Cerpen DASAM SYAMSUDIN
Saat angin sepoi meniup lembut, menembus tubuh berpakaian tipis, laksana tangan halus membelai tubuh telanjang. Aku memejamkan mata, merentangkan tangan seolah dunia akan aku raup, atau layaknya bidadari akan terbang, kedua tangannya terbuka lebar, lurus serta jemarinya memegang ujung sayap selendangnya. Aku berdiri bukan untuk merasakan belaian angin. Aku berdiri untuk mengikuti kemana pikiranku akan pergi, melayang. Fantasi pikiran, ya, hanya ia yang mampu terbang menembus batas dimensi, ia bisa bertengger di atas bulan, bintang-gemintang, masuk ke dalam lubang hitam, melompat dari satu asteroid ke asteroid lainnya, atau, menyusup ke dasar samudera, mengambil mutiara, menyentuh terumbu karang, berenang dengan lumba-lumba, dan bercinta dengan Putri Duyung yang sangat cantik, setelah menyelamtakannya dari ancaman hiu raksasa.
Ketika itu, hiu hendak memakannya, mulutnya terbuka lebar, rahangnya yang tajam siap mengoyak tubuh Putri Duyung yang menjerit ketakutan berenang di mulut hiu yang menganga. Saat itu pula aku datang meluncur dengan cepat, membelah air, menyodorkan tangan memegang erat Putri Duyung, memeluknya lalu meletakannya di atas karang. Kemudian, aku kembali meluncur ke dasar laut, menghantam perut hiu yang kelaparan, menghancurkan rahangnya, menusuk matanya dengan tinju, lalu setelah tubuhnya lemah, aku mengangkat hiu itu tinggi-tinggi meninggalkan laut, sampai awan hampir tersentuh. Setelah yakin cukup tinggi aku melepaskan tanganku, menjatuhkan hiu raksasa itu ke atas karang. Belum puasnya aku, saat hiu masih meluncur dengan cepat hendak menimpa karang, aku kembali meluncur dengan sangat cepat menendang perut hiu itu. Dan, tubuh hiu yang sangat besar akhirnya mendarat di ujung karang yang tajam, berdiri bagaikan duri raksasa, menghancurkan tubuh hiu. Hiu pun mati. Angin sepoi kemenangan terasa membelai tubuhku, aku kembali terbang menemui Putri Duyung yang sedang duduk di atas karang. Sebagai ucapan terima kasih, Duyung itu membawa aku jalan-jalan mengarungi samudera, menyombongkan keindahan taman laut. Diantara keindahan yang ada, putri Duyunglah yang terindah. Aku menginginkannya, ia pun memberikannya.
***
Aku adalah petualang, tidak bisa berlama-lama dengan Putri Duyung walau aku menyukainya. Kembali aku menerbangkan fantasi pikiranku ke masa lalu, saat nenek sihir berjaya di masanya. Nenek sihir itu dengan ilmu magisnya bisa mengubah apapun dan mengadakan apapun dengan kemampuannya. Ia juga memelihara monster tergalak, tubuhnya raksasa: tinggi bagaikan tiang langit, besar bagaikan gunung, tangannya berbulu tajam, cakarnya bisa mencincang tubuh manusia sampai bubuk, kepalanya bagaikan serigala, matanya bersinar menyala-nyala, mulutnya selalu ternganga menyombongkan taringnya, liurnya menetes dari lidahnya yang bau, langkahnya panjang dan bisa menggetarkan bumi. Salah satu kebengisan monster hijau itu, suka memakan perawan hidup-hidup. Makhluk raksasa itu doyan sekali menggigit kepala, taringnya yang tajam, bisa memecahkan kepala satu kali gigitan, sampai darahnya mengalir. Darah itu akan menetes, bercampur dengan kepingan kepala yang hancur seperti sisa-sisa otak, bola mata, rambut juga lainnya yang tidak tertelan.
Suatu hari, nenek sihir jelek, bau dan bengis itu, memerintahkan monsternya untuk menghancurkan Negeri Cinta. Dengan congkak nenek sihir berdiri di atas pundak monsternya, berdiri membungkuk, tubuh kurusnya hanya di balut kain hitam compang-camping, tangannya memegang tongkat kayu berkepala ular, mulutnya komat-kamit mengucapkan sesuatu. Pasti ia sedang mengutuki Negeri Cinta.
Di atas pundak monsternya, ia berdiri merentangkan tangan, tertawa cekikikan. Mega hitam mengikutinya, langit menjadi gelap, hanya cahaya halilintar yang menyambar-nyambar menerangi bumi, itu pun hanya kilatan cahaya. Tap! Kaki monster menghentikan langkahya, ia menggeram tanda keganasan. Berdiri seram di depan benteng Istana Cinta. Tubuhnya hampir sebanding dengan Istana Cinta yang sangat besar. Kembali sang monster menggeram. Matanya bersinar memerah, mulutnya menganga menjatuhkan liur yang menetes ke atas kepala prajurit.
Istana Cinta yang tadinya di liputi kedamaian dan Cinta. Kini, ketakutan menyelimuti Istana ini. Jerit-tangis anak-anak, perempuan, terutama gadis. Prajurit yang gagah perkasa, hilang keberaniannya, tangan mereka begitu lemah mengangkat senjata, seakan benda berat membebaninya. Walau demikian, para prajurit pantang untuk mundur, mereka tinggal menunggu perintah komandan. Para pemanah siap melepaskan busurnya menghujam jantung monster. Prajurit lain menodongkan tombak, siap menusuk-nusuk kaki monster agar tumbang. Prajurit pedang menghunuskan pedangnya siap menyayat tubuh monster. Mereka, para prajurit walau gemetar, tetap berdiri kokoh, dengan barisan yang rapi.
Di dalam Istana, Raja Cinta berusaha mencari tempat aman menyembunyikan putrinya, Putri Cinta. Sebab, kedatangan monster itu. Di samping akan menghancurkan kerajaan, juga untuk memakan putri kesayangan satu-satunya. Sang Putri Cinta cantik Jelita menangis tak tertahankan akan nasib yang hendak merenggutnya. Akhirnya, sang Raja memerintahkan para pengawal membawa Putri Cinta ke ruang bawah tanah untuk melindunginya. Dan, ia memerintahkan salah seorang gadis menggantikan posisi putrinya. Gadis itu pun mau.
***
Pertarungan di mulai. Komandan berteriak memerintahkan para pemanah melepaskan busur panah. Dengan kompak, anak panah lepas meninggalkan busurnya, ribuah anak panah terbang meluncur menghujam jantung monster itu. Namun, monster itu terlalu besar, kulitnya terlalu tebal. Sehingga, tidak ada panah yang bisa menyakitinya. Bahkan, tiupan mulut monster galak itu, mampu membalikan arah anak panah dan mendarat di dada, kepala, kaki, punggung dan beberapa ada yang menancap di mata prajurit. Kembali, komandan memerintahkan prajurit penombak menusuk monster. Ribuan tombak, lurus meluncur di tangan prajurit yang berteriak. Belum sampai menusuk kaki monster, monster mengangkat kaki raksasanya dan menginjak, menendang para prajurit. Di atah pundak monster, nenek sihir tertawa puas. Monster menggalakkan langkahnya, kakinya menginjak dan menendang para prajurit, tangannya mengayun menghancurkan istana. Dan, apabila jarinya mengepal anak gadis. Kepala gadis itu akan hancur di ujung taring monster. Prajurit yang tadinya bergeming. Sekarang lari pontang-panting menyelamatkan diri. Banyak tubuh yang hancur, mayat di mana-mana dan reruntuhan banyak menimpa tubuh tak berdosa.
Darah menetes dari mulut monster, beberapa kain korban masih menyangkut di giginya yang tajam. Tangan berkuku tajamnya masih memegang mayat gadis tanpa kepala. Tepat berdiri di hadapan Istana Cinta yang telah hancur, monster menghentikan langkahnya. Nenek sihir berkata seraya mengancam kepada Raja Cinta. Apabila ia tidak menyerahkan putrinya, maka Negeri Cinta akan hilang dari muka bumi. Karena desakan nenek sihir. Keluarlah seorang gadis cantik berpakaian anggun mengenakan Tiara bersusun tiga. Tanpa banyak kata, sang monster mengayunkan tangannya, menggenggamnya erat, kemudia membuka mulutnya. Seketika juga darah mengalir di bibirnya. kepala gadis itu hancur.
Di saat itulah, walau agak terlambat. Aku datang dari langit. Terbang meluncur menukik dengan kecepatak tinggi. Setelah dekat, aku menjulurkan kakiku, posisi menendang. Karena kecepatan yang dahsyat, monster itu terjungkal tak berdaya. Tangannya melemparkan mayat gadis yang masih tersisa. Dan, nenek sihir itu ikut terlempar. Kembali aku terbang keangkasa, setelah tinggi, meluncur menukik lagi ke bawah. Tinju ku kepalkan menghantam ubun-ubun monster. Tanah retak, kaki monster sedikit amblas ke bumi. Saat monster terkulai melemah. Aku mendarat di atas tubuh monster, dekat leher ku berdiri. Lalu, sebilah pedang tajam kuhunuskan, dengan kekuatan hebat. Satu kali sabetan saja. Kepala monster itu putus. Nenek sihir menjerit kesal penuh dendam. Belum sempat ia menyelesaikan mantranya. Tinjuku mendarat di wajahnya. Wajahnya hancur, kepalanya belah. Nenek sihir mati.
Semua rakyat Negeri Cinta bersorak gembira. Raja Cinta menjabat tanganku. Dan, ia menawarkan putrinya untuk ku pinang.
Putri Cinta memang cantik. Tapi ia adalah fantasi pikiranku. Aku adalah petualang. Maka, aku kembali terbang. Mungkin aku akan menembus batas di mensi masa depan.
Saat pikiran kembali merasakan dunia nyata. Mataku yang terpejam kembali ku buka. Tangan yang terentang kembali turun. Angin masih bersepoi-sepoi membelai tubuh. Dan, aku masih berdiri di sini. Di kamar kost-ku. Berdiri di bawah kipas angin yang berputar. Fantasi.... Oh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar