"Terimakasih Atas Kunjungannya, Semoga Anda Banyak Rezeki, Banyak Anak, Dan Masuk Surga. SALAM CINTA"

Catatan Garing 4: Ngejar Layang-layang

Bagian Empat

Pesantren waktu itu sedang libur. Gue, Cecep dan Saeful menunggu layang-layang. Kali aja ada layangan yang lepas. Setelah lama menunggu. Akhirnya ada juga layang-layang yang nyasar ke pesantren. Cecep dan Saeful terus memandang layang-layang putus dari benangnya bergoyang di udara. Mereka berdua lari ke sana-ke mari mencari letak strategis pendaratan layang-layang.

Mereka pantang menyerah. Kepalanya terus melihat layang-layang yang bergoyang di langit. Sedangkan gue nggak begitu peduli dengan layang-layang. Gue lebih suka menatap gadis cantik yang sedang berjalan di jalanan pesantren. Kalo loe lihat, gadis ini cantik banget. “Swiiit wiiiiiiwww”. Hati gue bersiul keras.

Sementara Cecep dan Saeful sibuk lari ke sana-ke mari ngejar layangan. Gue lari mengejar gadis tadi. Setelah agak dekat, dan posisi gue tepat di belakangnya. Gadis itu berjalan menemui suaminya. Menyaksikan itu. Gue merasa tidak mempunyai harapan mendekatinya. Sial bener nasib gue.

“Kenapa kamu lari-lari, kayak kuda kepanasan aja?” bertanya suaminya yang berkepala botak dan berjanggut panjang.

“Anu Om, Layang-layang putus. Tuh, lihat Om!..”

Sementara Om botak melihat layangan. Gue lari meninggalkannya sejauh mungkin. Setelah yakin jarak gue dan si Om botak itu jauh. Gue teriak “Botax…tax..tax…tax..!!!”
***

“Anjreet…! Layang-Layangnya mendarat di atas masjid, Cep.” Kata Eful.

“Iya Brow! Kaefa… bagaimana ini teh Ful?” Cecep Menjawab

Sebagai teman yang baik. Bukan baik. Terkadang baik. Gue menyarankan Saeful memanjat Masjid untuk mengambil layang-layangnya. Saeful pun mau. Padahal ia tubuhnya yang paling besar. Apalagi pantatnya. Tapi itu gak apa-apa dari pada gue yang manjat mendingan si Eful. Kalo jatuh juga pasti dia kuat. Tinggi masjidnya, Cuma 4 meteran.
Sementara Eful pemanasan. Gue dan Cecep membantu mengambilkan tangga. Tap! Dengan injakan yang teguh, dan genggaman yang kuat. Eful mulai memanjat. Gemulai goyang bokongnya yang super duper montok menggetarkan tangga. Dan itu membuat gue beserta Cecep lelah memegangi tangganya. Dilihat dari bawah, pantat Eful mirip melon kembar.

“Manusia atau kerbau sih si Saeful teh…?” kata gue dalam hati.

“Kerbau kali Sam” Cecep menjawab dalam hati juga.

“hehe…he..he….” Kami tertawa dalam hati.

Setelah Saeful berhasil memanjat puncak masjid. Kemudian dia berdiri kokoh. Kepalanya yang botak terembusi angin sore. Sangat mengilap bersinar menyala-nyala disorot sang surya memantulkan cahaya ke arah mata gue. Sampai gue silau dibuatnya. Nggak lama kemudian, tangan Eful memegang layangan tadi. Eful mendapat layangannya.
“Ful, lemparkan layangannya!” Cecep berteriak riang dan licik. Gue yakin dia licik. Karena setelah dilempar, layangannya akan dibawa kabur.

“Ful, berikan saja ke gue. Gue gak akan membawanya kabur. Cuma mau dijual ke Jang Balah. Lumayan, kan, nanti dapat fulus Khomsatumiah Rupiah (Rp. 500,-) ” gue berusaha meyakinkan Eful. Atau menipu Eful. Yang bener nipu Eful.

“Bullshit...! gak mungkin gue berikan layangan ini ke ente-ente pade.” Kata Eful.
Sepertinya Saeful tidak mau percaya siapa-siapa. Dia tetap mempertahankan layang-layangnya. Dengan sangat bersemangat dia menuruni jari tangga. Dan, yups, dengan bersemangat pula kami nggak mau membantu memegang tangganya.

Baru saja Saeful senang mendapat layangan. Allah mencabut kesenangannya lagi. Karena jari tangga yang diinjaknya patah. Eful bergelantungan. Tangan kanannya memegang kuat bata masjid. Sedangkan tangan kirinya memegang kuat layangan. Akibatnya Saeful jatuh dari ketinggian masjid itu dan tersangkut di tangga. Gue dan Cecep menyaksikannya. Hanya menyaksikan, nggak menolongnya.

“Diulang ya”. Musibah belum berakhir. Emang Saeful jatuh beberapa chenti-an dan tersangkut. Tapi, bata yang dipegang tangannya menimpa paha montoknya. Bata itu meluncur dengan cepat dan menghantam dengan keras paha Eful. Gue dan Cecep menutup wajah dengan kedua tangan. Nggak sanggup menyaksikan musibah itu. Meskipun wajah kami ditutup, kami bisa mengintip dari sela-sela jari tangan. Yang gue pikirkan saat itu adalah akan mendengar teriakan terkeras Saeful, karena kesakitan. Akan tetapi.
“He..he… untung masih nyankut di tangga. Makasih Tuhan”. Itulah teriakan di hati Saeful.

Meskipun Saeful merasa gak kesakitan. Kami tetap membantunya. Mungkin dia masih shock. Jadi gak sadar kalau kakinya sobek. Cecep menahan tangga dan gue menahan bokong Eful. Karena berat, lama-lama pantat Eful semakin mendekat dengan wajah gue. Tiba-tiba dari bokong Eful keluar suara halus dan sepi , “PSSSSHHHHH………”. Suara ini bercampur dengan gas beracun.

Dalam keadaan darurat. Gue merasakan ada gas yang langsung menuju lubang hidung gue. Gas beracun. Ya, nggak salah lagi. Ini gas beracun dari pantat Eful. Udah berat, lelah; Eful malah kentut, bau busuk pula. Tembakan jarak dekat kentut Saeful yang tepat sasaran ke lubang hidung gue…. yeakhh… Membuat gue mau mati.
Maunya, sih, kabur. Tapi apalah daya, nggak ada waktu untuk melarikan diri. Lagipula, kalau gue pergi Eful akan jatuh, dan bokong montoknya akan hancur berantakan berserakan di atas bumi. Hanya tinggal sejarah nantinya.

Gue tidak memberitahu Cecep adanya gas beracun yang keluar dari pantat Eful yang baunya… ih… seperti bau neraka tujuh tingkat. Biarlah gue yang menderita dan menikmati kentutnya. Akan tetapi, Cecep pun merasakan kehadiran gas beracun itu. Karena genggaman tangannya mulai melemah. Tubuhnya bergetar-getar lemas tak berdaya. Tenaganya hilang oleh tusukan kentut beracun Saeful.

Afwan (maaf)… gerogi…he…he…” itu kata Saeful dengan senyum puas. Kalo sedang gerogi ia selalu begitu. Bokongnya yang akan berbicara bukan mulutnya…. Ihhhh!
Setelah dibantu turun, Eful masih tertawa lebar. Sedangkan gue dan Cecep masih berusaha membuang sisa-sisa gas yang bersarang dirongga hidung….fuih…fuih…pait banget!

“Ful, itu….Kaki loe… asthagfirullah…berdarah!!!” Cecep berteriak kaget.

“Mana Cep…?” Eful pun kaget. Ia berusaha memeriksa kaki kanannya. Yups, ketemu juga, paha kanan Eful sobek, panjang sobeknya 12 cm dan kedalamannya 2,5 cm. melihat pahanya sobek tawa Eful terhenti seketika. Mulutnya tertutup rapat. Kemudian terbuka lebar lagi dan berteriak, “EMMMAAAAA…….AAAKSSS….”.

Dalam keadaan kritis. Hilman datang tergesa-gesa. Mungkin mendengar teriakan keras Eful. Hilman nggak banyak bertanya, kemudian menuntun Eful. Dia akan dibawa ke puskemas Limbangan menggunakan motor Kiai. Dengan bekal celenganan gue, mereka pergi duluan. Gue dan Cecep menyusulnya menggunakan angkutan kota. Sesampai di Puskesmas, gue bertemu Hilman yang terlihat sedih. Matanya terpejam halus. Kepalanya menggeleng-geleng dan terkadang bibirnya senyum manis sedikit. Air mata meleleh pelan di pipinya.

Kata Hilman, “saat Eful di bonceng motor, ia masih bisa tersenyum, bersiul dan masih bisa kentut. Seakan deritanya telah lenyap berjatuhan di jalan. Namun, lihat!... huk….huk..” Hilman menunjuk sambil menangis. “Huk..huk…huk…Setelah bertemu dokter. Eful menjerit-jerit dan menangis, seakan penderitaan, rasa sakit, dan luka di pahanya kembali menghinggapinya. Mungkinkah dia takut jarum suntik?..huk…huk….”
Kami bertiga tertunduk prihatin dan terkadang tersenyum lucu. Gue tahu, masalahnya bukan Eful takut jarum suntik. Tapi, kebahagian, senyum dan siulannya di atas motor. Karena dia menganggap dokter yang akan merawatnya adalah wanita cantik. Namun, harapannya hancur. Saat ia tahu bahwa dokternya laki-laki tua dan berkumis tebal.

Catatan kaki:
Hindari mengharapkan dokter cantik. Sebab semua dokter suka menusuk. Jangan mau naik kalo gak mau jatuh. Atau, menjatuhkan ente sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...