu, semuanya harus menjauhiku. Walau aku tahu, hatiku sulit melupakanmu.
Bandirawa. Aku pergi.
Setelah Maya mengakhiri suratnya, dan harus membacanya beberapa kali untuk meyakinkan diri. Hari ini dia harus betul-betul meninggalkan Bandirawa. Sebuah surat yang mengisyaratkan dirinya akan meninggalkan Bandirawa telah banyak ditulis Maya. Namun, sebelum dia memutuskan meninggalkan surat itu di atas meja, di bawah bantal atau mungkin ditempelnya di pintu kamar sebagai pesan ia akan meninggalkan kehidupannya bersama Bandirawa selalu tidak berhasil. Bandirawa selalu menemukan cara dan berhasil membuat Maya memaklumi kesalahannya, sampai akhirnya dia kembali tersakiti akibat ulah Bandirawa, dan membuatnya kembali menulis surat itu. Sebuah surat perpisahan. Perpisahan karena rasa sakit akan sebuah penderitaan.
Sebelum mentari menenggelamkan dirinya di ufuk Barat, Bandirawa akan pulang, dan mungkin akan menyiksanya. Perasaan itu pun dirasakan Maya. Dia tahu, penderitaan kali ini akan berlangsung lama, dan hal itu tidak boleh terjadi lagi. Maya meletakan surat terakhirnya di bawah bantal. Dia pergi meninggalkan rumah.
Mentari telah tenggelam di ufuknya, sepenggal bulan sabit tertutup awan pucat, dan bagian lainnya mencuat bagaikan tanduk kerbau yang bengkok dan lancip ujungnya. Kesunyian awal malam dipecahkan dengan suara barang-barang yang dibanting, dilempar ke bilik, dan dihantam dengan kepalan tangan. Bandirawa mengamuk. Seluruh isi rumah ia hancurkan, cermin satu-satunya yang menempel di bilik kamar hancur menjadi beling-beling yang tajam, seluruh sajian makan malam terakhir yang disediakan Maya ditumpahkan, seprei ranjang pengantin ditarik Bandirawa dengan marah dan melemparkan bantal-gulingnya. Secarik kertas ikut terbang bersama kapas-kapas yang berhamburan dari bantal yang dihancurkannya. Dia menemukan surat Maya.
Burung-burung beterbangan. Suara teriakan Bandirawa sungguh memecahkan keheningan malam. Bandirawa berlari ke hutan menyusuri jalan bersemak belukar dan berduri untuk menyusul Maya. Di tangan kanan Bandirawa sebuah pedang tajam terhunus. Mulutnya masih berteriak-teriak mengutuki istri yang telah meninggalkannya. Di balik pohon jati besar yang dipenuhi semak-semak, sepasang mata memperhatikannya.
***
Hari-hari berlalu begitu lama bagi Bandirawa. Seorang laki-laki setengah baya yang kini lemah dan tidak waras. Dia berjalan mengikuti peta yang tercipta di dalam benaknya dari sebuah imajinasi. Bandirawa yakin akan menemukan Maya, untuk memeluknya, atau mungkin membunuhnya. Umpatan-umpatan Bandirawa pada Maya kini menjadi sebuah puisi-puisi cinta yang menghembuskan kerinduan dari rasa cinta yang dalam, atau puisi-puisi kemurkaan dari rasa kecewa dan benci. Sekelompok anak gembala duduk bersila mendengar kisah-kisah Bandirawa. Mereka memperhatikan bibir Bandirawa yang tersenyum saat kisah indah cintanya diucapkannya dengan puitis. Para gembala juga memperhatikan bibir Bandirawa yang bergetar-getar disusul lelehan air mata yang membasahi pipi, sebuah tanda para gembala itu harus meninggalkan Bandirawa, membiarkannya sendiri dalam kesedihan dan penyesalannya.
Laksana Majnun si pecinta gila dari padang pasir. Berita Bandirawa si manusia tidak waras karena ditinggalkan kekasihnya kini menjadi buah bibir masyarakat pedesaan yang hidup di tepi hutan Jati. Diantara mereka ada yang mengungkapkan kata-kata simpati akan penderitaannya, dan sebagian lagi menyemburkan sebuah umpatan pada dirinya, mengutuki ulahnya yang sering menyiksa istrinya. Para pengumpat dari desa itu lebih banyak dari pada orang yang memperhatikannya.
“Kita harus memakluminya. Walau emosional dan tinggal di hutan, dia tetap masyarakat kita, saudara kita semua. Aku pernah mencegahnya melompat dari jembatan kayu di atas sungai. Dia akan bunuh diri.” Kata seorang laki-laki yang duduk di atas galengan sawah sambil mengibas-ngibaskan topi. “Aku sungguh kasihan padanya”.
“Ya, aku juga pernah melihatnya akan melompat dari jembatan” Kata Petani yang sedang menggosok-gosok cangkulnya.
“Dan kau membiarkannya?” Kata pecangkul yang lain.
“Dia masih hidup kan? Ku pikir dia melakukan itu hanya ingin dikasihani oleh kita. Dia ingin mendapatkan tempat tinggal. Kenapa dia tidak kembali saja pada rumah bobroknya”
“Kau tahu dimana rumahnya?”
“Ya, oh tidak, entahlah. Hanya saja aku mendengar dia datang dari seberang hutan ini. Seperti seseorang yang menyebrangi samudera. Bagaimana dia bisa melewati hutan dan binatang buasnya. Sungguh gila!”.
“Seseorang pernah melihatnya membawa sebilah pedang”.
“Aku juga pernah mendengarnya. Seperti yang kukatakan, dia gila dan berbahaya. Dia mungkin memang pecinta dari hutan. Tapi, dia tetap orang gila yang bisa saja menghunuskan pedangnya pada seseorang, atau mengancam anak gadis kita lalu memperkosannya. Kupikir ada baiknya kita kembalikan saja dia ke hutan, biar binatang buas memangsanya. Aku hawatir akan terjadil hal-hal yang mengerikan di desa kita”.
“Sudahlah, kau jangan berprasangka buruk. Sebaiknya kita sudahi saja cerita ini. Matahari akan tenggelam. Istri-istri kita mungkin sudah hawatir” Seseorang tidak ingin mendengar cerita lanjutan dari si pengumpat.
***
Seorang anak gembala berlari dengan tergesa-gesa dan secepat yang dia bisa. Kakinya yang hitam kering bagai ranting cemara menabraki semak berduri, beberapa duri menancap di betisnya, dan beberapa lagi menyobek kulit kakinya. Dia tidak mempedulikan semua itu, anak itu terus berlari secepat mungkin walau menabraki dedaunan jati yang tajam, berusaha keluar dari hutan secepatnya.
Anak itu berhasil melewati hutan Jati. Tapi desa masih jauh dari jangkauannya, dia harus melewati sawah yang berkotak-kotak. Anak gembala itu menangis. Rasa takut membuatnya berlari secepat kuda.
Sesampainya di kampung, anak itu mendatangi rumah yang paling dekat dijangkaunya, kebetulan ada seorang laki-laki setengah baya yang tengah duduk di beranda rumah. Si gembala itu langsung menghampirinya.
“Ada apa, nak?” Tanya lelaki itu.
Anak itu tidak menjawab apa-apa, dia masih berusaha menenangkan diri. Airmata yang meleleh di pipi disekanya. “Si orang hutan itu… orang yang tinggal di hutan itu… membunuh kakakku. Dia menggoroknya”.
***
Jerit kesedihan dan rasa tidak percaya penduduk desa berbaur bersama teriakan umpatan dan kutukan. Para penduduk menyeret Bandirawa ke Hakim Desa. Orang-orang yang berdiri berjejal di tepi jalan melempari Bandirawa dengan batu-batu kasar. Tidak ada yang menghalangi hujaman batu ke wajah Bandirawa. Semua berlomba-lomba menghantam wajahnya dengan batu sekeras mungkin. Darah segar mengucur dari wajah dan kepala Bandirawa. Satu batu tepat menghantam hidungnya membuat tulang hidungnya hancur dan melesak, darah pun mengalir deras melewati bibirnya, mungkin sebagian masuk kemulutnya. Seorang anak yang melaporkan pembunuhan Bandirawa pun lemparannya tepat ke halis Bandirawa, sebuah guratan putih terlihat diantara robekan kulitnya.
Diantara kerumunan para penduduk yang meneriaki berbagai kutukan pada Bandirawa, seorang laki-laki tua yang membawa golok berusaha menerobos kerumunan. Laki-laki tua itu tidak berhasil menerobosnya, beberapa penduduk menahannya dan berusaha memegangnya dengan erat.
“Dasar bajingan! Bangsat! Kami sudah mengasihani dan berusaha menolongmu, kau malah membunuh anakku yang membawakanmu makanan. Dasar anjing! Kubunuh kau, bajingan!” Laki-laki tua itu, ayah si anak yang dibunuh Bandirawa tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Isak tangis membuatnya sulit berkata.
“Sudah kubilang, hal ini akan terjadi. Orang gila itu akan membawa bencana pada desa kita. Tunggu apa lagi. Hukum mati saja. Kita lakukan hal yang sama dia lakukan pada anak orang tua ini. Kita gorok saja dia”. Kata seseorang.
Para penduduk banyak yang menyetujui usulan ini.
“Bagaimana kalau kita menunggu kebijakan Hakim Desa. Bukankah, seperti yang kau katakana tadi, dia itu gila. Jadi kita Tanya dulu apa motif membunuh anak itu. Orang gila tidak bisa dihakimi sembarangan. Lagi pula kita harus menghormati kebijakan Hakim desa.”
***
“Siapa namamu anak muda, darimana asalmu?”
Pertanyaan Hakim desa tidak dijawab Bandirawa. Dia lebih asik memperhatikan darah yang menetes dari ujung hidungnya ke atas tanah berdebu.
“Sudah saya bilang pak Hakim. Dia itu bajingan! Pertanyaan pak Hakim saja tidak dijawabnya” kata seseorang.
Hakim desa melirik orang yang berteriak, lalu menyunggingkan senyuman padanya. “Terimakasih atas usulannya. Tapi, biarkan saya melanjutkan interogasi ini.” Hakim kembali memperhatikan Bandirawa, dia juga melihat darah yang bercampur dengan debu yang tengah diperhatikan Bandirawa. “Anak muda, aku tidak tahu berapa lama bisa menahan amukan penduduk desa. Jadi, tolong, jawab pertanyaanku”
Beberapa saat Bandirawa masih tertunduk memperhatikan darahnya. Lalu dia mengangkat kepalanya dan mengarahkan pandangan tajam pada Hakim desa yang sudah tua, kulit wajah hakim itu sudah mengendur. “Aku tidak tahu lagi siapa diriku. Tapi, aku tahu satu tempat yang tidak pernah kulupa, dan tidak akan kulupa.” Bandirawa mengucapkannya denga serius. Rasa kesal dan sakit hati merasuki dirinya “Aku berasal dari seberang hutan ini. Rumah di seberang sana” Bandirawa menunjuk ke arah hutan jati.
“Seberang hutan? Desa Cirawa kah tempat kau berasal?” Hakim desa mengatakannya dengan penasaran. Sedangkan para penduduk saling bergumam mendengar nama desa itu.
“Itu kan desa yang dihancurkan para bandit. Semua penduduknya mati dibantai dengan keji oleh bandit itu.” Laki-laki yang bergumam itu menghentikan kata-katanya untuk menghela napas, mencoba memberanikan mengatakan sesuatu. “Apakah kau termasuk bandit itu anak muda?”
“Aku tidak tahu. Mungkin ya. Aku memang mengingat tentang pembunuhan dan pemerkosaan” Bandirawa menghela napas. Airmata meleleh di pipinya. “Aku juga mengingat cinta”.
“Benarkah kau dari sana, dari desa Cirawa. Bagaimana bisa sampai ke sini? Tidakkah ada binatang buas yang menerkammu?” Kata Hakim desa.
“Aku tidak tahu nama itu. Aku hanya mengingat satu rumah di seberang hutan ini. Bukankah seperti yang kalian katakan, aku ini bandit. Jadi hal yang mudah menyebrangi hutan untuk seorang bandit.”
“Baiklah anak muda, aku tidak bisa berlama-lama berbasa basi. Aku akan mengajukan pertanyaan terakhir. Jawabanmu akan menentukan hukamanmu. Dan ingat, jika kau bohong, kau akan digantung.”
“Bagaimana kau tahu aku berbohong?” Sanggah Bandirawa
“Ah, itu mudah sekali bagiku. Sekarang kau jawab dengan jujur. Benerkah kau membunuh anak itu?”
“Benar”
“Kenapa kau membunuhnya, bukankah dia membawakanmu makanan?”
“Dia memang membawa makanan untukku. Tapi, dia juga membuatku kesal”.
“Maksudmu?” Hakim desa penasaran.
“Anak itu mengatakan aku tega meninggalkan kekasihku dan menyakitinya. Dia menyalahkan aku atas semua yang terjadi padakku. Padahal kekasihku yang meinggalkan aku, pak hakim. Dia meninggalkan rumahku saat aku bekerja. Lalu aku mengejarnya, mencarinya untuk minta maaf…”
“Minta maaf? Kenapa kau membawa pedang, anam muda?” Hakim desa mendesak.
“Aku… aku akan melindunginya dari binatang buas dan para bandit…”
“Melindunginya dari bandit? Bandit sepertimu, maksudmu, yang tega membunuh seorang anak kecil? Kenapa tidak dari dulu kau lindungi istrimu. Kenapa kau buat hidupnya sengsara. Kenapa kau tega menyiksanya. Apa yang akan kau lindungi dari pedangmu. Dan sekarang pedangmu itu membunuh seorang anak. Bagaimana bisa kau melindungi istrimu, jika saat bersamamu saja kau sengsarakan. Jawab!”
“Apa yang kau katakana, pak hakim?” Gumam Bandirawa, heran.
“Oh, biar ku perjelas. Istrimu itu anakku. Maya itu gadisku yang telah kau culik saat kau merampok karavan daganganku dulu. Kau ingat seorang gadis yang berteriak-teriak memanggil ibunya yang mati dibunuh oleh para bandit sepertimu. Aku memang tidak tahu kau yang menyeret anakku atau yang membunuh istrikku, tapi Maya menceritakan semuanya padakku. Dia memang memberitahuku, bahwa kau tidak membunuh istriku. Tapi aku tahu kau seorang pembunuh. Kau membunuh anak laki-laki orang tua itu, bajingan! Dan yang membuatku menyesal, Maya dulu terlalu mencintaimu. Sehingga dia buta dan tuli dari kebenaran dan latar belakang kalian berdua. Kau mau tahu dimana anakku, Mayaku?” Hakim menyuruh seseorang keluar dari rumah. “Lihat!” Hakim menunjuk seorang wanita. Dia Maya.
Bandirawa tidak percaya dengan kejadian semua ini. Dia membisu saat melihat seorang wanita keluar dari dalam rumah. Dia memperhatikan wanita itu dengan kening berkerut. Airmata meleleh di pipinya. “Maya?! Benarkah itu kau kekasihku. Maya, ini aku. Bandirawa. Aku Bandirawa, suamimu Maya.” Bandirawa tidak lagi sadarkan diri. Dia akan memberontak dan melepaskan ikatan. Tapi beberapa laki-laki kuat mengendalikannya.
“Aku bukan Mayamu. Aku gadis desa yang kau culik, yang selalu menyimpan dendam pada sekelompok orang yang membunuh ibukku.” Airmata mengucur deras di pipinya. “Aku memang pernah mencintaimu Bandirawa. Sangat mencintaimu. Tapi tidak saat ini, dan tidak pada binatang.” Hanya itu kata-kata yang diucapkan Maya.
Bandirawa meronta-ronta memohon maaf pada Maya. Teriakan paraunya bercampur dengan isakan yang tersedu-sedan tidak lagi meluluhkan hati Maya. Hukum telah diputuskan.
Kedua kaki Bandirawa menendang-nendang tak karuan berusaha melepaskan diri dari cengkraman dua laki-laki kekar saat mereka menyeretnya ke tiang gantungan. Maya hanya membisu, ia terus menatap Bandirawa yang pernah jadi kekasihnya dan juga pernah jadi penjahat baginya. Maya sangat menyesal kekasihnya berakhir sebagai seorang penjahat. Airmata Maya tidak berhenti mengalir semenjak melihat kekasihnya itu. Seorang kekasih yang gila dan kejam.
“Ayah, seandainya dia tidak membunuh anak itu. Aku akan memaafkannya lagi, dan meronta-ronta agar ayah pun memaafkannya. Dia memang pernah membunuh seseorang karena alasan sepele. Hanya tersinggung kata-kata, ayah, dia tega membunuh seorang anak. Dan bandirawa itu kekasihku. Aku mencintainya. Dia pernah berbuat baik padaku, dia orang yang menghalangi saudara dan para bandit lainnya yang akan menodai aku, ayah. Dia bersedia menikahiku. Dia mencintaiku, ayah. Dan sekarang kekasihku akan digantung di depan mataku. Dua orang yang kucintai mati dihadapanku. Ibu dan Bandirawa, aku menyayangi mereka berdua, ayah”.
Maya menjatuhkan diri kepelukan ayahnya. Tangisnya meledak menjadi jeritan parau saat kekasihnya tergantung tak berdaya di tiang gantungan.
***
Sebelumnya puisi indah tentang cinta kau siramkan ke dalam jiwaku, menenangkan dan membuatku tenggelam di dalam lautan asmara. Lalu, hari ini, sore tadi saat mentari memancarkan sinar keemasannya di balik tubuhmu, sehingga aku tidak begitu jelas menatap wajahmu, hanya sebuah siluet. Sambil bersandar ketepian dermaga kau menyemburkan sebuah cerita menyeramkan, cerita yang menurutku kau sedang mengisahkan wujud lain dari dirimu yang kejam, mengerikan dan selalu saja membuatku sakit. Kau tahu, siluet wajahmu membuatku tak mengenalmu seperti saat kau mengucapkan puisi cinta, yang ada hanya sebuah bayangan mengerikan. Bagiku, kau tidak lebih dari seorang penipu yang selalu saja harus kumaafkan.
Kadang, kata-katamu dan perhatianmu membuatku terasa menari diantara tetamanan bunga yang merekahkan mahkotanya di musim semi. Kadang yang membuatku benci, tiba-tiba saja dirimu berubah wujud menjadi makhluk lain yang mampu merubah surgaku jadi neraka, dan yang sangat tidak aku inginkan, kau bisa merubah kekasihku jadi seorang monster.
Aku tidak ingin mengatakan, apalagi menganggapmu seorang kekasih. Semua harus berhenti, semua harus kembali normal, aku rindu kehidupanku kembali. Kau memang pernah menciptakan kebun anggur di hatiku, dan aku memang mabuk kepayang dibuatnya. Namun, kerap kali kau membabat kebun itu, bahkan membakarnya lalu menggantinya dengan hutan rimba berduri penuh binatang buas. Itu, semua itu terlalu menyakitkan bagiku. Aku tahu, kau terlalu pintar untuk merayuku dan kau selalu saja menemukan cara untuk meluluhkan hatiku, membuatku memaafkanmu. Hanya ada satu cara untuk mengakhiri semua ini, kisah indah dan mengerikan ini, terlalu mengerikan bagiku. Aku harus meninggalkanmu. Telingaku harus tulis dari rayumu, mataku harus buta dari perhatian dan kelakuanmu, semuanya harus menjauhiku. Walau aku tahu, hatiku sulit melupakanmu.
Bandirawa. Aku pergi.
Setelah Maya mengakhiri suratnya, dan harus membacanya beberapa kali untuk meyakinkan diri. Hari ini dia harus betul-betul meninggalkan Bandirawa. Sebuah surat yang mengisyaratkan dirinya akan meninggalkan Bandirawa telah banyak ditulis Maya. Namun, sebelum dia memutuskan meninggalkan surat itu di atas meja, di bawah bantal atau mungkin ditempelnya di pintu kamar sebagai pesan ia akan meninggalkan kehidupannya bersama Bandirawa selalu tidak berhasil. Bandirawa selalu menemukan cara dan berhasil membuat Maya memaklumi kesalahannya, sampai akhirnya dia kembali tersakiti akibat ulah Bandirawa, dan membuatnya kembali menulis surat itu. Sebuah surat perpisahan. Perpisahan karena rasa sakit akan sebuah penderitaan.
Sebelum mentari menenggelamkan dirinya di ufuk Barat, Bandirawa akan pulang, dan mungkin akan menyiksanya. Perasaan itu pun dirasakan Maya. Dia tahu, penderitaan kali ini akan berlangsung lama, dan hal itu tidak boleh terjadi lagi. Maya meletakan surat terakhirnya di bawah bantal. Dia pergi meninggalkan rumah.
Mentari telah tenggelam di ufuknya, sepenggal bulan sabit tertutup awan pucat, dan bagian lainnya mencuat bagaikan tanduk kerbau yang bengkok dan lancip ujungnya. Kesunyian awal malam dipecahkan dengan suara barang-barang yang dibanting, dilempar ke bilik, dan dihantam dengan kepalan tangan. Bandirawa mengamuk. Seluruh isi rumah ia hancurkan, cermin satu-satunya yang menempel di bilik kamar hancur menjadi beling-beling yang tajam, seluruh sajian makan malam terakhir yang disediakan Maya ditumpahkan, seprei ranjang pengantin ditarik Bandirawa dengan marah dan melemparkan bantal-gulingnya. Secarik kertas ikut terbang bersama kapas-kapas yang berhamburan dari bantal yang dihancurkannya. Dia menemukan surat Maya.
Burung-burung beterbangan. Suara teriakan Bandirawa sungguh memecahkan keheningan malam. Bandirawa berlari ke hutan menyusuri jalan bersemak belukar dan berduri untuk menyusul Maya. Di tangan kanan Bandirawa sebuah pedang tajam terhunus. Mulutnya masih berteriak-teriak mengutuki istri yang telah meninggalkannya. Di balik pohon jati besar yang dipenuhi semak-semak, sepasang mata memperhatikannya.
***
Hari-hari berlalu begitu lama bagi Bandirawa. Seorang laki-laki setengah baya yang kini lemah dan tidak waras. Dia berjalan mengikuti peta yang tercipta di dalam benaknya dari sebuah imajinasi. Bandirawa yakin akan menemukan Maya, untuk memeluknya, atau mungkin membunuhnya. Umpatan-umpatan Bandirawa pada Maya kini menjadi sebuah puisi-puisi cinta yang menghembuskan kerinduan dari rasa cinta yang dalam, atau puisi-puisi kemurkaan dari rasa kecewa dan benci. Sekelompok anak gembala duduk bersila mendengar kisah-kisah Bandirawa. Mereka memperhatikan bibir Bandirawa yang tersenyum saat kisah indah cintanya diucapkannya dengan puitis. Para gembala juga memperhatikan bibir Bandirawa yang bergetar-getar disusul lelehan air mata yang membasahi pipi, sebuah tanda para gembala itu harus meninggalkan Bandirawa, membiarkannya sendiri dalam kesedihan dan penyesalannya.
Laksana Majnun si pecinta gila dari padang pasir. Berita Bandirawa si manusia tidak waras karena ditinggalkan kekasihnya kini menjadi buah bibir masyarakat pedesaan yang hidup di tepi hutan Jati. Diantara mereka ada yang mengungkapkan kata-kata simpati akan penderitaannya, dan sebagian lagi menyemburkan sebuah umpatan pada dirinya, mengutuki ulahnya yang sering menyiksa istrinya. Para pengumpat dari desa itu lebih banyak dari pada orang yang memperhatikannya.
“Kita harus memakluminya. Walau emosional dan tinggal di hutan, dia tetap masyarakat kita, saudara kita semua. Aku pernah mencegahnya melompat dari jembatan kayu di atas sungai. Dia akan bunuh diri.” Kata seorang laki-laki yang duduk di atas galengan sawah sambil mengibas-ngibaskan topi. “Aku sungguh kasihan padanya”.
“Ya, aku juga pernah melihatnya akan melompat dari jembatan” Kata Petani yang sedang menggosok-gosok cangkulnya.
“Dan kau membiarkannya?” Kata pecangkul yang lain.
“Dia masih hidup kan? Ku pikir dia melakukan itu hanya ingin dikasihani oleh kita. Dia ingin mendapatkan tempat tinggal. Kenapa dia tidak kembali saja pada rumah bobroknya”
“Kau tahu dimana rumahnya?”
“Ya, oh tidak, entahlah. Hanya saja aku mendengar dia datang dari seberang hutan ini. Seperti seseorang yang menyebrangi samudera. Bagaimana dia bisa melewati hutan dan binatang buasnya. Sungguh gila!”.
“Seseorang pernah melihatnya membawa sebilah pedang”.
“Aku juga pernah mendengarnya. Seperti yang kukatakan, dia gila dan berbahaya. Dia mungkin memang pecinta dari hutan. Tapi, dia tetap orang gila yang bisa saja menghunuskan pedangnya pada seseorang, atau mengancam anak gadis kita lalu memperkosannya. Kupikir ada baiknya kita kembalikan saja dia ke hutan, biar binatang buas memangsanya. Aku hawatir akan terjadil hal-hal yang mengerikan di desa kita”.
“Sudahlah, kau jangan berprasangka buruk. Sebaiknya kita sudahi saja cerita ini. Matahari akan tenggelam. Istri-istri kita mungkin sudah hawatir” Seseorang tidak ingin mendengar cerita lanjutan dari si pengumpat.
***
Seorang anak gembala berlari dengan tergesa-gesa dan secepat yang dia bisa. Kakinya yang hitam kering bagai ranting cemara menabraki semak berduri, beberapa duri menancap di betisnya, dan beberapa lagi menyobek kulit kakinya. Dia tidak mempedulikan semua itu, anak itu terus berlari secepat mungkin walau menabraki dedaunan jati yang tajam, berusaha keluar dari hutan secepatnya.
Anak itu berhasil melewati hutan Jati. Tapi desa masih jauh dari jangkauannya, dia harus melewati sawah yang berkotak-kotak. Anak gembala itu menangis. Rasa takut membuatnya berlari secepat kuda.
Sesampainya di kampung, anak itu mendatangi rumah yang paling dekat dijangkaunya, kebetulan ada seorang laki-laki setengah baya yang tengah duduk di beranda rumah. Si gembala itu langsung menghampirinya.
“Ada apa, nak?” Tanya lelaki itu.
Anak itu tidak menjawab apa-apa, dia masih berusaha menenangkan diri. Airmata yang meleleh di pipi disekanya. “Si orang hutan itu… orang yang tinggal di hutan itu… membunuh kakakku. Dia menggoroknya”.
***
Jerit kesedihan dan rasa tidak percaya penduduk desa berbaur bersama teriakan umpatan dan kutukan. Para penduduk menyeret Bandirawa ke Hakim Desa. Orang-orang yang berdiri berjejal di tepi jalan melempari Bandirawa dengan batu-batu kasar. Tidak ada yang menghalangi hujaman batu ke wajah Bandirawa. Semua berlomba-lomba menghantam wajahnya dengan batu sekeras mungkin. Darah segar mengucur dari wajah dan kepala Bandirawa. Satu batu tepat menghantam hidungnya membuat tulang hidungnya hancur dan melesak, darah pun mengalir deras melewati bibirnya, mungkin sebagian masuk kemulutnya. Seorang anak yang melaporkan pembunuhan Bandirawa pun lemparannya tepat ke halis Bandirawa, sebuah guratan putih terlihat diantara robekan kulitnya.
Diantara kerumunan para penduduk yang meneriaki berbagai kutukan pada Bandirawa, seorang laki-laki tua yang membawa golok berusaha menerobos kerumunan. Laki-laki tua itu tidak berhasil menerobosnya, beberapa penduduk menahannya dan berusaha memegangnya dengan erat.
“Dasar bajingan! Bangsat! Kami sudah mengasihani dan berusaha menolongmu, kau malah membunuh anakku yang membawakanmu makanan. Dasar anjing! Kubunuh kau, bajingan!” Laki-laki tua itu, ayah si anak yang dibunuh Bandirawa tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Isak tangis membuatnya sulit berkata.
“Sudah kubilang, hal ini akan terjadi. Orang gila itu akan membawa bencana pada desa kita. Tunggu apa lagi. Hukum mati saja. Kita lakukan hal yang sama dia lakukan pada anak orang tua ini. Kita gorok saja dia”. Kata seseorang.
Para penduduk banyak yang menyetujui usulan ini.
“Bagaimana kalau kita menunggu kebijakan Hakim Desa. Bukankah, seperti yang kau katakana tadi, dia itu gila. Jadi kita Tanya dulu apa motif membunuh anak itu. Orang gila tidak bisa dihakimi sembarangan. Lagi pula kita harus menghormati kebijakan Hakim desa.”
***
“Siapa namamu anak muda, darimana asalmu?”
Pertanyaan Hakim desa tidak dijawab Bandirawa. Dia lebih asik memperhatikan darah yang menetes dari ujung hidungnya ke atas tanah berdebu.
“Sudah saya bilang pak Hakim. Dia itu bajingan! Pertanyaan pak Hakim saja tidak dijawabnya” kata seseorang.
Hakim desa melirik orang yang berteriak, lalu menyunggingkan senyuman padanya. “Terimakasih atas usulannya. Tapi, biarkan saya melanjutkan interogasi ini.” Hakim kembali memperhatikan Bandirawa, dia juga melihat darah yang bercampur dengan debu yang tengah diperhatikan Bandirawa. “Anak muda, aku tidak tahu berapa lama bisa menahan amukan penduduk desa. Jadi, tolong, jawab pertanyaanku”
Beberapa saat Bandirawa masih tertunduk memperhatikan darahnya. Lalu dia mengangkat kepalanya dan mengarahkan pandangan tajam pada Hakim desa yang sudah tua, kulit wajah hakim itu sudah mengendur. “Aku tidak tahu lagi siapa diriku. Tapi, aku tahu satu tempat yang tidak pernah kulupa, dan tidak akan kulupa.” Bandirawa mengucapkannya denga serius. Rasa kesal dan sakit hati merasuki dirinya “Aku berasal dari seberang hutan ini. Rumah di seberang sana” Bandirawa menunjuk ke arah hutan jati.
“Seberang hutan? Desa Cirawa kah tempat kau berasal?” Hakim desa mengatakannya dengan penasaran. Sedangkan para penduduk saling bergumam mendengar nama desa itu.
“Itu kan desa yang dihancurkan para bandit. Semua penduduknya mati dibantai dengan keji oleh bandit itu.” Laki-laki yang bergumam itu menghentikan kata-katanya untuk menghela napas, mencoba memberanikan mengatakan sesuatu. “Apakah kau termasuk bandit itu anak muda?”
“Aku tidak tahu. Mungkin ya. Aku memang mengingat tentang pembunuhan dan pemerkosaan” Bandirawa menghela napas. Airmata meleleh di pipinya. “Aku juga mengingat cinta”.
“Benarkah kau dari sana, dari desa Cirawa. Bagaimana bisa sampai ke sini? Tidakkah ada binatang buas yang menerkammu?” Kata Hakim desa.
“Aku tidak tahu nama itu. Aku hanya mengingat satu rumah di seberang hutan ini. Bukankah seperti yang kalian katakan, aku ini bandit. Jadi hal yang mudah menyebrangi hutan untuk seorang bandit.”
“Baiklah anak muda, aku tidak bisa berlama-lama berbasa basi. Aku akan mengajukan pertanyaan terakhir. Jawabanmu akan menentukan hukamanmu. Dan ingat, jika kau bohong, kau akan digantung.”
“Bagaimana kau tahu aku berbohong?” Sanggah Bandirawa
“Ah, itu mudah sekali bagiku. Sekarang kau jawab dengan jujur. Benerkah kau membunuh anak itu?”
“Benar”
“Kenapa kau membunuhnya, bukankah dia membawakanmu makanan?”
“Dia memang membawa makanan untukku. Tapi, dia juga membuatku kesal”.
“Maksudmu?” Hakim desa penasaran.
“Anak itu mengatakan aku tega meninggalkan kekasihku dan menyakitinya. Dia menyalahkan aku atas semua yang terjadi padakku. Padahal kekasihku yang meinggalkan aku, pak hakim. Dia meninggalkan rumahku saat aku bekerja. Lalu aku mengejarnya, mencarinya untuk minta maaf…”
“Minta maaf? Kenapa kau membawa pedang, anam muda?” Hakim desa mendesak.
“Aku… aku akan melindunginya dari binatang buas dan para bandit…”
“Melindunginya dari bandit? Bandit sepertimu, maksudmu, yang tega membunuh seorang anak kecil? Kenapa tidak dari dulu kau lindungi istrimu. Kenapa kau buat hidupnya sengsara. Kenapa kau tega menyiksanya. Apa yang akan kau lindungi dari pedangmu. Dan sekarang pedangmu itu membunuh seorang anak. Bagaimana bisa kau melindungi istrimu, jika saat bersamamu saja kau sengsarakan. Jawab!”
“Apa yang kau katakana, pak hakim?” Gumam Bandirawa, heran.
“Oh, biar ku perjelas. Istrimu itu anakku. Maya itu gadisku yang telah kau culik saat kau merampok karavan daganganku dulu. Kau ingat seorang gadis yang berteriak-teriak memanggil ibunya yang mati dibunuh oleh para bandit sepertimu. Aku memang tidak tahu kau yang menyeret anakku atau yang membunuh istrikku, tapi Maya menceritakan semuanya padakku. Dia memang memberitahuku, bahwa kau tidak membunuh istriku. Tapi aku tahu kau seorang pembunuh. Kau membunuh anak laki-laki orang tua itu, bajingan! Dan yang membuatku menyesal, Maya dulu terlalu mencintaimu. Sehingga dia buta dan tuli dari kebenaran dan latar belakang kalian berdua. Kau mau tahu dimana anakku, Mayaku?” Hakim menyuruh seseorang keluar dari rumah. “Lihat!” Hakim menunjuk seorang wanita. Dia Maya.
Bandirawa tidak percaya dengan kejadian semua ini. Dia membisu saat melihat seorang wanita keluar dari dalam rumah. Dia memperhatikan wanita itu dengan kening berkerut. Airmata meleleh di pipinya. “Maya?! Benarkah itu kau kekasihku. Maya, ini aku. Bandirawa. Aku Bandirawa, suamimu Maya.” Bandirawa tidak lagi sadarkan diri. Dia akan memberontak dan melepaskan ikatan. Tapi beberapa laki-laki kuat mengendalikannya.
“Aku bukan Mayamu. Aku gadis desa yang kau culik, yang selalu menyimpan dendam pada sekelompok orang yang membunuh ibukku.” Airmata mengucur deras di pipinya. “Aku memang pernah mencintaimu Bandirawa. Sangat mencintaimu. Tapi tidak saat ini, dan tidak pada binatang.” Hanya itu kata-kata yang diucapkan Maya.
Bandirawa meronta-ronta memohon maaf pada Maya. Teriakan paraunya bercampur dengan isakan yang tersedu-sedan tidak lagi meluluhkan hati Maya. Hukum telah diputuskan.
Kedua kaki Bandirawa menendang-nendang tak karuan berusaha melepaskan diri dari cengkraman dua laki-laki kekar saat mereka menyeretnya ke tiang gantungan. Maya hanya membisu, ia terus menatap Bandirawa yang pernah jadi kekasihnya dan juga pernah jadi penjahat baginya. Maya sangat menyesal kekasihnya berakhir sebagai seorang penjahat. Airmata Maya tidak berhenti mengalir semenjak melihat kekasihnya itu. Seorang kekasih yang gila dan kejam.
“Ayah, seandainya dia tidak membunuh anak itu. Aku akan memaafkannya lagi, dan meronta-ronta agar ayah pun memaafkannya. Dia memang pernah membunuh seseorang karena alasan sepele. Hanya tersinggung kata-kata, ayah, dia tega membunuh seorang anak. Dan bandirawa itu kekasihku. Aku mencintainya. Dia pernah berbuat baik padaku, dia orang yang menghalangi saudara dan para bandit lainnya yang akan menodai aku, ayah. Dia bersedia menikahiku. Dia mencintaiku, ayah. Dan sekarang kekasihku akan digantung di depan mataku. Dua orang yang kucintai mati dihadapanku. Ibu dan Bandirawa, aku menyayangi mereka berdua, ayah”.
Maya menjatuhkan diri kepelukan ayahnya. Tangisnya meledak menjadi jeritan parau saat kekasihnya tergantung tak berdaya di tiang gantungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar