Oleh DASAM SYAMSUDIN
Matahari telah menelan fajar. Sinar kecilnya meraba-raba dinding kamar, menembus kaca suram akibat debu yang tidak pernah dibersihkan dijendela kamar kost. Entah berapa derajat matahari bertengger di atas bumi. Sepertinya untuk hal ini, aku tidak pernah peduli. Rumah-rumah dan bangunan kost yang berdiri saling merapat—walau tidak tinggi—banyaknya bangunan itu, cukup menghalangi matahari menampakan dirinya. Cahaya, hanya cahaya yang terasa di pagi itu. Karena sinarnya mulai meruncing, tak terasa pandanganku mulai berkunang-kunang, sinar matahari berhasil menusuk-nusuk mata agar terbuka. Selalu, aku bersikap tenang saat bangun. Walau terkadang gara-gara itu aku harus meninggalkan jam pertama kuliahku. Tidak pernah berubah, aku akan selalu tentang kalaupun setiap hari bangun kesiangan. Entah—Tuhan Pemilik matahari—menerima shalat subuhkuku atau tidak? Jika tubuh berdiri tegak menghadapnya saat jemari mentari yang meraba dunia, bukan jemari pajar. Tapi, kalau ia tidak menerima shalatku. Mengapa ia membiarkan mataku terpejam saat jemari pajar membuka kepalannya. Dia malah membangunkan aku saat matahari yang mengambil alih kehidupan. Itu sangkaku pada Tuhan, dari kejadian dan perasangka itu, aku harus minta maaf kepada-Nya. Setiap hari, ya, setiap hari, harus!
Pandanganku masih berkunang, saat aku duduk di atas sajadah, selesai shalat subuh. Aku tidak begitu peduli pukul berapa aku shalat. Yang aku tahu, saat aku bangun pagi, aku harus shalat. Juga, harus mensyukuri hidup ini. Lihatlah, pagi ini selalu sama—seolah kehidupan baru dimulai kembali—pikiran yang masih tenang dan jernih, bagaikan kertas kosong lembaran baru terbuka, atau, pikiran kita laksana ember yang kembali airnya berkurang memenuhi ruangnya. Tidak atau belum ada beban yang berat. Pagi hari, selalu menjadi waktu dan ruang saat segala sesuatu harus di tentukan. Akankah kita menulis kertas—lembaran baru itu—dengan menyingkap sejarah hidup yang telah terlewati, atau berusaha memecahkan misteri hidup, menentukan hari yang akan datang. Atau, tidak usah ambil pusing dengan sejarah masa lalu, dan misteri hari esok. Tidak usah semua itu kita pikirkan, ya, hanya pagi ini, hari ini saja yang harus kita pikirkan. Hanya lembaran baru yang jelas telah terbuka itu yang harus kita isi, saat ini, saat kita duduk, berdiri, atau berbaring, saat ini.
Tahukah kalian? Ada sebuah film animasi yang terus memberi aku pengetahuan tentang hari ini. Kungfu Panda. Film animasi itu memberi aku sesuatu yang berharga tentang hari. “Yesterday isi History, Tomorrow is mistery, and today is Gift” padahal, kata-kata ajaib itu, keluar dari seekor kura-kura tua—Guru Oogway begitu muridnya memanggil—namun, walau hanya kura-kura yang mengatakannya. Aku yakin, kata-kata ajaib itu, mempunyai inspirasi yang sangat dahsyat. Aku yakin dengan hal itu. Sebab, dari menyaksikan film itu, aku hanya memikirkan hari ini. Terus memperbaiki hari ini. Jika ada sisa waktu. Maka, aku menabung saat ini, untuk masa yang akan datang. Aku menulis sketsa hidup saat ini, untuk hari esok, lusa dan seterusnya. Selalu begitu, sketsa itu kutulis saat ini, dan harus aku jalani setiap hari yang akan datang. Jika hari itu telah datang. Jangan memikirkan hari itu dalam-dalam di hari ini. Anugerah, ya, jalani saja hari ini dengan baik, karena itu anugerah dari Tuhan.
***
Pagi ini aku memang kesiangan, tapi tidak ada alasan untuk mengutuki diri sendiri. Sebab, tadi malam, saat aku leleh bermain gitar, bukan lelah tapi bosan bermain gitar. Ah, Entahlah, lelah, bosan, atau apa alasan aku menghentikan tanganku mengaduk-aduk senar gitar. Yang aku rasakan semalam, aku sudah buntu mencari nada yang harus aku sesuaikan dengan lagu ST 12, Jangan Pernah Berubah, atau lagu Rosa, Takdir Cinta. Lagu mana yang lebih banyak aku carikan nada yang sesuai aku tidak tahu. Keduanya tidak ada yang ketemu. Semuanya buntu. Itu alasan aku meletakkan gitar pada tempatnya lagi. Sepertinya selalu, ketika aku bosan atau lelah bermain gitar. Biasanya tanganku akan memegang benda yang lebih ringan, tapi berat untuk ku ingat, tidak seperti mencari nada, saat aku menemukannya, maka itu akan jadi bagian nyanyian hidupku. Buku, selalu buku yang harus menggantikan gitarku.
Saat gitar terlepas dari cengkraman tanganku, jiwa Synyster Gates—Gitaris Avenged Sevenfold—gitaris favoritku akan tertidur. Nah, saat buku yang kupegang di tanganku. Maka, jiwa Einstein yang bangun, simanusia jenius itu. Namun, aku Muslim. Maka, untuk keduanya, aku mencari alasan untuk melakukan keduanya. Aku meyakinkan diri, bahwa aku berusaha menjadi umat Muhammad Saw yang baik. Seni—nyanyian hidup—atau hidup berseni, agar indah. Dan, menjadi orang pintar, banyak pengetahuan agar perubahan hidupku terarah—tentunya semua itu upaya mengejar target standarisasi sebagai Muslim—agar perangaiku sesuai aturan agamaku (aku sangat mencintainya). Jika harus jujur. Sejujurnya terpaksa harus jujur, semua itu kulakukan agar ayahku bangga dengan diriku. Bukulah yang harus selalu mengisi hariku, walau hanya beberapa menit. Itu harus, perubahan butuh pengetahuan baru. Singkatnya, perubahan itu butuh banyak tuntunan. Selain ayahku harus bangga, aku juga ingin membuat diriku bangga, gitar itulah yang kutambahkan sebagai hal yang setiap hari kupegang. Tapi, jika di antara tiga tokoh itu harus kupilih. Aku lebih memilih Rasul Muhammad Saw. Walau pada kenyataanyya Synyster Gates yang lebih banyak menjelma didiriku. Sebab untuk saat ini, aku jatuh cinta pada gitar. Oh, iya, lupa, aku tidak pandai bermain gitar, aku sangat bodoh dalam hal gitar. Sudah kukatakan aku jatuh cinta pada gitar, bukan? Rasionalkan, aku sering memegang gitar?!
Gitar, aku selalu ingin menyebutnya, aku sangat menyukainya. Tapi, harus aku hentikan pembicaraan tentang gitar. Bukan, karena aku bukan gitaris, itu bukan alasannya. Melainkan, bagiku memilih gitar sebagai teman. Sebab, aku ingin hidupku bernyanyi, aku ingin hidupku indah terasa, keheningan pikiran, ketenatangan, inspirasi, memikirkan ide-ide dan mencoba merindukan sekaligus melupakan Irma—gadis yang aku sayangi—yang baru memutuskanku. Aku merasa gitar bisa membantuku, keindahan hidup, setidaknya ketenangan sepertinya terasa gara-gara gitar. Itu saja.
Buku. Cinta, menyukainya, merasa wajib harus membacanya, atau memang terpaksa harus membacanya. Entahlah, untuk buku aku tidak bisa menentukan apakah aku jatuh cinta padanya atau yang lainnya, aku tidak tahu. Hanya saja, sebelum memegang gitar. Buku tentu saja sudah jadi temanku. Tentang buku, yang aku rasakan—bukan yang aku tahu—aku hanya merasa perlu dengan buku. Ya, harus perlu, sudah kukatakan, perubahan butuh tuntunan. Semua hal di dunia ini, jika mau mejadikannya indah maka harus tahu ilmunya. Laksanaka mengaduk senar gitar, jika kita tahu jalur melodi dengan baik, nada indah nan menengkan hati akan kita dapatkan. Begitulah hidup, jika mau memberi kebahagiaan pada diri kita. Harus tahu ilmunya. Nah, buku itulah gudangnya pengetahuan. Mendapatkannya mudah, bisa minjam, beli, atau keperpustakaan untuk membacanya. Pengetahuan banyak di tuangkan dalam tulisan, di buku itu. Dengan membaca buku, berarti kita banyak mengkonsumsi pengetahuan. Dengan begitu, perubahan kita pasti akan terarah. Hanya itu, rupanya buku harus tetap jadi temanku. Karenanya, ilmu, baik pengetahuan agama atau pengetahuan umum akan aku dapatkan darinya. Jika tahu manfatnya buku, susah mengatakan tidak ada alasan untuk tidak membaca buku. Tidak usah tahu alasannya juga gak apa-apa. Rasakan saja jika kita banyak membaca buku, itu cukup. Rasakan saja manfaatnya.
***
Tidak tahu persis, malam tadi aku tidur jam berapa. Namun aku cukup yakin, aku tertidur karena lelah membaca buku lewat tengah malam. Cukuplah itu alasan aku kesiangan. Dan, itu cukup untuk tidak mengutukui diriku sendiri, sebab kasiangan.
Getaran senar gitar yang tak beraturan, akibat jari-jari tanganku tidak becus mencari pret gitar dengan tepat. Juga, akibat aku terlalu banyak membaca novel, sehingga hidupku penuh imajinasi. Harus juga kukatakan, juga karena pertemuan semalam dengan Kang Sukron Abdilah—bagusnya “Abdillah” pake ‘L’-nya dua—tapi karena pamilik namanya enggan dengan double eL, ya, udah, kalau penulis muda itu maunya pake kata Abdilah, ya, Abdilah saja lah. Nah, akibat ucapan Kang Sukron Abdilah itu, tidak usah tahulah ucapannya, ia hanya mengatakan, “Sem, ide itu harus di tulis sebelum kabur”. Ya,udah, karena aku punya ide menulis tentang gitar dan buku. Aku tulis saja. Menulis, mengabadikan persahabat aku, buku dan gitarku.
Itulah, Kawan, jika aku harus menyimpulkan: bagiku, atau alasanku memlihi gitar, bukan hanya karena agar aku bisa bernyanyi. Melainkan, itu hanya gambaran, bahwa hidup itu harus mempunyai seni. Seni, Kawan, sekali lagi seni, keindahan hidup akan sangat terasa indah—mungkin walaupun kenyataanyya buruk—jika kita memiliki jiwa seni. Dan, memang harus hidup kita ini mempunyai seni, bebaslah, apapun gambaran kalian tentang seni. Yang harus di ketahui, dan telah di sepakati oleh semua orang, hidup itu harus berseni. Pahamkah maksudku. Keindahan hidup itu, maksudnya.
Nah, kalau untuk buku, aku tidak akan banyak berkata. Hidup itu butuh tuntunan. Dengan tuntunan itu, arah hidup kita akan jelas. Baca, bacalah apa saja yang bermanfaat! Buku hanya majazi saja. Bahwa, sesungguhnya kita harus banyak membaca tentang kehidupan ini. Semuanya, ya, semuanya tentang kita dan lingkungan. Baca saja semuanya. Jika tidak tahu caranya, bertanyalah pada yang tahu, jika tidak, ya, baca saja buku tentang tuntunan hidup. Gampang bukan kepalang, bukan? Setidaknya untuk mengatakannya memang gampang. Oh, Tidak! memang gampang jika kita mempunyai keinginan. Jalani hidup ini dengan terarah, agar hidup ini menjadi indah. Bagaikan getaran senar gitar yang di mainkan Synyster Gates. Ia tahu cara memainkan gitar, maka, keindahan nada pun akan lahir dari jari-jarinya yang terarah menekan senar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar