Oleh DASAM SYAMSUDIN
Banyak orang yang mendeskrifsikan cinta, semua orang pasti bisa mendeskrifsikan cinta. Ya, semua orang memiliki cinta, dan berbeda pula mereka mengalaminya. Sehingga tidak heran definisi cinta beragam. Ada kalanya professor botak berpendidikan tinggi definisinya tentang cinta, tidak diterima orang lain. Ya, sudah pasti karena semua orang mengalami cinta dengan cara yang berbeda.
Itulah, kenapa aku juga punya deskrifsi cinta yang berbeda pula. Entah, ini definisi atau deskrifsi, yang aku tahu “cinta itu bagaikan kentut”. Bagaimana tidak, kentut, tentu kalian tahukan? Kentut, bila ditahan bikin sakit perut, dan bila dikeluarkan bikin orang ribut—setidaknya orang itu menembakan kentutnya ditempat umum—contoh, Ibu-ibu yang sedang mengaji di sebuah Majelis Ta’lim, kalau salah satu bokong mereka ada yang kentut, sudah pasti mereka akan ribut. Setidaknya ibu-ibu itu saling menuduh.
Itulah yang kualami, tepatnya yang aku dan pacarku alami—maaf, mantan pacarku. Kami pacaran hampir empat tahun. Tapi, aku merahasiakannya dari orang tuaku. Memang, aku sudah tidak tahan dengan kondisi ini. Aku ingin sekali kehadiran kekasih hati di hidupku diketahui orang tuaku. Cuma, aku masih malu, konkretnya gak berani. Sedangkan pacarku, selalu gelisah. Ia ingin sekali aku mengenalkannya kepada orang tuaku. Sebagaimana dia mengenalkanku pada orang tuanya tiga tahun silam. Pacarku itu, sangat ingin. Sungguh sangat ingin kenal dengan orang tuaku, ia tak suka cintanya disembunyikan—ditahan—bak kentut saja.
Akhirnya hari itu pun tiba. Aku duduk manis di depan orang tuaku, dan memberikan senyum terbaik untuk mereka. Dengan sangat gemetar aku katakan pada mereka, “mak, aku sudah punya pacar, ia cantik. Kami sudah pacaran selama empat tahun. Semua itu berawal dan berlangsung sejak aku masuk pesantren. Dam. Emmmm… ia mau emak dan bapak mengenalnya.”. Sudah kubilang cinta bagaikan kentut. “apa”, kata ibuku, “hah…. Apa…”bapakku menambah ketegangan, “tidak mungkin” kata kakekku, “Sem, kamu?....” bibiku, aku pun tidak ngerti maksudnya.
Sekarang waktunya nasihat ibuku bak peluru deretan mesin yang akan membidikku. “kamu itu masih kecil, baru kelas 3 SMA, jangan dulu pacaran serius, apalagi harus membawa ia kemari. Apa kata orang-orang sini, kalau kamu sekolah dimana-mana, mesantren lagi, pulang membawa seorang wanita. Oh, jangan anakku, jangan buat harapan orang tuamu ini jadi ragu padamu. Oh, Tuhan aku tidak percaya anakku seperti ini. Ku kira selama ini ia memang sangat baik, setidaknya tidak seperti ini.”, ibuku menghela nafas, dan “kalau kau berani membawanya kemari, sekolah saja dengan uangmu sendiri.”
Tuh, kan, sudah aku bilang. Cinta bagaikan kentut. Seluruh keluargaku ribut. Orang kampungku dapat gosip baru, bahwa aku seorang santri yang sekolah dimana-mana akan membawa wanita kerumah. Adapt kampungku, kalau seorang yang bekerja, atau sekolah diluar kota pulang membawa wanita, artinya ia akan menikah. Ribut…. Sudah kubilang, bikin ribut!
Apa yang terjadi di rumahku. Langsung kulaporkan pada kekasihku. Ia, pacarku, tidak percaya bahwa kehadirannya ridak diharapkan dikeluargaku—setidaknya belum siap diterima—ia tersinggung, sakit hati, putus asa, tidak percaya lagi padakku, ia mendesakku, aku menolaknya. Ia memutuskan : putus !!!
Semua berakhir, ia pacaran lagi. Katanya ia bahagia dengan pacarnya yang baru. Karena ? kenapa ? karena, ia mendapat pacar yang bisa dikenalkan pada orang tuanya dan, jelas orang tuanya senang atas kehadirannya. Sekarang aku kesal, hatiku hancur, ibu bapakku bahagia, kakekku senang, semua keluarga tentram dan aku di sini bahagia. Kenapa bahagia ? karena tiga bulan kemudian. Ehhhmmmm…. Mantan pacarku nelepon, dan katanya ‘Aku menyesal memutuskanmu’. Kamu tahu, hal yang menarik dari pacaran adalah, saat mantan pacar kita menyatakan dirinya menyesal karena memutuskan kita. So, penyesalannya kutolak, ia pun kutolak. Dan sekarang aku yang lebih jahat. Ah, tidak juga, kalau cewek sudah berani berkhianat, pasti sama pacar barunya akan melakukan hal yang sama. Trust me, it true.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar