"Terimakasih Atas Kunjungannya, Semoga Anda Banyak Rezeki, Banyak Anak, Dan Masuk Surga. SALAM CINTA"

Cecilia,Saya Tidak Rinduk Kamu

Cerpen DASAM SYAMSUDIN



Saya hanya memain-mainkan sedotan dan mengaduk-aduk tak karuan segelas air jeruk hangat dengan sedotan itu. Saya juga hanya tertunduk tak berselera memperhatikan makanan yang tersaji di atas meja yang saya beli dengan mahal. Saya juga sesekali melihat pemandangan kota di malam hari yang bergemerlip sebab cahaya yang memancar dari lelampu bangunan-bangunannya. Saya juga sesekali melihat ombak yang berlari-lari, dan terkadang berdebur-debur menghantam bebabtuan. Saya juga sesekali melihat pelayan restoran yang sedang membawa makanan, melihat jalannya yang anggun dan sepertinya terlatih. Dan, saya sama sekali diam membisu saat Cecilia menggebrak meja, menumpahkan air jeruk ke pakaian saya, menampar saya lalu menangis di hadapan saya.

Saya tidak bertanya kenapa dia seperti itu. Sebab yang bertanya seperti itu, malah Cecilia kepada saya.

“Kenapa kamu seperti itu?” Saya tidak menjawab pertanyaannya itu, sebab dia akan terus menyusul satu pertanyaan dengan pertanyaan lain. Seolah-olah sedang memberondongi saya dengan seribu pertanyaan yang dilontar-lontarkan, yang karena itu saya memilih diam dan hanya memain-mainkan sedotan.

“Kamu bohong sama Cecilia, kamu nyakitin aku…huk..huk..” Cecilia menangis sesenggukan. Dia menyeka air matanya yang meleleh di pipi
“Cecilia salah apa Sam?... jawab!”
Saya tidak peduli dengan pertanyannya, dan tidak menjawabnya. Saya lebih suka memperhatikan deburan ombak yang berlari-lari menghantam bebatuan. Saya juga tahu, Cecilia tidak butuh jawaban, saya sudah memberi penjelasan beberapa kali, tapi dia enggan mengerti, dia lebih menyukai mendengar perasaannya ketimbang akalnya, dia lebih suka terus mengulangi pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya hanya akan membuat permasalahan jadi rumit ketimbang memahami duduk perkaranya.

“Jawab! Kenapa kamu mau pergi?... Cecilia gak mau sendiri. Cecilia mau kamu di sini, nemenin Cecilia” Cecilia menyeka-nyeka air matanya yang terus mengalir.

Saya bangkit dari tempat duduk, lalu berjalan dan berhenti tepat di belakang kursi yang diduduki Cecilia. Saya mendekap Cecilia dari belakang, melingkarkan tangan saya kelehernya, meletakan lengan saya ke atas dadanya. Saya memelukya dengan hangat, dengan cinta, dan dengan kasih sayang. Saya juga menempelkan pipi saya dengan pipinya, dan terkadang membelai rambutnya yang hitam gelap, segelap malam. Cecilia hanya terdiam waktu saya peluk, air matanya mulai terhenti, hanya jatuh satu-satu membasahi pipinya. Saya pun hanya diam membisu, terus memeluknya, mencoba meyakinkan pada Cecilia bahwa cinta saya padanya masih utuh dan hanya untuknya. Saya tahu, Cecilia bisa merasakan itu. Merasakan betapa Cinta saya telah membuatnya hangat, nyaman, tenang, dan behagia.

Seandainya dia tahu, sebetulnya saya lebih ingin lagi bertanya pada diri saya. Kenapa saya seperti ini, kenapa harus meninggalkan Cecilia, padahal saya lebih mencintainya ketimbang dia, dan melebihi diri saya sendiri. Saya juga heran, kenapa harus meninggalkan Cecilia. Kenapa harus dia? Itu sebetulnya yang saya pikir, yang saya tanyakan pada diri saya. Tapi, apapun tentang diri saya, Cecilia tidak akan mengerti, sebagaimana saya tidak mengerti dengan diri saya.
***

Hari begitu panas, jalanan Jakarta menjadi terasa pengap, saat kendaraan-kendaraan berhenti di depan portal yang melintang menghalangi setiap kendaraan agar terhenti, menunggu kereta lewat di relnya yang lurus. Rel kereta begitu panjang, bajanya yang kokoh terlihat mengkilap-kilap memantulkan sinar matahari. Dari satu titik rel ini terlihat muncul dan di titik yang lain rel ini seolah menghilang. Saya membuka jendela mobil, membiarkan udara Jakarta yang pengap, berdebu dan penuh asap kendaraan memasuki ruang dalam mobil saya, sudah lama saya tidak mebetulkan AC mobil saya yang rusak, yang menyebabkan saya harus membuka jendela acap kali merasa gerah dan pengap.

Saya melihat ke luar jendela, ke para penumpang bus yang beberapa orang diantaranya sedang mengibas-ngibaskan benda tipis ke wajahnya, mengipasi wajahnya agar tetap sejuk. Saya juga melirik ke belakang mobil saya, menatap jauh bangunan yang berada entah di mana tepatnya. Saya tidak begitu tahu jaraknya. Mata saya memang memang mendapati bangunan indah berbentuk balok berdiri, panjang dan tinggi. Tapi saya tidak sedang memperhatikan gedung itu, saya membayangkan seseorang yang sekarang entah sedang apa. Saya memikirkan Cecilia, saya merindukannya. Mungkin Cecilia sekarang sedang menangis. Pikir saya. Saya segera mengaburkan bayangannya, saya menancap gas, membiarkan mobil saya melaju, melewati portal yang telah terangkat. Di tengah-tengah rel kereta yang menggurat jalan saya melirik buntuk kereta api yang sudah berjalan jauh melewati portal ini. dan, saya masih ingat Cecilia.
***

Di kejauahan saya memperhatikan ibu-ibu yang memikul sebuah keranjang dipunggungnya sedang memetik daun-daun teh. Saya memperhetikan mereka begitu kagum, apalagi dari kejauahan, paduan ibu-ibu itu, dan gunung yang menjulang hijau ditumbuhi tanaman-tanaman teh, juga matahari yang terlihat sepenggal sebab bagian lainnya tertutup awan yang bergumpal-gumpal bagaikan kapas, menjadi perpaduan pemandangan yang indah. Saya merasa nyaman memperhatikannya, seolah-olah saya sedang mendengarkan nyanyian alam, saat paduan pemandangan itu ditambah dengan kehadiran burung-burung pegunungnan yang berkicau, bernyanyi-nyanyi. Udara Ciater-Subang berbeda dengan Jakarta yang gersang, panas, dan pengap. Udara di sini begitu sejuk menentramkan jiwa, semilir angin yang menghembusi pepohonan, membaurkan seluruh oksigennya kepermukaan Bumi, membaginya pada manusia dan hewan-hewan, membuat kesejukan terasa menyenangkan. Saya menyukai suasana seperti
ini.

Lama saya duduk di atas hidung mobil sedan saya, memperhatikan ibu-ibu pemetik dau teh. Saya ingat lagi Cecilia. Saya rindu sekali padanya. Saya ingin dia duduk bersama saya sekarang memperhatikan ibu-ibu pemetik dauh teh tersebut. Saya ingin melihat rambutnya merumbai-rumbai ditiup angin pegunungan, saya ingin dia memeluk saya sebab merasa terlalu sejuk hawa pegunungan. Saya ingin ada Cecilia di sini.
***

Saya tidak memperhatikan pemandangan di luar jendela di samping kiri dan kanan saya. Saya hanya memperhatikan jalanan di depan saya, melihat kedua kaca spion di mobil saya, dan berkonsentrasi memacu mebil saya dengan kecepatan tinggi. Saya rindu Cecilia. Saya mau kembali lagi ke Jakarta menemui Cecilia dan membawanya ke Ciater. Jalanan yang terjejali berbagai kendaraan tidak saya hiraukan, saya terus memacu mobil saya dengan kencang, sampai saya merasa tidak takut kalau terjadi tabrakan, sepertinya saya tidak peduli itu. Saya hanya ingin bertemu Cecilia secepatnya. Tiba-tiba saya sangat merindukannya.

Berjuta kesalahan saya pada Cecilia terasa muncul ke kepala, saya merasa nyeri mengingat betapa saya telah menjadi lelaki bodoh, sekaligus jahat membiarkan wanita cantik, baik dan lugu seperti Cecilia harus saya tinggalkan sendiri di apartemen yang sengaja saya sewakan untuknya. Mobil saya memasuki jalan tol, saya tidak berusaha membuang waktu, saya mencoba memburu waktu, saya menancap gas mobil, membiarkannya melaju di jalan tol dengan kecepatan tinggi, sampai-sampai mobil saya terasa melayang, meluncur bagaikan pesawat.

Saya memilih naik lip ketimbang menaiki tanggan. Lip lebih cepat, pikir saya saat tengah berdiri di depan lip, sambil mencet-mencet tombol lip dengan tergesa-gesa, saat pintu lip terbuka saya langsung loncat masuk ke dalamnya, dan menghalangi seorang wanita cantik yang akan ikut masuk ke dalam lip. Jantung saya berdegup kencang, hati saya serasa mulai berbunga-bungan, cinta telah kembali menghinggapi tubuh saya yang berdatangan dari antah berantah. Saya tidak sabar mau bertemu Cecilia. Lampu nomor 17 di dalam lip menyala pintu pun terbuka. Saya berlari melewati kamar-kamar apartemen, berusaha mencapai gagang pintu bernomor 17.

Saya selalu membawa kunci apartemen Cecilia. Ketika tengah berdiri di pintu nomor 17, saya langsung membuka daun pintunya. Dan, di dalam apartemen saya mendapati Cecilia sedang berdiri menghadap jendela, memperhatikan pemandangan di luar jendela apartemen. Dia tidak melihat saya yang sedang sangat merindukannya, saya tidak tahu apakah dia juga rindu atau tidak. Saya hanya berdiri dan berusaha menenangkan diri.

“Cecilia tahu, kamu akan kembali…”
Saya tidak menghiraukan kata-katanya. Saya langsung loncat mendekatinya, membopong tubuhnya yang ramping dan meletakannya di atas ranjang, saya menciuminya pipinya berkali-kali, membelai-belai rambutnya, menggelitiknya, memeluknya erat dan mengatakan “Sam rindu Cecilia…” lalu membagi tawa dengannya. Aku merasakan, Cecilia dan saya hari ini di tenggelamkan lautan cinta.

"Cecilia tidak rindu kamu..."
Aku masih menghiraukan ucapannya, dan mencium lagi pipinya yang telah kering dari air mata kerinduannya. Yang mungkin saja semenjak kepergianku dia terus menangis. Karena saat tengah berdiri di hadapan jendela pun dia sedang menangis.
"Sam rindu Cecilia"
Cecilia tidak menjawab, dia malah membalikan tubuhnya, membelakangiku.
“Sam tidak rindu sama sekali pada Cecilia”
Cecilia masih tidak menghiraukan, dia tetap diam membisu. Aku jadi merasa tidak nyaman. Lalu aku bangkit, dan duduk di tepi ranjang.
"Cecilia tahu..."
Dia mengatakan itu setelah mencium pipi saya.
“Cecilia tahu… Cecilia tahu…”
Ceclia terus mengulangi kata-kata itu. Dia juga terus mencium pipi saya.
***

Saya dan Cecilia hanya memain-mainkan sedotan dan mengaduk-aduk tak karuan segelas air jeruk hangat dengan sedotan itu. Saya dan Cecilia juga hanya tertunduk tak berselera memperhatikan makanan yang tersaji di atas meja yang saya beli dengan mahal. Saya dan Cecilia juga sesekali melihat pemandangan kota di malam hari yang bergemerlip sebab cahaya yang memancar dari lelampu bangunan-bangunannya. Saya dan Cecilia juga sesekali melihat ombak yang berlari-lari, dan terkadang berdebur-debur menghantam bebabtuan. Saya dan Cecilia juga sesekali melihat pelayan restoran yang sedang membawa makanan, melihat jalannya yang anggun dan sepertinya terlatih. Saya dan Cecilia hanya saling memperhatikan, tak bercakap-cakap.

Saya dan Cecilia bangkit dari tempat duduk, lalu berjalan dan berhenti saling menghadap. Saya menyentuh pipi Cecilia, dia juga menyentuh tangan saya yang sedang mengusap-ngusap pipinya. Cecilia melingkarkan tangannya keleher saya, meletakannya di tengkuk saya. Dan, saya melingkarkan tangan saya kepinggangnya, memeluknya. Lalu, kami berdansa mengikuti irama lagi klasik, dan mengikuti nyanyian alam yang diiringi deburan ombak, dihiasi gemerlip bintang, dan disaksikan kunang-kunang yang menari-nari di tepi pantai. Dan diterangi sepenggal bulan yang baru keluar dari persembunyiannya di balik awan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...