Cerpen Dasam Syamsudin
Rerumputan halaman BALATKOP berombak melengkung-lengkung dibelai angina sore. Kehangatan matahari tidak lagi mengalahkan suhu dingin yang mulai turun bersama hamburan kabut yang mulai muncul samara-samar. Udara Lembang-Bandung menyemburkan angin pegunungan mengusap-ngusap tubuh, menarik-narik dedaunan yang bergelayutan di pepohonan, dan mengotori jendela BALATKOP—Bala Pelatihan Koperasi—dengan debu yang beterbangan.
Di halaman ini, sekumpulan mahasiswa berjaket Merah Tua berkumpul. Sorak-sorai keceriaan memecahkan kesepian dan kebosaan setelah beberapa jam menyimak materi-materi yang disajikan Panitia DAM (Darul Arqam Madia) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah tingkat Propinsi. Para peserta yang datang dari berbagai daerah di propinsi, serempak memakai jaket Merah Tua bagaikan warna darah, berdiri, melingkar dan bergerak-gerak mengikuti instruktur yang mencontohkan game. Instruktur dan Panitia DAM hanya menonton, kadang-kadang bertepuk tangan saat peserta terkesan menghibur, atau bersorak “Huuu….hhh”, dan tertawa cekikikan jika memang ada peserta yang melucu. Biasanya jika tiba giliran Cepi, peserta dari IMM cabang Kota Bandung, nyaris semua peserta dan panitia akan menggelagarkan tawanya.
“Sam di panggil Kang Rizki” Rovi menyahut.
“Sebentar dulu, lagi asik” aku menjawab malas.
“Eh… cepat, katanya. Di suruh ngisi galon” sambut Rovi, memaksa.
Aku tidak bisa menolak jika kang Rizki, ketua DPD IMM Jabar menyuruhku, di samping aku Panitia bagian Konsumsi, ya, sekedar menghormati yang lebih dewasa, atau lebih terhormat jika melihat jabatannya. Aku mau saja melakukan perintahnya. Huh!
Aku mengayun langkah dengan cepat, berusaha memburu waktu agar bisa melihat simulasi lagi. Setelah naik ke atas jok motor sambil memeluk galon. Rovi menancap gas motor dengan kaku, motor melaju. Di sepanjang jalan aku menyaksikan pemandangan Lembang yang begitu indah. Gunung-gemunung yang menjulang, menancap di bumi dan warnanya hijau pucat. Di tepi jalan pepohonan berderet teratur dan bersih, cabang-cabangnya yang beranting laksana jemari yang terbuka dari kepalannya hendak meraup langit. Pesawahan bersusun bagaikan tangga, begitu pula kebun-kebun. Yang sangat menarik di Lembang, kita bisa menjumpai berbagai tanaman hias di sisi jalannya berderet memamerkan keindahannya masing-masing. Aku begitu kagum dengan pemandangan ini. Bagi Rovi pemandangan ini tidak begitu aneh, setidaknya tidak mengagetkan, sebab ia sudah menyaksikan sebelumnya. Lagi pula ia datang duluan, sedangkan aku baru datang tadi pagi. Dan, acara sudah di mulai kemarin pagi, dan penutupan akan dilaksanakan lusa, Hari Mingu.
***
Ba’da maghrib seluruh panitia dan instruktur berkumpul di ruang rapat, memusyawarahkan persiapan out bond yang akan di lakukan esok hari pukul 08.00. Di sela-sela musyawarah, seseorang mengucapkan salam di depan pintu. Suaranya seperti gadis dan terlantun lembut. Semua agak heran.
“Assalamu’alaikum?...”
Semua mata memandang arah datangnya suara, sesaat keadaan menjadi sunyi, konsenterasi teralihkan, pembicara pun diabaikan. Sebetulnya mahasiswi ini tida aneh dan biasa-biasa saja. Namun, ia jelas berbeda dari mahasiswi lain yang ada di sini. Ia pake cadar. Untuk beberapa orang, gadis ini tidak asing, mereka mengenalnya. Bagi yang lain masih asing, termasuk aku, belum mengenalnya. Nyaris semua memperhatikan dan beruasaha mengenali wajahnya yang tertutup cadar. Gadis bercadar pun duduk diantara kami. Ia panitia juga.
“Panitia dari Komisariat STIEM-Bandung” Seseorang berbisik tertahan.
Aku mengernyitkan dahi, menajamkan tatapan pada wajahnya. Hanya matanya yang bisa di lihat, selain itu tertutup rapat kain hitam yang melindunginya. Oh, lihatlah! Aku mulai menyukai memperhatikannya. Tatapan mata gadis ini begitu lembut. kedua matanya indah dengan bola mata hitam bersih bercahaya, bulu matanya indah, alisnya melengkung tipis di atasnya. Dan, guratan hidungnya lurus, walau sebagiannya tertutup cadar, aku yakin hidungnya mancung. Aku begitu penasaran dengan kecantikan yang disembunyikannya. Ia memilih menutup tubuhnya, dan berusaha memancarkan aura keimanannya. Sungguh, kecantikan yang luar biasa. Aku bisa merasakan inner beauty yang memancar dari dalam jiwanya, tidak mesti mengetahui kecantikan luarnya. Daya tariknya sangat magis, setidaknya untuk aku yang dari tadi memperhatikannya. Ah, siapakah gadis ini? Duduknya begitu anggun, sopan dan berpendidikan. Kepalanya tertunduk lembut, terlihat malu-malu. Satu hal lagi, gadis ini putih bercahaya. Untuk sementara aku menyimpulkan ia cantik.
Bidadari malam bersembunyi di balik awan. Kapas raksasa tempat persembunyian sang rembulan terlihat pucat, sela-selanya ditembus cahaya rembulan menyentuh genteng-genteng BALATKOP. Angin malam semakin dingin, kabut pegunungan berkumpul menebalkan diri, BALATKOP pun samara-samar diselimutinya. Keheningan mulai merayapi waktu, hanya suara binatang malam memekakan suasana. Ricuh panitia dan instruktur pudar bersama matanya yang terpejam. BALATKOP semakin dingin. Aku masih terjaga.
Di depan ruangan panitia, di atas kursi menghadap pegunungan yang di selimuti kabut samar-samar, aku duduk memeprhatikan bulan yang mulai muncul dari balik awan. Mungkinkah aku insomnia atau terlalu banyak tidur siang? Ah, persetan dengan semua itu. Aku hanya merasa aneh. Aneh dengan pikiranku yang kembali membawa jiwa menyaksikan gadis bercadar tadi. Siapa dia, dan dari mana? Megapa ia ikut-ikutan seperti aku, datang terlambat?. Dan, ini yang penting. Sudahkah ia punya pacar? Oh… mengapa gadis ini mengganggu malamku sampai aku harus terjaga. Aura kecantikan batinnya—sudah kukatakan, sangat magis—menyihir diriku harus memikirkannya malam ini. Malam semakin dingin. Gila?! Aku merindukannya.
***
“A.. bangun! Shalat subuh dulu” seseorang membangunkan.
“Bentar lagi, aku baru tidur”
“Gak bisa di tunda, A.., shalat dulu, gak baik shalat kesiangan”
Pandanganku masih berkunang saat mata mulai terbuka. Sesosok hitam samar-samar berdiri di depanku.
“Ah, kamu. Ganggu aja!” aku sedikit marah
“Maaf, A…”
Astaga. Suara ini aku mengenalnya. Yang kemarin mengucapkan salam. Ia gadis bercadar itu. Terlambat, ia sepertinya tersinggung. Langkahnya begitu cepat diayun mnggalkan kursi yang aku duduki, juga, ku tiduri. Tidak sempat aku minta maaf padanya.
“Kenapa aku gak kontrol begini?” Nada penyesalanku dengan suara tertahan.
Setelah shalat, aku bangkit untuk berjalan-jalan menghilangkan ngantuk yang kembali menyerang. Sambil berjalan aku mengutuki diri sendiri. Mengapa mengucapkan kata kasar pada gadis itu? Ah, betapa bodohnya. Di gerbang BALATKOP aku menyandarkan tubuhku, jalan raya ku pandang. Dingin masih terasa.
Angin seakan menusuk tubuhku dari belakang, aku menggigil dan membalikan badan hendak kembali ke ruang panitia. Masya Allah! Tubuhku membeku, nafasku tersenggal-senggal hampir meledak, jantungku berdegup kencang, bahkan sarafku terasa ikut membeku. Tidak mungkin, itu halusinasi atau fatamorgana, oh tidak! Gadis bercadar hitam mendekatiku. Tidak bisa dipercaya, tidak masuk akal. Mau apa dia?
Aku mengumpulkan keberanian, mengatur nafas dan mulai menyusun kata. Doa terlantun di dalam hati, mohon keberanian. Dia semakin mendekat. Dua langkah di depanku, langkahnya terhenti. Lidahku yang beku, ku paksa bergetar mengeluarkan kata.
“mmm….emmmm… anu… maaf” aku gagap.
“Maaf? untuk apa?” ia menjawab sopan.
“itu… yang tadi… anu… yang itu… pagi tadi saat kamu bangunin”
“Oh… gak apa-apa. A… biasa aja”
“ emmm… emmmm…” Mulutku enggan bicara.
“Permisi, A… “
“Permisi?...” hatiku berbisik penasaran. Permisi? Apa artinya ia mau pergi. Bukan sengaja menemuiku. Oh, bodohnya aku. Ia mau pergi. Tidak! Tidak! Sebelumnya aku harus tahu, setidaknya namanya saja. Ia mulai melewatiku. Tubuhku masih membeku. Dadaku akan berdentum keras.
“Tunggu…” lidahku lancar
“apa lagi?” Ia agak kaget dan membalikan tubuhnya.
“Siapa Namamu?...”
“Vera… Vera Khoerunissa. Mari… A, Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam”
Jantungku berhenti berdetak, aneh semuanya seakan berhenti. Angin ikut membeku, pohon-pohon jadi patung, orang-orang di BALATKOP semuanya berhenti diam terpaku seolah arca, matahari sinarnya tumpul oleh dinginyna suhu Lembang, burung berjatuhan, awan menjadi lukisan tak berjalan, langit mendung, petir menyambar-nyambar, gunung seperti berdenyut akan meledak. Semua, semua kehidupan seperti berhenti. Saat angkot Ledeng-Cicaheum yang ditumpangi Vera si gadis bercadar pergi meninggalkan acara DAM IMM. Secara pribadi, ia meninggalkanku. Aku bersedih, alam ikut menjerit.
Sejak pertemuan di acara itu, sekitar tiga bulan yang lalu. Aneh! Aku terus merindukan gadis itu sampai sekarang. Vera Khoerunissa, aku tidak yakin mencintaimu atau tidak. Namun aku yakin satu hal, aku merindukanmu. Sangat merindukanmu. Ingatkah kau padaku, Vera?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar