Cerpen SYAMSUDIN eL-FAQIRUL'ILMY
Pohon beringin tua yang berdiri kokoh dan terkadang menebar aura seram saat gelap menyelimuti cahaya. Tidak ada mahasiswa yang tahu betul usia pohon itu. Yang mereka tahu hanya kenyamanan dan keteduhan di saat duduk di akar-akarnya yang besar merambah mencengkeram bumi. Daunnya yang tipis kecil, dengan warna hijau dan kuning saat di belai angin akan membaurkan, dan mejatuhkannya keatas tanah. Dedaunan yang berjatuhan dan berantakan, setiap hari akan menyibukan pak Darmin dan kawan-kawannya, karena harus menyapu daun ciptaan Tuhan yang telah melindungi para calon intelektual akademisi dari galaknya sorot surya.
Ricuhnya suara manusia bersepatu. Membingungkan lelaki tua yang duduk di bawah pohon beringin di kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Lelaki yang matanya buta, tubuhnya lemah. Hanya tongkat kayu rapuh yang tidak pernah lepas dari dirinya. Dia pengemis tua yang memandang hidup dengan telinga. Hanya pakaian tipis compang-camping yang tidak pernah dicuci perisai tubuhnya yang hitam legam. Rambutnya yang kusut, tubuhnya yang kehilangan tangan kanannya. Terkadang menimbulkan bau yang tidak sedap. Tidak ada pemandangan yang indah pada lelaki tua itu.
Canda tawa dan suara langkah sepatu mahasiswa UIN. Jika terasa begitu dekat dengan dirinya. Ia akan mengangkat tangannya yang tidak pernah meninggalkan sampah plastic anorganik yang berbentuk gelas. Mengharapkan sepeser uang jajan mahasiswa yang diamanatkan dari orang tuanya untuk dimanfaatkan. Jarang, atau mungkin sangat langka mahasiswa yang merogok sakunya sekedar untuk memberinya uang. Walau hanya sepeser.
Entah tangan lelaki tua itu diganjal dengan apa? Tangan kirinya, tangan satu-satunya, terus menengadahkan berusaha mengasongkannya pada arah suara yang ia dengar. Tidakkah bosan pengemis tua itu ? menjalani hidup diantara orang-orang yang selalu meneriakan kebenaran, kemerdekaan, demokratisasi dan teriakan-teriakan lainnya yang ia anggap membela kebenaran, yang ia sendiri ada kalanya mengkhianati ucapannya.
Hari semakin sore, pengemis tua yang usianya hampir mendekati batas waktu kontrak dengan Peniup ruhnya, tubuhnya kelihatan seperti lelah atau sangat letih. Tangannya yang kurus kini turun disimpan di atas pahanya yang sama kurusnya. Hanya beberapa koin uang receh yang membebani sampah anorganik itu. Tidak ada yang menyaksikan ia makan dari pagi, saat pantatnya ditancapkan dibawah pohon beringin yang selalu memberi keteduhan padanya. Tidak ada interaksi yang terjadi antara mahasiswa Islam itu dengan pengemis yang kini hampir tidak jelas rupanya. Karena matahari yang bertengger di atas pohon beringin itu, kini sembunyi entah kemana ? mungkinkah takut atau sekedar menghormati kegelapan yang akan menggantikannya. Kegelapan yang memaksa mahasiswa harus kembali kekostan masing-masing.
Sepertinya lelaki tua itu masih duduk di sana, di bawah pohon yang sekarang berubah menjadi raksasa karena kegelapan. Tidak ada mahasiswa yang berani berjalan sendiri melewati pohon itu di tengah malam. Tapi kenapa pengemis itu masih saja duduk ? masihkah ia mengharap belas kasih seseorang, atau ia sedang menunggu iba Tuhan ? yang belum tentu Tuhan pun ridho terhadap pilihan hidup yang ia jalani.
Hilang, sekarang ia menghilang dari tempatnya. Entah kemana ia pergi, tidak ada jejak kaki yang ia tinggalkan. Tidak ada seseorang yang tahu ia melangkahkan kaki dengan tongkat kayu. Tidak ada bedanya, baginya gelap atau terang semua sama. Hanya telinga peta arah tujuan langkah kakinya, hanya tongkat kayu indra perasanya yang ia lahirkan dari mata hatinya. Mata hati yang semua orang pun tidak tahu. Apakah mata hatinya itu melihat Tuhannya atau tidak ?
***
Kembali langkah kaki bersepatu menimbulkan suara berisik dan ancaman bagi para semut yang akan lewat menyeberangi jalan yang menggurat di kampus UIN. Langkah kaki mereka, mahasiswa itu, tiba-tiba menjadi ajang lomba lari. Dari teriakan dan ajakan, mereka serempak berdondong mendatangi kerumunan mahasiswa yang dicekam aura penasaran. Penasaran dengan apa yang menimpa seorang lelaki tua yang kemarin mereka acuhkan. Yang kini terbujur kaku tak berdaya tak bernyawa. Mati, iya, lelaki tua atau mereka menyebutnya pengemis tua itu sekarang telah mati. Matanya melotot, tubuhnya beku dan tangannya memegang erat gelas plastik bekas tempat air mineral merek Aqua. Menjeratnya dengan kuat, tangan kirinya menjerat wadah itu dengan sekuat tenaga seakan tidak boleh ada yang mengambilnya. Aneh, semua itu memang aneh? Mereka para mahasiswa pun penasaran. Kenapa lelaki tua itu mati?
Aneh? Bagi para mahasiswa hal itu tidak aneh. Seharusnya memang tidak aneh bagi mereka. Apalah bedanya hidup atau matinya pengemis itu. Toh, mereka tetap acuh. Buktinya, saat kabar kematian pengemis itu menyebar keseluruh kampus. Tidak ada satu tangan mahasiswa yang mau menyentuh kulit kering lelaki tua itu. Mereka hanya melihat, membicarakannya, menghanyutkan berita terhadap angin agar menepi keseluruh telinga.
Ya, itulah mereka. Para pelanggan demonstrasi peneriak kebenaran, keadilan dan kepedulian sosial. Juga, yang diam membisu menyaksikan seorang mayat mati dikampusnya. Memang ada yang tidak diam, mereka berbicara dengan seorang polisi yang ada kalanya suatu saat akan ribut berebut keadilan dan kebenaran. Sekarang mereka berdamai, untuk serah terima urusan mayat itu. "Tidak penting mahasiswa mengurus mayat. Apalagi hanya untuk seorang pengemis. Semua itu menggaanggu belajar. Belajar kan wajib?" Mungkin. Mungkin itu kesimpulan keacuhan mereka. Tidak usah mendengar dari kata-katanya, semua orang akan tahu dan merasakan.
Mayat lelaki yang tidak dikenal oleh agen perubahan sosial itu, kini telah tiada. Kepergiannya, mungkin sedikitnya memberi kenyamanan suasana. Mungkin mereka akan merasa bersih. Karena tidak ada lagi penunggu pohon beringin besar nan rindang dikampus UIN. Tapi, pohon itu akan banyak yang menyalahkan. Kenapa lelaki itu mati di bawah pohon beringin? Ada apa dengan pohon beringin? Nanti, nanti bagaiamana keadaan pohon beringin itu, setelah akarnya ditiduri jenazah yang telah ribuan kali mendengar suara kaki mahasiswa bersepatu.
***
Setelah hari ketujuh dari kematian lelaki itu, suasana kampus tidak ada yang berubah. Dan, kenyamanan duduk dibawah pohon beringin semakin terasa asik. Ya, mungkin tidak ada seseorang kumal yang duduk berdampingan dengan para mahasiswa yang bersih nan suci? Atau so, suci.
Pohon beringin besar itu, sekarang sering bergoyang keras menggetarkan tiap ranting dan dahan menggugurkan dedaunannya keatas tanah. Akarnya yang mencengkeram bumi dengan kuat, sepertinya telah menjadi lemah. Pohon itu memang sudah sangat tua. Pohon beringin itu sudah banyak mengetahui rahasia para mahasiswa. Pohon beringin itu juga sudah terlalu setia dan lelah menjaga lelaki tua itu dari terik mentari dan terik ketidak pedulian mereka. Ia kini harus sendiri, ditinggalkan penunggu setianya yang hidupnya selalu disandarkan padanya. Ia telah kembali kepada Tuhannya, dan pasti akan berterima kasih pada-Nya. Karena menjaga pohon tersebut tetap hidup.
Di saat pagi menjelang, dan surya menghangatkan sinarnya. Kaki-kaki mahasiswa yang bersepatu, tidak ada yang bisa melangkahkan kakinya. Mereka hanya berdiri heran dan pikiran diliputi berbagai pertanyaan. Semuanya kaget, mereka mahasiswa UIN kaget. Menyaksikan pohon beringin besar dan tua itu, kini tumbang terbaring tak berdaya dan tak bernyawa. Ranting dan dahannya banyak yang patah. Tubuh perkasanya mampu meretakan jalan aspal dibawahnya dan menghancurkan gedung Fakultas Tarbiyah dan Keguruan yang tidak jauh dari pusat akar pohon beringin. Mobil para elitis kampus terpaksa harus dihentikan atau dibalikan agar tidak melewati jalan itu. Entah dimana mereka akan menyimpan mobil inventaris lembaga pendidikan itu? Terlalu memuji mengatakan mobil miliknya. Itu bukan milik mereka.
Tumbangnya atau kemtian pohon beringin besar itu, tidak mempunyai waktu yang panjang menyusul kematian lelaki tua yang setia duduk di bawahnya. Mereka atau pengemsi dan pohon beringin keduanya telah mati. Mati karena Tuhannya. Sedangkan mahasiswa yang menyaksikannya, mereka akan kangen terhadap keteduhan yang diberikan dari pohon itu. Mereka tidak akan ingat pada lelaki tua yang selalu setia berterima kasih kepada pohon itu. Mahasiswa hanya akan ingat, rindu dan mengenang pohon rindang itu. Mereka tahu, betapa sejuknya alam ketika mereka akrab dengan Tuhan. Tapi, sekarang pohon itu telah tumbang, mereka pun akan mencari tempat yang bisa memberinya keteduhan.
Apakah mahasiswa yang pintar itu tahu, mungkin saja pohon itu tidak menyukai mereka? Apakah mereka merasa berdirinya pohon itu hanya untuk melindungi lelaki tua yang duduk di bawahnya? Apakah mereka berpikir, mungkin saja pohon itu benci atau bosan hidup di lingkungan mereka? Semua hanya mungkin, namun suatu saat akan pasti. Apabila lelaki tua dan pohon itu kembali hidup dan bertanya serta menjelaskan kenapa dia selalu duduk dipohon itu. Pohon beringin pun akan berbicara, kenapa dia berdiri di Kampus dan meneduhkan mahasiswa, atau barangkali hanya meneduhkan pengemis tua.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar