"Terimakasih Atas Kunjungannya, Semoga Anda Banyak Rezeki, Banyak Anak, Dan Masuk Surga. SALAM CINTA"

Dua Anak Yatim

Cerpen DASAM SYAMSUDIN



Dua bocah gundul berkulit hitam berlari-lari di antara lalu-lalang orang-orang pejalan kaki. Tawa kecilnya cekikikan, menyeringaikan senyum kebahagiaan, menunjukan giginya yang reges. Mereka saling mengejar di antara untaian manusia bersepatu. Bersembunyi di sela-sela orang-orang yang berjalan di depan Mall Kelapa Gading, kota Jakarta.

Acil, Tawa kecilnya memudar menjadi senyum curiga. Saat ia melihat kaki telanjang dan kurus seperti ranting cemara yang mongering terendap-endap membuntuti pria setengah baya berjas mewah. bersembunyi di belakangnya. Usi pun mengintip di belakang lelaki pejalan kaki itu, mengintai sahabatnya. Agar persembunyiannya aman. Mereka main petak umpet.

Matahari yang bertengger di puncak gedung tinggi ikut membantu Acil agar menemukan sahabatnya yang bersembunyi di balik kaki lelaki setengah baya itu. Bayang-bayang Usi memanjang, meregang menyentuh kaki dekil Acil. Dengan terendap-endap, Acil muncul dari belakang Usi dan mengagetkannya. Keduanya kembali berlari menuju deretan mobil yang terpaku di depan lampu merah. Mereka berlari tertawa riang di sela-sela mobi. Menyelusup menembus celah-celah sempit kendaraan-kendaraan. Hendak melintas.

Dasar, Acil. Di sela-sela sempit himpitan mobil ia masih saja berteriak memanggil Usi. "Usi, aku di sini..." teriak Acil sembari membungkuk. Usi melirik arah suara sahabatnya. Ia kembali menyeringai. Di belakang mobil Kijang Inova berplat merah yang dikendarai dua orang mahasiswa—sepertinya sepasang kekasih—Acil berdiri. Usi menemukan Acil. Mereka seperti tidak pernah lelah. Kejar-mengejar kembali dilakukan. Dasar, anak-anak...

Saat senja merekahkah warna kemerahan laksana bunga mawar merah yang mekar. Langit yang menyaksikan kelahiran Acil dan Usi. Mengguyur mereka dengan gerimis. Rinai hujan turun. Tuhan tidak pernah membiarkan anak ini sengsara. Dia memberi hujan saat mereka dekil. Awan-awan sampai lelah mengikuti mereka. Menjaganya, agar tubuhnya tidak melepuh terbakar sang surya yang selalu menghangatkannya. Dua bocah yang tidak pernah mengenal orang tuanya itu. Hidup dengan alam di tengah kota metropolitan.

Awan-awan berkumpul menghujani mereka. Memandikan meraka agar tubuhnya tetap segar. Mereka berdua bermain lumpur di tepi jalan aspal. Acil jatuh terpeleset ke tanah. Usi malah menindihnya, menggelitiknya dan melumar-lumar lumpur ke tubuhnya. Acil tidak kuat menahan geli. Air matanya menetes bercampur asinnya air hujan saat tawanya tak tertahankan. Mereka berguling-guling di atas tanah yang sempit, di tepi jalan.

Awan laksana kapas raksasa yang bergumpal lalu memudar disapu angin. Titik air yang menetes dari lengit telah mengering. Semburat pelangi pun melengkung di atas gedung-gedung tinggi. Awan pergi meninggalkan mereka saat tubuhnya bersih. Kini, keduanya berjalan tak menentu. Pandangan mata mereka selalu mengarah pada orang-orang yang sedang melahap makanan di Warteg atau Masakan Padang.

Acil dan Usi bukanlah pengemis yang selalu menunjukan wajah sedihnya. Bukan pula anak-anak nakal yang merepotkan. Mereka adalah anak-anak yang selalu riang. Yang menganggap bumi adalah sahabtnya. Indonesia adalah rumahnya. Semua orang temannya. Mereka enggan menganggap orang-orang sebagai orang tuannya. Ia tidak mau mengingat adanya orang tua yang menelantarkan anak. Mereka lebih suka berteman. Kepergian teman karena ada kepentingan itu wajar. Sedangkan kepergian orang tua untuk alasan apapun—jika bukan karena kematian—meninggalkan seorang anak selamanya, itu tidak wajar. Untuk itulah mereka berteman dengan alam, di kota yang liar.

Acil dan Usi berjalan pelan menuju mobil truk yang berhenti di depan toko milik orang Cina. Dengan kaki kotornya, Acil masuk toko itu, sedangkan Usi menyandarkan tubuhnya ke mobil truk sambil bersiul. Mengawali percakapannya dengan penjaga toko. Acil menunjukan gigi regesnya. Ia tersenyum. Dengan sangat sopan Acil menawarkan jasanya mengangkut barang-barang yang ada di dalam mobil truk. Penjaga tokonya mengangguk.

“Kau pindahkan kardus mie itu ke sana!...” perintah si penjaga toko sambil menunjuk tumpukan kardus-kardus berisi makanan.

“Baru kali ini kau berhasil, Cil”

Usi memuji Acil. Karena biasanya Usi yang selalu melobi para penjaga toko dermawan, agar menerima jasanya melakukan pekerjaan apa saja. Asal mereka mendapatkan makanan. Mereka melakukan pekerjaan itu. Memindahkan kardus-kardus mie dari mobil ke dalam toko dengan bahagia. Tidak ada jiwa terpaksa.

Setelah selesai, penjaga toko memberi mereka makan. Mereka tidak biasa menerima uang. Lebih suka diberi makan. Mereka makan dengan lahap seperti orang yang belum makan selama seminggu.

Kegelapan telah menyelimuti kehidupan. Beberapa kamar hotel telah memadamkan lampu-lampunya. Acil dan Usi pun terlelap. Mereka tidur di kolong jembatan. Berselimut pakaian yang dikenakannya. Beralas kardus lusuh. Acil kalau tidur selalu bergerak-gerak. Dia tidak sadar, kalau tubuhnya memanjat tubuh Acil. Mendekapnya erat, seperti sepasang cicak sedang kawin. Kalau Usi sadar. Biasanya akan menggulingkannya, Terkadang ia juga menendang Acil jauh-jauh.

***

Lubang jembatan yang menganga membiarkan sinar matahari masuk dengan leluasa. Sinarnya menggelitik kedua anak ini, membangunkannya. Mereka berdua bangun. Menggeliatkan tubuhnya. Lalu menguap sepuasnya. Melepaskan seluruh bau nafasnya. Dari mulutnya yang jarang gosok gigi. Atau, tidak pernah.

Matahari mengapung pertikal tepat di atas benda-benda. Acil dan Usi kembali mendatangi toko orang Cina. Mereka kelaparan. Seperti biasanya. Penjaga toko menyuruh mereka menurunkan barang-barang dagangan dari mobil truk. Setelah selesai, perut mereka akan kenyang. Hampir seperti itu setiap harinya. Mereka melakukan pekerjaan ini dengan riang dan penuh kegembiraan.

“Selesai, Bos. Hehe…” Canda Acil sembari mengasongkan tangan. Minta upahnya. Sedangkan Usi bersandar ditumpukan kardus sambil bersiul. Siulnya sumbang.

Tidak seperti biasanya, si penjaga toko tidak memberi makanan. Dia malah memberi uang Rp. 20.000. Memang uang ini cukup besar untuk pekerjaannya yang ringan dan singkat itu. Walau agak berat hati, Acil menerimanya. Lalu berlari menuju Warteg tanpa memberi tahu sahabatnya. Hendak membeli dua bungkus nasi.

Usi agak bosan menunggu, dan juga bosan dengan mulutnya yang terus bersiul, sampai-sampai bibirnya terasa monyong. Usi lalu mendatangi penjaga toko dan menanyakan sahabatnya. Penjaga toko hanya mengangkat bahu. “Mungkin dia sedang membeli makanan” ujarnya. “tunggu aja, di sini…” tambah penjaga toko sambil menghitung uang. Usi melirik ke jalan sesaat. Sahabatnya tidak nampak dalam pandangannya. Ia mulai hawatir. Tapi ia juga tidak begitu peduli. Mungkin aja Acil sedang bermain-main dengannya. Main petak umpet. Pikirnya.

Usi duduk-duduk di depan toko sambil memperhatikan jalan raya di hadapannya. Ia melihat beberapa kendaraan berlalu-lalang. Saat pandangannya mendapati seorang wanita muda tengah menuntut seorang gadis kecil yang seusia dengannya, kira-kira tujuh tahunan. Mereka ibu dan anak. Tiba-tiba perasaan Usi diliputi kesedihan. Dia mengingat-ingat dan merindukan sesosok wanita yang telah melahirkannya. Ia rindu seorang ibu. Usi rindu dan ingin ada seseorang yang menuntunnya saat ia lemah tak berdaya, mendekapnya saat ia takut, menyelimutinya saat kedinginan, dan memberinya makan kala kelaparan. “Siapa ibuku”, pikirnya di dalam hati. Air mata meleleh dari pipinya.

Usi nyaris benci memikirkan hal itu. Ia mencoba melupakannya dan menguburnya dalam-dalam. Dia tidak mau larut dalam kepedihan. Usi kembali bersiul. Mengeluarkan nafasnya, membisikan pada angin, “Aku, Usi. Sahabat alam dan akan selalu hidup dengan alam…” mungkin itu nyanyian hidupnya. Arti siulnya seolah-olah sudah sangat akrab dengan kehidupan yang ganas di kota yang gersang.

Acil belum kembali juga. Pikir Usi sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Awas, kau Acil. Kalau kau sudah kembali… emmm… aku akan bersembunyi…” Usi belum sempat menyelesaikan kata-katanya. Tiba-tiba ia dikagetkan dengan suara mobil yang mendesit seperti menabrak sesuatu. Lalu disusul suara wanita muda tadi menjerit-jerit. Usi terperanjat. Tak pikir panjang, ia langsung melompat mendatangi wanita muda itu. Mungkin anak gadis yang bersamanya terjatuh atau tertabrak mobil. Gumamnya dalam hati.

Setelah mendapati wanita muda itu. Usi melirik gadis tadi. Dan, gadis itu tidak apa-apa. Wanita muda tadi melirik Usi sambil menunjuk seseorang yang terbaring tak berdaya di atas jalan raya. Darah mengalir dari tubunya.

Usi. Kaget. Tubuhnya diam terpaku membeku. Tatapannya sangat tajam. Memperhatikan sesosok anak kecil yang berkulit hitam dan kepala gundul terkulai tak berdaya berlumuran darah di hadapannya. Air mata mulai mengalir deras dari wajahnya. Usi menjerit-jerit mendekap sahabatnya. Berteriak menyebut-nyebut nama Acil. Mengguncang-guncang tubuhnya yang telah payah, menyadarkannya. Usi terus mendekapnya. Memeluk erat sahabatnya yang sangat di sayanginya, yang telah tertabrak Kijang Inova berplat merah.

Tangis Usi semakin meledak, saat wanita muda tadi menggenggam tangannya berusaha melepaskan dekapannya pada tubuh Acil yang sekarang terbujur kaku. Ia mencoba meyakinkan pada Usi. Acil telah tiada.

***

Usi berdiri sambil nangis sesengukan memperhatikan tubuh sahabatnya di bungkus kantong plastik hitam. Lalu diangkat oleh dua orang polisi, dimasukan ke dalam mobil. Tidak ada yang peduli pada Usi. Tidak ada yang tahu bahwa Acil sahabat dekatnya yang sangat disayanginya. Tidak ada yang tahu, Acil tidak punya siapa-siapa selain dirinya. Sebagaimana Usi sekarang tidak punya siapa-siapa lagi. Mobil polisi pergi meninggalkan tempat kejadian dengan sahabatnya yang sekarang berada di dalam kantong plastik. Usi berlari mengejar mobil itu. Air matanya berjatuhan di jalan raya. Usi berteriak-teriak memanggil nama sahabatnya. Mengutuki sahabatnya, mengapa meninggalkannya. Usi menjatuhkan dirinya di tepi jalan. Duduk di bawah pohon pinus hijau. Air mata masih meleleh di pipinya.

Seorang gadis kecil duduk di samping Usi. Mengusap-usap bahunya. Usi melihat gadis itu mengulurkan tangan halus dan bersih yang selalu terawat mengasonglan cokelat. Usi masih membeku.

“Maukah kau tinggal di rumahku?...” Kata wanita muda yang tengah berdiri di hadapannya.[]

3 komentar:

  1. lumayan juga ceritanya... tapi masih termasuk cerpen yang harus banyak dipertanyakan tokoh-tokohnya...

    BalasHapus
  2. Dipertanyakan?... ya sepertinya memang seperti itu, tapi, bukankah hampir seluruh cerpen tidak bisa mendeskripsikan atau menceritakan sebuah dengan jelas, tegasnya sempurna...

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...